PENGHINAAN

Delik Penghinaan


Menurut Ledeng Marpaung, istilah tindak pidana penghinaan pada umumnya juga biasa digunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan. Dipandang dari segi sisi sasaran atau objek delik, yang merupakan maksud atau tujuan dari Pasal tersebut yakni melindungi kehormatan, maka tindak pidana terhadap kehormatan, lebih tepat. Tindak pidana kehormatan/penghinaan adalah tindak pidana yang menyerang hak seseorang berupa merusak nama baik atau kehormatan seseorang.
Demikian halnya dengan istilah penghinaan yaitu semua jenis kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XVI buku II. Dalam Pasal 310 ayat (1) dimuat semua unsur, baik yang bersifat objektif (perbuatan/objeknya) maupun yang bersifat subjektif (kesalahan, berupa sengaja melakukan perbuatan dan maksud pembuat dalam hal melakukan perbuatan). Pada kenyataannya memang semua kejahatan yang masuk penghinaan (Bab XVI buku II), maupun penghinaan khusus di luar Bab XVI mengandung sifat yang sama dengan kejahatan pencemaran. Mengandung sifat yang sama tidak sama artinya dengan mengandung unsur  yang sama. Sifat yang sama, terletak baik pada perbuatannya menyerang, objeknya kehormatan dan nama baik, maupun kesengajaan  baik yang ditujukan pada perbuatan maupun yang ditujukan kepada akibat. Dicontohkan kepada “pengaduan fitnah” meskipun perbuatan materilnya (mengajukan pengaduan dan pemberitaan palsu) berbeda dengan perbuatan materil pada pencemaran (menyerang kehormatan dan nama baik) namun sifat kedua kejahatan itu adalah sama. Keduanya menyerang rasa harga diri atau martabat dan harga diri orang lain mengenai kehormatannya dan mengenai nama baiknya, meskipun didalam pengaduan fitnah akan menjatuhkan martabat dan harga diri orang lain mengenai kehormatannya dan mengenai nama baiknya, meskipun didalam pengaduan fitnah tidak tertulis unsur mengenai kehormatan dan nama baik orang.
Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi membedakannya menjadi: panghinaan umum (diatur dalam bab XVI buku II KUHP), dan penghinaan khusus (tersebar diluar bab XVI buku II KUHP). Objek penghinaan umum adalah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik orang pribadi (bersifat pribadi). Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.
  1. PENGHINAAN UMUM
Ada tujuh macam penghinaan yang masuk ke dalam kelompok penghinaan umum, ialah:
  1. Pencemaran/Penistaan lisan
Kejahatan yang oleh Undang-Undang diberi kualifikasi pencemaran atau penistaan (smaad) dirumuskan selengkapnya dalam Pasal 310 ayat (1) yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu perbuatan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-”.
Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1)      Dengan sengaja
2)      Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
3)      Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dan
4)      Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
Adapun menurut Adami Chazawi, mengenai penjelasan unsur-unsur Pasal 310 KUHP adalah sebagai berikut:
a)      Unsur Subjektif: Sengaja dan Maksud
Kejahatan pencemaran terdapat dua unsur kesalahan, yakni sengaja (opzettelijk) dan maksud atau tujuan. Walaupun dalam doktrin, maksud itu adalah juga kesengajaan (dalam arti sempit), yang disebut dengan kesengajaan sebagai maksud. Tetapi, fungsi unsur sengaja dan unsur maksud dalam pencemaran berbeda. Sikap batin “sengaja” ditujukan pada perbuatan  menyerang kehormatan atau nama ba ik orang (perbuatan dan objek perbuatan). Sementara sikap batin “maksud” ditujukan pada unsur “diketahui oleh umum” mengenai perbuatan apa yang dituduhkan pada orang itu.
Maka unsur yang diliputi oleh sengaja adalah unsur-unsur berikut ini:
1)    Perbuatan menyerang
2)    Objek: kehormatan atau nama baik orang
3)    Dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
Sementara unsur yang dituju oleh maksud adalah unsur terang supaya diketahui umum.
b)      Perbuatan menyerang
Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.
c)      Objek: Kehormatan dan nama baik orang
Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang. Rasa harga diri adalah intinya objek dari setiap  penghinaan, yang menurut Wirjono Projodikoro adalah menjadikan ukuran dari penghinaan. Rasa harga diri dalam penghinaan adalah rasa harga diri dibidang kehormatan, dan rasa harga diri di bidang nama baik.
d)     Caranya: dengan menuduhkan perbuatan tertentu.
