ADVOKAT PERTAMA

Advokat Pertama di Indonesia


Artikel ini berawal dari pertanyaan saya pada milis PERADI, profesi advokat dalam sejarahnya pertama kali di Indonesia, siapa yang menjalankan dan tahun berapa? sehingga bisa dihitung usianya profesi advokat di Indonesia [bukan organisasinya ya]. salam hormat. RGS


Artikel Sederhana mengenai Besar Mertokusumo
Advokat Pertama Indonesia yang Terlupakan [Selasa, 22 September 2009]
Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah. Banyak membela rakyat miskin. Siapa advokat pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Suardi Tasrif yang terbersit di benak Anda. Bisa jadi jawaban anda keliru. Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak azasi manusia dalam proses hukum. Todung Mulya Lubis, dalam tulisan yang dikutip dari Koran Tempo, menyebut mereka sebagai advokat yang berhasil menjalankan keadilan selaku officer of the court.

Namun, tahukah Anda, bahwa sebenarnya advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama. Hanya sebatas itu.

Beruntunglah kita memiliki Daniel S. Lev yang banyak menyinggung kiprah Besar dalam dunia advokat. Banyak buku sejarah advokat yang lahir belakangan bersumber dari buku Daniel yang bertajuk Hukum dan Politik di Indonesia. Dalam buku itulah, Daniel memperkenalkan sosok Besar Mertokusumo sebagai advokat pertama di Indonesia.

Adnan Buyung Nasution juga mengakui hal itu. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Beliau memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktek advokat, kata Buyung saat dihubungi melalui telepon. Buyung mengenal sosok Besar sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.

Dalam buku Daniel S. lev, sosok Besar digambarkan sebagai advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-teman Besar berada. Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal.

Riwayat Hidup Besar Mertokusumo
Besar Mertokusumo lahir di Brebes, 8 Juli 1894. Ia menikah dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai ampat orang anak. Yakni, Mas Roro Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro.
Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (E.L.S) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian, Besar lulus dari Rechtschool di Jakarta. Besar kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922.
Sumber : Arsip Nasional RI

Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.

Setelah firma hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika jaman malaise (krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.

Sebelum terjun ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan. Pekerjaan itu diperoleh setelah Besar lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja beberapa tahun, Besar hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana hukum. Bersama dengan sebelas pelajar lainnya Besar kuliah di Universitas Leiden.

Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatera dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdasa dapat meraih enuh gelar sarjana hukumnya di neger Belanda, sama statusnya dengan kelompok yang langsung sekolah di Belanda.

Pada umumnya sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.

Minimnya jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia. Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu. Kesulitan itu bukan kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene 'dekat' dengan lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.

Profesi advokat tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang 'mentereng' layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar. Awalnya, keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut. Ia tetap memilih menjadi pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri karirnya sebagai advokat pada 1942.

Melihat kiprahnya di dunia hukum, menurut Anda, layakkah nama Besar Mertokusumo diabadikan sebagai nama jalan? Sesuai dengan aturan, yang paling layak mengusulkan itu tentu saja organisasi advokat.