HGU/HGB


Hak Guna Usaha

Hak guna usaha diatur dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA sebagai salah satu hak atas tanah. Sedangkan secara khusus, hak guna usaha oleh UUPA dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 kemudian disebut pula dalam Pasal 50 dan Pasal 52 UUPA.
Hak guna usaha dalam pengertian hukum barat Pasal 720 B.W. adalah suatu hak kebendaan untuk mengenyang kenikmatan yang penuh (polle geenot) atas suatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar pacht atau canon tiap tahun, sebagai pengakuan eigendom  kepada kepada yang mempunyai baik berupa uang maupun hasil natura.
Hak guna usaha dalam pengertian sekarang, ditetapkan dalam Pasal 28 ayat 1 UUPA “hak untuk mengusahakan tanah, yang dikuasai lansung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu yang dipergunakan untuk keperluan perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.”
Hak guna usaha jangka waktunya terbatas dari ketentuan Pasal 29 UUPA  “Menurut sifat dan tujuannya hak guna usaha itu waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 tahun atau 35 tahun  dengan kemungkinan memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusaha dan tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka waktu 35 tahun misalnya, mengingat pada tanaman kelapa sawit.”
 PP Nomor 4 tahun 1996 Pasal 8 ayat 1 dan 2 mengatur bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Sesuai jangka waktu HGU dan perpanjangannya berakhir, maka dapat diberikan pembaharuan HGU diatas tanah yang sama kepada pemegang hak
Sesuai dengan Pasal 30 ayat 1 UUPA maka yang dapat mempunyai HGU adalah
  1. Warga Negara Indonesia
  2. Badan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Orang atau badan hukum yang memiliki HGU dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal 30, dalam waktu satu tahun wajib melaporkan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Menurut Chomzah (2002 : 18) “Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus demi hukum, dengan ketentuan bahwa hak hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan yang diterapkan dengan peraturan pemerintah.” Hapusnya hak guna usaha menurut Pasal 34 UUPA dikarenakan
  1. Jangka waktu berakhir
  2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat yang tidak dipenuhi.
  3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir.
  4. Dicabut untuk kepentingan umum.
  5. Tanah ditelantarkan
  6. Tanahnya musnah


Hak Guna Bangunan


Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi  berasal dari hak opstal yang diatur dalam Pasal 71 KUHPdt bahwa “hak numpang–karang adalah suatu hak kebendaan  untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas pekarangan orang lain. Menurut Ruchiat (1998-58) “apa yang diatur dalam UUPA barulah merupakan ketentuan-ketentuan pokok saja, sebagaimana terlihat dalam Pasal 50 ayat (2) bahwa ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Bangunan akan diataur dengan peraturan maupun peraturan menteri.” Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA:
“Hak Guna Bangunan adalah Hak Milik untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan 20 tahun, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat dijadikan jaminan hutang dibebani Hak Tanggungan.”
Menurut Pasal 21 PP Nomor 40 Tahun 1996, tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah : Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Hak Milik.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 30 PP Nomor 40 Tahun 1996 yang menentukan:
  1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.
  2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntunannya dan ;persyaratannya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.
  3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.
  4. Mengarahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu dihapus.
  5. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada kepala kantor Pertanahan.
Berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 56 (Prp) tahun 1960 tentang Penetapan Luas tanah pertanian maksimum luas dan jumlah tanah untuk perusahaan dan pembangunan lainnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hapusnya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 40 UUPA karena:
  1. Jangka waktu berakhir
  2. Dihentikan sebelum jangka waktunya  berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
  3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
  4. Ditelantarkan
  5. Tanahnya musnah
  6. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)