Di atas telah diterangkan bahwa perbuatan menyerang ditujukan pada rasa harga diri atau martabat (mengenai kehormatan dan nama baik) orang, dengan menggunakan kata/kalimat melalui ucapan, caranya dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu. Jadi yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, seperti bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya.
  1. Pencemaran/Penistaan tertulis
Pasal 310 ayat (2) tentang pencemaran/penistaan tertulis berbunyi:
“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel secara terbuka, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Rumusan  Pasal 310 ayat (2), jika dirinci terdapat unsur-unsur berikut:
  1. Semua unsur (objektif dan subjektif) dalam ayat (1)
  2. Menuduh melakukan perbuatan dengan cara/melalui : (a) tulisan atau (b) gambar.
a)      Yang disiarkan
b)      Yang dipertunjukkan dan atau
c)      Yang ditempelkan
  1. Secara terbuka.
Unsur-unsur di atas itulah yang secara kumulatif mengandung sifat yang memberatkan pidana si pembuat. Sifat pencemaran melalui benda ttulisan dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat. Karena dari benda tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, dapat meluas sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang lama (selama tulisan itu ada dan tidak dimusnahkan). Sifat yang demikian amat berbeda dengan sifat pencemaran secara lisan. Oleh sebab itu wajar saja pencemaran dengan tulisan ini dipidana yang lebih berat dari pada pencemaran lisan.
Pencemaran dilakukan dengan menggunakan “tulisan dan gambar”. Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/kalimat dalam bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu (in casu menyerang kehormatan dan nama baik orang), diatas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi (misalnya: kertas, papan, kain dll).
Sedangkan gambar atau gambaran atau lukisan adalah tiruan dari benda yang dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan: pensil, kuas dan cat, dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat digambari/ditulisi. Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu (yang dituju).
Adapun dengan cara yang dilakukan yakni disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan secara terbuka. Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau di photo copy, yang kemudian disebarkan dengan cara apapun. Misalnya diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun (umum). Oleh sebab itu verspreiden dapat pula diterjemahkan dengan kata menyebarkan. Dalam cara menyebarkan sekian banyak tulisan atau gambar kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar agar isi tulisan atau makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.
Dipertunjukkan (ten toon gesteld) adalah memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau maknanya menghina tadi kepda umum, sehingga orang banyak mengetahuinya. Menunjukkan bisa terjadi secara langsung. Pada saat menunjukkan pada umum ketika itu banyak orang, tetapi bisa juga secara tidak langsung. Misalnya memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya, dilakukan pada saat malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Sedangkan ditempelkan (aanslaan), maksudnya  ialah tulisan atau gambar tersebut ditempelkan pada benda  lain yang sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan, dinding gedung, pohon dan sebagainya.
  1. Fitnah
Kejahatan fitnah dirumuskan dalam Pasal 311 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah mefitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Maka dapat dilihat unsur-unsur pencemaran atau pencemaran tertulis ada didalamya:
  1. Semua unsur (objektif dan subjektif) dari :
    1. Pencemaran (pasal 310 Ayat (1) )
    2. Pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2)
    3. Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannnya itu benar
    4. Tetapi si pembuat tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya
    5. Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang diketahuinya.
Unsur nomor 2, 3 dan 4 berupa unsur kumulatif yang berupa tambahan agar pencemaran atau pencemaran tertulis dapat menjadi fitnah. Dengan melihat unsur nomor 2 dan 3 nampaknya bahwa dakwaan fitnah baru boleh dilakukan, dalam hal apabila dalam perbuatan terdakwa terdapat pencemaran atau pencemaran tertulis.
