PENYITAAN PERDATA

Penyitaan Dalam Sidang Pengadilan Perdata (Beslag)

Sita Jaminan: Sita Conservatoir dan Sita Revindicatoir
Penyitaan atau beslag merupakan tindakan persiapan, berupa pembekuan barang-barang yang berada dalam kekuasaan tergugat sementara waktu untuk menjamin agar putusan sidang pengadilan perdata dapat dilaksanakan. Penyitaan bertujuan untuk menjamin kepentingan penggugat, yaitu agar haknya yang dikabulkan dalam putusan hakim dapat dilaksanakan setidaknya melalui barang sitaan. Dengan demikian, penyitaan disebut juga sita jaminan. Hukum acara perdata kita mengenal sita jaminan sebagai sita conservatoir dan sita revindicatoir.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan. Panitera wajib membuat berita acara tentang penyitaan tersebut serta memberitahukannya kepada tersita. Dalam melakukan pekerjaannya, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut menandatangani berita acara. Jika permohonan sita dikabulkan, pengabulan itu dilakukan dalam suatu penetapan yang menyatakan sah dan berharga (van waarde verklaard). Dalam hukum acara perdata, ada dua macam sita jaminan yang umumnya diajukan, yaitu sita jaminan terhadap barang milik penggugat sendiri (sita revindicatoir) dan sita jaminan terhadap barang milik debitur atau tergugat (sita conservatoir).
Sita Revindicatoir
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain. Tujuan penyitaan ini agar setiap pemilik barang yang barangnya berada di tangan orang lain dapat mencegah barang miliknya tersebut dialihkan atau diasingkan oleh pihak yang menguasainya. Jika mobil milik A dikuasai oleh B, maka dalam persidangan gugatan perdata, A dapat mengajukan sita revindicatoir atas mobil miliknya tersebut dengan tujuan agar B tidak mengalihkannya. Barang yang dapat disita secara revindicatoir hanyalah berang bergerak, karena barang tidak bergerak seperti misalnya tanah sulit atau jarang sekali untuk dialihkan atau diasingkan.
Selain pemilik barang, orang yang mempunyai hak reklame juga dapat mengajukan sita revindicatoir. Hak reklame merupakan hak tagih yang dimiliki oleh penjual barang bergerak. Sita revindicatoir pemilik hak reklame bertujuan agar barangnya yang telah diserahkan tapi belum dibayar dalam suatu transaksi jual-beli dapat diamankan terlebih dahulu – agar tidak dialihkan atau diasingkan oleh pembeli. Selain pemilik hak reklame, dalam sengketa perceraian dikenal pula sita marital. Sita Marital bertujuan bukan untuk menjamin dilaksanakannya penyerahan barang, melainkan agar barang yang disita tidak dialihkan. Fungsinya untuk melindungi hak pemohon atau penggugat selama pemeriksaan sengketa perceraian berlangsung, yaitu agar harta perkawinan dibekukan terlebih dahulu sampai sengketa percerainnya diputuskan, agar jangan sampai harta perkawian tersebut dialihkan oleh pihak (suami atau istri) yang menguasainya.
Sita Conservatoir
Sita conservatoir merupakan sita jaminan tehadap barang milik debitur atau tergugat. Sita conservatoir merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada pengadilan, yaitu berupa penjaminan agar dilaksanakannya putusan perdata dengan cara membekukan barang milik tergugat. Barang yang dibekukan tersebut nantinya dapat digunakan untuk melaksanakan putusan pengadilan – misalnya dengan menjual barang yang disita dan uangnya digunakan untuk membayar kewajiban tergugat kepada penggugat sesuai putusan hakim. Terhadap sita conservatoir, tergugat juga dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar sita atas barangnya tersebut dicabut. Permohonan pencabutan itu dapat dikabulkan oleh hakim asalkan tergugat dapat menyediakan tanggungan yang mencukupi.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap berada di tangan tergugat untuk disimpannya dan dijaganya, atau dapat juga disimpan di tempat lain, dan tergugat dilarang mengalihkan barang tersebut. Dengan adanya sita conservatoir, tergugat sebagai “pemilik barang” kehilangan kewenangannya atas barang miliknya itu. Selain terhadap barang bergerak, sita conservatoir juga dapat diajukan atas barang tidak bergerak milik tergugat. Penyitaan atas barang tidak bergerak milik tergugat dilakukan dengan mengumumkan penyitaan barang tidak bergerak tersebut oleh kepala desa setempat di tempat barang itu disita.
Sita conservatoir, juga dapat dilakukan terhadap barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga. Hal ini misalnya terjadi karena tergugat memiliki piutang terhadap seorang pihak ketiga. Untuk menjamin haknya atas pelaksanaan putusan, penggugat dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang di tangan pihak ketiga itu. Sita conservatoir atas barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga disebut juga derdenbeslag.

Akta Perdamaian Dalam Gugatan Perdata

Dalam sidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa.
Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan 131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasal-pasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.
Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti.
Kekuatan Hukum Akta Perdamaian
Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap
Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan.
Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

 PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Perspektif Hukum Perdata
Pasal 1365 BW yang terkenal sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata.
Dalam pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut :
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Dari pasal tersebut dapat kita lihat bahwa untuk mencapai suatu hasil yang baik dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang[1]. Dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
  2. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :
  • Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat.
  • Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.
Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi.
Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :
    • Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja[2].
    • Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.[3]
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :
  • Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
  • Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu :
  • Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
  • Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.[4]
Jadi secara singkat dapat diperinci sebagai berikut :
  • Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal 1364 BW.
  • Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubunga kerja dengan badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1367 BW.
  • Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW
Perspektif Hukum Pidana
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
  1. Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal.
  2. Yang kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materiil.
Yang berpendapat formal untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons[5] “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-perautan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan laian-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil diatas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana.
Akan tetapi jika kita mengikuti pandangan yang materiil maka bedanya dengan pandangan yang formal adalah :
  • Mengakui adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
  • Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandanagan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata nyata barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
Adapun konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa  sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
-   Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
-   Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).
Perspektif Hukum Administrasi Negara
“Perbuatan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan peristiwa hukum,  secara yuridis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
  • Yang bersifat perdata
Pihak aparat atau penguasa atau administrasi dapat bertindak sebagai salah satu pihak dalam perjanjian perdata atau sebagai individu perdata yang dapat membuat kontrak untuk melakukan perbuatan tertentu.
Contoh : tender pengadaan bangunan atau kontrak perjanjian.
  • Yang bersifat publik
Bersegi satu atau sepihak
Unsur dalam membuat ketentuan secara sepihak yaitu :
-   Dilakukan oleh administrasi Negara.
-   Berdasarkan kekuasaan istimewa.
-   Demi kepentingan umum.
Contoh : secara sepihak pihak yang berwenang berhak untuk menutup pabrik yang melanggar IPAL.
Bersegi dua atau dua pihak
Yaitu perbuatan hukum dimana terjadi perjanjian atau kesepakatan atau penyesuaian kehendak antara kedua belah pihak yang hubungan hukumnya tersebut diatur oleh hukum istimewa yaitu hukum publik.
Dalam hukum administrasi Negara perbuatan atau keputusan yang sewenang-wenang adalah suatu perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar sehingga tampak atau terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya ketimpangan.
Sikap sewenang-wenang akan terjadi bilamana pejabat administrasi Negara yang bersangkutan menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada Pengadilan Perdata sebagai “perbuatan melawan hukum” atau “onrechmatige over heidsdaad”.
Didalam hukum admininstrasi Negara Inggris-Amerika Serikat asas yang sangat penting dan dibahas secara luas adalah asas larangan “ultra vires” yakni penyalahgunan jabatan atau wewenang dalam segala bentuk. Di Indonesia istilah yang dipergunakan adalah “detournement de pouvoir” yakni bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang daripada apa yang dimaksudkan atau dituju oleh wewenang sebagimana ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang (dalam arti luas, dalam arti materiil) yang bersangkutan.

Unsur Dan Syarat Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum



Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.

Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:

1) Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang melaksanakan prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur


Syarat - syarat dan Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Perbuatan Melawan Hukum” (PMH). Untuk dapat suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum harus terpenuhi empat hal, yakni;
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan di sini adalah perbuatan baik bersifat positif maupun negatif (penafsiran pasal 1365 KUH Perdata secara luas, J.Satrio).

2. Perbuatan itu harus melawan hukum, dapat berupa;
a) Bertentangan (melanggar) hak orang lain,
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
c) Bertentangan dengan kesusilaan,
d) Bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Ada kerugian.

4. Ada hubungan sebab-akibat antara perbutan melawan hukum itu dengan kerugian yang timbul.

Perkecualian PMH yang hilang sifat Melawan Hukum nya yaitu ada alasan pembenar dan pemaaf.

Dasar-dasar pembenar (rechtvaardigingsgroden)dapat dibagi dalam 2 golongan
1. dasar pembenar yang berasal dari Undang –Undang yakni keempat dasar2 peniadaan hukuman tersebut
2. dasar pembenar yang tidak berasal dari UU yang karena nya juga disebut dasar dasar pembenar tidak tertulis


Menurut Moegni alasan pembenar berupa ;
1. keadaan memaksa(overmacht)
overmacht menurut moeghni adalah suatu paksaan yang tidak dapat dielakan lagi yang datangnya dari luar

2. pembelaan terpaksa (noodwer)
pembelaan terpaksa dan keadaan darurat harus dibedakan karena dalam pembelaan terpaksa serangan dengan sengaja yang tidak dapat dielakan lagi
 3.melaksanakan ketentuan UU(weettelijke voorschrift)
Menurut Moegni melaksanakan ketentuan U
U bukanlah merupakan dasar pembenar yang berasal dari UU

4. Perintah jabatan (ambtelijk bevel)
Menurut rutten setiap orang yang haruskan menaati perintah akan dapat mencari dasar pada sesuatu perintah jabatan dengan pengertian, tidak adanya hubungan atasan dan bawahan.



