KDRT


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  23  TAHUN  2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
 a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
     dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara
      Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
    tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
    martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus di??ha?pus;

c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
    perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat
    agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
    penyiksaan, atau per?lakuan yang meren?dahkan derajat dan mar?tabat
   kemanusiaan;

d. bahwa dalam kenyataannya kasus ke?keras?an dalam rumah tangga
    banyak terjadi, sedangkan  sistem hukum di Indonesia belum menjamin
    perlin?dungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
    huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang
    Peng?ha?pus?an Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

Mengingat  :
 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUS?AN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan,  yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara  untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang  yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara  adalah  perlindungan  yang langsung diberikan
oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindung?an adalah penetapan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan untuk  memberikan  perlindungan kepada korban.
7.   Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawab?nya di
bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup  rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang  yang  mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas  :
a.   penghormatan hak asasi manusia;b.   keadilan dan kesetaraan gender;
c.   nondiskriminasi; dan
d.   perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a.   mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b.   melindungi  korban kekerasan dalam rumah tangga;
c.   menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.   memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara  :
a.    kekerasan fisik;
b.    kekerasan psikis;
c.    kekerasan seksual; atau
d.    penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat  pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5   huruf c meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ling?kup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial  dan/atau tujuan
tertentu.
Pasal 9
(1)
(2)
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian  ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali  orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak  mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pela?yanan kesehatan sesuai dengan kebu?tuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perun?dang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga; dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2)
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya :
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban;
dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan  tugas masingmasing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial
lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk :
a.   mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.   memberikan perlindungan kepada korban;
c.   memberikan pertolongan darurat; dan
d.   membantu  proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1)
(2)
(3)
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk  mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan  dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian  segera menyampaikan kepada korban tentang :
a.   identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
b.   kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabatkemanusiaan; dan
c.   kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan
harus :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
(2) Pelayanan kese?hatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah dae?rah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi korban;
b. memberikan informasi  mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :
a. menginforma?sikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif
dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan
mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada
korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana
mestinya.
Pasal 26
(1)
(2)
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tang?ga
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara.Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di
tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua,
wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah  perlindungan dapat diajukan oleh :
a.    korban atau  keluarga korban;
b.    teman korban;
c.    kepolisian;
d.    relawan pendamping; atau
e.    pembimbing rohani.
Pasal 30
(1)
(2)
(3)
(4)
Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan.
Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri
setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman
korban, kepolisian, relawan pendam?ping, atau pembimbing rohani makakorban harus memberikan persetujuannya.
Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban.
Pasal 31
(1)
(2)
Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk :
a.   menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah
perlindungan.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersamasama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
(1)
(2)
(3)
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari
sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1)
(2)
Pengadilan dapat menyatakan satu a?tau lebih tambahan perintah
perlindungan.
Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat(2)
menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan
wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1)
(2)
(3)
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa
surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi
itu bertugas.
Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam.
Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan        ayat (2).
Pasal 36
(1)
(2)
Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap
pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah
perlindungan.
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan
penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam  waktu 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1)
(2)
Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagai?ma?na(3)
dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1)
(2)
(3)
Apabila penga?dilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang
isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku
paling  lama 30 hari.
Penahanan sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan  dari :
a.    tenaga kesehatan;
b.    pekerja sosial;
c.    relawan pendamping; dan/atau
d.    pembimbing rohani.
Pasal 40
(1)
(2)
Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajibmemulihkan dan merehabilitasi  kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk
menguatkan dan/atau  memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja
sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1)
(2)
(3)
(4)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara  paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada    ayat (1) dilakukan olehsuami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1)
(2)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara  paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada    ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan  perbuatan kekerasan seksual  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban  mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan  daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama  4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit  Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
 Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal  54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal  55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal  22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
                ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan
industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga
diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan?ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327);
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjian kerja
bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi
adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih
dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada
Pengadilan Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang
pengangkatannya atas usul serikat pekerja/ serikat buruh dan
organisasi pengusaha.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada
Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi :
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Pasal 3
(1)
(2)
(3)
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upayaupaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan
penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penye-lesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian
perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 6
(1)
(2)
Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya
memuat :
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan
perundingan.
Pasal 7
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama
yang ditandatangani oleh para pihak.
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat
dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri
tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang
berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.
Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
mediasi.