  1. Penghinaan ringan
Bentuk penghinaan ringan ada dalam Pasal 315 KUHP yang berbunyi:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang baik dimuka umu  dengan lisan atau tulisan maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan  atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Apabila rumusan di atas dirinci, maka pada penghinaan ringan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Unsur objektif:
a)      Perbuatan: menyerang
b)      Objeknya adalah (a) kehormatan orang (b) nama baik orang
c)      Caranya:
1)      Dengan lisan dimuka umum
2)      Dengan tulisan di muka umum
3)      Dengan lisan di muka orang itu sendiri
4)      Dengan perbuatan di muka orang itu sendiri
5)      Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya
d)     Tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis
  1. Unsur subjektif: kesalahan dengan sengaja
Sebagaimana diketahui pencemaran adalah bagian dari penghinaan, dengan demikian juga penghinaan ringan. Oleh karena itu perbuatan dan objek pada penghinaan ringan adalah sama dengan perbuatan dan objek pada pencemaran. Mengenai unsur perbuatan menyerang dan objek kehormatan dan nama baik dirasa telah diterangkan secara cukup pada pembicaran mengenai pencemaran dan pencemaran tertulis.
Pada rincian unsur penghinaan ringan di atas, ada lima cara dalam melakukan penghinaan ringan. Cara tersebut sebagai ciri/indikator yang membedakan penghinaan ringan dengan pencemaran.
a)      Dengan lisan di muka umum.
Dengan lisan (mondeling) di muka umum (in het openbaar), artinya perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang dilakukan dengan cara mengungkapkan kata atau kalimat, dan dihadapan orang banyak. Orang banyak ini tidaklah ada batas berapa banyaknya, dihadapan dua atau tiga orangpun sudahlah cukup.
b)      Dengan tulisan di muka umum.
Dengan tulisan dapat juga disebut dengan surat (bij geschrifte). Bahwa kata atau kalimat yang bersifat menyerang kehormatan dan nama baik orang itu diwujudkan dengan tulisan di atas kertas, kain atau spanduk, atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi. Dengan cara menunjukkan tulisan pada banyak orang, atau menempelkannya di tempat umum, atau dengan menyebarkan dengan cara apapun pada siapapun. Tulisan disni termasuk juga gambar, yang di dalamnya mengandung makna menghina orang tertentu.
c)      Dengan lisan di muka orang itu sendiri.
Si pembuat mengucapkan kata atau kalimat secara langsung di hadapan orang yang dituju itu sendiri. Disini tidak diperlukan di muka umum atau di tempat umum (in  het  openbaar), yang diperlukan adalah didengar secara langsung ucapan itu oleh orang yang dituju.
d)     Dengan perbuatan di muka orang itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan adalah dengan perbuatan aktif atau perbuatan jasmani (perbuatan materil), artinya dengan menggunakan gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh si pembuat. Gerakan tubuh itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
1)      Kemungkinan pertama, diarahkan pada orang yang dituju, misalnya meludahi muka korban atau meludah di muka korban, menekan atau mendorong kepala korban, atau menginjaknya. Tapi perbuatan ini tidak boleh menimbulkan rasa sakit fisik.
2)      Kemungkinan kedua, perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang secara fisik tidak ditujukan pada korban, tetapi jelas mengandung sifat penghinaan terhadap korban. Perbuatan seperti ini bisa disebut dengan isyarat, tetapi maksudnya adalah penghinaan yang dipandang bagi orang pada umumnya suatu penghinaan. Misalnya, seorang yang menghina dengan menempelkan telunjuknya pada keningnya sendiri, dengan maksud menyatakan bahwa orang yang dituju itu adalah gila.
e)      Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan.
Dengan surat, bisa surat terbuka dan bisa juga dengan surat tertutup, yang dikirimkan baik melalui perentaraan (orag atau pos), bisa diserahkannya atau diterimakannya sendiri. Isinya surat itu adalah bersifat menghina yang tidak bersifat pencemaran tertulis. Bahwa apa yang dituliskan itu tidaklah berupa tuduhan melakukan perbuatan tertentu, atau tidak ditujukan pada khalayak umum, tetapi semata-mata ditujukan pada orang itu sendiri.
Unsur tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, bahwa unsur ini dirumuskan secara negatif, artinya harus tidak terdapatnya sesuatu yang in casu sesuatu yang menjadi sifat atau ciri penistaan atau penistaan tertulis. Hal apakah yang menjadi sifat atau ciri pencemaran? Sifat pencemaran sesungguhnya tertumpu pada 2 (dua) hal atau unsur, yaitu:
1)      Pada cara menyerang kehormatan atau nama baik orang, yakni dengan menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
2)      Pada maksud menuduhkan suatu perbuatan tertentu diarahkan pada agar diketahui umum.
