PENGHENTIAN PENYIDIKAN

Alasan penghentian penyidikan
 
 
Menurut undang-undang, penyidikan oleh kepolisian dapat dihentikan. Alasan penghentian penyidikan tersebut harus jelas sebagai dasar penghentian penyidikan.
Alasan penghentian tersebut adalah:

1. Tidak diperoleh bukti yang cukup.
Artinya penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan pengadilan. Atas dasar inilah kemudian penyidik berwenang menghentikan penyidikan.

2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum atau tindak kejahatan maka penyidik berwenang menghentikan penyidikan.

3. Penghentian penyidikan demi hukum.
Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana.
a. Asas nebis in idem. Yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, dimana atas perbuatan itu telah diputus oleh pengadilan yang berwenang untuk itu dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Apabila tersangkanya meninggal dunia.
c. Karena kadaluarsa. Tenggang waktu itu, menurut KUHP:
- Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.
- Lewat masa 6 tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara, yang tidak lebih dari hukuman penjara selama tiga tahun.
- Lewat tenggang waktu 12 tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun.
- Lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.
- Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 tahun, tenggang waktu kadaluarsa yang disebut pada poin 1 sampai 4, dikurangi sehingga menjadi sepertiganya.

PENGHINAAN

Delik Penghinaan


Menurut Ledeng Marpaung, istilah tindak pidana penghinaan pada umumnya juga biasa digunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan. Dipandang dari segi sisi sasaran atau objek delik, yang merupakan maksud atau tujuan dari Pasal tersebut yakni melindungi kehormatan, maka tindak pidana terhadap kehormatan, lebih tepat. Tindak pidana kehormatan/penghinaan adalah tindak pidana yang menyerang hak seseorang berupa merusak nama baik atau kehormatan seseorang.
Demikian halnya dengan istilah penghinaan yaitu semua jenis kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XVI buku II. Dalam Pasal 310 ayat (1) dimuat semua unsur, baik yang bersifat objektif (perbuatan/objeknya) maupun yang bersifat subjektif (kesalahan, berupa sengaja melakukan perbuatan dan maksud pembuat dalam hal melakukan perbuatan). Pada kenyataannya memang semua kejahatan yang masuk penghinaan (Bab XVI buku II), maupun penghinaan khusus di luar Bab XVI mengandung sifat yang sama dengan kejahatan pencemaran. Mengandung sifat yang sama tidak sama artinya dengan mengandung unsur  yang sama. Sifat yang sama, terletak baik pada perbuatannya menyerang, objeknya kehormatan dan nama baik, maupun kesengajaan  baik yang ditujukan pada perbuatan maupun yang ditujukan kepada akibat. Dicontohkan kepada “pengaduan fitnah” meskipun perbuatan materilnya (mengajukan pengaduan dan pemberitaan palsu) berbeda dengan perbuatan materil pada pencemaran (menyerang kehormatan dan nama baik) namun sifat kedua kejahatan itu adalah sama. Keduanya menyerang rasa harga diri atau martabat dan harga diri orang lain mengenai kehormatannya dan mengenai nama baiknya, meskipun didalam pengaduan fitnah akan menjatuhkan martabat dan harga diri orang lain mengenai kehormatannya dan mengenai nama baiknya, meskipun didalam pengaduan fitnah tidak tertulis unsur mengenai kehormatan dan nama baik orang.
Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi membedakannya menjadi: panghinaan umum (diatur dalam bab XVI buku II KUHP), dan penghinaan khusus (tersebar diluar bab XVI buku II KUHP). Objek penghinaan umum adalah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik orang pribadi (bersifat pribadi). Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.
  1. PENGHINAAN UMUM
Ada tujuh macam penghinaan yang masuk ke dalam kelompok penghinaan umum, ialah:
  1. Pencemaran/Penistaan lisan
Kejahatan yang oleh Undang-Undang diberi kualifikasi pencemaran atau penistaan (smaad) dirumuskan selengkapnya dalam Pasal 310 ayat (1) yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu perbuatan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-”.
Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1)      Dengan sengaja
2)      Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
3)      Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan
4)      Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
Adapun menurut Adami Chazawi, mengenai penjelasan unsur-unsur Pasal 310 KUHP adalah sebagai berikut:
a)      Unsur Subjektif: Sengaja dan Maksud
Kejahatan pencemaran terdapat dua unsur kesalahan, yakni sengaja (opzettelijk) dan maksud atau tujuan. Walaupun dalam doktrin, maksud itu adalah juga kesengajaan (dalam arti sempit), yang disebut dengan kesengajaan sebagai maksud. Tetapi, fungsi unsur sengaja dan unsur maksud dalam pencemaran berbeda. Sikap batin “sengaja” ditujukan pada perbuatan  menyerang kehormatan atau nama ba ik orang (perbuatan dan objek perbuatan). Sementara sikap batin “maksud” ditujukan pada unsur “diketahui oleh umum” mengenai perbuatan apa yang dituduhkan pada orang itu.
Maka unsur yang diliputi oleh sengaja adalah unsur-unsur berikut ini:
1)    Perbuatan menyerang
2)    Objek: kehormatan atau nama baik orang
3)    Dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
Sementara unsur yang dituju oleh maksud adalah unsur terang supaya diketahui umum.
b)      Perbuatan menyerang
Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.
c)      Objek: Kehormatan dan nama baik orang
Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang. Rasa harga diri adalah intinya objek dari setiap  penghinaan, yang menurut Wirjono Projodikoro adalah menjadikan ukuran dari penghinaan. Rasa harga diri dalam penghinaan adalah rasa harga diri dibidang kehormatan, dan rasa harga diri di bidang nama baik.
d)     Caranya: dengan menuduhkan perbuatan tertentu.
Di atas telah diterangkan bahwa perbuatan menyerang ditujukan pada rasa harga diri atau martabat (mengenai kehormatan dan nama baik) orang, dengan menggunakan kata/kalimat melalui ucapan, caranya dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu. Jadi yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, seperti bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya.
  1. Pencemaran/Penistaan tertulis
Pasal 310 ayat (2) tentang pencemaran/penistaan tertulis berbunyi:
“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel secara terbuka, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Rumusan  Pasal 310 ayat (2), jika dirinci terdapat unsur-unsur berikut:
  1. Semua unsur (objektif dan subjektif) dalam ayat (1)
  2. Menuduh melakukan perbuatan dengan cara/melalui : (a) tulisan atau (b) gambar.
a)      Yang disiarkan
b)      Yang dipertunjukkan dan atau
c)      Yang ditempelkan
  1. Secara terbuka.
Unsur-unsur di atas itulah yang secara kumulatif mengandung sifat yang memberatkan pidana si pembuat. Sifat pencemaran melalui benda ttulisan dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat. Karena dari benda tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, dapat meluas sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang lama (selama tulisan itu ada dan tidak dimusnahkan). Sifat yang demikian amat berbeda dengan sifat pencemaran secara lisan. Oleh sebab itu wajar saja pencemaran dengan tulisan ini dipidana yang lebih berat dari pada pencemaran lisan.
Pencemaran dilakukan dengan menggunakan “tulisan dan gambar”. Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/kalimat dalam bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu (in casu menyerang kehormatan dan nama baik orang), diatas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi (misalnya: kertas, papan, kain dll).
Sedangkan gambar atau gambaran atau lukisan adalah tiruan dari benda yang dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan: pensil, kuas dan cat, dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat digambari/ditulisi. Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu (yang dituju).