PUTUSNYA PERKAWINAN

putusnya perkawinan dan akibatnya

A. PENDAHULUAN
Akad perkawinan dalam hukum islam bukannya perkara perdata semata melainkan ikatan suci mitsaqon ngolidhoh. Yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada allah dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga akan abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera sakinnah, mawaddah warahmah dapat terwujud. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas diperjalanan manakala kehidupan bahtera rumah tangga tidak dapat bertahan lagi maka islam memberikan jalan alternatif dengan bercerai atau talak apabila usaha-usaha perdamaian tidak dapat dimusyawarahkan lagi. Dalam hadist riwayat abu dawud disebutkan bahwa “sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci allah adalah talak kemudian dalam Undang-undangpun juga terdapat pasal-pasal atau aturan tentang putusnya perkawinan.
B. PEMBAHASAN
Putusnya perkawinan dan akibatnya
 PERSPEKTIF FIQIH
Menurut istilah talak adalah melepas ikatan atau juga disebut mengurangi melepas ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan yang dimaksud ikatan disini perkawinan. Setidaknya ada empat kemungkinan terjadinya perceraian yaitu
1. terjadinya nusyuz dari pihak isteri
nusyuz bermakna kedurkahaan yang dilakukan kepada isteri terhadap suaminya hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah tidak mau taat kapada suami penyelewengan dan hal-hal yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka Allah memberikan solusinya dalam Q.S. annisa 34 yang artinya:” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”
Nusyuz yang terjadi kepada pihak isteri setelah diusahakan dan dinasehati dan berpisah tidur serta memukul tapi tidak berhasil berakibat gugurnya kewajiban nafkah atas suami untuk isterinya. Dalam hal beristeri lebih dari satu maka terhadap isteri yang bernusyuz tidak wajib nafkah.tidak wajib memberi gilirannya tetapi masih wajib memberikan tempat tinggal.
2. nusyuz yang terjadi pada pihak laki-laki
nusyuz yang terjadi pada pihak suami apabila suami tadak mau menunaikan kewajibannya terhadap istri.apabila terjadi demikian hendaklah diberikan nasehat-nasehat secukupnya, agar kembali menuanaikan kewajiban kewajibanya. Apabila kekhawatiran nusyuz itu karna istri, misalnya suami tidak lagi senang terhadap istri yang tua, sakit yang tidak kunjung sembauh, karna muka ynag semakin berkerut, dll. Maka Al-qur’an menerangkan dalam Q.S An-Nisa: 128 yang artinya: ”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Isi perdamaian yang dimaksud diatas diterangkan dalam hadits riwayat bukhori dan aisyah, yaitu” ada istri yang tidak lagi memenuhi hasrat suaminya, hingga suami nampak ingin menceraikan istrinya.kemudian ingin kawin lagi dengan wanita lain, melihat demikian, istri mengatkan kepada suaminya” tahanlah aku dan janagna kau ceraikan” ” kawinlah denagna perempuan lain, kubebaskan engkau dari memberi nafkah dan mengiliri aku”. Dalam hadist tersebut tampak lah perdamaian yang jelas, yaitu istri melepaskan hak nya untuk memberi nafkah dan giliran dari suaminya, asal tidak cerai.
3. terjadi nya syiqaq
apabila antara suami istri terdapat pertentangan pendapat dan pertengkaran yang memuncak hingga kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya dan tidak mungkin mendamaikannya sendiri maka dapat diutus seorang hakim dari pihak suami dan hakim istri. Kasus rumah tangga yang memuncak seperti ini disebut shiqoq. Dalam firman Alloh Q.S An-Nisa:35 yang artinya:” Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Tugas kedua hakim ini adalah meyelidiki dan mencari hakikat dari permasalahan yang menimbulakan krisis itu, mencari sebab musabab yang menimbulkan persengketaan kemudian sedapat mungkin mendamaikan kedua belah pihak, apabila kedua belah pihah tidak dapat didamaikan. Maka keda hakam boleh mengambil inisiatif untuk mneceraikannya dan atas prakarsa kedua hakim ini, mereka mengajukan permasalahanya kepada hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan perceraian tersebut.
4. salah satu pihak melakukan perbuatan zina( fahisyah)
yang menimbulkan salaing tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaiakan dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan dengancara li’an. Li’an sesungguhnya telah memaski gerbang putusnya perkawinan dan bahkan untuk selama-lamanya. Karna akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in qubro.
Tawaran penyelesaikan yang diberikan Al-Qur’an adalah antisipasi agar nusyuz, dan shiqoq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan terjadiya perceraian. Bagaimanapun juga perceraiaan merupakan sesuatu yang dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagai cara yang ditempuh tidak mendapatkan hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi keduanya belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing.
 PERSFEKTIF UU No.1/ 1974
Sebagaimana yang disebat pasal 1 UU No.1/1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa atau dalam bahwa KHI mistaqan gholiza( ikatan yang kuat), namun dalam realitan sering kali tersebut perkawinan kandas ditengah jalan yang mengakitkan putusnya baik karena sebab kematian, perceraiaan maupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 38 UUP dinyatakan:
Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, atas keputusan pengadialan.
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia sedangkan untuk sebab perceraian, UUP memberikan aturan aturan ynag telah baku, terperinci dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan penngadilan jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. UUP tidak menyebutkan jangka waktu yang lama untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu, bahkan didalam penjelasan UUP, pasal 38 tersebut dipandang cukup jelas.
Pasal 39:
1. perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah mengadialan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. untuk melakukan perceraian harus ada cukup alsan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. tata cara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang sendiri.
Pasal 40:
1. gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
2. tata cara mengajukan gugatan tesebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundang tersendiri.
Didalam PP NO.9 1975 pasal 19 dinyatakan hal hal yang menyebabkan terjadinya perceraian:
1. salah satu pihak berbuat zina atau memjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagaianya yang sukar disembuhkan.
2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berurut turut pihak lain dan tanpa alasan yang sah.atau karna hal lain yang diluar kemampuannya.
3. salah satu pihah melakukan kekejaman atau penganiyayan berat yang membahayakan pihah lain
4. salah satu pihak memdapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat memjalankan kewajibanya sebagai suami istri.
5. antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah tangga.
PERSPEKTIF KHI
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP walaupun pasal pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada BAB XVI:
Pasal 113 menyatakan:
Perkawinan dapat putus karena
a. kematian
b. perceraian
c. atas putusan pengadilan.
Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian dijelasakan pada pasal114 yang mambagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang disebabkan karena talak dan gugatan perceraian. Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak. KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah ” ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagai mana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. perceraian dapat terjadi karena alasan alasan seperti Didalam PP NO.9 1975 pasal 19.tetapi diKHI dijelaskan dalam pasal 116.perbedaannya hanya pada poin
- suami melanggar taklid talak
- peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Kematian, perceraian, keputusan pengadialan
 Akibat kematian
akibat suami meninggsl maka si isteri selain manjalani masa tunggu ia berhak mewarisi harta peninggalan suami dan sekaligus berkewajiban memelihara anak-anaknya.
pasal 96:
1. apabila terjadi cerai mati maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
2. pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri, yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.

 Akibat perceraian
a. akibat talak
menurut keteneuan pasal 149 maka bekas suami wajib
 memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut qobla aldukhul
 memberi nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekaas isteri selama masa iddah kecuali bekas isteri telah dijatuhi talajk bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
 melunasi mahar yang masih berhutang seluruhnya serta memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak yang belium mencapai umur 21 tahun

b.akibat kulu’
akibatnya maka isteri itu bebas dan semua urusan diserahkan kapadanya dan tidak boleh lagi suami rujuk kepadanya karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari perkawinan terdapat dalam pasal 161 kompilasi menjelaskan bahwa perceraian dengan jalan kulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.

c.akibat li’an
pasal 162 kompilasi menjelaskan ’bila mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya sedang suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah

d.akibat cerai gugat
pasal 156 kompilasi
a. anak yang belum mumayis berhak mendapatkan khadanah drai ibunya kecuali bil ibunya telah meninggal dunia maka kedudukan digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya, ayah, wanita-wanita dari garis lurus keatas dari ayahnya, saudara perempuan dari anak yan bersangkutan,wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibunya ataupun ayahnya.
b. anak yangsudah mumayis berhak memilih untuk mendapatkan khadanah dari ayah atau ibunya
c. apabila pemegang khadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani atau rohani anak, meskipun biaya nafkah dan khadanah telah dicukupi, maka ataspermintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak khadanah kepada kerabat lain
d. semua biaya khdanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus diri sendiri sampai umur 21 tahun.
e. Bila mana terjadi perselisihan mengenai khadanak dan nafkah anak pengadilan agama memberi keputusannya berdasarkan huruf a,b,c dan d.
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut kapadanya.


KESIMPULAN
PADA UUP pasal 41 akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah
a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak anaknya semata mat berdasarkan kepentingan anak anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusanya
b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya, pemeliharaan dan pendidik yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentuka bahwa ibu ikut memikul biawa tersebut.
c. Pengadilan dapat menwajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.

GUGATAN

GUGATAN




A. Umum
Gugatan dalam hukum perdata terdiri dari Gugatan Permohonan (voluntair) dan Gugatan Kontentiosa. Gugatan permohonan menurut Mahkamah Agung adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Ciri-ciri dari suatu permohonan sebagai berikut:
1.      masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only).
2.      permohonan tidak menyangkut sengketa dengan pihak lain;
3.      tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (ex-parte).
Sedangkan Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung permasalahan dengan orang lain yang mengandung sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties) yang diajukan kepada ketua pengadilan untuk diperiksa dan diputus.
Gugatan Kontentiosa kita temukan dalam,  pertama di Pasal 118 ayat (1), 119 dan 120 HIR dengan menyebut istilah ”Gugatan Perdata dan Gugatan”; kedua di Pasal 1 RV menyebut Gugatan Kontentiosa dengan istilah ”Gugatan” yang berbunyi ”tiap-tiap proses perkara perdata....,dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan....”. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, Gugatan Kontentiosa adalah adalah tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Mahkamah Agung menyebut Gugatan Kontentiosa dalam putusannya yang berbunyi ”selama proses perkara belum diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut gugatan dengan persetujuan tergugat”.

B. Syarat-syarat Gugatan
C.1. Syarat Formil
Syarat formal dari suatu gugatan, dapat dirinci sebagai berikut :
a.   Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
dalam surat gugatan biasanya disebutkan secara tegas tempat dimana gugatan itu dibuat. Misalnya apakah gugatan dibuat di tempat domicili penggugat atau di tempat kuasanya. Selanjutnya disebutkan tanggal, bulan dan tahun pembuatan gugatan itu. Tanggal yang termuat pada kanan atas surat gugatan itu hendaklah sama dengan tanggal yang dimuat pada materai surat gugatan. Apabila terdapat perbedaan tanggal, maka tanggal pada materai yang dianggap benar.
b.   Materai
dalam prakteknya, surat gugatan wajib diberi materai secukupnya. Suatu surat gugatan yang tidak dideri materai bukan berarti batal, tetapi akan dikembalikan untuk diberi materai. Pada materai itu kemudian diberi tanggal, bulan dan tahun pembuatan atau didaftarkannya gugatan itu di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.
c.   Tanda Tangan
Tanda tangan (handtekening) dalam Surat Gugatan merupakan syarat formil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 118 ayat (1) HIR, bahwa bentuk surat permohonan ditandatangani penggugat atau kuasanya. Menurut Pasal St. 1919-776, Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat membubuhkan Cap Jempol ─ berupa ibu jari tangan ─ di atas Surat Gugatan sebagai pengganti tanda tangan. Surat Gugatan yang dibubuhkan Cap Jempol selanjutnya dilegalisir di pejabat yang berwenang ─  misalnya Camat, Notaris, Panitera ─, namun bukan hal yang ”Imperatif” mengakibatkan (rechts gevolg) gugatan menjadi cacat hukum secara formil, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 769 K/Sip/1976 yang berbunyi ”....cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi hukum (van rechtswege nietig), tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisir”;
B. 1. Syarat Materiil
a.   Identitas Para Pihak
dalam suatu surat gugatan haruslah jelas diuraikan mengenai identitas Penggugat/Para Penggugat atau tergugat/para tergugat.
Identitas itu umumnya menyangkut :
1). Nama lengkap;
2). Tempat Tanggal Lahir/ Umur;
3). Pekerjaan;
4). Alamat atau domicili
Dalah hal penggugat atau tergugat adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau ada kalanya kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas badan hukum itu.
Penyebutan identitas para pihak dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak (absolute) keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
b.   Dasar-dasar gugatan (Fundamentum Petendi/Posita)
Dasar gugatan (grondslag van de lis ) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang mendalilkan suatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Mengenai Dasar Gugatan, muncul dua teori: Pertama, Substantierings Theori. Teori ini mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut; dan Kedua, Individualisering Theori. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar gugatan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 547 K/Sep/1971, yang menegaskan bahwa, ”....perumusan kejadian materi secara singkat sudah memenuhi syarat....”.
Di dalam praktek posita itu mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Obyek Perkara
2). Fakta-Fakta Hukum
3). Kualifikasi Perbuatan Tergugat
4). Uraian Kerugian
5). Hubungan Posita Dengan Petitum.
c.   Petitum
Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. Disamping itu petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh posita. Posita yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya tuntutan ditolak oleh hakim.
Dalam praktek peradilan, petitum dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1). Petitum Primer;
Petitum ini merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta atau dituntut.
2). Petitum Tambahan;
      Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer. Biasanya dapat berupa:
·   Tuntutan agar tergugat membayar biaya perkara;
·   Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
·   Tuntutan provisionil, yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
·   Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga muratoir;
·   Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom);
3). Petitum Subsider;
Diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)