Oleh karena unsur penghinaan ringan yang sehubungan dengan sifat pencemaran dirumuskan secara negatif, artinya berlawanan dengan sifat pencemaran. Maka unsur/kalimat yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, ialah harus memenuhi 2 (dua) syarat negatif, yaitu:
1)      Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang oleh si pembuat penghinaan ringan haruslah bukan berupa menuduhkan suatu perbuatan tertentu.
2)      Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan salah satu atau beberapa cara diantara lima cara di atas tadi, tidaklah ditujukan pada maksud agar diketahui umum, melainkan langsung pada maksud menyakitkan hati orang, menyinggung perasaan orang yang dituju saja.
  1. Pengaduan fitnah
Bentuk penghinaan lainnya yang disebut dengan pengaduan fitnah dirumuskan dalam Pasal 317 KUHP yang selengkapnya adalah sebagai berikut:
“ Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atau pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang sesorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”.

Pengaduan fitnah seperti dalam rumusan di atas, jika dirinci maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Unsur objektif:
a)      Perbuatan (a) mengajukan pengaduan (b) mengajukan pemberitahuan.
b)      Caranya: (a) tertulis, (b) dituliskan
c)      Objeknya tentang seseorang
d)     Yang isinya palsu
e)      Kepada penguasa
f)       Sehingga kehormatannya atau nama baiknya terserang
  1. Unsur subjektif: dengan sengaja
Ada dua bentuk tingkah laku dalam pengaduan fitnah, ialah mengadukan pengaduan atau mengadukan (klachte), dan mengajukan pemberitahuan atau melaporkan (aangifte). Kedua perbutaan ini mempunyai sifat yang sama, ialah menyampaikan informasi kepada penguasa tentang seseorang yang isinya palsu. Perbedaan antara dua perbuatan itu diadakan berhubung dengan sistem KUHP yang membedakan antara tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan yang buasa disebut tindak pidana biasa.
Unsur tertulis dan dituliskan, merupakan dua cara mengajukan pengaduan atau pemberitahuan itu. Secara tertulis maksudnya si pembuat yang mengadukan atau melaporkan dengan membuat tulisan (surat), ditanda tanganinya kemudian disampaikan kepada pejabat/penguasa.  Mengajukan secara tertulis ini tidak saja berarti menyampaikan langsung oleh si pemb uat kepada penguasa, tetapi bisa juga disampaikan dengan perantaraan kurir atau melalui  kantor pos, atau telegram, bahkan  juga dapat melalui pesan SMS atau mengirimkan rekaman kaset.
Sedangkan yang dimaksud menyampaikan  dengan dituliskan, ialah si pembuat datang menghadap kepada penguasa yang berwenang. Kemudian menyampaikan pengaduan atau pemberitahuan tentang seseorang yang disertai permintaan pada pejabat tersebut agar supaya isi pengaduan atau pemberitahuannya dituliskan. Inisiatif untuk dituliskannya pengaduan atau pemberitahuan harus dari si pembuat, bukan dari pejabatnya.
Tentang apa yang diadukan atau diberitahukan adalah mengenai seseorang tertentu, bukan perbuatan seseorang, dan isinya adalah palsu. Jadi yang palsu atau tidak benar bukanlah perbuatan yang dilaporkan, tetapi orangnya yang dilaporkan atau diadukan itu yang palsu. Misalnya ada pencurian, si A mengajukan pelaporan tentang adanya pencurian dirumahnya dan dia menyebut si B sebagai pembuatnya, padahal diketahuinya bukan si B, ini palsu karena yang benar adalah si C. Tentu saja kehormatan atau nama baik si B tercemarkan karena itu. Bisa saja terjadi bahwa pencurian yang dilaporkan memang benar-benar ada.
Perbuatan apa yang dilaporkan itu adalah segala perbuatan yang memalukan orang, maka pejabat yang menerima pengaduan atau pemberitahuan itu tidaklah harus pejabat kepolisian, atau pejabat kejaksaan. Boleh pejabat administratif, asalkan pejabat administratif tersebut oleh aturan atau kebiasaan umum diperkenankan atau berwenang untuk menerima pengaduan atau pemberitahuan serta berwenang menanganinya. Misalnya pejabat Kepala Desa.