Adapun dengan cara yang dilakukan yakni disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan secara terbuka. Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau di photo copy, yang kemudian disebarkan dengan cara apapun. Misalnya diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun (umum). Oleh sebab itu verspreiden dapat pula diterjemahkan dengan kata menyebarkan. Dalam cara menyebarkan sekian banyak tulisan atau gambar kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar agar isi tulisan atau makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.
Dipertunjukkan (ten toon gesteld) adalah memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau maknanya menghina tadi kepda umum, sehingga orang banyak mengetahuinya. Menunjukkan bisa terjadi secara langsung. Pada saat menunjukkan pada umum ketika itu banyak orang, tetapi bisa juga secara tidak langsung. Misalnya memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya, dilakukan pada saat malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Sedangkan ditempelkan (aanslaan), maksudnya  ialah tulisan atau gambar tersebut ditempelkan pada benda  lain yang sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan, dinding gedung, pohon dan sebagainya.
  1. Fitnah
Kejahatan fitnah dirumuskan dalam Pasal 311 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah mefitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Maka dapat dilihat unsur-unsur pencemaran atau pencemaran tertulis ada didalamya:
  1. Semua unsur (objektif dan subjektif) dari :
    1. Pencemaran (pasal 310 Ayat (1) )
    2. Pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2)
    3. Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannnya itu benar
    4. Tetapi si pembuat tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya
    5. Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang diketahuinya.
Unsur nomor 2, 3 dan 4 berupa unsur kumulatif yang berupa tambahan agar pencemaran atau pencemaran tertulis dapat menjadi fitnah. Dengan melihat unsur nomor 2 dan 3 nampaknya bahwa dakwaan fitnah baru boleh dilakukan, dalam hal apabila dalam perbuatan terdakwa terdapat pencemaran atau pencemaran tertulis.
  1. Penghinaan ringan
Bentuk penghinaan ringan ada dalam Pasal 315 KUHP yang berbunyi:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang baik dimuka umu  dengan lisan atau tulisan maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan  atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Apabila rumusan di atas dirinci, maka pada penghinaan ringan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Unsur objektif:
a)      Perbuatan: menyerang
b)      Objeknya adalah (a) kehormatan orang (b) nama baik orang
c)      Caranya:
1)      Dengan lisan dimuka umum
2)      Dengan tulisan di muka umum
3)      Dengan lisan di muka orang itu sendiri
4)      Dengan perbuatan di muka orang itu sendiri
5)      Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya
d)     Tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis
  1. Unsur subjektif: kesalahan dengan sengaja
Sebagaimana diketahui pencemaran adalah bagian dari penghinaan, dengan demikian juga penghinaan ringan. Oleh karena itu perbuatan dan objek pada penghinaan ringan adalah sama dengan perbuatan dan objek pada pencemaran. Mengenai unsur perbuatan menyerang dan objek kehormatan dan nama baik dirasa telah diterangkan secara cukup pada pembicaran mengenai pencemaran dan pencemaran tertulis.
Pada rincian unsur penghinaan ringan di atas, ada lima cara dalam melakukan penghinaan ringan. Cara tersebut sebagai ciri/indikator yang membedakan penghinaan ringan dengan pencemaran.
a)      Dengan lisan di muka umum.
Dengan lisan (mondeling) di muka umum (in het openbaar), artinya perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang dilakukan dengan cara mengungkapkan kata atau kalimat, dan dihadapan orang banyak. Orang banyak ini tidaklah ada batas berapa banyaknya, dihadapan dua atau tiga orangpun sudahlah cukup.
b)      Dengan tulisan di muka umum.
Dengan tulisan dapat juga disebut dengan surat (bij geschrifte). Bahwa kata atau kalimat yang bersifat menyerang kehormatan dan nama baik orang itu diwujudkan dengan tulisan di atas kertas, kain atau spanduk, atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi. Dengan cara menunjukkan tulisan pada banyak orang, atau menempelkannya di tempat umum, atau dengan menyebarkan dengan cara apapun pada siapapun. Tulisan disni termasuk juga gambar, yang di dalamnya mengandung makna menghina orang tertentu.
c)      Dengan lisan di muka orang itu sendiri.
Si pembuat mengucapkan kata atau kalimat secara langsung di hadapan orang yang dituju itu sendiri. Disini tidak diperlukan di muka umum atau di tempat umum (in  het  openbaar), yang diperlukan adalah didengar secara langsung ucapan itu oleh orang yang dituju.
d)     Dengan perbuatan di muka orang itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan adalah dengan perbuatan aktif atau perbuatan jasmani (perbuatan materil), artinya dengan menggunakan gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh si pembuat. Gerakan tubuh itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
1)      Kemungkinan pertama, diarahkan pada orang yang dituju, misalnya meludahi muka korban atau meludah di muka korban, menekan atau mendorong kepala korban, atau menginjaknya. Tapi perbuatan ini tidak boleh menimbulkan rasa sakit fisik.
2)      Kemungkinan kedua, perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang secara fisik tidak ditujukan pada korban, tetapi jelas mengandung sifat penghinaan terhadap korban. Perbuatan seperti ini bisa disebut dengan isyarat, tetapi maksudnya adalah penghinaan yang dipandang bagi orang pada umumnya suatu penghinaan. Misalnya, seorang yang menghina dengan menempelkan telunjuknya pada keningnya sendiri, dengan maksud menyatakan bahwa orang yang dituju itu adalah gila.
e)      Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan.
Dengan surat, bisa surat terbuka dan bisa juga dengan surat tertutup, yang dikirimkan baik melalui perentaraan (orag atau pos), bisa diserahkannya atau diterimakannya sendiri. Isinya surat itu adalah bersifat menghina yang tidak bersifat pencemaran tertulis. Bahwa apa yang dituliskan itu tidaklah berupa tuduhan melakukan perbuatan tertentu, atau tidak ditujukan pada khalayak umum, tetapi semata-mata ditujukan pada orang itu sendiri.
Unsur tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, bahwa unsur ini dirumuskan secara negatif, artinya harus tidak terdapatnya sesuatu yang in casu sesuatu yang menjadi sifat atau ciri penistaan atau penistaan tertulis. Hal apakah yang menjadi sifat atau ciri pencemaran? Sifat pencemaran sesungguhnya tertumpu pada 2 (dua) hal atau unsur, yaitu:
1)      Pada cara menyerang kehormatan atau nama baik orang, yakni dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
2)      Pada maksud menuduhkan suatu perbuatan tertentu diarahkan pada agar diketahui umum.
Oleh karena unsur penghinaan ringan yang sehubungan dengan sifat pencemaran dirumuskan secara negatif, artinya berlawanan dengan sifat pencemaran. Maka unsur/kalimat yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, ialah harus memenuhi 2 (dua) syarat negatif, yaitu:
1)      Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang oleh si pembuat penghinaan ringan haruslah bukan berupa menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
2)      Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan salah satu atau beberapa cara diantara lima cara di atas tadi, tidaklah ditujukan pada maksud agar diketahui umum, melainkan langsung pada maksud menyakitkan hati orang, menyinggung perasaan orang yang dituju saja.
  1. Pengaduan fitnah
Bentuk penghinaan lainnya yang disebut dengan pengaduan fitnah dirumuskan dalam Pasal 317 KUHP yang selengkapnya adalah sebagai berikut:
“ Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atau pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang sesorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”.

