PRA PERADILAN

Praperadilan



Pengertian atau defenisi sebuah peristilahan penting diuraikan, oleh karena akan menjadi dasar dan kerangka acuan untuk memperjelas suatu permasalahan, mengkonkretkan sebuah proposisi. Walaupun terkadang defenisi yang diberikan tidak mampu mencakup atau menjelaskan secara kompherensif sebuah terminologi. Minimal akan menjadi pembeda atas setiap istilah yang saling berkaitan. Atau istilah tersebut akan kelihatan klasifikasi penggunaanya dalam menyusun skema pernyataan yang logis.
Pengertian yang akan dijelaskan kemudian sebagai pokok-pokok dasar yang akan menjadi bahan telaah atas setiap peristilahan yang akan dipergunakan dalam penerapan hukum formil. Istilah tersebut juga erat kaitannya dengan judul yang diangkat, diantaranya praperadilan, penangkapan, dan putusan pengadilan.
1. Praperadilan
Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi.
Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadiln tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure). Bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.
Menurut Hamzah (2006: 183) “menitik beratkan praperadilan sebagai pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim terhadap kewenangan kepolisian dan kejaksaan.” Namun yang terjadi di Eropa seperti Prancis pemeriksaan pendahuluan yang dimaksud tidak hanya pada tindakan tidak sahnya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, namun hakim ikut serta melakukan pemeriksaan pendahuluan, apakah tindak pidana tersebut layak masuk sebagai objek/ kompetensi pengadilan atau tidak?
Negara indonesia, yang menentukan layaknya sebuah perkara oleh pelaku tindak pidana untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah kepolisian dan kejaksaan setelah memenuhi unsur dan alat pembuktian.
Menurut Yahya Harahap (2002 b: 1) praperadilan merupakan lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:
1. Berada dan merupakam kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, yang hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak pernah terpisah dari Pengadilan Negeri.
2. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi Pengadilan Negeri.
3. Adminitrasi yustisial, personil, peralatan, dan finansial baru bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri.
4. Tata laksanan yustisiallnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Eksistensi dan kehadiran lembaga praperadilan, yakni sebagai lembaga yang berwenang dan berfungsi mengadili atau menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan. Keberadan lembaga praperadilan, untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal (vide: Pasal 80 KUHAP). Jadi praperadilan adalah sebagai sarana pengendali dan pengawas atas tindakan institusi kepolisian dan kejaksaan terhadap kesalahan dalam tindakan penyidikan/ proses penuntutan (dalam penangkapan, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan). Kesalahan itu baik berupa undue process of law ataukah terjadi eror in persona dalam penangkapan/ penahanan.

 

 

Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Tersangka dalam Tingkat Penyidikan

 
Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan.
Preperadilan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik karena penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, kontrol tersebut dilakukan dengan beberapa cara:
  1. Control vertical, kontrol dari atas ke bawah.
  2. Control horizontal, kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
Wewenang yang diberikan oleh penyidik berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dapat melakukan tindakan upaya paksa. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tujuan dari upaya paksa tersebut, tidak lain adalah guna kepentingan umum. Melindungi hak-hak publik dengan atas nama kekuasaan/ kewenangan pejabat negara (penyidik). Penyidikan dengan tindakan atau upaya paksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah untuk mencari bukti dan titik terang siapa pelaku (dader) atau tersangkanya.
Penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa berada dalam batasan dan ketentuan yang diikat oleh, syarat, alasan, dan tata cara upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Jika penyidik melakukan tindak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku/ KUHAP (undue process of law) atau melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan salah orang dalam penangkapan. Maka terhadap orang, keluarga atau kuasa hukumnya dapat melakukan upaya hukum praperadilan melalui Pengadilan Negeri atas tidak sahnya upaya paksa (dwangs).
Ketentuan tentang wewenang praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Dapat dikatakan, bersumber dari pasal-pasal tersebut, akan tetapi ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 95 dan Pasal 97.
Lebih jelasnya, Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada praperadilan sebagai berikut:
  1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa.
  2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
  3. Memeriksa tuntutan ganti rugi.
  4. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
  5. Memeriksa terhadap sah/ tidaknya tindakan penyitaan.
Berdasarkan wewenang praperadilan, ketentuan tentang  siapa yang berwenang mengajukan praperadilan dapat terlihat di sini. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP Pasal 79:  Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya. Pasal 80: Permintaan untuk pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 79, Pasal 80 KUHAP tersebut dapat diketahui siapa saja yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan yaitu:
  1. Tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya.
  2. Penyidik atau penuntut umum.
  3. Pihak ketiga yang berkepentingan.
Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, menurut Wahyu Effendi (Rusli Muhammad, 2007: 94) yaitu:
  1. Agar aparat penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukum dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
  2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga untuk melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
  3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan  orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
  4. Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
  5. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Titk berat pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian  dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.