TURUT TERGUGAT

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Menentukan Tergugat dan Turut Tergugat, kualifikasi Tergugat dan Turut Tergugat ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, hal tersebut telah menjadi suatu praktik yang diterapkan dari kasus per kasus
. Perbedaan Tergugat dengan Turut Tergugat adalah Turut Tergugat hanya tunduk pada isi putusan hakim di pengadilan karena Turut Tergugat ini tidak melakukan sesuatu (perbuatan). Misalnya, dalam kasus perbuatan melawan hukum (“PMH”), Tergugat melakukan suatu perbuatan sehingga digugat PMH, namun Turut Tergugat ini hanyalah pihak terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak tersebut oleh Penggugat turut digugat sebagai Turut Tergugat sehingga pada akhirnya turut tergugat tunduk pada isi putusan pengadilan.
Selain itu, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” mengatakan bahwa dalam praktik perkataan Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim (hal. 2).
Dalam artikel Kedudukan Notaris Sebagai Turut Tergugat dijelaskan bahwa perlunya diikutsertakan Turut Tergugat dalam gugatan menurut pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1642 K/Pdt/2005 adalah karena “dimasukkan sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat. Hal ini terjadi dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek gugatan menjadi tidak lengkap.”
Jadi, dari uraian pada poin satu di atas dapat diketahui bahwa peran kantor Anda sebagai Turut Tergugat sebenarnya adalah pelengkap gugatan saja, namun tetap wajib tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Yang harus dilakukan kantor Anda sebagai Turut Tergugat adalah cukup hadir menjalani proses persidangan di persidangan dan menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena sebenarnya pihak yang berkepentingan secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat.
Namun, ada hal lain yang juga penting diperhatikan terkait ketidakhadiran pihak yang memang telah dipanggil secara patut di pengadilan, sebagai contoh pihak yang tidak hadir tersebut adalah Tergugat. Apabila Tergugat tidak datang pada hari perkara akan diperiksa di persidangan padahal sudah dipanggil secara patut dan Tergugat juga sama sekali tidak mewakilkan kepada kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44),hakim dapat menjatuhkan putusan verstek. Bunyi selengkapnya pasal tersebut adalah:
“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”
M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata mengatakan bahwa maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan (hal. 383). Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel Putusan Verstek dan Ketidakhadiran Kuasa Hukum.
Dalam praktiknya, putusan verstek itu sendiri tidak hanya dijatuhkan kepada Tergugat saja, tetapi juga kepada Turut Tergugat. Contohnya dapat kita temukan dalam Putusan PN Yogyakarta No. 123/Pdt.G/2011/PN.Yk. Di dalam putusan tersebut dikatakan bahwa oleh karena pihak Tergugat dan Turut Tergugat tidakhadir, maka berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 7 ayat 1 Perma No. 01 Tahun 2008, perdamaian melalui prosedur mediasi tidak dapat dilangsungkan, sehingga Majelis melanjutkan perkara ini dengan tanpa hadirnya pihak Tergugat dan Turut Tergugat (verstek).

Jadi, konsekuensi yang dapat diperoleh pihak kantor Anda sebagai Turut Tergugat adalah menerima putusan verstek yang dijatuhkan hakim. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penjatuhan putusan atas perkara yang disengketakan memberi kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Berdasarkan Pasal 125 HIR, hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat (hal. 381-382):
a.    apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason)
b.    dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum:
1)    mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian
2)    menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa bentuk putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan terdiri dari (hal. 397-399):
a.    mengabulkan gugatan penggugat
b.    menyatakan gugatan tidak dapat diterima
c.    menolak gugatan penggugat
Jadi, kemungkinan konsekuensi yang dapat diterima pihak kantor Anda sebagai Turut Tergugat apabila tidak pernah hadir di persidangan adalah dikabulkannya gugatan yang diajukan oleh penggugat melalui putusan verstek yang dijatuhi oleh hakim di persidangan. Sebagai contoh, untuk gugatan PMH, isi gugatan bisa saja berupa kewajiban ganti rugi sehingga mewajibkan Tergugat dan Turut Tergugat membayar sejumlah ganti rugi yang diminta Penggugat. Hal ini dimungkinkan karena dari pihak kantor Anda tidak hadir sidang dan tidak memberikan pembelaannya sehingga melemahkan posisi Anda.
2.    Menjawab pertanyaan Anda kedua mengenai apa peran Anda sudah terjawab di poin pertama yang kami jelaskan di atas. Sebelumnya kami sudah menjelaskan bahwa Turut Tergugat wajib tunduk dan taat pada putusan hakim. Hal ini juga berlaku untuk putusan verstek. Apabila dalam putusan verstek tersebut juga disebutkan bahwa ada sejumlah hal yang perlu dilaksanakan oleh Turut Tergugat, maka kantor Anda juga harus melaksanakan isi putusan itu. Pada intinya adalah kantor Anda sebagai Turut Tergugat diimbau untuk terus menjalani proses persidangan dan menaati putusan hakim.


