ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Undang-Undang yang Mengatur Alat Bukti Teknologi Bisa Digunakan Alat Bukti di Pengadilan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
Pasal 27
“Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.”
Penjelasan Pasal 27
“Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”. Tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang :
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau
c. dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.”
UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Pasal 41
“Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 26 A
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pasal 86
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pasal 24
“Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada :
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.”
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 29
“Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.”
UU No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Pasal 1
3. Dokumen adalah alat bukti berupa data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, desain, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 13
“Dalam hal pengajuan permintaan Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Menteri dapat meminta orang yang memberikan pernyataan atau menunjukkan dokumen atau alat bukti lain yang terkait dengan permintaan Bantuan tersebut untuk diperiksa atau diperiksa silang melalui pertemuan langsung atau dengan bantuan telekonferensi atau tayangan langsung melalui sarana komunikasi atau sarana elektronik lainnya baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan dengan :
a. penyidik, penuntut umum, atau hakim; atau
b. tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya.”
UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 36
(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 38
“Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.”
UU No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 1
4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
Pasal 2
(1) Surat Utang Negara diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.
Penjelasan Pasal 2
(1) Surat Utang Negara dengan warkat adalah surat berharga yang kepemilikan-nya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk. Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum, sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. Surat Utang Negara tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga yang kepemilikan-nya dicatat secara elektronis (book-entry system). Dalam hal Surat Utang Negara tanpa warkat, bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis dimaksudkan agar pengadministrasian data kepemilikan (registry) dan penyelesaian transaksi perdagangan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat, aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Pasal 17
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1), Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia.
(2) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak dilakukan secara regional.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal apabila Pemegang Paten telah mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang.
(4) Syarat-syarat mengenai pengecualian dan tata-cara pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 17
(1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjang adanya alih teknologi, penyerapan investasi, penyediaan lapangan kerja dengan dilaksanakannya Paten melalui pembuatan produk.
(2) Ketentuan pada ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan Paten sebab tidak semua jenis Invensi yang diberi Paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan. Beberapa cabang industri menghadapi persoalan ini, misalnya industri di bidang farmasi. Di cabang industri seperti itu skala kelayakan ekonomi seringkali meliputi pasar yang berskala regional misalnya kawasan Asia Tenggara. Untuk itu, kelonggaran diberikan atas dasar penilaian objektif.
Apabila Paten tidak akan dilaksanakan di Indonesia, Pemegang Paten harus mengajukan permintaan kelonggaran yang disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang. Misalnya di bidang obat atau farmasi bukti serupa diberikan oleh Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, sedangkan di bidang elektronik diberikan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Apabila Invensi tersebut menyangkut teknologi untuk keperluan di bidang eksplorasi, keterangan diberikan oleh Departemen Pertambangan dan Energi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat pengecualian yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah diharapkan tetap memperhatikan upaya untuk menunjang alih teknologi yang efektif dan dapat meningkatkan devisa Negara.
(3) Cukup jelas
(4) Cukup jelas