PERIHAL GUGATAN
A. Pendahuluan
Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak boleh diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi harus diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yg merasa dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan menyampaikan gugatan terhadap  pihak dirasa merugikan.
Perkara perdata ada 2 yaitu :
  1. Perkara contentiosa (gugatan) yaitu perkara yang di dalamnya terdapat sengketa 2 pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata. Artinya ada konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus pengadilan, apakah berakhir dengan kalah memang atau damai tergantung pada proses hukumnya.  Misalnya sengketa hak milik, warisan, dll.
  2. Perkara voluntaria yaitu yang didalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan tapi hanya semata-mata untuk kepentingan pemohon dan bersifat sepihak (ex-parte). Disebut juga gugatan permohonan. Contoh meminta penetapan bagian masing-masing warisan, mengubah nama, pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dll.
Menurut Yahya Harahap gugatan permohonan (voluntair) adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan.
Ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only) :
  • Benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hokum, isalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu.
  • Apa yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan lain.
2.  Permasalahan yang dimohon penyelesaian kepada pengadilan negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (withaout disputes of defferences with another party). Berdasarkan ukuran ini tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang penyelesaian sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.
3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte.
Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex parte. Permohonan untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau yang terlibat dalam permasalahan hokum (involving onle one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu, hanya satu pihak.
Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria dapat ditinjau dari :
1.    Pihak yang berpekara :
  • Contentiosa, pihak yang berperkara  adalah penggugat dan tergugat. Ada juga isitlah turut tergugat (tergugat II,II, IV  , dst). Pihak ini tidak menguasai objek sengketa atau mempunyai kewajiban melaksanakan sesuatu. Namun hanya sebagai syarat lengkapnya pihak dalam berperkara. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohon agar tunduk dan taat dan taat terhadap putusan pengadilan (MA tgl 6-8-1973 Nomor 663 K/Sip/1971 tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972). Sedangkan turut penggugat tidak dikenal dalam HIR maupun praktek.
  • Voluntaria, pihak yang berpekara adalah pemohon.
Istilah pihak pemohon dalam perakra voluntaria diatas,  ini tentunya tidak relevan dengan jika dikaitkan dengan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebab dalam UU tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan perceraian dilakukan oleh suami kepada istrinya sehingga pihak-pihaknya disebut pemohon dan termohon berarti ada sengketa atau konflik . istilah pihak-pihak yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 adalah tentunya suatu pengecualiaan istilah yang dipakai dalam perkara voluntaria.
2.   Aktifitas hakim dalam memeriksa perkara :
  • Contentiosa, terbatas yang dikemukakan dan diminta oleh pihak-pihak
  • Voluntaria : hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas hakim bercorak administratif.
3. Kebebasan hakim
  • Contentiosa : hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah ditentukan undang-undang
  • Voluntaria : hakim memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaannya.
4.  Kekuatan mengikat putusan hakim
  • Contentiosa : hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa serta orang-orang yang telah didengar sebagai saksi.
  • Voluntaria : mengikat terhadap semua pihak.
5.  Hasil akhir perkara :
  • Hasil suatu gugatan (Contentiosa) adalah berupa putusan (vonis)
  • Hasil suatu permohonan (voluntaria) adalah penetapan (beschikking).
B. Pengertian Gugatan
  1. Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Psl 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
  2. Sudikno Mertokusumo,  tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah  main hakim sendiri (eigenrichting).
  3. Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.
C.  Ciri-Ciri Gugatan
  1. Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
  2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
  3. Bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai tergugat.
D.  Bentuk Gugatan
Gugatan diajukan dapat berbentuk :
  1. Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg
  2. Lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg
Tentang gugatan lisan “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan”.(Pasal 120 HIR).
Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973 orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan
Yurisprudensi MA tentang syarat dalam menyusun gugatan :
  1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972)
  2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)
  3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975 dll
  4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971)
Tidak memenuhi syarat diatas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika penggugat/kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke ketua pengadilan. Namun karena sekarang sudah banyak advokat/pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulisa baca.
Dalam hukum acara perdata ada istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak.
  • Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil.
  • Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim dengan melakukan penolakan bermaksud menolah setelah mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini penggugat tidak ada kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat materil  (pembuktian)
E.   Syarat dan Isi Gugatan
Syarat gugatan :
  1. Gugatan dalam bentuk tertulis.
  2. Diajukan oleh orang yang berkepentingan.
  3. Diajukan ke pengadilan yang berwenang (kompetensi)
Isi gugatan :
Menurut Pasal 8 BRv gugatan memuat :
  1. Identitas para pihak
  2. Dasar atau dalil gugatan/ posita /fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum
  3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/tambahan
Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang berpekara yaitu nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Kalau   mungkin juga agama, umur, dan status kawin.
Fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berpekara (penggugat dan tergugat) yang terdiri dari 2 bagian yaitu : 1) uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah  merupakan penjelasan duduk perkaranya, 2) uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang  adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan
Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan pengadilan. Jadi, petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan pengadilan. Karena itu, penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas, kalau tidak bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.
Dalam praktek ada 2 petitum yaitu :
  1. Tuntutan pokok (primair) yaitu tuntutan utama yang diminta
  2. Tuntutan tambahan/pelengkap (subsidair) yaitu berupa tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu (uit vierbaar bij vorraad), tuntutan agar tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom), tuntutan akan nafkah bagi istri atau pembagian harta bersama dalam hal gugatan perceraian, dsb.
F. Teori Pembuatan Gugatan
Ada 2 teori tentang bagaimana menyusun sebuah surat gugatan yaitu :
  1. Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan tidak cukup hanya menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mewaris, hadiah dsb. Teori sudah ditinggalkan
  2. Individualiserings Theorie yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam dalam gugatan cukup disebutkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hhukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, misalnya dalam gugatan cukup disebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu. Dasar terjadinya atau sejarah adanya hak milik atas benda itu padanya tidak perlu dimasukan dalam gugatan karenaini dapat dikemukakan di persidangan pengadilan dengan disertai bukti-bukti. Teori ini sesuai dengan system yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana orang boleh beracara secara lisan, tidak ada kewajiban menguasakan kepada ahli hukum dan hakim bersifat aktif.
G. Pencabutan Gugatan
Pencabutan gugatan dapat terjadi:
  1. Sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini adalah tergugat belum memberikan jawaban.
  2. Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila tergugat sudah memberikan jawaban maka harus dengan syarat disetujui oleh pihak tergugat.
Jika gugatan dicabut sebelum tergugat memberikan jawaban maka penggugat masih boleh mengajukan gugatannya kembali dan jika tergugat sudah memberikan jawaban penggugat tidak boleh lagi mengajukan gugatan karena penggugat sudah dianggap melepaskan haknya.
H. Perubahan Gugatan
Perubahan surat gugatan dapat dilakukan dengan syarat :
  1. Tidak boleh mengubah kejadian materil yang menjadi dasar gugatan (MA tanggal 6 Maret 1971 Nomor 209 K/Sip/1970.
  2. Bersifat mengurangi atau tidak menambah tuntutan.
Contoh ad. 1. Penggugat semula menuntut agar tergugat membayar hutangnya berupa sejumlah uang atas dasar “perjanjian hutang piutang”, kemudian diubah atas dasar “perjanjian penitipan uang penggugat pada tergugat”. Perubahan seperti ini tidak diperkenankan.
Contoh ad. 2. Dalam gugatan semula A menutut B agar membayar hutangnya sebesar Rp. 1.000.000. Kemudian A mengubah tuntutannya  agar B membyara hutangnya sebesar 1.000.000 ditambah Bungan 10 % setiap bulan. Perubahan bentuk seperti ini tidak dibenarkan.
Tentang perubahan atau penambahan gugatan tidak diatur dalam HIR/Rbg namun dalam yurisprudensi MA dijelaskan bahwa perubahan atau penambahan gugatan diperkenankan asal tidak merubah dasar gugatan (posita) dan tidak merugikan tergugat dalam pembelaan kepentingannya (MA tgl 11-3-1970 Nomo 454 K/Sip/1970, tanggal 3-12-1974 Nomor 1042 K/Sip/1971 dan tanggal 29-1-1976 Nomor 823 K/Sip/1973). Perubahan tidak diperkenankan kalau pemeriksaan hamper selesai. Semua dali pihak-pihak sudah saling mengemukakan dan pihak sudah memohon putusan kepada majelis hakim (MA tanggal 28-10-1970 Nomo 546 K/Sip/1970).
Kesempatan atau waktu melakukan perubahan gugatan dapat dibagi menjadi 2 tahap :
  1. Sebelum tergugat mengajukan jawaban dapat dilakukan tanpa perlu izin tergugat.
  2. Sesudah tergugat mengajukan jawaban harus dengan izin tergugat jika tidak di setujui perubahan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan :
a)   Tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan terutama tergugat.
b)   Tidak menyimpang dari kejadian materil sebagai penyebab timbulnya perkara.
c)   Tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.
I.   Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan
Penggabungan / kumulasi gugatan ada 2 yaitu :
  1. Kumulasi subjektif yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg) adalah penggugat atau beberapa penggugat melawan (menggugat) beberapa orang tergugat, misalnya Kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang debitur (B, C, D) yang berhuntang secara tanggung renteng (bersama). Atau beberapa penggugat menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwan tuntutan tersebut harus ada hubungan hokum yang erat satu tergugat dengan tergugat lainnya (koneksitas). Kalau tidak ada hubunganya harus digugat secara tersendiri.
  2. Kumulasi objektif yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan), misalnya A menggugat B selain minta dibayar hutang yang belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang tadinya telah dipinjam.
Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
  1. Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
  2. Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
  3. Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan.
Tujuan penggabungan gugatan :
  1. Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/bertentangan.
  2. Untuk kepentingan beracara yang bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan.
J.  Kompetensi atau Kewenangan Mengadili
Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan.
Kompetensi ada 2 yaitu :
  1. Kompetensi mutlak/absolut yaitu dilihat dari beban tugas masing-masing badan peradilan. Di Indonesia ada beberapa badan peradilan, misalnya peradilan umum (pengadilan negeri), peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, peradilan niaga (kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual), pengadilan hubungan industrial (perburuhan), peradilan HAM di Indonesia. Jika ada suatu sengketa dibidang tanah, maka yang berwenang (kompetensi asbulut) adalah pengadilan negeri. Atau sengketa warisan bagi orang islam maka yang berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan agama.
  2. Kompetensi relatif/nisbi yaitu dari wilayah hukum masing-masing peradilan. Wilayah hukum peradilan biasanya berdasarkan pada wilayah dimana tempat tinggal tergugat,  misalnya sengketa warisan orang islam tergugatnya berada di Tembilahan (Inhil) maka komptensi relatifnya adalah pengadilan agama Tembilahan. Lain hal jika alamat tergugat berada di kabupaten Rengat, maka kompetensi relatifnya adalah pengadilan agama Rengat. Dalam perkara cerai talak, komptensi relatifnya berdasarkan dimana alamat termohon. Tentang kompetensi relative, hal ini disebutkan dalam Pasal 118 HIR/142 RBg kompetensi relatif adalah pengadilan negeri di tempat tinggal tergugat (asas Actor Sequitor Forum Rei).
Pasal 118 HIR/142 RBg mengatur juga pengecualiannya yaitu :
  1. Diajukan di tempat kediaman tergugat yang terakhir yang sebenarnya apabila tidak diketahui tempat tinggalnya.
  2. Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
  3. Satu tergugat sebagai yang berhutang dan satu lagi penjamin diajukan di tempat tinggal yang berhutang, apabila tempat tinggal tergugat (berhutang) dan tempat turut tergugat (penjamin) berbeda maka diajukan dimana tempat tinggal tergugat.
  4. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  5. Jika objeknya benda tetap diajukan di tempat benda tetap itu berada.
  6. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih (domisili hukum) mka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut (pilihan domisili hukum), namun jika penggugat mau memilih berdasarkan tempat tinggal tergugat, maka gugatan juga dapat diajukan di tempat tinggal tergugat.
K.  Para Pihak Dalam Berperkara
Ada 2 pihak yaitu penggugat dan tergugat. Pihak ini dapat secara langsung berperkara di pengadilan dan dapat juga diwakilkan baik   melalui kuasa khusus (pengacara) maupun kuasa insidentil (hubungan keluarga).
Untuk ini dapat dibedakan atas :
  1. Pihak materil : pihak yang  mempunyai kepentingan langsung  yaitu penggugat dan tergugat. Sering juga disebut dengan penggugat in person dan tergugat in person.
  2. Pihak formil : mereka yang beracara di pengadilan, yaitu penggugat, tergugat dan kuasa hukum.
  3. Turut tergugat : pihak yang tidak menguasai objek perkara tetapi akan terikat dengan putusan hakim.
Contoh perkara sengketa tanah antara A (penggugat) dengan B (Tergugat), dimana B mengusai tanah milik A dan tanah tersebut disertifikat, dimana B mengusai tanah milik A dan tanah tersebut disertifikatkan oleh C (BPN), maka A dan B disebutkan oleh C (BPN), maka A dan B disebut pihak formil/materil dan C adalah turut tergugat.
L.  Perwakilan dalam Perkara Perdata
Dalam sistim HIR/RBg beracara di muka pengadilan dapat diwakilkan kepada kuasa hukum dengan syarat dengan surat kuasa. Menurut UU No 18 Tahun 2003 tentang advokat , kuasa hukum itu diberikan kepada advokat.
Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan.
M.  Surat Kuasa
Surat kuasa adalah  suatu dokumen di mana isinya seseorang menunjuk dan memberikan wewenang pada orang lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas namanya. Menurut Pasal 1792 KUHPerdata, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Macam-macam surat kuasa :
  1. Surat kuasa umum yaitu surat yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut hanya untuk hal-hal yang bersifat umum saja, artinya untuk segala hal atau segala perbuatan dengan titik berat pengurusan. Surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa.
  2. Surat kuasa khusus yaitu kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku untuk hal-hal tertentu saja atau lebih (1795 KUHPerdata). Dengan surat kuasa khusus penerima kuasa dapat mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 123 HIR. Dengan demikian dalam beracara perdata digunakan surat kuasa khusus.
Isi Surat Kuasa Khusus :
  1. Identitas pemberi kuasa dan penerima kuasa yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat atau tempat tinggal.
  2. Apa yang menjadi pokok perkara, misalnya perkara perdata jual beli sebidang tanah ditempat tertentu melawan pihak tertentu dengan nomor perkara, pengadilan tertentu.
  3. Batasan isi kuasa yang diberikan. Dijelaskan tentang kekhususan isi kuasa. Diluar kekhususan yang diberikan penerima kuasa tidak mempunyai kewenangan melakukan tindakan hukum, termasuk kewengan sampai ke banding dan kasasi.
  4. Hak subsitusi/pengganti. Ini penting manakala penerima kuasa berhalangan sehingga ia berwenang menggantikan kepada penerima kuasa lainnya, sehingga sidang tidak tertunda dan tetap lancar.
Contoh kuasa khusus :
SURAT KUASA
Yang bertanda tangan dibawah ini :
N a m a                : FIRDAUS Bin DAUS
TTL / Umur         : Makasar, 26 Juni 1975 / 29 tahun
Pekerjaan           : Tani
Jenis kelamin     : Laki-laki
Kebangsaan       : WNI
Alamat                 : Jalan Pelita jaya No. 20 Tembilahan Inhil Riau
Dengan ini menerangkan memberikan kuasa pekara No.… (tulis nomor perkara jika perkara sudah masuk dipersidangan) kepada :
N a m a                : ABDUL HADI HASIBUAN, SH
Pekerjaan           : Pengacara / Advokat
Berkantor jalan Subrantas No.  09 Tembilahan.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi mewakili sebagai Penggugat, mengajukan gugatan …….terhadap H. SINAGA Bin H. LUBIS di Pengadilan Negeri Tembilahan.
Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan Negeri Temvbilahan, menghadapi instansi-instansi, jawabatan-jawatan, hakim, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, menerima, mengajukan kesimpulan-kesimpulan, meminta siataan, mengajukan dan menolak-saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi, meminta atau memberikan segala keterangan yang diperlukan, dapat mengadakan perdamaian  dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa, menerima uang pembayaran dan memberikan kwitansin tanda penerimaan dan memberikan kwitansi tanda penerimaan uang, meminta penetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakukan peneguran-peneguran, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna sehubungan dengan menjalankan perkara serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/wakil guna kepentingan tersbeut diatas, juga mengajukan permohonan banding atau kontra, kasasi atau kontra.
Kuasa ini berikan dengan berhak mendapatkan honorarium (upah) dan retensi (hak menahan barang milik orang lain) serta dengan hak substitusi (melimpahkan) kepada orang lain baik sebagian maupun seluruhnya.
Tembilahan,                   2010
Penerima Kuasa                                                               Pemberi Kuasa
Materi 6000
ABDUL HADI HASIBUAN, SH                                     FIRDAUS BIN DAUS