Pengaduan fitnah seperti dalam rumusan di atas, jika dirinci maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Unsur objektif:
a)      Perbuatan (a) mengajukan pengaduan (b) mengajukan pemberitahuan.
b)      Caranya: (a) tertulis, (b) dituliskan
c)      Objeknya tentang seseorang
d)     Yang isinya palsu
e)      Kepada penguasa
f)       Sehingga kehormatannya atau nama baiknya terserang
  1. Unsur subjektif: dengan sengaja
Ada dua bentuk tingkah laku dalam pengaduan fitnah, ialah mengadukan pengaduan atau mengadukan (klachte), dan mengajukan pemberitahuan atau melaporkan (aangifte). Kedua perbutaan ini mempunyai sifat yang sama, ialah menyampaikan informasi kepada penguasa tentang seseorang yang isinya palsu. Perbedaan antara dua perbuatan itu diadakan berhubung dengan sistem KUHP yang membedakan antara tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan yang buasa disebut tindak pidana biasa.
Unsur tertulis dan dituliskan, merupakan dua cara mengajukan pengaduan atau pemberitahuan itu. Secara tertulis maksudnya si pembuat yang mengadukan atau melaporkan dengan membuat tulisan (surat), ditanda tanganinya kemudian disampaikan kepada pejabat/penguasa.  Mengajukan secara tertulis ini tidak saja berarti menyampaikan langsung oleh si pemb uat kepada penguasa, tetapi bisa juga disampaikan dengan perantaraan kurir atau melalui  kantor pos, atau telegram, bahkan  juga dapat melalui pesan SMS atau mengirimkan rekaman kaset.
Sedangkan yang dimaksud menyampaikan  dengan dituliskan, ialah si pembuat datang menghadap kepada penguasa yang berwenang. Kemudian menyampaikan pengaduan atau pemberitahuan tentang seseorang yang disertai permintaan pada pejabat tersebut agar supaya isi pengaduan atau pemberitahuannya dituliskan. Inisiatif untuk dituliskannya pengaduan atau pemberitahuan harus dari si pembuat, bukan dari pejabatnya.
Tentang apa yang diadukan atau diberitahukan adalah mengenai seseorang tertentu, bukan perbuatan seseorang, dan isinya adalah palsu. Jadi yang palsu atau tidak benar bukanlah perbuatan yang dilaporkan, tetapi orangnya yang dilaporkan atau diadukan itu yang palsu. Misalnya ada pencurian, si A mengajukan pelaporan tentang adanya pencurian dirumahnya dan dia menyebut si B sebagai pembuatnya, padahal diketahuinya bukan si B, ini palsu karena yang benar adalah si C. Tentu saja kehormatan atau nama baik si B tercemarkan karena itu. Bisa saja terjadi bahwa pencurian yang dilaporkan memang benar-benar ada.
Perbuatan apa yang dilaporkan itu adalah segala perbuatan yang memalukan orang, maka pejabat yang menerima pengaduan atau pemberitahuan itu tidaklah harus pejabat kepolisian, atau pejabat kejaksaan. Boleh pejabat administratif, asalkan pejabat administratif tersebut oleh aturan atau kebiasaan umum diperkenankan atau berwenang untuk menerima pengaduan atau pemberitahuan serta berwenang menanganinya. Misalnya pejabat Kepala Desa.
  1. Menimbulkan persangkaan palsu
Kejahatan menimbulkan persangkaan palsu terdapat dalam Pasal 318 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja dengan suatu perbuatan menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dirinya melakukan suatu tindak pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

  1. Unsur Objektif:
a)      Perbuatannya: suatu perbuatan
b)      Akibat: menimbulkan secara palsu persangkaan pada seseorang bahwa dia melakukan suatu tindak pidana.
  1. Unsur subjektif:
a)      Kesalahan: dengan sengaja
  1. Penghinaan mengenai orang yang meninggal
Kejahatan penghinaan mengenai orang sudah meninggal dunia ada 2 (dua) macam yaitu:
  1. Penghinaan mengenai orang meninggal yang apabila orang itu masih hidup adalah berupa pencemaran atau pencemaran tertulis, dirumuskan dalam Pasal 320 ayat (1). Bentuk penghinaan orang meninggal adalah bentuk khusus dari pencemaran atau pencemaran tertulis.
“Barangsiapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
Unsur lebih jelasnya unsur-unsur pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal (Pasal 320 ayat 1) juncto Pasal 310 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a)      Unsur objektif:
1)      Perbuatan: menyerang
2)      Objeknya (1) kehormatan orang yang sudah meninggal (2) nama baik orang yang sudah meninggal
3)      Caranya: dengan menuduhkan suatu perbuatan
4)      Yang merupakan pencemaran jika orang itu masih hidup.
b)      Unsur subjektif: Kesalahan (dengan sengaja)
  1. Penghinaan mengenai orang yang meninggal dengan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar dimuka umum  yang isinya mencemarkan nama baiknya dirumuskan dalam Pasal 321 ayat (1).
“Barangsiapa menyiarkan, secara terbuka mempertunjukan atau menempelkan tuliasan atau gambar yang isinya menghina atau mencemarkan bagi orang yang sudah meninggal dunia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui atau lebih di ketahui umum, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Mengenai kehajatan penghinaan terhadap orang yng meinggal dimuat dalam ayat (1) yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur objektif
  1. Pembuatanya
1)      Menyiarkan
2)      Mempertunjukkan secara terbuka
3)      Menempelkan
  1. Secara terbuka
  2. Objeknya :
1)      Tulisan
2)      Gambar yang isinya menghina atau mencemarkan orang yang sudah meninggal
Unsur-unsur subjektif
  1. Kesalahan : dengan maksud upaya isi surat atau gambar diketahui atau lebih diketahui umum.