  1. Menimbulkan persangkaan palsu
Kejahatan menimbulkan persangkaan palsu terdapat dalam Pasal 318 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa sengaja dengan suatu perbuatan menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dirinya melakukan suatu tindak pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

  1. Unsur Objektif:
a)      Perbuatannya: suatu perbuatan
b)      Akibat: menimbulkan secara palsu persangkaan pada seseorang bahwa dia melakukan suatu tindak pidana.
  1. Unsur subjektif:
a)      Kesalahan: dengan sengaja
  1. Penghinaan mengenai orang yang meninggal
Kejahatan penghinaan mengenai orang sudah meninggal dunia ada 2 (dua) macam yaitu:
  1. Penghinaan mengenai orang meninggal yang apabila orang itu masih hidup adalah berupa pencemaran atau pencemaran tertulis, dirumuskan dalam Pasal 320 ayat (1). Bentuk penghinaan orang meninggal adalah bentuk khusus dari pencemaran atau pencemaran tertulis.
“Barangsiapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-
Unsur lebih jelasnya unsur-unsur pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal (Pasal 320 ayat 1) juncto Pasal 310 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a)      Unsur objektif:
1)      Perbuatan: menyerang
2)      Objeknya (1) kehormatan orang yang sudah meninggal (2) nama baik orang yang sudah meninggal
3)      Caranya: dengan menuduhkan suatu perbuatan
4)      Yang merupakan pencemaran jika orang itu masih hidup.
b)      Unsur subjektif: Kesalahan (dengan sengaja)
  1. Penghinaan mengenai orang yang meninggal dengan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar dimuka umum  yang isinya mencemarkan nama baiknya dirumuskan dalam Pasal 321 ayat (1).
“Barangsiapa menyiarkan, secara terbuka mempertunjukan atau menempelkan tuliasan atau gambar yang isinya menghina atau mencemarkan bagi orang yang sudah meninggal dunia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui atau lebih di ketahui umum, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Mengenai kehajatan penghinaan terhadap orang yng meinggal dimuat dalam ayat (1) yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur objektif
  1. Pembuatanya
1)      Menyiarkan
2)      Mempertunjukkan secara terbuka
3)      Menempelkan
  1. Secara terbuka
  2. Objeknya :
1)      Tulisan
2)      Gambar yang isinya menghina atau mencemarkan orang yang sudah meninggal
Unsur-unsur subjektif
  1. Kesalahan : dengan maksud upaya isi surat atau gambar diketahui atau lebih diketahui umum.

  1. PENGHINAAN KHUSUS
Bentuk- bentuk penghinaan dalam Bab XVI Buku II yang telah dibicarakan dalam bab yang lalu daapt disebut dengan penghinaan umum, yang mengandung sifat yang lain dari penghinaan yang diatur di luarnya yang dapat disebut dengan penghinaan khusus. Disebut dengan penghinaan umum, oleh sebab dua alasan:
  1. Bentuk-bentuk penghinaan tersebut dumuat dalam satu bab yakni Bab XVI Buku II. Karena dimuat dalam satu bab maka semua bentuk kejahatan yang dirumuskan sebagai bagiannya tentulah mempunyai sifat dan ciri yang sama.
  2. Sifat dan ciri yang sama ini ialah bahwa semua bentuk penghinaan di dalamnya mengandung sifat penghinaan bagi pribadi-pribadi orang, atau bersifat individu. Rasa harga diri mengenai kehormatan dan nama baik orang yang  menjadi objek penghinaan umum adalah pribadi-pribadi tertentu. Secara jelas siapa orang yang rasa harga dirinya mengenai kehormatan dan nama baiknya yang diserang, dan siapa pula yang berhak mengajukan pengaduan tertera secara jelas. Adanya pihak-pihak yang diberi hak untuk mengajukan pengaduan dalam penghinaan (orang yang terkena kejahatan atau ahli warisnya) adalah sebagai indikator bahwa sifat pribadi dari kejahatan penghinaan ini sanga menonjol.