Bentuk Gugatan menurut HIR


Dalam Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dikenal 2 (dua) macam bentuk surat gugatan yaitu;
1. Gugatan Tertulis
Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan surat gugatan adalah; (i) penggugat dan atau (ii) kuasanya.
2. Gugatan Lisan
Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.


Formulasi Surat Gugatan


Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan Gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan melalui pengadilan. Bentuk Gugatan dapat diajukan secara lisan atau secara tertulis. Gugatan itu harus diajukan oleh orang atau badan hukum yang berkepentingan, dan tuntutan hak di dalam Gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan.
Ciri-ciri Gugatan adalah:
  1. Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan berupa sengketa.
  2. Sengketa terjadi di antara para pihak, minimal antara 2 (dua) pihak.
  3. Bersifat partai (party) dengan kedudukan, pihak yang satu berkedudukan sebagai Penggugat, dan pihak lain berkedudukan sebagai Tergugat.
Mengenai persyaratan tentang isi daripada Gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv Pasal 8 angka 3 yang mengharuskan adanya pokok Gugatan yang meliputi:
1. Identitas para pihak.
Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari Penggugat dan Tergugat, yaitu Nama, pekerjaan, tempat tinggal/domisili.
2. Dalil-dalil konkret tentang adanya peristiwa dan hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah Fundamental Petendi.
Fundamental Petendi adalah dalil-dalil hukum konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dan alasan dari tuntutan.
Fundamental Petendi terbagi atas 2 (dua) bagian:
  1. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
  2. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Tentang uraian yuridis tersebut tidak harus menyebutkan peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan hanya hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan yang memberikan gambaran mengenai fakta materiil.
3. Tuntutan atau Petitum, harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan Gugatan.
Tuntutan atau Petitum adalah segal hal yang dimintakan atau dimohonkan oleh Penggugat agar diputuskan oleh majelis hakim. Jadi, Petitum itu akan terjawab di dalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya, Petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Apabila Petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya Petitum tersebut.
Demikian pula Gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut obscuur libel (Gugatan yang tidak jelas/ Gugatan kabur), yang berakibat tidak diterimanya atau ditolaknya Gugatan tersebut.
Petitum terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
 1. Petitum Primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
2. Petitum Tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
Petitum Tambahan dapat berwujud:
a.  Tuntutan agar Tergugat di hukum untuk membayar biaya perkara.
b.  Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Di dalam praktek, tuntutan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan, akan tetapi Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secra mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c.  Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) berupa sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom).

3. Petitum Subsidiari atau pengganti. Biasanya berisi kata-kata: “apabila Majelis Hakim perkara perpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).”
Jadi, maksud dan tujuan tuntutan subsidiair adalah apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan atau kebijaksaaan hakim berdasarkan keadilan.

Perbedaan Prinsip antara Permohonan dengan Gugatan


Sering kita dengar dan jumpai istilah permohonan dan gugatan di dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia. Namun, bagi sebagian besar orang awan tidak mengerti perbedaan antara keduanya karena kedua istilah tersebut sangat berkaitan dengan materi yang diajukan untuk dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan.
1. Permohonan
Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.
Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah:
  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only);
  2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party);
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).
Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”). Meskipun UU 14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair yang merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.
Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikking ; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalan gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).

2. Gugatan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa penetapan dapat disebut dengan gugatan voluntair, tetapi pengertian ini berbeda dengan pengertian gugatan pada umumnya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dalam perundang-undangan, yaitu gugatan yang dimaksudkan adalah gugatan contentiosa atau biasa disebut dengan gugatan perdata atau gugatan saja.
Pengertian gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Ciri khas gugatan adalah:
  1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, diffirences).
  2. Terjadi sengketa di antara para pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.
  3. Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
  4. Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
  5. Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.
Bentuk gugatan ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan lisan dan gugatan tertulis. Dasar hukum mengenai gugatan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) juncto Pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) untuk gugatan tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan tetapi yang diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.
Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir), yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membantah dalil-dalil penggugat dan sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat. Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai akhir, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan atas gugatan tersebut.

Prinsip Hukum Pemberian Kuasa


Pengaturan mengenai kuasa pada prinsipnya  diatur dalam Bab XVI, Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), sedangkan aturan khususnya diatur pada Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dan Reglement voor de buitengewesten (“RBg”). Oleh karena itu, perlu dipahami beberapa prinsip hukum pemberian kuasa. Berikut di bawah ini terdapat beberapa prinsip hukum pemberian kuasa yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain:
1. Penerima Kuasa Langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa.
Pemberian kuasa mengatur hubungan hukum antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, dimana pemberi kuasa langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada penerima kuasa untuk menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
-          Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
-          Tindakan penerima kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan penerima kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
-          Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan penerima kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
2. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian kuasa adalah konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, serta berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka. Pasal 1792 KUH Perdata dan Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata pada pokoknya menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan.
3. Bersifat Garansi-Kontrak
Kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
(i)       sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
(ii)     apabila penerima kuasa bertindak melampaui batas mandat, maka tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat yang diberikan, sedangkan pelampauan itu menjadi tanggung jawab pribadi penerima kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang diatur dalam Pasal 1806 KUH Perdata.

Surat Kuasa Khusus


Latar Belakang
Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, apabila seseorang ingin mengajukan suatu gugatan perdata di pengadilan negeri mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan prestasi dalam perjanjian atau pun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum terhadap dirinya, dan dia bermaksud menunjuk seorang atau lebih advokat sebagai penerima kuasanya dalam mewakili dan/atau memberikan bantuan hukum pada proses pemeriksaan perkara di persidangan, maka orang tersebut harus memberikan kuasa kepada advokat yang ditunjuk dalam bentuk Surat Kuasa Khusus yang dibuat dan ditandatangani serta diperuntukkan khusus untuk itu. Hal pemberian Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus yang demikian ini, berlaku pula bagi pihak yang digugat oleh pihak lain, yang pada akhirnya diwakili oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa.
Surat Kuasa Khusus
Bentuk kuasa yang sah di depan pengadilan untuk mewakili kepentingan pihak yang berperkara , di atur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR, yaitu :
1. Kuasa secara Lisan;
Kuasa ini dinyatakan secara lisan oleh Penggugat di hadapan Ketua Pengadilan Negeri, dan pernyataan pemberian kuasa secara lisan tersebut dinyatakan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
2. Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan;
Penggugat dalam surat gugatannya, dapat langsung mencantumkan dan menunjuk Kuasa Hukum yang dikehendakinya untuk mewakili dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam praktek, cara penunjukan seperti itu tetap saja didasarkan atas Surat Kuasa Khusus yang telah dicantumkan dan dijelaskan pada surat gugatan.
3. Surat Kuasa Khusus.
Pengertian dan definisi dari Surat Kuasa Khusus tidak di atur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) maupun HIR, akan tetapi dapat diikhtisarkan esensi dari Surat Kuasa Khusus yaitu : (i) yang meliputi pencantuman kata-kata “Khusus” dalam surat kuasa, (ii) yang berisikan pengurusan kepentingan tertentu pemberian kuasa yang dibuat dan ditandatangani khusus untuk itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1795 KUH Perdata.
Berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di pengadilan negeri oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa, maka hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Kuasa Hukum  dalam pemberian Surat Kuasa Khusus adalah :
  1. Identitas para pihaknya;
  2. Pokok dan obyek sengketanya;
  3. Wilayah kewenangan pengadilan tempat gugatan diajukan;
  4. Penyebutan kata-kata “KHUSUS” dan klausul khususnya;
  5. Hak-hak penerima Kuasa, yaitu hak substitusi dan hak retensi;
  6. Tanggal dibuatnya Kuasa Khusus;
  7. Tanda tangan para pihaknya, sebagai persetujuan.
Agar tidak terjebak kepada pengertian antara Kuasa Umum dengan Kuasa Khusus, maka berikut dibawah ini terdapat bagan perbedaan antara keduanya:
Perbedaan Surat Kuasa Khusus Surat Kuasa Umum
Dasar Hukum Pasal 1795 KUH Perdata Pasal 1796 KUH Perdata
Judul Mencantumkan kata-kata “Surat Kuasa Khusus” Mencantumkan kata-kata “Surat Kuasa Umum”
Isi Meliputi 1 (satu) kepentingan tertentu atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa Meliputi perbuatan- perbuatan segala pengurusan kepentingan dari pemberi kuasa, misalnya : memindah tangankan benda, meletakan Hak Tanggungan, membuat perdamaian.