Sertifikat Hak Tanggungan


Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 UUPA ditegaskan “bahwa pendaftaran tanah itu meliputi pengukuran dan pemetaan tanah serta menyelenggaraka tata usahanya; pendaftaran hak serta peralihannya dalam pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Maka dari itu terhadap pembebanan hak tanggungan juga  didaftarkan di Kantor Pertanahan (sekarang badan pertanahan) untuk menjamin kepastian (certainty) hukum dari hak-hak atas tanah.
Setelah pembuatan APHT oleh PPAT, PPAT atau oleh pemberi hak tanggungan atau biasa juga Bank sebagai kreditor pemegang hak tanggungan yang melakukan pendaftaran pada Badan Pertanahan. Batas waktu pengiriman paling lambat tujuh hari kerja APHT dan warkah-nya dikirimkan ke badan pertanahan (vide Pasal 13 ayat 2 UUHT).
Menurut Satrio (2007: 150) yang penting untuk diperhatikan dalam pendaftaran hak tanggungan ialah:
“Bahwa hak tanggungan sudah lahir pada saat pendaftaran dan pendaftaran dilakukan  dengan membuat dan mencatatnya dalam buku hak tanggungan. Persoalannya adalah apakah kalau dikatakan, bahwa sertifikat hak tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, berarti bahwa hak tanggungan tidak bisa dibuktikan dengan alat bukti yang lain. Sekalipun tidak disebutkan secara tegas, tetapi dalam kenyataanya sertifikat hak tanggungan merupakan salinan buku tanah hak tanggungan. Atas dasar itu kiranya tidak tertutup kemungkinan, bahwa adanya hak tanggungan dibuktikan dengan buku tanah yang tersimpan dalam kantor pertanahan. Kata “tanda bukti” dalam Pasal 14 UUHT tidak harus diartikan sebagai satu-satunya alat bukti. Bukankah pendaftaran dalam buku tanah mengikat pihak ketiga. Dan apa yang mengikat pihak ketiga adalah apa yang tercatat/ terdaftar dalam buku tanah yang bersangkutan.”

Dari uraian diatas, penjelasan Satrio tentang kekuatan hukum sertifikat hak tanggungan menunjukan bahwa bukti perjanjian jaminan terhadap hak tanggungan baru lahir setelah didaftarkan di Badan Pertanahan. Hal itu juga mengikat bagi pihak ketiga yang akan/ memilki kepentingan terhadap objeek hak tanggungan tersebut. Oleh karena sertifikat hak tanggungan merupakan grosse akta dari buku tanah hak tanggungan. Suatu tulisan yang diberikan kepada yang berkepentingan. Grosse akta merupakan salinan akta dari suatu minit, yang tetap ada pada pejabat yang  bersangkutan.
Secara jelas atau detail urutan peristiwa untuk terjadinya hak tanggungan dan sertifikatnya dikemukakan oleh Tan Thong  Kie  (2007: 221) sebagai berikut:
  1. Ada seorang pemilik tanah/ rumah yang memberi hak tanggungan (biasanya orang ini juga debitor, kecuali orang lain yang menanggung utang debitor).
  2. Ada seorang kreditor yang memberi utang kepada debitor dan menghendaki jaminan bahwa utang itu akan dibayar kembali.
  3. Debitor dan kreditor itu membuat akta pinjam-meminjam uang dengan segala janji yang berlaku untuk utang itu, termasuk janji akan memberi hak tanggungan atas tanah dan rumah tertentu; perjanjian ini dapat dibuat secara notaril ataupun  di bawah tangan.
  4. Kedua orang tersebut pada sub 1 dan 2 di atas di hadapan seorang PPAT membuat akta pemberian hak tanggungan (Pasal 10 ayat 2) dengan mencantumkan syarat di dalamnya sesuai dengan kemungkinan termuat dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2.
  5. Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan surat yang diperlukan oleh kantor pertanahan di bawa ke kantor itu untuk didaftarkan dalam 7 hari setelah tanggal penandatanganannya (Pasal 13 ayat 1 dan 2).
  6. Kantor Pertanahan bertindak sebagai berikut:
1. Membuat buku tanah hak tanggungan dengan tanggal 7 hari setelah menerima surat lengkap (7 hari setelah tanggal disebut sub 5).
2. Mencari hak tanggungan itu dalam buku tanah hak atas tanah yang dibebani.
3. Menyalin catatan sub b di atas dalam sertifikat hak tanah yang dibebani (Pasal 13 ayat 3)
  1. Kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan yang berlaku sebagai pengganti grosse hipotek (Pasal 14 ayat 3).