Sementara, itu, tindak pidana yang diberi kualifikasi penghinaan khusus yang terdapat di luar Bab XVI yang tersebar pada beberapa pasal yang masuk ke dalam bab yang berbeda-beda objeknya atau kepentingan hukum yang dilindungi sebagai dasar pengelompokan masing-masing tindak pidana. Oleh karena berbeda-beda dasar pengelompokan penghinaan di lur Bab XVI inilah, maka tidak salah disebut sebagai penghinaan khusus. Sebagai bentuk penghinaan khusus tertentu berlainan sifat dan ciri dari penghinaan pada umumnya yang diatur dalam Bab XVI. Meskipun demikian, masih ada juga sifat yang sama diantara bentuk-bentuk penghinaan khusus tersebut. Sifat yang sama ini dapat dilihat pada objek penghinaan, yakni mengenai “rasa” atau “perasaan harga diri” atau “martabat mengenai kehormatan atau nama baik orang”.
Adapun perbedaan lain, ialah penghinaan umum hanya dapat dilakukan pada objek  orang semata. Tetapi, pada penghinaan khusus, ada bentuk penghinaan yang dilakukan bukan pada orang tetapi pada badan, misalnya pemerintah RI (Pasal 154 KUHP), atau ada yang dilakukan pada agama (Pasal 156a KUHP), bahkan ada penghinaan yang dilakukan terhadap benda bendera dan lambang negara (Pasal 142a dan Pasal 154a KUHP).
Adapun bentuk-bentuk penghinaan khusus, disebutkan di bawah ini:
  1. Penghinaan terhadap kepala Negara RI dan atau wakilnya (Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP). Oleh  Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tanggal 6 Desember 2006 Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  2. Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (Pasal 142 KUHP)
  3. Penghinaan terhadap wakil negara asing di Indonesia (Pasal 143 dan 144 KUHP) .
  4. Penghinaan terhadap bendera kebangsaan RI dan lambang negara RI (Pasal 154a KUHP).
  5. Penghinaan terhadap bendera kebangsaan negara lain (Pasal 142a).
  6. Penghinaan terhadap pemerintah RI (Pasal 154, 155 KUHP). Oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.6/PUU-V/2007 tanggal 16 Juli 2007 kedua norma kejahatan Pasal ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  7. Penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia tertentu (Pasal 156 dan 157 KUHP).
  8. Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum (Pasal 207, dan 208 KUHP).
  9. Penghinaan dalam hal yang berhubungan dengan agama, yaitu:
    1. Penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a).
    2. Penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan tugasnya (Pasal 177 butir 1 KUHP).
    3. Penghinaan mengenai benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 butir 2 KUHP).                        
    4.  
       
       
       
       

    Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik

    PENGHINAAN atau pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
    Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
    Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
    Pasal-Pasal Penghinaan
    Pasal 134, 136, 137
    >>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
    menunjukkan, menempelkan di muka umum
    >>Pidana 6 tahun penjara
    Pasal 142
    >>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
    >>Pidana 5 tahun penjara
    Pasal 143, 144
    >>Penghinaan terhadap wakil negara asing
    >>Pidana 5 tahun penjara
    Pasal 207, 208, 209
    >>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
    >>Pidana 6 bulan penjara
    Pasal 310, 311, 315, 316
    >>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
    dengan tulisan
    >>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
    Pasal 317
    >>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
    >>Pidana 4 tahun penjara
    Pasal 320, 321
    >>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
    >>Pidana 4 bulan penjara
    (Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
    Delik Aduan
    Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
    Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
    Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
    Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
    Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
    Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
    Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
    1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
    2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
    tuduhan itu.
    3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
    Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
    Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
    Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
    Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
    Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
    Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
    Kasus
    Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
    1. Berita Buana, 4 November 1989
    >>Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
    >>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti
    kebenaran informasi
    >>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
    2. Pos Kota, Juni 1990
    >>Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
    diralat
    >>Hasil akhir: bebas
    3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
    >>Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
    Berebut Janda
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
    tidak konfirmasi
    >>Hasil akhir: hukuman percobaan
    4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
    >>Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
    >>Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
    >>Hasil akhir: tidak jelas
    5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
    >>Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
    >>Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
    menyenangkan
    >>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
    6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
    >>Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
    >>Hasil akhir: hukuman percobaan
    7. Tajuk, 23 Juni 1999
    >>Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
    >>Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
    >>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
    8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
    >>Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
    >>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
    >>Hasil akhir: tidak jelas.*