ISTILAH-ISTILAH DALAM GUGATAN PERDATA


Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:
1. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan “Para Penggugat”.
2. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.
3. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.
Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim, pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.
4. Penggugat/Tergugat Intervensi
Pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun sebagai Tergugat Intervensi.
Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil. Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud, yaitu:
a)        Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
b)        Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.
Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.
c)         Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.
Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara pokok.
Dalam suatu gugatan perdata, orang yang bertindak sebagai Pengugat harus orang yang memiliki kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga dengan menentukan pihak Tergugat, haruslah mempunyai hubungan hukum dengan pihak Penggugat dalam perkara gugatan perdata yang diajukan. Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat maupun Tergugat dapat mengakibatkan gugatan tersebut mengandung cacat formil. Cacat formil dalam menentukan pihak Penggugat maupun Tergugat dinamakan Error in persona.


TEKNIK PEMBUATAN SURAT GUGATAN ATAU SURAT PERMOHONAN DAN CARA CARA PEMBUKTIAN DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Nama : Umi Khoirun Nisa’
NIM : 1000080010
Jurusan : Syari’ah


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH SURAKARTA

A. Pendahuluan


Dalam menjalani aktifitas sehari-hari, seringkali kita mengalami kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain, baik dalam kegiatan bisnis, maupun saat berinteraksi dalam hidup bermasyarakat. Pada prinsipnya semua orang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan apabila kepentingannya dirugikan. Sayangnya masih banyak yang tidak memahami bagaimana cara mengajukan gugatan tersebut. Sementara untuk menyewa seorang Lawyer (Pengacara), kadang muncul kekhawatiran akan dibohongi dan malah menghabiskan uang dan harta yang dimiliki. Nah, untuk memahami tata cara mengajukan gugatan di Pengadilan sekaligus menghapus kekhawatiran tadi, berikut adalah tata cara yang berlaku di Pengadilan Umum disertai biaya perkara. Pada setiap Pengadilan biasanya memiliki aturan tersendiri mengenai besaran biaya, namun perbedaannya tidak terlalu signifikan.
Dalam makalah ini saya akan menyampaikan mengenai teknik pembuatan Surat Gugatan atau surat permohonan serta cara cara pembuktiannya.
B. Teknik Pembuatan surat Gugatan atau surat permohonan
UNSUR-UNSUR DALAM SURAT GUGATAN

1. IDENTITAS
2. POSITA / FUNDAMENTUM POTENDI
Uraian tentang duduk perkara dan dasar-dasar hukum yang mengatur Dan yang somasi-somasi telah dilakukan Ditunjukkan kesalahan/ pelanggaran hukum tergugat Bahwa tergugat layak digugat dan diperiksa perkaranya oleh hakim
3. PETITUM
Isi gugatan yang diminta untuk diputuskan oleh hakim
SuratGugatan :
Surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung sengketa dan sekaligus landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.

SuratPermohonan:
Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa.

Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis. Bagi penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama.

Ketua Pengadilan Agama kemudian memerintahkan kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat atau pemohon, maka gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh Ketua atau hakim yang menerimanya,didasarkan pada ketentuan atau pasal 120 HIR.
Gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh penggugat atau pemohon (pasal 118 ayat (1) HIR). Jika penggugat atau pemohon telah menunjuk kuasa khusus, maka surat gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh kuasa hukumnya (pasal 123 HIR).

.PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT PERTAMA (Pengadilan Negeri)
• Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat pada Pengadilan Negeri (bagian Perdata) dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi, antara lain : Surat Permohonan / Surat Gugatan dan Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat/Lawyer).
• Surat Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
• Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir. Khusus bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat. Bagi yang tidak mampu, maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,- dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu akan berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
• Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
• Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan.
• Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri setempat yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
• Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT BANDING (Pengadilan Tinggi)
• Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat (Pada Tingkat Pertama), dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan Banding.
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat).
3. Memori Banding.
• Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
• Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
• Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan Banding.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage). Setelah menerima Surat Pemberitahuan, Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori Banding.
• Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh Juru Sita Pengganti.

PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT KASASI (Mahkamah Agung)
• Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Permohonan Kasasi kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan Kasasi.
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat).
3. Memori Kasasi.
• Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
• Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
• Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan Kasasi.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage). Sama seperti pada tingkat Banding, Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori Kasasi.
• Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
BIAYA PERKARA
A. Biaya Proses :
1. Panjar biaya Gugatan Rp. 650.000,-
2. Panjar biaya Permohonan Rp. 250.000,-
3. Panjar biaya Sita (apabila memohon Pengadilan untuk melakukan sita) Rp. 1.000.000,-
4. Panjar biaya Banding Rp. 600.000,-
5. Panjar biaya Kasasi Rp. 1.000.000,-
6. Panjar biaya Peninjauan Kembali (PK) Rp. 3.000.000,-
7. Panjar biaya Eksekusi Riil Rp. 7.500.000,-
8. Panjar biaya Eksekusi Lelang Rp. 14.000.000,-
9. Panjar biaya Konsinyasi Rp. 400.000,-
10. Untuk biaya panggilan / pemberitahuan (Dalam Kota Rp. 50.000,- dan Luar Kota Rp. 100.000,-)
11. Untuk biaya Pemeriksaan setempat Rp. 500.000,-
12. Untuk biaya sumpah per berkas perkara Rp. 30.000,-
13. Fotokopi salinan putusan per lembar Rp. 200,-
B. Biaya Kepaniteraan :
Besaran biaya Kepaniteraan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor. 53 tahun 2008 tentang Jenis Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya.
Sedangkan mengenai bagaimana cara membuat gugatan, memori banding dan memori kasasi, serta proses beracaranya akan kami ulas dalam pembahasan tersendiri. Semoga ini bisa membantu memberikan pemahaman permasalahan hukum.


TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PERADILAN PERDATA:

A. TAHAP ATMINISTRATIF
a. Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang
Menurut pasal 118 HIR, ditentukan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri yang berhak untuk memeriksa perkara adalah:
(1) Pengadilan Negeri dimana terletak tempat diam (domisili) Tergugat.
(2) Apabila Tergugat lebih dari seorang, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri di tempat diam (domisili) salah seorang dari Tergugat tersebut. Atau apabila terdapat hubungan yang berhutang dan penjamin, maka tuntutan disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang berhutang atau salah seorang yang berhutang itu.
(3) Apabila Tergugat tidak diketahui tempat domisilinya atau Tergugat tidak dikenal, maka tuntutan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili sang Penggugat atau salah seorang Penggugat. Atau apabila tuntutan tersebut mengenai barang tetap, maka tuntutan dimasukkan ke dalam Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya barang tersebut terletak.
(4) Tuntutan juga dapat dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang telah disepakati oleh pihak Penggugat (Domisili pilihan)

b. Penggugat membayar biaya perkara (Down Payment)
c. Penggugat mendapatkan bukti pembayaran perkara,
d. Penggugat menerima nomor perkara (roll).

Hak dan Kewajiban Tergugat/Penggugat:

Dalam hal pemahaman bahasa:
Pasal 120: Bilamana Penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan itu.
Pasal 131:
(1) Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini mesti disebutkan dalam pemberitahuan pemeriksaan), maka surat yang dimasukkan oleh pihak-pihak dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang dipakai dalam surat itu diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua dalam bahasa dari kedua belah pihak.
(2) Sesudah itu maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu memakai seorang juru bahasa.
(3) Jika juru bahasa itu bukan berasal dari juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, maka harus disumpah terlebih dahulu di hadapan ketua.
Ayat ketiga dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa.

Dalam hal gugatan balik: (Rekonvensi)
Pasal 132 a:
(1) Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan/gugat balik, kecuali:
1e. kalau penggugat mengajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2e. kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan
3e. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
(2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.

Dalam hal kewenangan Pengadilan:
Pasal 134: Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya.

Dalam hal pembuktian:
Pasal 137: Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya surat mana diserahkan kepada hakim untuk keperluan itu.

Dalam hal berperkara tanpa biaya: (prodeo)
Pasal 237: Orang-orang yang demikian, yang sebagai Penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya.
Pasal 238:
(1) Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada waktu memasukkan surat gugatan atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 dan 120.
(2) Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan jawabnya yang dimaksudkan pada Pasal 121.
(3) Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh Kepala polisi pada tempat tinggal si pemohon yang berisi keterangan yang menyatakan bahwa benar orang tersebut tidak mampu.

Penentuan hari sidang:
Pasal 122:
Ketika menentukan hari persidangan maka ketua menimbang jauh letaknya tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak daripada tempat pengadilan negeri bersidang, dan dalam surat perintah sedemikian, maka waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan ditetapkan, kecuali dalam hal yang perlu sekali, tidak boleh kurang dari tiga hari pekerjaan.
Kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi pada sidang pertama:

1.Penggugat hadir, tergugat tidak hadir
Pasal 125
(1) : jikalau si Tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tak hadir (Putusan Verstek) , kecuali jika tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.

2.. Penggugat tidak hadir, Tergugat hadir
Pasal 124: jikalau si Penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya tersebut, memasukkan tuntutannya sekali lagi.

3. Kedua belah pihak tidak hadir
Ada anggapan bahwa demi kewibawaan badan peradilan serta agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut dan tidak berketentuan, maka dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.

4. Kedua belah pihak hadir.
Apabila kedua belah pihak hadir, maka sidang pertama dapat dimulai dengan sebelumnya hakim menganjurkan mengenai adanya perdamaian di antara kedua belah pihak tersebut.
Hak dan Kewajiban Hakim
Hak:
• Dalam hal pemberian nasehat
Pasal 119: Ketua Pengadilan Negeri berkuasa memberi nasehat dan pertolongan kepada Penggugat atau wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya.
Pasal 132: Ketua berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan kepada kedua belah pihak dan akan menunjukan supaya hukum dan keterangan yang mereka dapat dipergunakan jika ia menganggap perlu supaya perkara berjalan dengan baik dan teratur.
Dalam hal kewenangan hakim:
Pasal 159 ayat (4): Hakim berwenang untuk menolak permohonan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan bahwa hal tersebut tidak diperlukan.
Pasal 175: Diserahkan kepada timbangan dan hati-hatinya hakim untuk menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat di luar hukum.
Pasal 180
(1) Ketua PN dapat memerintahkan supaya suatu keputusan dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan atau bandingnya, apabila ada surat yang sah, suatu tulisan yang menurut aturan yang berlaku yang dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan yang pasti, demikian juga dikabulkan tuntutan dahulu, terlebih lagi di dalam perselisihan tersebut terdapat hak kepemilikan.
(2) Akan tetapi dalam hal menjalankan terlebih dahulu ini, tidak dapat menyebabkan sesorang dapat ditahan.
Kewajiban:
• Dalam hal pembuktian:
Pasal 172: Dalam hal menimbang harga kesaksian, hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi; cocoknya kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselsiihkan; tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan duduk perkara dengan cara begini atau begitu; tentang perkelakuan adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi-saksi itu dapat dipercaya benar atau tidak.
Pasal 176: Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan masksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti dengan kenyataan yang dusta.
Dalam hal menjatuhkan putusan:
Pasal 178
(1) Hakim karena jabatannya, pada waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
(2) Hakim wajib mengadili atas seluruh bagian gugatan.
(3) Ia tidak diijinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat.
Dalam hal pemeriksaan perkara di muka pengadilan:
Pasal 372:
(1) Ketua-ketua majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan pemusyawaratan.
(2) Dipikulkan juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban baik dalam persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk keperluan itu, harus dilakukan dengan segera dan seksama.
UU No. 14 Tahun 1970
Tugas Hakim:
Pasal 2 ayat (1): Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Pasal 5 ayat (2): Dalam perkara perdata hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 14 ayat (1): Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan ia wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Upaya Hukum:
Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.