  1. PENGHINAAN KHUSUS
Bentuk- bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II yang telah dibicarakan dalam bab yang lalu daapt disebut dengan penghinaan umum, yang mengandung sifat yang lain dari penghinaan yang diatur di luarnya yang dapat disebut dengan penghinaan khusus. Disebut dengan penghinaan umum, oleh sebab dua alasan:
  1. Bentuk-bentuk penghinaan tersebut dumuat dalam satu bab yakni Bab XVI Buku II. Karena dimuat dalam satu bab maka semua bentuk kejahatan yang dirumuskan sebagai bagiannya tentulah mempunyai sifat dan ciri yang sama.
  2. Sifat dan ciri yang sama ini ialah bahwa semua bentuk penghinaan di dalamnya mengandung sifat penghinaan bagi pribadi-pribadi orang, atau bersifat individu. Rasa harga diri mengenai kehormatan dan nama baik orang yang  menjadi objek penghinaan umum adalah pribadi-pribadi tertentu. Secara jelas siapa orang yang rasa harga dirinya mengenai kehormatan dan nama baiknya yang diserang, dan siapa pula yang berhak mengajukan pengaduan tertera secara jelas. Adanya pihak-pihak yang diberi hak untuk mengajukan pengaduan dalam penghinaan (orang yang terkena kejahatan atau ahli warisnya) adalah sebagai indikator bahwa sifat pribadi dari kejahatan penghinaan ini sanga menonjol.
Sementara, itu, tindak pidana yang diberi kualifikasi penghinaan khusus yang terdapat di luar Bab XVI yang tersebar pada beberapa pasal yang masuk ke dalam bab yang berbeda-beda objeknya atau kepentingan hukum yang dilindungi sebagai dasar pengelompokan masing-masing tindak pidana. Oleh karena berbeda-beda dasar pengelompokan penghinaan di lur Bab XVI inilah, maka tidak salah disebut sebagai penghinaan khusus. Sebagai bentuk penghinaan khusus tertentu berlainan sifat dan ciri dari penghinaan pada umumnya yang diatur dalam Bab XVI. Meskipun demikian, masih ada juga sifat yang sama diantara bentuk-bentuk penghinaan khusus tersebut. Sifat yang sama ini dapat dilihat pada objek penghinaan, yakni mengenai “rasa” atau “perasaan harga diri” atau “martabat mengenai kehormatan atau nama baik orang”.
Adapun perbedaan lain, ialah penghinaan umum hanya dapat dilakukan pada objek  orang semata. Tetapi, pada penghinaan khusus, ada bentuk penghinaan yang dilakukan bukan pada orang tetapi pada badan, misalnya pemerintah RI (Pasal 154 KUHP), atau ada yang dilakukan pada agama (Pasal 156a KUHP), bahkan ada penghinaan yang dilakukan terhadap benda bendera dan lambang negara (Pasal 142a dan Pasal 154a KUHP).
Adapun bentuk-bentuk penghinaan khusus, disebutkan di bawah ini:
  1. Penghinaan terhadap kepala Negara RI dan atau wakilnya (Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP). Oleh  Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tanggal 6 Desember 2006 Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  2. Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (Pasal 142 KUHP)
  3. Penghinaan terhadap wakil negara asing di Indonesia (Pasal 143 dan 144 KUHP) .
  4. Penghinaan terhadap bendera kebangsaan RI dan lambang negara RI (Pasal 154a KUHP).
  5. Penghinaan terhadap bendera kebangsaan negara lain (Pasal 142a).
  6. Penghinaan terhadap pemerintah RI (Pasal 154, 155 KUHP). Oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.6/PUU-V/2007 tanggal 16 Juli 2007 kedua norma kejahatan Pasal ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  7. Penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia tertentu (Pasal 156 dan 157 KUHP).
  8. Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum (Pasal 207, dan 208 KUHP).
  9. Penghinaan dalam hal yang berhubungan dengan agama, yaitu:
    1. Penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a).
    2. Penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan tugasnya (Pasal 177 butir 1 KUHP).
    3. Penghinaan mengenai benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 butir 2 KUHP).                        
    4.  
       
       
       
       

    Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik

    PENGHINAAN atau pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
    Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
    Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
    Pasal-Pasal Penghinaan
    Pasal 134, 136, 137
    >>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
    menunjukkan, menempelkan di muka umum
    >>Pidana 6 tahun penjara
    Pasal 142
    >>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
    >>Pidana 5 tahun penjara
    Pasal 143, 144
    >>Penghinaan terhadap wakil negara asing
    >>Pidana 5 tahun penjara
    Pasal 207, 208, 209
    >>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
    >>Pidana 6 bulan penjara
    Pasal 310, 311, 315, 316
    >>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
    dengan tulisan
    >>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
    Pasal 317
    >>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
    >>Pidana 4 tahun penjara
    Pasal 320, 321
    >>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
    >>Pidana 4 bulan penjara
    (Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
    Delik Aduan
    Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
    Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
    Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
    Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
    Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
    Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
    Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
    1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
    2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
    tuduhan itu.
    3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
    Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
    Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
    Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
    Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
    Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
    Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
    Kasus
    Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
    1. Berita Buana, 4 November 1989
    >>Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
    >>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti
    kebenaran informasi
    >>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
    2. Pos Kota, Juni 1990
    >>Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
    diralat
    >>Hasil akhir: bebas
    3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
    >>Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
    Berebut Janda
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
    tidak konfirmasi
    >>Hasil akhir: hukuman percobaan
    4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
    >>Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
    >>Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
    >>Hasil akhir: tidak jelas
    5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
    >>Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
    >>Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
    menyenangkan
    >>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
    6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
    >>Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
    >>Hasil akhir: hukuman percobaan
    7. Tajuk, 23 Juni 1999
    >>Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
    >>Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
    >>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
    8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
    >>Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
    >>Hasil akhir: tidak jelas.*
       

