Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Indonesia
Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan judul diatas, adalah :
1. UUD 1945 pasal 33 ayat 3
2. UUD1945
a. Amandemen II 18 Agustus tahun 2000,
b. Amandemen III 9 November 2001,
c. Amandemen IV 11 Agustus 2002, tentang perubahan pada pasal 18, penambahan pada pasal 18A dan 18B.
3. Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA.
4. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
5. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
a. pasal 5 ayat 3;
b. pasal 6 ayat 1 dan ayat 2.
6. UU no.25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional tahun 2000–2004.
7. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.05 Tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian masalah hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Sebelum membahas tentang eksistensi Hak Ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya), perlu dijabarkan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas :
1. UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, berbunyi :
“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
2. UUD 1945 Amandemen II, III, IV, dalam hal perubahan pasal 18 dan penambahan pasal 18A dan 18B serta Pasal 28 I ayat 3.
Pasal 18 ayat 5, berbunyi :
“ Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”
Pasal 18A, berbunyi :
“ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
Pasal 18B, terdiri atas dua ayat :
Ayat 1:
“ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Ayat 2:
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat clan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 28 I ayat 3:
“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
3. Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan SDA, Pasal 4 :
“ Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ayat (j), yaitu: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/alam. “
4. UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi :
“ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”
5. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
Pasal 5 ayat 3 :
“ Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
Pasal 6 ayat 1 dan 2 :
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pasal 1, berisi tentang pengertian atas hak Ulayat, tanah ulayat, dan batasan pengertian tentang masyarakat hukum adat (sebagaimana istilah yang terdapat dalam pasal 3 UUPA).
Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dalam UUPA, tidak dijelaskan tentang pengertian Hak Ulayat. Namun dalam kepustakaan hukum adat, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak Ulayat adalah beschikkingsrechts. Eksistensi Hak Ulayat telah diakui dalam UUPA, Pengakuan tentang keberadaan Hak Ulayat dapat dibuktikan dengan adanya Pasal 3 UUPA. Pengakuan tersebut timbul, karena Masyarakat Hukum Adat beserta Hak ulayatnya telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun dalam pengakuan eksistensi Hak Ulayat, terdapat batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 3 tersebut, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga syarat :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.
Maria S.W. Sumardjono dalam bukunya “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” (Penerbit Kompas, Jakarta, 2005) menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan yang didasarkan atas 2 macam pertimbangan, yaitu :
• Apabila Hak Ulayat sudah menipis atau sudah tidak ada lagi, maka harus kita sadari bersama bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah berkembang dan menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945.
• Apabila Hak Ulayat dinilai masih ada, maka haruslah diakui keberadaannya.
Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum tertentu. Mengenai keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan dihapus. Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunannya. Dapat diartikan dengan suku adalah persekutuan geneologis dari masyarakat hukum adat contohnya seperti didaerah NTT, seperti Leo di Rote, Udu di Sabu, Fukun di Belu, Wangu di Flores Timur, Woe di Ngada, Kabisu di Sumba. Hasil penelitian yang pernah dilaksanakan oleh tim peneliti dari pemerintah Propinsi Nusa Tenggra Timur dan survei yang dilaksanakan oleh tim Litbang Direktorat Jendral Agraria tahun 1974 dan hasil penelitian dari perguruan tinggi serta hasil penelitian oleh panitia pemeriksa tanah (panitia A) di seluruh kabupaten menemukan hal-hal sebagi berikut (Tanah suku di NTT, Http://www. POS KUPANG.com, 2002) :
• pertama, penguasan tanah secara komunal yang seharusnya berada dalam tangan fungsionaris adat tertentu secara ex officio, dalam kenyataan tanah-tanah tersebut telah diklaim sebagai hak milik pribadi secara turun temurun dengan mengabaikan kepentingan pihak lain, hal mana bertentangan dengan kepentingan persekutuan hukum adat tanah.
• Kedua, suku yang dimaksud adalah persekutuan geneologis, dalam kenyataan telah mengambil proses individualisasi dan disintegrasi sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai suatu persekutuan geneologis (Prof. Mr. ST. Mohamad Syah).
• Ketiga, tatanan hukum adat seperti upacara/seremoni adat yang menyangkut tanah seperti upacara membuka kebun, menanam dan panen sudah tidak dilaksanakan lagi. Sebagai contoh: di Sabu (Mesara) pada waktu dulu, mengerjakan kebun atau menanam, harus menunggu pemberitahuan dari fungsionaris adat (Moneama) melalui upacara adat. Barang siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi seperti mengambil hewan dari masyarakat yang melanggar dan lain sebagainya. Namun saat ini sudah tidak nampak lagi.
• Keempat, tanah-tanah suku (bekas tanah suku) sudah diperjualbelikan dalam bentuk uang demi keuntungan pribadi.