1.Upaya Hukum Biasa:
Upaya hukum ini pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Upaya hukum ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.
Upaya hukum biasa ini terbagi dalam:

a. Perlawanan; yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding.

b. Banding; yaitu pengajuan perkara kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan.

c. Prorogasi; yaitu mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi.

d. Kasasi; yaitu tindakan MA untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi. Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi adalah:
1). Tidak berwenang atau emlampaui batas wewenang,
2). Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
3). Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

2. Upaya Hukum Luar Biasa
• Peninjauan Kembali; yaitu peninjauan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan syarat terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh UU.
• Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga; yaitu perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan pihaknya. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.
PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA
DI PERADILAN AGAMA
PERKARA DI TINGKAT PERTAMA
1. PERKARA CERAI TALAK
PROSEDUR :
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau kuasanya :
1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 118HIR, 142 R.Bg jl. Pasal 66 UU nomor 7 tahun 1989);
b. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syariah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIP, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989);
c. Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat pemohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan termohon
2. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (Pasal 66 ayat (2) UU nomor 7 tahun 1989);
b. Bila termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan harud diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU nomor 7 tahun 1989);
c. Bila termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU nomor 7 tahun 1989);
d. Bila pemohon dan termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU nomor 7 tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman pemohon dan termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU nomor 7 tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIP, 273 R.Bg.).
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah syariah;
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan;
3. a. Tahap persidangan:
1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU nomor 7 tahun 1989);
2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA nomor 2 tahun 2003);
3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIP, 158 R.Bg).
b. Putusan pengadilan agama/ mahkamah syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
1). Permohonan dikabulkan. Apabila termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
2). Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3). Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan agama/mahkamah syariah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan agama/mahkamah syariah memanggil pemohon dan termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU nomor 7 tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU nomor 7 tahun 1989).
PERKARA CERAI GUGAT
Langkah-langkah yang harus dilakukan penggugat (isteri) atau kuasanya:
1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 118HIR, 142 R.Bg jl. Pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syariah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 119 HIP, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989);
c. Surat Gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan tergugat.
2. Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989);
b. Bila penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989 jo. Pasal 32 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974));
c. Bila penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU nomor 7 tahun 1989);
d. Bila penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU nomor 7 tahun 1989).
3. Gugatan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman penggugat dan tergugat;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIP, 273 R.Bg.).
6. Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syariah.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama/mahkamah syariah;
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan;
3. a. Tahap persidangan:
1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU nomor 7 tahun 1989);
2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA nomor 2 tahun 2003);
3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIP, 158 R.Bg).
b. Putusan pengadilan agama/ mahkamah syariah atas gugatan perceraian sebagai berikut :
1). Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
2). Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3). Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera pengadilan agama/mahkamah syariah berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak (Pasal 84 ayat (4) UU nomor 7 tahun 1989).
PERKARA GUGATAN LAIN
PROSEDUR
Langkah-langkah yang harus dilakukan penggugat:
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
2. Gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
b. Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
c. Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah, yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa pengadilan agama/mahkamah syariah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu pengadilan agama/mahkamah syariah yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg.).
3. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.).
4. Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg.).
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
1. Penggugat atau kuasanya mendaftarkan gugatan ke pengadilan agama/mahkamah syariah.
2. Penggugat dan tergugat dipangil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan.
3. a. Tahapan persidangan:
1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (PERMA nomor 2 tahun 2003).
3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dak kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian), tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 HIR, 158 R.Bg.).
b. Putusan pengadilan agama/mahkamah syariah atas gugatan tersebut sebagai berikut :
1). Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
2). Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3). Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR, 196 R.Bg.).
5. Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang memutus perkara tersebut.



Cara Menyusun Surat Gugatan Perdata Di Peradilan Di Negara Indonesia

Pendahuluan
- Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan.
- Gugatan dapat diajukan secara lisan (ps 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1) atau tertulis (ps 120 HIR 144 ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta bantuan Ketua Pengadilan Negeri
- Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan
- Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kabenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan
- Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv Psl 8 No.3 yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
1) Identitas dari pada para pihak
2) Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi
3) Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan

Identitas Para Pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah cirri-ciri daripada penggugat dan tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal.

Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi adalah dalil-dalil posita konkret tentang adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan daripada tuntutan
1. Fundamentum petendi ini terdiri dari dua bagian :
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
2. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara tetang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yurudis daripada tuntutan
3. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu
4. Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada bebarapa pendapat :
a. Menurut Subtantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timulnya peristiwa hukum tersebut misalnya ; bagi penggugat yang menuntut miliknya, selain menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal-asul pemilik itu.
b. Menurut individualiseringtheori sudah cukup dengan disebutkannya kajadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal tersebut dapat dikemukakan didalam sidang-sidang yang akan datang dengan disertai pembuktian.
c. Menurut putusan Mhkamah agung sudah cukup dengan disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat.

Petitum atau Tuntutan
1. Petitum atau Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas
2. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat barakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut abscuur libel ( guagatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak oleh pihak tergugat sehungga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
3. Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah :
a. Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
b. Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
c. Tuntutan subsidiair atau pengganti.
4. Meskipun tidak selalu tapi seringkali di samping tuntutan pokok masih diajukan tuntutan tamabahan yang merupakan pelengkap daripada tuntutan pokok.
5. Biasanya sebagai tututan tambahan berwujud :
a. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
b. Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Didalam praktik permohonan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan. Namun demikian Mahkamah Agung mengintruksikan agar hakim jangan secara mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) apabila tuntutan yang demikian oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk mambayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan
e. Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan nafka bagi istri atau pembagian harta.
6. Mengenai tuntutan subsidiair selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidiair itu berbunyi “ agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “ mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono)
Jadi tujuan daripada tuntutan subsidiair adalah agar apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebesan hakim serta keadilan.
7. Didalam berpekara di Pengadilan kita mengenal gugatan biasa/ pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte.
8. Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan dengan catatan :
a. Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan.
b. Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.



Larangan Mengajukan Gugatan Rekonvensi


Pasal 132a ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”), mengatur bahwa tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi dalam setiap perkara. Akan tetapi, ternyata pasal tersebut mencantumkan pengecualian, berupa larangan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dalam perkara tertentu. Larangan pengajuan gugatan rekonvensi yaitu:
1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan status kualitas
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi penggugat, sedangkan dia tengah bertindak sebagai penggugat mewakili kepentingan pemberi kuasa (principal). Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C tentang sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam peristiwa semacam ini undang-undang melarang atau tidak membenarkan C mengajukan gugatan rekonvensi kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa ini harus diajukan oleh C secara tersendiri kepada A melalui prosedur gugatan perdata biasa.
 2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 2 HIR, namun larangan dalam pasal ini hanya dapat diterapkan sepanjang mengenai pelanggaran yurisdiksi absolut, tetapi dapat ditolerir apabila yang dilanggar adalah kompetensi relatif. Contohnya, A menggugat B atas sengketa jual beli tanah. Terhadap gugatan tersebut, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa hibah bagi yang beragama Islam menjadi yurisdiksi absolut lingkungan peradilan agama.
Gugatan rekonvensi yang melanggar kompetensi relatif dapat dibenarkan demi tegaknya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Contohnya, A berdomisili di Bogor mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung kepada B yang bertempat tinggal di Bandung. Dalam kasus tersebut, B dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi kepada A meskipun hal ini melanggar kompetensi relatif berdasar asas actor sequitur forum rei Pasal 118 ayat (1) HIR, yang menggariskan, gugatan harus diajukan di daerah hukum Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Berarti secara konvensional, jika B hendak menggugat A sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, harus diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor. Akan tetapi untuk tegaknya pelaksanaan sistem peradilan yang efektif dan efisien, B dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi di Pengadilan Negeri Bandung, meskipun terjadi pelanggaran yurisdiksi relatif.
3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi
Larangan gugatan rekonvensi yang menyangkut sengketa perlawanan terhadap eksekusi putusan, contohnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan perlawanan tersebut, pihak terlawan tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi. Alasan larangan tersebut, gugatan pelawan terhadap putusan eksekusi dianggap sebagai perkara yang sudah selesai diputus persengketaannya.
Tetapi Pasal 379 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), menyatakan tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugatan perlawanan, baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak ketiga) atau partay verzet (perlawanan para pihak), hal ini berarti hukum memperbolehkan terlawan mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan adanya kontroversi dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke 3 (tiga) HIR dengan Pala 379 Rv, dalam praktik terdapat acuan penerapan yaitu terhadap perlawanan berbentuk derden verzet yang mengandung dalil dan argumentasi lain yang masih berkaitan langsung dengan pokok materi yang dilawan, secara kasuistik dimungkinkan mengajukan gugatan rekonvensi. Akan tetapi, apabila gugatan perlawanan berbentuk partay verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.
4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding
Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Pasal 132 a ayat (2) HIR mengatur bahwa apabila dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Sehubungan dengan larangan ini, apabila tergugat mempunyai tuntutan kepada penggugat, tetapi lalai mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan mengajukan gugatan perkara biasa.
5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi
Tidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang secara tegas pengajuan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi. Dengan demikian, berdasarkan prinsip penafsiran a contrario boleh mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi, karena undang-undang sendiri tidak tegas melarangnya. Akan tetapi, fungsi Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi, bukan peradilan judex facti yang berwenang memeriksa dan menilai permasalahan fakta (feitelijke kwesties). Sehingga tidak dibenarkan dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, meskipun tidak ada ketentuan yang melarangnya. Larangan tentang itu dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung No. 209 K/Sip/1970 yang mengatakan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi tidak dapat diajukan.

Syarat Formil Gugatan Rekonvensi


Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai syarat materil gugatan rekonvensi, sehingga pada artikel ini akan dibahas mengenai syarat formil gugatan rekonvensi.
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:
  1. menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
  2. merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
  3. menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil, dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik sebagai tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat untuk melawan gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi.
Apabila tergugat rekonvensi terdiri dari beberapa orang dan gugatan rekonvensi memiliki kaitan yang erat dengan gugatan konvensi, sebaiknya seluruh penggugat konvensi ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium yaitu kurangnya pihak yang ditarik sebagai tergugat. Dan, apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi, maka tidak perlu menarik semua penggugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi. Cukup satu atau beberapa orang yang benar-benar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.
Pasal 132 huruf (b) angka (1) HIR mengatur bahwa waktu pengajuan gugatan rekonvensi wajib dilakukan bersama-sama dengan pengajuan jawaban. Apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan bersama-sama dengan jawaban, maka akan mengakibatkan gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan tersebut tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Terdapat beberapa penafsiran yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “jawaban” dalam praktek, ada yang menafsirkan jawaban sebagai jawaban pertama tetapi ada juga yang menfsirkan jawaban menjangkau juga jawaban dalam bentuk duplik.
Penafsiran yang sempit yang menafsirkan “jawaban” bermakna jawaban pertama mempunyai alasan bahwa:
  1. memperbolehkan atau memberikan kebebasan bagi tergugat mengajukan gugatan rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;
  2. memperbolehkan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi melampaui jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara;
  3. rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan harus pada jawaban pertama yaitu agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan rekonvensi.
Prof. Subekti berpendapat bahwa gugatan rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi dimulai, hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, dan tidak dalam proses secara tertulis.
Pengajuan gugatan rekonvensi tidak harus bersama-sama dengan jawaban pertama tetapi dibenarkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap pembuktian. Dengan demikian, gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap jawab-menjawab. Yang menjadi syarat adalah gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban. Sehingga dapat diajukan bersama-sama pada jawaban pertama boleh juga pada jawaban duplik terhadap replik penggugat.
Menurut praktek peradilan saat ini, pengajuan gugatan rekonvensi hampir seluruhnya disampaikan pada jawaban pertama. Sehingga isi muatan jawaban pertama meliputi eksepsi, bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) dan gugatan rekonvensi.