YANG TIDAK DAPAT MENJADI SAKSI DALAM KASUS PERDATA 


Dalam persidangan perkara perdata seorang paman dari pihak Penggugat dapat menjadi saksi. Hal ini karena paman tidak masuk dalam pihak-pihak yang tidak dapat menjadi saksi yang diatur dalam Pasal 145 Het Herziene Indonesisch Reglemen atau HIR.
Adapun bunyi Pasal 145 HIR tersebut adalah sebagai berikut:
“Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:
1.    keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
2.    istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3.    anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia 15 (lima
belas) tahun;
4.    orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.”





Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi

Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf


Dari penjelasan Pasal 145 HIR tersebut, pada ayat 1 terdapat kata- kata “Keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus”, kalimat ini memiliki makna hubungan keluarga dengan orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat.
Selain itu, pada Pasal 146 HIR juga mengatur mengenai orang-orang yang memiliki hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu:
1.    saudara laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
2.    keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak;
3.    semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.
Dengan demikian, paman dari teman Anda dapat menjadi saksi dan dapat didengar keterangannya di pengadilan tentang perkara perdata yang teman Anda hadapi. 


Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
  • Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
  • Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
      a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
           1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
           2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
           3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
           4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
           5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
        b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
- See more at: http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf

Roya

 ROYA

Istilah roya memang dikenal dalam ketentuan perundang-undangan mengenai tanah. Istilah roya dapat ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):
Pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya ditiadakan. Pencatatan serupa, yang disebut pencoretan atau lebih dikenal sebagai "roya", dilakukan juga pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada pemegang haknya
 
Berdasarkan penjelasan umum UU Hak Tanggungan tersebut, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah roya adalah pencoretan pada buku tanah Hak Tanggungan karena hak tanggungan telah hapus.
 
Pengaturan tata cara pencoretan hak tanggungan terdapat dalam Pasal 22 UU Hak Tanggungan yang berbunyi sebagai berikut:
 
(1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.
(2) Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
(3) Apabila sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan.
(4) Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
(6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
(7) Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).
(9) Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya.
 
Adapun hapusnya Hak Tanggungan sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan antara lain karena:
a.    hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.    dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.    pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.    hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
 
Mengenai pencoretan Hak Tanggungan (roya) ini, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja dalam bukunya yang berjudul Hak Tanggungan (hal. 272-273), berpendapat:
 
Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan. Dalam hal Sertifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan.
 
Pada dasarnya pencoretan dapat dilakukan oleh debitor sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU Hak Tanggungan.
 
Dengan demikian jelaslah bahwa pencoretan Hak Tanggungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan (debitor) setelah Hak Tanggungan yang diberikan olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal 18 UU Hak Tanggungan.
 
Untuk keperluan pencoretan Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang diperbolehkan (termasuk permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri), dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang membuktikan telah hapusnya Hak Tanggungan tersebut.
 
Selain itu, pelaksanaan roya ini dapat dilakukan untuk sebagian utang yang dijaminkan yang disebut dengan roya partial. Mengutip artikel APHT (Akte Pemberian hak Tanggungan),dasar adanyaroya partial diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan. Praktik pelaksanaan roya partial mengacu antara lain pada Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1610 Tahun 1995 tentang Pelaksana Roya Partial (Sebagian), tertanggal 16 Juni 1995 (“Surat Edaran”). Di dalam Surat Edaran tersebut antara lain sebagai berikut:
2.      Roya partial merupakan kelembagaan hukum baru, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang memungkinkan penyelesaian secara praktis terhadap bagian benda jaminan apabila telah dilunasi sebagian, sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya. Dengan demikian, sungguhpun roya partial diatur dalam UURS (UU Rumah Susun, ed), tetapi dapat diterapkan pula untuk menyelesaikan masalah roya partial di luar rumah susun.
3.       Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka hak atas tanah yang dipergunakan sebagai jaminan kredit dibebani Hipotik/CV, apabila telah dilunasi sebagian, dapat dilakukan roya partial, sepanjang yang dibebani Hipotik/CV terdiri dari beberapa bidang tanah. Apabila yang dibebani Hipotik/CV hanya satu bidang tanah saja, tidak dapat dilakukan roya partial.
 
Jadi, yang dimaksud dengan istilah roya adalah pencoretan hak tanggungan pada Buku Tanah Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan karena Hak Tanggungan telah hapus dengan cara sebagaimana diatur Pasal 18 UU Hak Tanggungan.