Pasal 11
(1)
(2)
(1)
(2)
Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undangundang
ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku
dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
(3)
(1)
(2)
(3)
perundang-undangan yang berlaku.
Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 13
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para
pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk
mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon
eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
eksekusi.
Pasal 14
(1)
(2)
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para
pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat.
Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator
serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1)
(2)
(3)
Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh
konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian
secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para
pihak.
Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan
disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan
pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1)
(2)
Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi
syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 (lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus
sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambatlambatnya
pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang
konsiliasi pertama.
Pasal 21
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undangundang
ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku
dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(1)
(2)
Pasal 23
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi, maka :
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3)Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan
eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Pasal 24
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah
(1)
(2)
satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat.
Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan.
Pasal 26
(1)
(2)
Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimak-sud dalam ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh
Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi
konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Penyelesaian Melalui Arbitrase
Pasal 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
Pasal 30
(1)
(2)
Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 31
Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti
kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 (lima) tahun.
Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan
atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase,
dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1
(satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
sekurang-kurangnya memuat :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil
putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih.
Pasal 33
Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak
memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau
beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya
3 (tiga) orang.
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka
para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat(
1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter
(majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih
seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja,
sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk
dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat
sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan secara tertulis.
Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak
Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri.
Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan
diberikan.
Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak
mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1)
(2)
Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para
pihak yang berselisih.
Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil
keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya;
dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang
berselisih.
Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya
dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter
mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari
perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani
surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan
para pihak.
Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus
tersebut.
Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para
pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter
dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.
Pasal 36
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia,
maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan
kepada pihak yang memilih arbiter.
Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan
diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter
pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter.
Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk
arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja.
Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak
atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada
Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti
dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat
pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan
melanjutkan penyelesaian perkara.
Pasal 38
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian
arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri
apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan
keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas
dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila
terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah
satu pihak atau kuasanya.
Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat
diajukan perlawanan.
Pasal 39
Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan
ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada
arbiter yang bersangkutan.
Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambatlambatnya
3 (tiga) hari kerja setelah penanda- tanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu)
kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis
arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih
menghendaki lain.
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus.
Pasal 43
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya
tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil
secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan
perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter
dianggap selesai.
Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah
satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir
walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis
arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter
atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya
tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.
Pasal 44
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus
diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta
Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan
arbiter atau majelis arbiter.
Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
arbiter mengadakan perdamaian.
Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan sebagai berikut :
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk
mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon
eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
eksekusi.
Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
(5)
Pasal 45
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk
menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing
serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan
pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau
majelis arbiter.
Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk
mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti
lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 46
Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih
atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing.
Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan
pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli
dibebankan kepada pihak yang meminta.
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan
kepada pihak yang meminta.
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta
oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita
acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan
umum.
Pasal 50
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Putusan arbitrase memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh
para pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para
pihak yang berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter
dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan
berlakunya putusan.
Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.
Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja harus sudah dilaksanakan.
Pasal 51
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para
pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan
tetap.
Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
arbiter menetapkan putusan.
Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar
putusan diperintahkan untuk dijalankan.
Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat
(3)
(4)
dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Pasal 52
(1)
(2)
(3)
Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya
putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial;
atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan
melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum
apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan
berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undangundang
ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak
yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang
nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 59
(1)
(2)
(1)
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota
yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi
propinsi yang bersangkutan.
Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan
Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
terdiri dari :
(2)
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung
terdiri dari :
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat
dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
(1)
(2)
(3)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri
atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana
Hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima)
tahun.
Pasal 65
(1)
(2)
(1)
Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut
:
? Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung
atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada
dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan
tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.?
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai :
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
(2)
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha.
Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-
Hoc dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1)
(2)
(1)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas)
bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam
puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi
pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.
Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu)
bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah
Agung.
Pasal 69
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1),
dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang
tersedia.
Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima)
orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 5 (lima) orang dari
unsur organisasi pengusaha.
Pasal 71
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai
dengan kewenangannya.
Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan
kewenangannya.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran
kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran
kepada Hakim Kasasi.
Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan
Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan
memutus perselisihan.
(4)
(5)
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian
dengan hormat, pemberhentian dengan tidak
hormat, dan pemberhentian sementara Hakim
Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim
Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur
dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1)
(2)
(1)
(2)
Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera
Pengganti.
Pasal 75
Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1)
mempunyai tugas :
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial;
dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku
perkara.
Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak,
dan jenis perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan
sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan
putusan.
Pasal 77
(1)
(2)
Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1)
(2)
(1)
(2)
Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam
Berita Acara.
Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditandatangani
oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat
lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang
kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau
diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1)
(2)
Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui
mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial
wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat.
Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat
kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan
gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara
kolektif dengan memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1)
(2)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum
tergugat memberikan jawaban.
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu,
pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti
dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan
Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan
hak dan/atau perselisihan kepentingan.
Pasal 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mewakili anggotanya.
Pasal 88
(1)
(2)
Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis
Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan
2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa
dan memutus perselisihan.
Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatan-nya diusulkan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang
pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(1)
(2)
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan
sidang pertama.
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau
melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman
di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan
kesaksiannya di bawah sumpah.
Pasal 91
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Pasal 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 ayat (1).
Pasal 93
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis
Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penundaan.
Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang
menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur,
akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang
menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat
memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain.
Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata
tertib persidangan.
Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas
perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak
pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera
menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
(2)
(3)
(4)
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan
pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan
Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga
dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan
Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial.
Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau
salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Paragraf 3
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak
yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasanalasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau
salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan
Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak
dikabulkannya permohonan tersebut.
Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 99
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan
waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak,
masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbang-kan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.
Pasal 101
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada
Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan
kepada pihak yang tidak hadir tersebut.
Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 102
Putusan Pengadilan harus memuat :
a. kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau
tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/
tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang
memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau
tidak hadirnya para pihak.
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari
kerja terhitung sejak sidang pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera
Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim
dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada
pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan
putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya
diajukan perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir
dan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan
kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja :
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam
sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan
kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan
kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1)
(2)
Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat
dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri
Sipil.
Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
(1)
(2)
(3)
(4)
ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera
yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 117
Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para
pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf
e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga)
kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan
setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang
ditanganinya.
Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator
diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai konsiliator dalam hal :
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan
sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan/atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3).
Pasal 119
(1)
(2)
Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai arbiter.
Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), baru dapat
dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang
(3)
(4)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
sedang ditanganinya.
Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120
Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai arbiter dalam hal :
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan
arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui
kekuasaannya, bertentangan dengan per-aturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf
d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan
peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan
sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal
arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3),
dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
(2)
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah, maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1)
(2)
Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan
undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan
hubungan kerja yang telah diajukan kepada :
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja
dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja
dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c
yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu
90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
Agung.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1)
(2)
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka :
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
c. dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan
Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundangundangan,
Lambock V. Nahattands



PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum; b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Wakaf; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. 3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. 4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. 5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif. 6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf. 7. Badan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 - 7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. 8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. 9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama. BAB II DASAR-DASAR WAKAF Bagian Pertama Umum Pasal 2 Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah. Pasal 3 Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Bagian Kedua Tujuan dan Fungsi Wakaf Pasal 4 Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Pasal 5 Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Bagian ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 - Bagian Ketiga Unsur Wakaf Pasal 6 Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : a. Wakif; b. Nazhir; c. Harta Benda Wakaf; d. Ikrar Wakaf; e. peruntukan harta benda wakaf; f. jangka waktu wakaf. Bagian Keempat Wakif Pasal 7 Wakif meliputi : a. perseorangan; b. organisasi; c. badan hukum. Pasal 8 (1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan : a. dewasa; b. berakal sehat; c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan d. pemilik sah harta benda wakaf. (2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. (3) Wakif ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 - (3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. Bagian Kelima Nazhir Pasal 9 Nazhir meliputi : a. perseorangan; b. organisasi; atau c. badan hukum. Pasal 10 (1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan : a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. dewasa; d. amanah; e. mampu secara jasmani dan rohani; dan f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan : a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. (3) Badan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 - (3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan : a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Pasal 11 Nazhir mempunyai tugas : a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Pasal 12 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). Pasal 13 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Pasal 14 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 - Pasal 14 (1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Harta Benda Wakaf Pasal 15 Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara sah. Pasal 16 (1) Harta benda wakaf terdiri dari : a. benda tidak bergerak; dan b. benda bergerak. (2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Benda ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 - (3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi : a. uang; b. logam mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual; f. hak sewa; dan g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketujuh Ikrar Wakaf Pasal 17 (1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Pasal 18 Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. Pasal 19 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 - Pasal 19 Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. Pasal 20 Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan : a. dewasa; b. beragama Islam; c. berakal sehat; d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Pasal 21 (1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat : a. nama dan identitas Wakif; b. nama dan identitas Nazhir; c. data dan keterangan harta benda wakaf; d. peruntukan harta benda wakaf; e. jangka waktu wakaf. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 - Bagian Kedelapan Peruntukan Harta Benda Wakaf Pasal 22 Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi : a. sarana dan kegiatan ibadah; b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 (1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf. (2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Bagian Kesembilan Wakaf dengan Wasiat Pasal 24 Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat dilakukan apabila disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. Pasal 25 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 - Pasal 25 Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris. Pasal 26 (1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia. (2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa wakif. (3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 27 Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat. Bagian Kesepuluh Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang Pasal 28 Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 29 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 - Pasal 29 (1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis. (2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. (3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Pasal 30 Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang. Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB III PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF Pasal 32 PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Pasal 33 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 - Pasal 33 Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW menyerahkan : a. salinan akta ikrar wakaf; b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. Pasal 34 Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf. Pasal 35 Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir. Pasal 36 Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf. Pasal 37 Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf. Pasal 38 Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar. Pasal 39 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 - Pasal 39 Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF Pasal 40 Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang : a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Pasal 41 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. (3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. (4) Ketentuan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 - (4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF Pasal 42 Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Pasal 43 (1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah. (2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif. (3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah. Pasal 44 (1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. Pasal 45 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 - Pasal 45 (1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan : a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan; b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum; c. atas permintaan sendiri; d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf. Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 - BAB VI BADAN WAKAF INDONESIA Bagian Pertama Kedudukan dan Tugas Pasal 47 (1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. (2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 48 Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/ atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Pasal 49 (1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; d. memberhentikan dan mengganti Nazhir; e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. (2) Dalam ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 - (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Pasal 50 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia. Bagian Kedua Organisasi Pasal 51 (1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. (2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana tugas Badan Wakaf Indonesia. (3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia. Pasal 52 (1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. (2) Susunan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 - (2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota. Bagian Ketiga Anggota Pasal 53 Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. Pasal 54 (1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon anggota harus memenuhi persyaratan : a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. dewasa; d. amanah; e. mampu secara jasmani dan rohani; f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah; dan h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional. (2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia. Bagian ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 - Bagian Keempat Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 55 (1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf Indonesia. Pasal 56 Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 57 (1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. (2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum. Pasal 58 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 - Pasal 58 Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan diatur oleh Badan Wakaf Indonesia. Bagian Kelima Pembiayaan Pasal 59 Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu biaya operasional. Bagian Keenam Ketentuan Pelaksanaan Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, persyaratan, dan tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf Indonesia diatur oleh Badan Wakaf Indonesia. Bagian Ketujuh Pertanggungjawaban Pasal 61 (1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat. BAB VII ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 - BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 62 (1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. (2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 63 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf. (2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Pasal 64 Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Pasal 65 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 - Pasal 65 Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik. Pasal 66 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 67 (1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 - (2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 68 (1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah; c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW. (3) Ketentuan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 69 (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini. (2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 70 Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 71 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 159 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd Lambock V. Nahattands
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF I. UMUM Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Berdasarkan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 - Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk Undang-Undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan dicantumkan kembali dalam Undang-Undang ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut : 1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, Undang-Undang ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. 2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut Undang-Undang ini Wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syariah. Dimungkinkannya …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 - Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif untuk mewakafkan uang miliknya. 3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi Syariah. 4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir. 5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 - Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah perseorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing, organisasi Indonesia atau organisasi asing dan/atau badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum adalah perseorangan warga negara Indonesia, organisasi Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 - Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk mendaftar para Nazhir yang sudah ada dalam masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 - Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan kitab. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda wakaf oleh Wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran adanya hak Wakif atas harta benda wakaf dimaksud. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 - Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan agama. Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para ahli waris, saksi, dan pihak penerima peruntukan wakaf. Pasal 28 Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan syariah. Pasal 29 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 - Pasal 29 Ayat (1) Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis tersebut dilakukan kepada Lembaga Keuangan Syariah dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 - Pasal 34 Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia. Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah adalah Badan Pertanahan Nasional. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya. Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia. Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 - Pasal 38 Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf adalah dengan memasukan data tentang harta benda wakaf dalam register umum. Dengan dimasukannya data tentang harta benda wakaf dalam register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga masyarakat dapat mengakses data tersebut. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 - Ayat (2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah. Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 - Pasal 48 Pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah Badan Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat. Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 - Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar’iyah. Pasal 63 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 - Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4459