Berdasarkan pendaftaran APHT dalam batas 7 hari oleh PPAT kepada Badan Pertanahan, untuk terbitnya sertifikat hak tanggungan yang dilakukan pada Badan Pertanahan maka  terdapat beberapa dokumen dan catatan yang dibuat oleh Badan Pertanahan seperti buku tanah hak atas tanah yang dibebankan yang telah diberikan catatan adanya hak tanggungan (tetap berada di Badan Pertanahan), sertifikat hak atas tanah yang dibebankan dan yang telah diberi catatan adanya hak tanggungan di atasnya (diberikan kepada pemilik tanah; Pasal 14 ayat 4), buku tanah hak tanggungan (tetap berada di Kantor Pertanahan), dan sertifikat hak tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial (diberikan kepada pemegang hak tanggungan; Pasal 14 ayat 3 dan ayat 5)

Akta Pembebanan Hak Tanggungan


Telah dikemukakan sebelumnya bahwa SKMHT mutlak untuk dinaikkan statusnya menjadi APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) dalam waktu 1 bulan jika objek hak tanggungan (baca: tanah) sudah terdaftar. Tiga bulan jangka waktunya jika tanah yang menjadi objek hak tanggugan tersebut belum terdaftar (Pasal 15 ayat 3 dan ayat 4 UUHT).
Menurut Adrian Sutedi (2010: 72)  suatu APHT memuat substansi yang bersifat wajib (lih: juga Pasal 11 UUHT), yakni yang berkenaan dengan:
  1. Nama identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan.
  2. Domisili pihak-pihak yang bersangkutan.
  3. Penunjukan secara jelas utang dan utang-utang yang dijamin.
  4. Nilai tanggungan dan urain yang jelas tentang objek hak tanggungan.
  5. Selain itu di dalam APHT tersebut, para pihak dapat juga mencantumkan janji –janji yang bersifat fakultatif yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditor sebagai pemegang hak tanggungan.
APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferent) dari pada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren). Pemberi hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman atau kredit yang bersangkutan.
Tanah sebagai objek hak tanggungan dapat meliputi benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hal ini dimungkinkan karena sifatnya secara fisik menjadi satu kesatuan dengan tanahnya. Baik yang sudah ada maupun yang akan ada, yang berupa bangunan permanen, tanaman keras dan hasil karya dengan ketentuan bahwa benda-benda tersebut milik pemegang hak maupun milik pihak lain.
Pembebanan hak tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, sebagaimana dikemukakan oleh Adrian sutedi (2010: 72) sebagai berikut:
  1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
  2. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang yang dijaminkan pelunasannya dengan hak tanggungan, nilai tanggungan, dan urain yang jelas mengenai objek hak tanggungan.
  3. Pemberian hak tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melaui pendaftaran hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (Kota Madya/ Kabupaten).
  4. Sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat title eksekutorial dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
  5. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji (wanprestasi).

Di dalam APHT juga dapat dicantumkan perjanjian sebagai upaya kreditor untuk dapat mencegah agar objek jaminan tetap mempunyai nilai yang tinggi, khususnya nanti pada waktu eksekusi. Oleh karena itu sedapat mungkin semua kemungkinan mundurnya nilai objek jaminan, sebagai akibat dari ulahnya pemberi jaminan atau karena suatu mala petaka, diantisipasi. Menurut Satrio (2007: 313) janji tersebut meliputi:
  1. Janji sewa.
  2. Hak mengelolah objek hak tanggungan.
  3. Janji penyelamatan.
  4. Janji untuk tidak dibersihkan.
  5. Janji untuk tidak melepaskan hak atas objek hak tanggungan.
  6. Janji ganti rugi.
  7. Janji asuransi.
  8. Janji pengosongan.
  9. Janji mengenai sertifikat hak atas tanah objek hak tanggungan.
  10. Janji memiliki. (lih juga: Bahsan, 2008: 33 s/ d 34)
Tata cara pembebanan hak tanggungan dimulai dengan tahap pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran hak tanggungan di Badan Pertanahan setempat. Pada prinsipnya pemberi hak tanggungan wajib hadir sendiri di depan kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya. Di dalam APHT disebutkan syarat-syarat spesialitas, jumlah pinjaman, penunjukan objek hak tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan sebagaimana telah diuraikan di atas.