Dari suatu simposium terbatas persoalan tanah suku di Nusa Tenggara Timur dan seminar hukum adat tanah dan hukum adat waris serta diskusi masalah tanah adat di Nusa Tenggara Timur (1972) menghasilkan suatu kesepakatan sikap sebagai berikut:
• pertama, bahwa tanah suku atau tanah persekutuan adat di Nusa Tenggara Timur, sudah tidak memenuhi kriteria dasar, baik me-nyangkut kelembagaan secara struktural, kewilayahan maupun pelaksanaan hak dan kewenangan yang ber-sangkutan dengan tata kehidupan anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
• Kedua, bahwa sudah terjadi disintegrasi penguasaan tanah suku di suatu pihak dan di pihak lain sudah terjadi proses individualisasi, di mana tanah suku atau bagian-bagian tanah suku sudah dikuasai dengan hak-hak perorangan.
Berdasarkan kesepakatan sikap tersebut maka telah diterima sebagai suatu konsensus regional yaitu:
1) Bahwa tanah suku yang kosong (ditelantarkan) dinyatakan dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan pembangunan masyarakat sesuai Rencana Induk Pembangunan Daerah.
2) Bahwa tanah suku yang sudah dikuasai secara perorangan dalam arti sudah dikerjakan secara efektif dan terus menerus supaya dikonversi menjadi hak milik sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Berkaitan dengan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Ulayat :
a. Sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA, dan
b. Munculnya berbagai kasus tentang tanah Ulayat yang timbul dalam skala Regional maupun Nasional yang tidak pernah memperoleh penyelesaian secara tuntas,
c. Serta tidak adanya kriteria obyektif yang dipergunakan sebagai tolak ukur penentu keberadaan Hak Ulayat,
Maka pemerintah menetapkan suatu peraturan perundangan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat yang diterbitkan pada tanggal 24 Juni 1999, yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi daerah otonom berdasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999, untuk melakukan urusan pertanahan dan permasalahannya dalam kaitannya dengan Hak Ulayat didaerah masing-masing.
Kesimpulan :
Hak Ulayat beserta Tanah Adat yang merupakan milik dan menjadi kewenangan atas Masyarakat Adat, haruslah diakui keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat regional maupun nasional sesuai dengan Pasal 3 UUPA.
Keberadaannya haruslah pula dihormati sebagai bagian dari Hukum Adat yang telah lama ada sebelum negara Republik Indonesia dan UUPA terbentuk dan merupakan warisan budaya yang hampir punah keberadaannya.
Oleh karena itu, maka pemerintah berusaha melindungi Hak-Hak Ulayat tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat, yang kemudian perlu disesuaikan/disinkronisasikan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Adat beserta kewenangannya
1. UUD 1945 pasal 33 ayat 3
2. UUD1945
a. Amandemen II 18 Agustus tahun 2000,
b. Amandemen III 9 November 2001,
c. Amandemen IV 11 Agustus 2002, tentang perubahan pada pasal 18, penambahan pada pasal 18A dan 18B.
3. Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA.
4. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
5. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
a. pasal 5 ayat 3;
b. pasal 6 ayat 1 dan ayat 2.
6. UU no.25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional tahun 2000–2004.
7. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.05 Tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian masalah hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Sebelum membahas tentang eksistensi Hak Ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya), perlu dijabarkan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas :
1. UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, berbunyi :
“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
2. UUD 1945 Amandemen II, III, IV, dalam hal perubahan pasal 18 dan penambahan pasal 18A dan 18B serta Pasal 28 I ayat 3.
Pasal 18 ayat 5, berbunyi :
“ Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”
Pasal 18A, berbunyi :
“ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
Pasal 18B, terdiri atas dua ayat :
Ayat 1:
“ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Ayat 2:
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat clan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 28 I ayat 3:
“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
3. Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan SDA, Pasal 4 :
“ Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ayat (j), yaitu: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/alam. “
4. UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi :
“ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”
5. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
Pasal 5 ayat 3 :
“ Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
Pasal 6 ayat 1 dan 2 :
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pasal 1, berisi tentang pengertian atas hak Ulayat, tanah ulayat, dan batasan pengertian tentang masyarakat hukum adat (sebagaimana istilah yang terdapat dalam pasal 3 UUPA).
Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dalam UUPA, tidak dijelaskan tentang pengertian Hak Ulayat. Namun dalam kepustakaan hukum adat, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak Ulayat adalah beschikkingsrechts. Eksistensi Hak Ulayat telah diakui dalam UUPA, Pengakuan tentang keberadaan Hak Ulayat dapat dibuktikan dengan adanya Pasal 3 UUPA. Pengakuan tersebut timbul, karena Masyarakat Hukum Adat beserta Hak ulayatnya telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun dalam pengakuan eksistensi Hak Ulayat, terdapat batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 3 tersebut, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga syarat :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.
Maria S.W. Sumardjono dalam bukunya “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” (Penerbit Kompas, Jakarta, 2005) menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan yang didasarkan atas 2 macam pertimbangan, yaitu :
• Apabila Hak Ulayat sudah menipis atau sudah tidak ada lagi, maka harus kita sadari bersama bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah berkembang dan menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945.