Syarat Materil Gugatan Rekonvensi


Dalam hukum acara perdata gugatan rekonpensi ini dikenal dengan “gugatan balik”. Gugatan rekonvensi dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat. Gugatan rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi sehingga akan menghemat biaya dan waktu, mempermudah acara pembuktian, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain.
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pasal 224 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”) juga memberikan definisi atas gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.
Syarat materil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf (a) HIR hanya berisi penegasan bahwa:
  1. tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;
  2. tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang substansial.
Walaupun tidak terdapat pengaturan mengenai syarat harus adanya koneksitas antara gugatan rekonvensi dengan konvensi, ternyata dalam prakteknya, pengadilan cenderung menerapkannya. Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materil gugatan rekonvensi. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat:
  1. terdapat faktor pertautan  hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;
  2. hubungan pertautan itu harus sangat erat, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan.
Salah satu tujuan pokok sistem rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat biaya dan waktu. Sehingga memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan rekonvensi, tidak akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, agar tujuan yang diamanatkan dalam sistem rekonvensi ini (Pasal 132 huruf (a) HIR) tidak menyimpang dari arah yang dicita-citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Namun, prinsip ini tidak boleh mengurangi hak tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.
Pada dasarnya eksistensi gugatan rekonvensi tidak tergantung (asesor) pada gugatan konvensi dan dapat berdiri sendiri serta dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda. Hanya secara eksepsional hukum memberikan hak kepada tergugat menggabungkan gugatan rekonvensi kedalam gugatan konvensi.
Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas antara gugatan konvensi dengan rekonvensi, dan putusan yang dijatuhkan atas gugatan konvensi bersifat negatif yaitu gugatan tidak dapat diterima, dengan alasan gugatan mengandung cacat formil (eror in personal, obscuur libel, tidak berwenang mengadili, dan lain sebagainya), maka berakibat:
  1. putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi
  2. dengan demikian, oleh karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Namun, dalam hal lain, apabila terdapat gugatan rekonvensi tidak mempunyai hubungan erat atau koneksitas dengan gugatan konvensi, kemudian gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, maka gugatan rekonvensi tidak tunduk mengikuti putusan konvensi tersebut. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya.

Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf

Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf

Eksepsi Kewenangan Mengadili


Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:
1. Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu. Yurisdiksi suatu pengadilan tidak boleh dilanggar oleh yurisdiksi pengadilan lain.
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
2. Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan bersama-sama dengan penyampaian jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut, mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim dapat memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.

Perubahan Gugatan


Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Reglement Buiten Govesten (“RBg”) tidak mengatur ketentuan mengenai perubahan gugatan. Landasan hukum untuk perubahan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 127 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”).
Terdapat beberapa pengaturan mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan, yaitu:
1. Sampai saat perkara diputus
Tenggang batas waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv. Pasal 127 Rv mengatur bahwa penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Jangka waktu ini dianggap terlalu memberikan hak kepada penggugat untuk melakukan perubahan gugatan dan dianggap sebagai kesewenang-wenangan terhadap tergugat.
2. Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama
Buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”) menegaskan bahwa batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan hanya dapat dilakukan pada hari sidang pertama. Selain itu, para pihak juga disyaratkan untuk hadir pada saat pengajuan perubahan gugatan. Jangka waktu dalam buku pedoman MA ini dianggap terlalu resriktif karena hanya memberikan waktu pada hari sidang pertama.
3. Sampai pada tahap replik-duplik
Batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan yang dianggap layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung. Dalam praktiknya, peradilan cenderung menerapkan batasan jangka waktu perubahan gugatan ini, contohnya dalam Putusan MA No.546 K/Sep/1970.
Pasal 127 Rv tidak mengatur mengenai syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Tetapi persyaratan formil perubahan gugatan dimuat di dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh MA. Persyaratan formil perubahan gugatan adalah:
1. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Pengajuan perubahan gugatan diajukan pada hari sidang pertama dan dihadiri oleh para pihak. Syarat ini demi melindungi kepentingan tergugat untuk membela diri.
2. Memberi hak kepada tergugat menanggapi
Buku pedoman MA ini mengatur bahwa perihal perubahan gugatan diberitahukan kepada tergugat dan memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.
3. Tidak menghambat acara pemeriksaan
Perubahan gugatan boleh dilakukan oleh penggugat selama tidak menghambat acara pemeriksaan perkara.
Berdasarkan Pasal 127 Rv, batasan yang dapat diterapkan kepada penggugat untuk merubah atau mengurangi gugatan adalah tidak boleh mengubah atau menambah pokok gugatan. Prof.Subekti mengemukakan pendapat bahwa yang dimaksud pokok gugatan adalah kejadian materiil gugatan. Dengan demikian perubahan gugatan yang dibenarkan hukum adalah perubahan yang “tidak mengubah dan menyimpang dari kejadian materiil.” Pengertian pokok gugatan secara umum adalah materi pokok gugatan atau kejadian materiil gugatan. Oleh karena itu, batasan umum perubahan atau pengurangan gugatan adalah tidak boleh mengakibatkan terjadinya perubahan materiil gugatan.
Putusan pengadilan memberikan batasan mengenai perubahan gugatan. Batasan-batasan tersebut antara lain perubahan gugatan tidak boleh mengubah materi pokok perkara, perubahan gugatan tidak bersifat prinsipil, perubahan tanggal yang tidak dianggap merugikan kepentingan tergugat, tidak merubah posita gugatan, dan pengurangan gugatan tidak merugikan tergugat.

Perubahan Gugatan



Latar Belakang
Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2 (dua) pihak yang dikenal sebagai penggugat dan tergugat. Apabila pihak penggugat merasa dirugikan haknya, maka ia akan membuat surat gugatan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat yang berwenang dan kemudian oleh pengadilan negeri disampaikan kepada pihak tergugat. Dalam hal surat gugatan yang telah didaftarkan oleh penggugat, maka penggugat dapat melakukan perubahan gugatan. Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini, baik hakim maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk mengubah gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap mengedepankan nilai-nilai hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan mengenai perubahan gugatan tidak diatur dalam Herziene Indonesich Reglement (“HIR”) maupun Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”), namun diatur dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”), yang menyatakan bahwa:
Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggugat memiliki hak untuk mengajukan perubahan gugatan, namun hanya yang bersifat mengurangi atau tidak menambah dasar daripada tuntutan dan peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan berupa penambahan dasar atau peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal tersebut akan sangat merugikan kepentingan tergugat. Dengan kata lain, perubahan gugatan diperbolehkan selama tidak merubah materi gugatan, melainkan hanya segi formal dari gugatan (misalnya: perubahan atau penambahan alamat penggugat, nama atau alias dari penggugat atau tergugat)

Syarat Perubahan Gugatan
Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan gugatan tidak terdapat dalam Pasal 127 Rv.  Namun, dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”), terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku pedoman MA, dijelaskan mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan gugatan, yaitu[1]:

a.    Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan:
  • Diajukan pada hari sidang pertama, dan
  • Dihadiri oleh para pihak
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:
  • Di luar hari sidang, dan
  • Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap sangat merugikan kepentingan tergugat.
b.    Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan:
  • Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan gugatan yang bersangkutan,
  • Memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.
 
c.    Tidak menghambat acara pemeriksaan
Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan. Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses penyelesaian perkaranya.
Perubahan gugatan tersebut diajukan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara. Apabila perubahan gugatan sudah diterima oleh hakim, maka hakim wajib untuk memeriksa isi dari perubahan gugatan tersebut. Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan tersebut terletak pada konten atau isi dari perubahan gugatan yang diajukan, yakni apakah gugatan yang telah diubah itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, peran hakim dalam masalah perubahan gugatan yang telah diajukan ini sangat penting karena apabila isi dari perubahan gugatan tersebut bertentangan dengan hukum, sedangkan hakim menyetujui perubahan gugatan yang bertentangan dengan hukum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hakim telah melanggar kewajibannya untuk menegakkan keadilan.


Pencabutan Gugatan


Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Alasan pencabutan gugatan sangat bervariasi, alasan pencabutan gugatan disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan bertentangan dengan hukum dan sebagainya.
Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Reglement Buiten Govesten (“RBg”) tidak mengatur ketentuan mengenai pencabutan gugatan. Landasan hukum untuk pencabutan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Pasal 271 Rv mengatur bahwa penggugat dapat mencabut perkaranya tanpa persetujuan tergugat dengan syarat pencabutan tersebut dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawabannya.
Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv. Pasal 272 Rv mengatur beberapa hal mengenai pencabutan gugatan, yaitu :
a. Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan
Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan adalah penggugat sendiri secara pribadi, hal ini dikarenakan penggugat sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya dalam kasus yang bersangkutan. Selain penggugat sendiri, pihak lain yang berhak adalah kuasa yang ditunjuk oleh penggugat. Penggugat memberikan kuasa kepada pihak lain dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 123 HIR dan di dalam surat kuasa tersebut dengan tegas diberi penugasan untuk mencabut gugatan.
b. Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa dilakukan dengan surat
Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa mutlak menjadi hak penggugat dan tidak memerlukan persetujuan dari tergugat. Pencabutan gugatan dilakukan dengan surat pencabutan gugatan yang ditujukan dan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”). Setelah menerima surat pencabutan gugatan, Ketua PN menyelesaikan administrasi yustisial atas pencabutan.
c. Pencabutan gugatan atas perkara yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang
Apabila pencabutan gugatan dilakukan pada saat pemeriksaan perkara sudah berlangsung, maka pencabutan gugatan harus mendapatkan persetujuan dari tergugat. Majelis Hakim akan menanyakan pendapat tergugat mengenai pencabutan gugatan tersebut. Apabila tergugat menolak pencabutan gugatan, maka Majelis Hakim akan menyampaikan pernyataan dalam sidang untuk melanjutkan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memerintahkan panitera untuk mencatat penolakan dalam berita acara sidang, sebagai bukti otentik atas penolakan tersebut. Apabila tergugat menyetujui pencabutan, maka Majelis Hakim akan menerbitkan penetapan atas pencabutan tersebut. Dengan demikian, sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai dan Majelis Hakim memerintahkan pencoretan perkara dari register atas alasan pencabutan.
Pasal 272 Rv juga mengatur mengenai akibat hukum pencabutan gugatan, antara lain:
a. Pencabutan mengakhiri perkara
Pencabutan gugatan bersifat final, artinya sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai.
b. Para pihak kembali kepada keadaan semula
Pencabutan gugatan menimbulkan akibat bagi para pihak yaitu demi hukum para pihak kembali pada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum gugatan diajukan, seolah-oleh diantara para pihak tidak pernah terjadi sengketa. Pengembalian kepada keadaan semula dituangkan dalam bentuk penetapan apabila pencabutan terjadi sebelum perkara diperiksa. Selain itu pengembalian kepada keadaan semula dituangkan dalam bentuk amar putusan apabila pencabutan terjadi atas persetujuan tergugat di persidangan.
c. Biaya perkara dibebankan kepada penggugat
Pihak yang mencabut gugatan berkewajiban membayar biaya perkara. Ketentuan ini dianggap wajar dan adil karena penggugat yang mengajukan gugatan dan sebelum PN menjatuhkan putusan tentang kebenaran dalil gugatan, penggugat sendiri mencabut gugatan yang diajukannya.