PENYELIDIKAN&PENYIDIKAN

Penyelidikan dan Penyidikan


Penyelidikan dan penyidikan penting diuraikan dalam tulisan ini. Karena dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan pejabat penyelidik dan penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan peneriksaan surat. Dalam tindakan upaya paksa tersebut, jika yang diperiksa merasa keberatan atas perlakuan dirinya yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka dapat mengajukan praperadilan.
Terminologi penggunaan kata penyelidikan dan penyidikan, jika diperhatikan dari kata dasarnya, sama saja, keduanya berasal dari kata dasar sidik. Namun dalam KUHAP pengertian antara penyelidikan dan penyidikan dibedakan sebagai tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP menegaskan ‘penyelidikan adalah serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari  dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.”
Penyelidikan dilakukan sebelum  penyidikan. Dengan pengertian yang ditegaskan dalam KUHAP, penyelidikan sesungguhnya penyelidik yang berupaya atau berinsiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Walaupun dalam pelaksaanan tugas penyelidikan terkadang juga menerima laporan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan (vide: Pasal 108 KUHAP). Tujuan dari pada penyelidikan memberikan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyelidik, agar tidak melakukan tindakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Penyelidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang (Pasal 1 butir 4) yang memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 KUHAP:
ü  Penyelidik atau Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
v  Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
  • Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
  • Mencari keterangan dan barang bukti.
  • Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
  • Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
v  Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
  • Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
  • Pemeriksan dan penyitaan surat.
  • Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
  • Membawa dan menghadapkan seseoarang pada penyidik
ü  Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat 1 huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Dengan memperhatikan rumusan Pasal 1 butir 5. Arti dari pada penyelidikan. Penyelidikan tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan suatu peristiwa itu diduga keras sebagai tindak pidana. Penyelidikan dimaksudkan untuk menemukan bukti permulaan dari pelaku (dader). Baik dalam Pasal 1 butir 5 maupun Pasal 5 KUHAP tidak ditegaskan perkataan pelaku atau tersangka. Dengan demikian, sudah tepat jika penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan suatu peristiwa diduga keras sebagai tindak pidana.
Sedangkan penyidikan, sebagaimana ditegaskan  dalam Pasal 1 butir 2 ”serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.”
Tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan  mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti. Supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang. Agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Hal yang membedakan dari penyelidikan dan penyidikan sebagaiman dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) yaitu:
  1. Dari segi pejabat pelaksana, pejebat penyelidik terdiri dari  semua anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik.
  2. Wewenang penyidik sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan  yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam  hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5  ayat 1 huruf b seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
Dalam penyidikan juga pejabat penyidik (lih: Pasal 6) memiliki kewenangan dalam mencari dan mengumpulkan bukti seperti halnya kewenangan yang diberikan kepada penyelidik dalam tingkat penyidikan. Kewenangan penyidikan ditegaskan dalam Pasal 7 KUHAP sebagai berikut:
  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
  4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
  5. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
  6. Mengambil sidik jari dan memotret seseoarang.
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
  8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
  9. Mengadakan penghentian penyidikan.
  10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum melalui SPDP (Surat Pemberitahun Dimulainya Penyidikan, vide: Pasal 109 ayat 1 KUHAP).
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat 2 KUHAP). Penyerahan ini dilakukan melalui dua tahap, yakni:
  1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
  2. Dalam hal penyidikan dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut  umum.
Jika pada penyerahan tahap pertama, penutut umum berpendapat bahwa berkas perkara kurang lengkap maka ia dapat:
  1. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk. Penuntut umum menerbitkan P-18 dan P-19.
  2. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 30 ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).
Berdasarkan Pasal 110 ayat 4 KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.

PUTUSAN BEBAS

Putusan Bebas (vrijspraak)


Putusan bebas dirumuskan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Acara Hukum  Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP)   yang berbunyi, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas.”
Rumusan Pasal 191 ayat (1) di atas dapat menimbulkan penafsiran yang kurang tepat, seolah-olah putusan bebas terjadihanya karena kesalahan terdakwa tidak terbukti pada pemeriksaan di sidang. Akan tetapi, dengan memperhatikan penjelasan resmi pasal tersebut. Maka kekeliruan penafsiran dapat dicegah karena penjelasan tersebut menyatakan, yang dimaksud dengan “Perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.”
Dengan kata lain, Leden Marpaung, (2010: 137) mengemukakan  “Baik kesalahan terdakwa dan/ atau perbuatan yang didakwakan tidak terbukti berdasarkan alat bukti sah yang ditentukan Pasal 184 KUHAP pada pemeriksaan di sidang pengadilan.”

ALAT BUKTI

Alat Bukti Petunjuk


Sebagai salah satu inovasi hukum, ada sebagian ahli hukum pidana berhasrat meniadakan petunjuk sebagai alat bukti. Van Bammel (dalam Hamzah, 2009: 272) menilai bahwa alat bukti sama sekali tidak ada artinya. Mustahil mengatakan sebagai alat bukti lalu pada hakikatnya, wujudnya itu tidak ada.
Sama halnya dalam hukum perdata formil alat bukti persangkaan. Juga nyatanya demikian tidak ada. Oleh karena lebih pada kewenangan atau otoritas penilaian, penafsiran bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Apalagi dalam Pasal 188 ayat 1 KUHAP menegaskan “petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.“ Oleh karena itu petunjuk lebih dekat dengan istilah sebagai penilaian atau pengamatan hakim. Untuk menghindari dominasi subjektif hakim yang tidak wajar, mendorong pembuat Undang-undang sedini mungkin memperingatkan hakim, supaya penerapan dan penilaian alat bukti petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, serta harus lebih dahulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Demikian ketentuan impertif dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP, “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijkasana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.”


Keterangan Terdakwa


Tentu pertanyaan mendasar adalah mengapa keterangan terdakwa diletakkan pada urutan terakhir sebagai alat bukti. Demikian juga dalam setiap menguraikan keteranga saksi baik dalam berita acara penyidikan, penuntutan maupun persidangan selalu diakhir ia dimintai keterangannya perihal peristiwa tindak pidana yang ia sendiri lakukan.
Hal ini lebih pada pertimbangan psikologis (psychology and law, “Realibitas Kesaksian“ lih, Rahayu, 2004: 3) dari terdakwa agar tidak melakukan otoritas untuk mengubah alur atau kejadian tindak pidana. Hakim akan lebih gampang menarik kesimpulan setelah mendengar semua keterangan saksi korban, keterangan saksi yang melihat dan mendengar tindak pidana. Kemudian diikuti keterangan terdakwa untuk mengoreksi sekaligus memberikan keterangan yang dapat ditarik petunjuk dalam menyesuaikan telah terwujudnya tindak pidana.
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Pasal 189 ayat 1 KUHAP). Dari uraian Pasal tersebut masih menyimpan sejumlah kesulitan. Tidak ada perbedaan atau penjelasan apakah pengakuan dapat dikategorikan sebagai keterangan terdakwa. Oleh Hamzah (2009: 273) mengemukakan bahwa keterangan terdakwa tidak perlu  sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat diantaranya:
  1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
  2. Mengaku ia bersalah.
Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, keterangan terdakwa harus ditafsirkan bahwa keterangan yang bernilai sebagai pengakuan maupun penyangkalan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Yang penting keterangan tersebut dinyatakan di sidang pengadilan, mengenai perbuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri, keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, harus disertai atau ditunjang dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 KUHAP)

 

Alat Bukti Surat.


Surat atau keterangan tertulis yang diatur dalam KUHAP berbeda dengan keterangan surat yang diatur dalam hukum perdata formil (RIB). Dalam hukum acara perdata ada pembagian tegas alat bukti surat. Yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Sedangkan dalam hukum pidana formil tidak mempersoalkan bagaimana kekuatan pembuktian akta/ surat di bawah tangan. Lebih jelasnya, pengaturan tentang keterangan surat ditegaskan dalam Pasal 187:
  1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
  2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai  hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya  dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal  atau suatu keadaan.
  3. Surat keterangan dari seoarang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal  atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
  4. Surat lain yang hanya  dapat berlaku jika ada hubungannya isi dari alat pembuktian yang lain.

Dari uraian Pasal tersebut di atas. Tidak ada penegasan yang jelas perihal surat yang tidak otentik, tidak dapat menjadi alat bukti, terlebih lagi dalam Pasal 187 ayat 4 membuka celah untuk penggunaan keterangan yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang atau akta itu disebut akta otentik. Terlepas dari permasalahan tersebut, adalah diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim bebas menilai kekuatannya dan kebenarannya. Kebenaran itu dapat ditinjau dari beberapa alasan. Boleh dari segi asas kebenaran sejati, atas keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimun pembuktian.

Keterangan Ahli



Alat bukti keterangan ahli ditempatkan dalam urutan kedua sebagaimana yang disistematisasikan dalam Pasal 184 KUHP. Ini menunjukan bahwa alat bukti tersebut berpengaruh penting dalam pembuktian yang dimana penyidik, penuntut, maupun hakim belum jelas atau terang memandang suatu tindakan pidana.
Pengaturan keterangan ahli dalam HIR tidak ditegaskan dalam satu pasalpun, oleh karena keterangan ahli digabung dengan keterangan saksi. Padahal alat bukti tersebut dua sisi yang berbeda. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh orang yang mengalami, melihat dan mendengar suatu peristwa tindak pidana. Sedangkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang mempunyai pengetahuan khusus (keahlian/ expertise) yang dapat mendukung benar/ tidaknya telah teradi peristiwa tindak pidana.
Pasal 186 menegaskan bahwa keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan dalam persidangan. Dari uraian Pasal tersebut tidak menegaskan secara jelas, yang mana sesungguhnya dikatakan keahlian yang dimiliki oleh seorang yang dapat mendukung titik terang suatu tindak pidana. Penjelasan keterangan ahli sebagaimana dikemukakan oleh Hamzah (2009: 13) dapat dilacak dalam Pasal 343 Ned. SV, “keterangan ahli adalah pendapat yang berhubungan dengan  ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbagannya.”
Jadi dari keterangan tersebut, menurut Van Bemmelen (dalam Hamzah, ibid: hal. 13) bahwa keterangan ahli ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seorang. Pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) diperluas pengertiannya oleh hogoo raad yang meliputi kriminalistik. Ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan tentang sidik jari, termasuk dalam kategori klasifikasi wetenschap. Oleh karena itu seorang ahli dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang itu secara khusus.
Keterangan saksi ahli tidak hanya dapat digunakan dalam persidangan atau pembuktian guna mengungkap fakta-fakta baru dalam persidangan. Keterangan saksi ahlipun dapat digunakan/ diberikan oleh seorang saksi ahli baik dalam penyidkan, penuntutan. Ataupun dihadirkan kembali ke dalam persidangan jika ketua majelis hakim menganggap penting untuk menghadirkan saksi ahli tersebut. Ataukah, tidak dihadirkan dalam penyidikan maupun penuntutan oleh hakim kemudian meminta untuk dihadirkan dalam persidangan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 186 KUHAP “jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan  dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Berikut, mekanisme penggunaan keterangan saksi ahli, jika diminta oleh penyidik dan yang diminta untuk diberikan dalam persidangan sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002: 275) yaitu:
  1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan. Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah pada bentuk ini:
  • Diminta dan diberikan ahli pada saat pemriksaan penyidikan. Jadi pada saat penyidikan demi kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan oleh penyidik secara tertulis dengan menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan itu dilakukan.
  • Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan. Laporan itu berupa surat keterangan, misalnya visum et repertum.
  • Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan mengingat sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.
  • Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli, keterangan yang dituangkan dalam laporan, mepunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
  1. Tata cara keterangan ahli yang diminta dan diberikan di persidangan melalui mekanisme:
  • Apabila dianggap perlu dan dikehenndaki baik oleh ketua sidang karena jabatan atau permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
  • Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk keterangan  lisan dan secara langsung diberikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera.
  • Dan untuk itu ahli yang memberikan keterangan lebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan.
  • Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan  yang demikian dalam pemeriksaan sidang di pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut udang-undang dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Jadi keterangan ahli tentunya berbeda dengan keterangan saksi. Namun oleh Hamzah (ibid: 269) mengemukakan kadang sulit dibedakan jika hanya dilihat penjelasan dari keterangan ahli yang diberikan/ diuraikan dalam KUHAP. Perbedaan di sini yang amat mencolok yakni keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterrangan ahli mengenai suatu penilaian hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu. Letak kesamaan dari dua keterangan kesaksian tersebut, mewajibkan keduanya untuk di sumpah sebelum memberikan keterangan perihal peristiwa tindak pidana yang ia akan terangkan.

Kekuatan Pembuktian Alat bukti petunjuk & keterangan Terdakwa


Alat Bukti Petunjuk
Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk berupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
Demikian juga alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap terikat pada prinsip batas minimal pembuktian. Petunjuk nanti dapat dikatakan mempunyai nilai kekuatan pembuktian cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya dengan satu alat bukti yang lain.
Keterangan Terdakwa
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pada alat bukti keterangan terdakwa. Hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menyingkirkan atau menerima  sebagai alat bukti dengan mengemukakan alasannya.
Keterangan terdakwa juga harus disesuaiakan dengan batas minimal pembuktian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 189 ayat 4 “keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain.”
Sekalipun keterangan terdakwa telah memenuhi syarat batas minimum pembuktian, tetap masih harus dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa memang benar adanya terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Dengan uraian pembuktian alat bukti di atas jelas nampak perbedaannya dengan kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata sebagimana ditegaskan dalam Pasal 1866 KUH perdata/ Pasal 164 HIR (tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah). Dalam proses hukum acara pidana tidak ada alat bukti yang dapat dikategorikan sebagai murni kekuatan pembuktiannya sempurna (volledig), mengikat (bindend) dan menentukan (dwingende, bellisend). Beda halnya dengan alat bukti tulisan dalam hukum acara perdata akta otentik dan pengakuan sering kali dikategorikan sebagai alat bukti yang sempurna, mengikat dan menentukan, sepanjang tidak aa bukti lawan (tegen bewijs)

Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat


Untuk menilai kekuatan pembuktian surat, terbagai atas dua teori yakni dari tinjauan dari segi formal dan dari tinjauan segi materil.
Ditinjau dari segi formil, alat bukti surat ditegaskan pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk surat tersebut dibuat dalam bentuk yang resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka alat bukti surat yang sesuai dangan Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna kecuali data dibuktikan dengan alat bukti lawan (tegen bewijs).
Namun dari sudut materil alat bukti surat tetap bersifat bebas kekuatan pembuktianya. Hal ini disebabkan hukum acara pidana yang berpatokan pada pencarian kebenaran materil (materiel waarheid), asas keyakinan hakim (Pasal 183) dan asas batas minimal pembuktian.
Dengan alasan dan penjelasan di atas menunjukan bagaimanapun sempurnanya nilai pembuktian alat bukti surat, kesempurnaan itu tidak mengubah sifatnya menjadi alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan yang melekat pada kesempurnaannya tetap bersifat kekuatan pembuktian yang bebas.
Hakim bebas untuk menilai kekuatannya dan kebenarannya. Kebenaran ini dapat ditinjau dari beberapa alasan. Baik dari segi asas kebenaran sejati (truth), atas keyakinan hakim, maupun dari sudut batas minimal pembuktian.


Kekuatan pembuktian Keterangan ahli


Tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi, keterangan ahli juga  mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Di dalam keterangan ahli tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral dan terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.
Selain itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli tidak dapat berdiri sendiri harus didukung dengan persesuaian dengan alat bukti yang lain, begitupun jika dikaitkan dengan Pasal 185 ayat 2 KUHAP seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka demikian halnya dengan keterangan ahli harus disertai dengan alat bukti yang lain.


Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi


Keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan.
Oleh karena alat bukti kesaksian ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian sempurna dan menentukan maka juga sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan  saksi. Ia dapat menerima atau menyingkirkannya.

Keterangan Terdakwa


Tentu pertanyaan mendasar adalah mengapa keterangan terdakwa diletakkan pada urutan terakhir sebagai alat bukti. Demikian juga dalam setiap menguraikan keteranga saksi baik dalam berita acara penyidikan, penuntutan maupun persidangan selalu diakhir ia dimintai keterangannya perihal peristiwa tindak pidana yang ia sendiri lakukan.
Hal ini lebih pada pertimbangan psikologis (psychology and law, “Realibitas Kesaksian“ lih, Rahayu, 2004: 3) dari terdakwa agar tidak melakukan otoritas untuk mengubah alur atau kejadian tindak pidana. Hakim akan lebih gampang menarik kesimpulan setelah mendengar semua keterangan saksi korban, keterangan saksi yang melihat dan mendengar tindak pidana. Kemudian diikuti keterangan terdakwa untuk mengoreksi sekaligus memberikan keterangan yang dapat ditarik petunjuk dalam menyesuaikan telah terwujudnya tindak pidana.
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Pasal 189 ayat 1 KUHAP). Dari uraian Pasal tersebut masih menyimpan sejumlah kesulitan. Tidak ada perbedaan atau penjelasan apakah pengakuan dapat dikategorikan sebagai keterangan terdakwa. Oleh Hamzah (2009: 273) mengemukakan bahwa keterangan terdakwa tidak perlu  sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat diantaranya:
  1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
  2. Mengaku ia bersalah.
Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, keterangan terdakwa harus ditafsirkan bahwa keterangan yang bernilai sebagai pengakuan maupun penyangkalan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Yang penting keterangan tersebut dinyatakan di sidang pengadilan, mengenai perbuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri, keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, harus disertai atau ditunjang dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 KUHAP)





PRA PERADILAN

Praperadilan



Pengertian atau defenisi sebuah peristilahan penting diuraikan, oleh karena akan menjadi dasar dan kerangka acuan untuk memperjelas suatu permasalahan, mengkonkretkan sebuah proposisi. Walaupun terkadang defenisi yang diberikan tidak mampu mencakup atau menjelaskan secara kompherensif sebuah terminologi. Minimal akan menjadi pembeda atas setiap istilah yang saling berkaitan. Atau istilah tersebut akan kelihatan klasifikasi penggunaanya dalam menyusun skema pernyataan yang logis.
Pengertian yang akan dijelaskan kemudian sebagai pokok-pokok dasar yang akan menjadi bahan telaah atas setiap peristilahan yang akan dipergunakan dalam penerapan hukum formil. Istilah tersebut juga erat kaitannya dengan judul yang diangkat, diantaranya praperadilan, penangkapan, dan putusan pengadilan.
1. Praperadilan
Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi.
Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadiln tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure). Bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.
Menurut Hamzah (2006: 183) “menitik beratkan praperadilan sebagai pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim terhadap kewenangan kepolisian dan kejaksaan.” Namun yang terjadi di Eropa seperti Prancis pemeriksaan pendahuluan yang dimaksud tidak hanya pada tindakan tidak sahnya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, namun hakim ikut serta melakukan pemeriksaan pendahuluan, apakah tindak pidana tersebut layak masuk sebagai objek/ kompetensi pengadilan atau tidak?
Negara indonesia, yang menentukan layaknya sebuah perkara oleh pelaku tindak pidana untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah kepolisian dan kejaksaan setelah memenuhi unsur dan alat pembuktian.
Menurut Yahya Harahap (2002 b: 1) praperadilan merupakan lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:
1. Berada dan merupakam kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, yang hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak pernah terpisah dari Pengadilan Negeri.
2. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi Pengadilan Negeri.
3. Adminitrasi yustisial, personil, peralatan, dan finansial baru bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri.
4. Tata laksanan yustisiallnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Eksistensi dan kehadiran lembaga praperadilan, yakni sebagai lembaga yang berwenang dan berfungsi mengadili atau menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan. Keberadan lembaga praperadilan, untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal (vide: Pasal 80 KUHAP). Jadi praperadilan adalah sebagai sarana pengendali dan pengawas atas tindakan institusi kepolisian dan kejaksaan terhadap kesalahan dalam tindakan penyidikan/ proses penuntutan (dalam penangkapan, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan). Kesalahan itu baik berupa undue process of law ataukah terjadi eror in persona dalam penangkapan/ penahanan.

 

 

Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Tersangka dalam Tingkat Penyidikan

 
Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan.
Preperadilan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik karena penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, kontrol tersebut dilakukan dengan beberapa cara:
  1. Control vertical, kontrol dari atas ke bawah.
  2. Control horizontal, kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
Wewenang yang diberikan oleh penyidik berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dapat melakukan tindakan upaya paksa. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tujuan dari upaya paksa tersebut, tidak lain adalah guna kepentingan umum. Melindungi hak-hak publik dengan atas nama kekuasaan/ kewenangan pejabat negara (penyidik). Penyidikan dengan tindakan atau upaya paksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah untuk mencari bukti dan titik terang siapa pelaku (dader) atau tersangkanya.
Penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa berada dalam batasan dan ketentuan yang diikat oleh, syarat, alasan, dan tata cara upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Jika penyidik melakukan tindak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku/ KUHAP (undue process of law) atau melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan salah orang dalam penangkapan. Maka terhadap orang, keluarga atau kuasa hukumnya dapat melakukan upaya hukum praperadilan melalui Pengadilan Negeri atas tidak sahnya upaya paksa (dwangs).
Ketentuan tentang wewenang praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Dapat dikatakan, bersumber dari pasal-pasal tersebut, akan tetapi ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 95 dan Pasal 97.
Lebih jelasnya, Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada praperadilan sebagai berikut:
  1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa.
  2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
  3. Memeriksa tuntutan ganti rugi.
  4. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
  5. Memeriksa terhadap sah/ tidaknya tindakan penyitaan.
Berdasarkan wewenang praperadilan, ketentuan tentang  siapa yang berwenang mengajukan praperadilan dapat terlihat di sini. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP Pasal 79:  Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya. Pasal 80: Permintaan untuk pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 79, Pasal 80 KUHAP tersebut dapat diketahui siapa saja yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan yaitu:
  1. Tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya.
  2. Penyidik atau penuntut umum.
  3. Pihak ketiga yang berkepentingan.
Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, menurut Wahyu Effendi (Rusli Muhammad, 2007: 94) yaitu:
  1. Agar aparat penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukum dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
  2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga untuk melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
  3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan  orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
  4. Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
  5. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Titk berat pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian  dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.

PENCUCIAN UANG

Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya dalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya. Para pakar telah menggolongkan proses pencucian uang (money laundering) ke dalam tiga tahap, yakni:
Tahap Placement: tahap dimana menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnaya melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang bersifat ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.
Tahap Layering: yang dimaksud dengan tahap layering ialah tahap dengan cara pelapisan. Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya ataupun asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi derivatif, dan lain-lain. Seringkali kali pula terjadi bahwa si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.
Tahap Integration: merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci. (sumber,http://72legalogic.wordpress.com)
Dari penjelasan di atas, dapt disimpulkan bahwa tujuan pelaku melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi mengubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari tuntutan hukum.

Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari defenisi tindak pidana pencucian uang sebagaimana di jelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
  1. pelaku
  2. perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal).
  3. merupakan hasil tindak pidana
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam Undang-undang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/memindahbukukan.
Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada pasal 1 angka (5) UU No. 8 Tahun 2010 adalah: transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
  1. transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
  2. transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
  3. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara.
Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut. Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja:
  1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
  2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.
  3. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
  4. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.
  5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.
  6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.
  7. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.

PERBEDAAN KUHAP&KUHAPer

Perbedaan Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acara Perdata

Kepentingan yang dilindungi
Bahwa hukum acara pidana selain untuk melindungi kepentingan umum (publik), sedangkan hukum acara perdata hanya untuk melindungi kepentingan perorangan (privat).
Inisiatif penuntutannya ke Pangadilan
Bahwa dalam perkara pidana yang berinisiatif untuk melakukan penuntutan ke Pengadilan adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU), sedangkan dalam perkara perdata yang berinisiatif melakukan penuntutan adalah pihak-pihak yang merasa dirugikan (pihak penggugat).
Keaktifan Hakim
Bahwa dalam perkara pidana selain JPU, hakim juga dapat bersikap aktif guna melakukan penemuan hukum, sedangkan dalam perkara perdata hakimnya bersikap pasif dengan ketentuan bahwa hakim hanya boleh mengadili seluruh maupun sebagian dari gugatan yang diajukan penggugat.
Keyakinan Hakim
Bahwa dalam perkara pidana, meskipun terdakwa telah mengakui suatu hal, hakim tidak serta-merta menerima bagitu saja pengakuan dari terdakwa kalau seandainya hakim tidak yakin dengan pengakuan dari terdakwa. Sedangkan dalam perkara perdata, jika tergugat mengakui perbuatannya dan apa yang dituntut oleh penggugat sekalipun hakim tidak yakin dengan pengakuan tergugat, hakim wajib memutuskan perkara tersebut dan tidak lagi mempersoalkan tentang pengakuan tergugat.
Kebenaran yang ingin dicapai
Kebenaran yang ingin dicapai dalam hukum acara perdata adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang hanya didasarkan pada formalitas-formalitas hukum, sementara kebenaran kebenaran yang diautamakan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materil, yaitu yang bukan hanya memerlukan formalitas hukum, akan tetapi harus ditunjang pula dengan pengujian terhadap formallitas hukum itu dimuka siding pengadilan, dan fakta-fakta yang ditemukan dalam siding pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutuskan perkara.