• Apabila Hak Ulayat dinilai masih ada, maka haruslah diakui keberadaannya.
Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum tertentu. Mengenai keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan dihapus. Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunannya. Dapat diartikan dengan suku adalah persekutuan geneologis dari masyarakat hukum adat contohnya seperti didaerah NTT, seperti Leo di Rote, Udu di Sabu, Fukun di Belu, Wangu di Flores Timur, Woe di Ngada, Kabisu di Sumba. Hasil penelitian yang pernah dilaksanakan oleh tim peneliti dari pemerintah Propinsi Nusa Tenggra Timur dan survei yang dilaksanakan oleh tim Litbang Direktorat Jendral Agraria tahun 1974 dan hasil penelitian dari perguruan tinggi serta hasil penelitian oleh panitia pemeriksa tanah (panitia A) di seluruh kabupaten menemukan hal-hal sebagi berikut (Tanah suku di NTT, Http://www. POS KUPANG.com, 2002) :
• pertama, penguasan tanah secara komunal yang seharusnya berada dalam tangan fungsionaris adat tertentu secara ex officio, dalam kenyataan tanah-tanah tersebut telah diklaim sebagai hak milik pribadi secara turun temurun dengan mengabaikan kepentingan pihak lain, hal mana bertentangan dengan kepentingan persekutuan hukum adat tanah.
• Kedua, suku yang dimaksud adalah persekutuan geneologis, dalam kenyataan telah mengambil proses individualisasi dan disintegrasi sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai suatu persekutuan geneologis (Prof. Mr. ST. Mohamad Syah).
• Ketiga, tatanan hukum adat seperti upacara/seremoni adat yang menyangkut tanah seperti upacara membuka kebun, menanam dan panen sudah tidak dilaksanakan lagi. Sebagai contoh: di Sabu (Mesara) pada waktu dulu, mengerjakan kebun atau menanam, harus menunggu pemberitahuan dari fungsionaris adat (Moneama) melalui upacara adat. Barang siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi seperti mengambil hewan dari masyarakat yang melanggar dan lain sebagainya. Namun saat ini sudah tidak nampak lagi.
• Keempat, tanah-tanah suku (bekas tanah suku) sudah diperjualbelikan dalam bentuk uang demi keuntungan pribadi.
Dari suatu simposium terbatas persoalan tanah suku di Nusa Tenggara Timur dan seminar hukum adat tanah dan hukum adat waris serta diskusi masalah tanah adat di Nusa Tenggara Timur (1972) menghasilkan suatu kesepakatan sikap sebagai berikut:
• pertama, bahwa tanah suku atau tanah persekutuan adat di Nusa Tenggara Timur, sudah tidak memenuhi kriteria dasar, baik me-nyangkut kelembagaan secara struktural, kewilayahan maupun pelaksanaan hak dan kewenangan yang ber-sangkutan dengan tata kehidupan anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
• Kedua, bahwa sudah terjadi disintegrasi penguasaan tanah suku di suatu pihak dan di pihak lain sudah terjadi proses individualisasi, di mana tanah suku atau bagian-bagian tanah suku sudah dikuasai dengan hak-hak perorangan.
Berdasarkan kesepakatan sikap tersebut maka telah diterima sebagai suatu konsensus regional yaitu:
1) Bahwa tanah suku yang kosong (ditelantarkan) dinyatakan dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan pembangunan masyarakat sesuai Rencana Induk Pembangunan Daerah.
2) Bahwa tanah suku yang sudah dikuasai secara perorangan dalam arti sudah dikerjakan secara efektif dan terus menerus supaya dikonversi menjadi hak milik sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Berkaitan dengan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Ulayat :
a. Sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA, dan
b. Munculnya berbagai kasus tentang tanah Ulayat yang timbul dalam skala Regional maupun Nasional yang tidak pernah memperoleh penyelesaian secara tuntas,
c. Serta tidak adanya kriteria obyektif yang dipergunakan sebagai tolak ukur penentu keberadaan Hak Ulayat,
Maka pemerintah menetapkan suatu peraturan perundangan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat yang diterbitkan pada tanggal 24 Juni 1999, yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi daerah otonom berdasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999, untuk melakukan urusan pertanahan dan permasalahannya dalam kaitannya dengan Hak Ulayat didaerah masing-masing.
Kesimpulan :
Hak Ulayat beserta Tanah Adat yang merupakan milik dan menjadi kewenangan atas Masyarakat Adat, haruslah diakui keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat regional maupun nasional sesuai dengan Pasal 3 UUPA.
Keberadaannya haruslah pula dihormati sebagai bagian dari Hukum Adat yang telah lama ada sebelum negara Republik Indonesia dan UUPA terbentuk dan merupakan warisan budaya yang hampir punah keberadaannya.
Oleh karena itu, maka pemerintah berusaha melindungi Hak-Hak Ulayat tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat, yang kemudian perlu disesuaikan/disinkronisasikan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Adat beserta kewenangannya