Gugatan Asesor dalam Suatu Gugatan Pokok


Gugatan asesor adalah gugatan tambahan (additional claim) terhadap gugatan pokok. Tujuan adanya gugatan asesor adalah untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan.  Secara teori dan praktik, gugatan asesor tidak dapat berdiri sendiri dan oleh karena itu gugatan asesor hanya dapat ditempatkan dan ditambahkan dalam gugatan pokok. Sehingga landasan untuk mengajukan gugatan asesor adalah adanya gugatan pokok, dan gugatan asesor dicantumkan pada akhir uraian gugatan pokok.
Penggugat dapat  mengajukan rumusan tambahan, berupa gugatan tambahan atau gugatan asesor dengan syarat:
  1. gugatan tambahan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan pokok, dan sifat gugatan tambahan, tidak dapat berdiri sendiri diluar gugatan pokok.
  2. antara gugatan pokok dengan gugatan tambahan harus saling mendukung, tidak boleh saling bertentangan.
  3. gugatan tambahan sangat erat kaitannya dengan gugatan pokok maupun dengan kepentingan penggugat.
Terdapat 2 (dua) jenis gugatan asesor yang dianggap paling melindungi kepentingan penggugat yaitu:
1. gugatan provisi, berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”)
Pasal ini memberi hak kepada penggugat mengajukan gugatan asesor dalam gugatan pokok, berupa permintaan agar Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan provisi yang diambil sebelum perkara pokok diperiksa. Putusan tersebut mengenai hal-hal yang berkenaan dengan tindakan sementara untuk ditaati tergugat sebelum perkara pokok memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya menghentikan tergugat meneruskan pembangunan, menjual barang objek perkara, mencairkan rekening bank, dan sebagainya.
2. gugatan tambahan penyitaan, berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR
       Penyitaan atau beslag (seizure) merupakan tindakan yang dilakukan Pengadilan berupa penempatkan harta kekayaan tergugat atau barang objek sengketa berada dalam keadaan penyitaan untuk menjaga kemungkinan barang-barang itu dihilangkan atau diasingkan tergugat selama proses perkara berlangsung. Tujuan dari penyitaan tersebut adalah supaya gugatan penggugat tidak illusoir (tidak hampa), apabila penggugat berada dipihak yang menang.
Ada beberapa macam sita yang dapat diajukan sebagai gugatan asesor:
1. conservatoir beslag (CB) atau sita jaminan berdasarkan Pasal 227 ayat (1) HIR.
Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
2. revindicatoir beslag (RB) atau sita pemilik berdasarkan Pasal 226 ayat (1) HIR.
Orang yang empunya barang yang tidak tetap, dapat meminta dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang di dalam daerah hukumnya tempat tinggal orang yang memegang barang itu, supaya barang itu disita.
3. marital beslag (MB) atau sita harta bersama berdasar Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 24 ayat 2 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan.
Istri dapat meminta pemisahan harta perkawinan dengan alasan sebagai berikut:
  • Suami karena kelakuan yang nyata tidak baik memboroskan harta kekayaan persatuan.
  • Karena tidak ada ketertiban dari suami mengurus hartanya sendiri sedangkan yang menjadi hak istri akan kabur atau lenyap.
  • Karena kelalaian yang sangat besar dalam mengurus harta kawin istri sehingga khawatir harta ini akan menjadi lenyap.
3. Permintaan Nafkah berdasarkan Pasal 24 ayat 2 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang  Perkawinan.

Jenis-Jenis Eksepsi


Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah. Konsekuensi jika gugatan tersebut tidak sah adalah  gugatan tidak dapat diterima (inadmissible).Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).
Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:
1. Eksepsi kompetensi
         a. Tidak berwenang mengadili secara absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer), Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).
         b. Tidak berwenang mengadili secara relatif
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”)
Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).
2. Eksepsi syarat formil
          a. Surat kuasa khusus tidak sah
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).
         b. Error in Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata), seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
         c. Nebis in Idem
Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.
         d. Gugatan Prematur
Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia.
         e. Obscuur Libel
Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya terletak pada:
  1. hukum yang menjadi dasar gugatan,
  2. ketidakjelasan mengenai objek gugatan,  misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.
  3.  petitum yang tidak jelas, atau
  4. terdapat kontradiksi antara posita dan petitum
Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara.

Penggabungan Gugatan


Dalam hukum acara perdata dapat saja terjadi penggabungan beberapa gugatan. Penggabungan gugatan disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Hukum positif tidak mengatur penggabungan gugatan, juga tidak diatur dalam Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”), Reglement Buiten Govesten (“RBg”), dan Reglement op de Rechsvordering(“Rv”). Terjadinya penggabungan itu karena adanya koneksitas antara satu sama lain. Penggabungan dua, tiga,  atau beberapa perkara dapat dibenarkan kalau antara masing-masing gugatan tersebut terdapat hubungan erat dan untuk memudahkan proses.  Penggabungan gugatan juga dapat  menghindari terjadinya kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan. Penggabungan yang seperti itu, dianggap bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig).
Berikut beberapa yurisprudensi mengenai Penggabungan Gugatan:
1. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1971, tanggal 3 Desember 1974:
HIR tidak mengatur hal penggabungan gugatan, maka terserah Hakim dalam hal mana diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat dan murah;
2. Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972:
Menurut Jurisprudensi, dimungkinkan “penggabungan” gugatan-gugatan jika antara gugatan-gugatan itu terdapat hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak dalam bentuk perkara yang satu (No. 53/1972.G) dijadikan gugatan rekonpensi terhadap perkara yang lainnya (No. 521/1971.G);
Suatu perkara yang tunduk pada suatu Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain;
Misalnya: Gugatan perdata umum digabungkan dengan gugatan perdata khusus, seperti gugatan tentang PMH dan tuntutan ganti rugi digabungkan dengan perkara mengenai hak atas Merek (Merkenrecht); vide ketentuan-ketentuan tentang HAKI.
Ada 2 (dua) manfaat dan tujuan penggabungan gugatan, yaitu:
1. Mewujudkan Peradilan Sederhana
Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebaliknya, jika masing-masing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses penyelesaian terhadap masing-masing perkara sehingga azas peradilan: “sederhana, cepat dan biaya ringan” tidak ditegakkan.
2. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan
Manfaat yang lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan. Subekti berpendapat, untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai kasus yang memiliki koneksitas, misalnya apabila pada pengadilan negeri tertentu terdapat dua atau beberapa perkara yang saling berhubungan, serta para pihak yang terlibat sama, lebih tepat perkara itu digabung menjadi satu, sehingga diperiksa oleh satu majelis saja.


Ada 2 (syarat) pokok penggabungan gugatan, yaitu: 1. Terdapat hubungan erat
Menurut Soepomo “antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin” (innerlijke samenhang). Dalam praktek, tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lain;
2. Terdapat hubungan hukum
Terdapat hubungan hukum antara para penggugat atau antara para tergugat. Jika dalam komunikasi subyektif yang diajukan beberapa orang sedangkan diantara mereka maupun terhadap obyek perkara sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para penggugat atau tergugat terdapat hubungan hukum atau tidak.
Dalam teori dan praktek, dikenal 2 (dua) bentuk penggabungan, yaitu:
1. Kumulasi Subjektif
Dalam bentuk ini yang digabung adalah pihak dalam gugatan, misalnya dalam surat gugatan terdapat penggugat atau beberapa penggugat melawan seorang atau beberapa orang tergugat, sehingga dapat terjadi variable sebagai berikut:
a. penggugat terdiri dari beberapa  orang berhadapan dengan seorang  tergugat saja. Dalam hal ini, kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak penggugat;
b. sebaliknya, pengugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak tergugat;
c. dapat juga terjadi kumulasi subjektif yang meliputi pihak penggugat dan tergugat .Pada kumulasi yang seperti itu, penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang tergugat. Sebagai syarat kumulasi gugatan ini harus terdapat adanya hubungan hukum di antara para pihak;
2. Kumulasi Objektif
Dalam bentuk ini, yang digabung adalah materi gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatan, yaitu beberapa gugatan digabung dalam satu gugatan. Namun agar penggabungan gugatan tersebut sah dan memenuhi syarat , maka di antara gugatan itu  harus terdapat hubungan erat (Innerlijke samenhangen).
Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
  1. Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
  2. Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
  3. Tuntutan tentang penguasaan suatu benda (bezit) tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang hak atas suatu benda (eigendom) dalam satu gugatan

Verstek dan Hak Tergugat bila di-Verstek


Berdasarkan Kamus Hukum, istilah verstek diambil dari kata verstek procedure yang berarti “acara luar hadir”, dan verstekvonnis yang berarti “putusan tanpa hadir atau putusan di luar hadir tergugat”. Istilah bagi suatu putusan yang dikeluarkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat yang digunakan dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia adalah verstek. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa verstek adalah suatu kewenangan hakim untuk memeriksa dan memutus perkara tanpa kehadiran tergugat di persidangan pada tanggal yang telah ditentukan, atau tidak pula menyuruh orang lain untuk mewakilinya, meskipun ia sudah dipanggil secara patut.
Ketentuan mengenai verstek diatur dalam Pasal 125 Herziene Indonesich Reglement (“HIR”)/ Pasal 78 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”). Dalam hal ini, hakim diberi wewenang untuk menjatuhkan putusan diluar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat:
  • Tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah; atau
  • Tergugat tidak pula menyuruh orang lain untuk mewakilinya di persidangan;
  • Tergugat telah dipanggil di persidangan secara sah dan patut, tetapi tidak datang ke persidangan;
  • Tergugat tidak mengajukan eksepsi/ tangkisan mengenai kewenangan;
  • Penggugat hadir di persidangan dan mohon suatu putusan.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan verstek yang berisi dictum:
  1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya atau sebagian, atau
  2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, atau
  3. Menolak gugatan Penggugat
Upaya Hukum Verstek
Berdasarkan Pasal 129 ayat (1) HIR atau Pasal 83 Rv, menegaskan bahwa:
“Tergugat, yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu.”
Berdasarkan Pasal 125 ayat (3) HIR atau Pasal 78 Rv menyatakan bahwa:
“Jika surat gugatan diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta menerangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang ditentukan pada pasal 129 tentang keputusan verstek di muka pengadilan.”
Melihat kepada kedua ketentuan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa apabila tergugat menerima putusan verstek, maka tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek tersebut.

Upaya perlawanan/verzet dapat diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan mengenai adanya putusan verstek kepada Tergugat apabila pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. Jika pemberitahuan putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning (peringatan) tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning.  Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning, maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 129 ayat (2) HIR jo. Pasal 207 RBg. Perkara mengenai verzet terhadap verstek didaftar dalam satu nomor perkara dengan perkara mengenai verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa. Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding berdasarkan Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat(5) RBg.

Gugurnya Suatu Gugatan


Terkadang di situasi tertentu, terdapat putusan tentang gugurnya suatu gugatan. Hal ini terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah ditentukan harinya dan telah dipanggil secara sah dan patut, dirinya tidak hadir atau tidak pula menyuruh kuasanya untuk datang menghadiri persidangan tersebut. Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.”
Berdasarkan Pasal 124 HIR sebagaimana tersebut di atas, maka alasan digugurkannya gugatan penggugat oleh pengadilan karena:
  1. penggugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah;
  2. penggugat telah dipanggil secara patut dan sah;
Pengguguran gugatan dilakukan oleh Majelis Hakim yang berwenang secara ex-officio apabila alasan yang tersebut dalam Pasal 124 HIR telah terpenuhi. Dengan kata lain, bahwa kewenangan pengguguran gugatan itu dapat dilakukan oleh hakim meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Akan tetapi, kewenangan pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif, karena berdasarkan Pasal 126 HIR menegaskan bahwa sebelum menjatuhkan putusan pengguguran gugatan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya pihak yang tidka hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada hari sidang yang lain.
Disamping itu, apabila penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi, maka penggugat dipanggil sekali lagi dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir. Gugatan yang digugurkan oleh pengadilan, maka akan dituangkan dalam putusan,  dan penggugat berhak mengajukan kembali atas gugatannya tersebut.




Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi

Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf



Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf


Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf

Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf