Putusan Sela
Putusan sela yang dimaksud disini
sesuai dengan pengertian putusan sela dimaksud dalam pasal 185 HIR yang
menentukan bahwa: (1) Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus
diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan akhir, tidak dibuat
sendiri-sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita acara persidangan.
Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase, meliputi Provisi dan Putusan Insidentil.
Sedang yang dimaksud dengan putusan sela Provisi; tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 30 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut hanya ada keterangan bahwa atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya…………dstnya……….. .
Dalam HIR sendiri, tidak mengatur tentang provisi ini, sehingga apabila kita lihat dalam praktek di pengadilan, provisi itu sebagai suatu keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.
Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir diajuhkan dan dilaksanakannya putusan tersebut.
Sedang putusan provisonil tersebut dijalankan lebih dahulu sebelum diputusnya sengketa mengenai pokok perkara dalam putusan akhir.
Putusan Sela sebagai putusan insidentil oleh UU No. 30 tahun 1999 hanya memberi penjelasan dalam pasal 30 yang berbunyi: 'Pihak ke tiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.
Apabila ketentuan pasal 30 UU No.30 tahun 1999 tersebut dibandingkan dengan praktek di Pengadilan Negeri, terdapat hal-hal yang tidak pas bahkan rancu.
Sebagaimana diketahui, pihak ketiga yang di luar perjanjian arbitrase dimaksud, dapat menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa ada 3 macam:
1. Vrijwaring
2. Tussenkomst
3. Voeging
Dalam vrijwaring, pihak ketiga tersebut masuk atas permintaan termohon guna melindungi kepentingan pihak yang dituntut. Dalam Tussenkomst, masuknya pihak ketiga tersebut adalah untuk membela kepentingan dirinya sendiri, oleh itu sangat tipis kemungkinan kehadirannya dalam proses dapat disepakati oleh para pihak. Sedangkan dalam Voeging, masuknya pihak ketiga di sini adalah untuk membela kepentingan salah satu pihak, baik pemohon maupun pihak termohon, semata-mata atas kemauan sendiri pihak ketiga tersebut.
Oleh karena hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut, maka baik dalam vrijwaring maupun tussenkomst ataupun pada voeging, dapat dimengerti apabila kedua belah pihak, baik pemohon ataupun termohon sulit untuk dapat sepakat menerimanya dengan mudah.
Kesepakatan kedua belah pihak dalam pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 merupakan persyaratan dalam menerima kehadiran pihak ketiga tersebut dalam proses penyelesaian sengketa, padahal persyaratan seperti itu tidak dianut dalam praktek di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian dapat diprediksikan penerapan pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 dalam praktek sulit untuk dilaksanakan dalam praktek.
Ad. 2. Putusan Akhir
Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.
Yang perlu dijaga dalam putusan akhir ini adalah apakah putusan tersebut sudah memenuhi bunyi pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Yaitu apakah sudah ada klausula arbitrase, apakah klausula arbitrase tersebut telah dimuat dalam dokumen yang telah diterima oleh kedua belah pihak. Dan dalam hal pembuatan klausula arbitrase tersebut dibuat dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman telegram, faximile, e-meil atau dalam bentuk sarana komonikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. (pasal 4).
Di samping itu harus pula diperhatikan apakah sengketa yang ditangani tersebut apakah sengketa di bidang perdagangan dan apakah hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, dikuasai sepenuhnya pihak-pihak yang bersengketa. Juga harus diperhatikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa-sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5).
Sesuai bunyi pasal 26 ayat (3) apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, kedua Pengadilan Negeri menolak dilaksanakannya putusan arbitrase dimaksud. Dan tidak terbuka upaya hukum apapun terhadap penolakan tersebut.
Ad. 3. Putusan Perdamaian
Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.
Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5 harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.
Ad. 4. Putusan Verstek.
Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata eksekutorial.
Adapun putusan verstek dalam arbitrase berbeda sifatnya dengan putusan verstek menurut HIR di Pengadilan, oleh karena pada arbitrase, tidak terbuka kesempatan untuk verzet, sedang dalam hukum acara di pengadilan diberi kesempatan verzet (perlawanan). Dan apabila dikaitkan dengan pelaksanaan putusan oleh ketua Pengadilan, juga putusan ini tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)
Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase, meliputi Provisi dan Putusan Insidentil.
Sedang yang dimaksud dengan putusan sela Provisi; tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 30 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut hanya ada keterangan bahwa atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya…………dstnya……….. .
Dalam HIR sendiri, tidak mengatur tentang provisi ini, sehingga apabila kita lihat dalam praktek di pengadilan, provisi itu sebagai suatu keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.
Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir diajuhkan dan dilaksanakannya putusan tersebut.
Sedang putusan provisonil tersebut dijalankan lebih dahulu sebelum diputusnya sengketa mengenai pokok perkara dalam putusan akhir.
Putusan Sela sebagai putusan insidentil oleh UU No. 30 tahun 1999 hanya memberi penjelasan dalam pasal 30 yang berbunyi: 'Pihak ke tiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.
Apabila ketentuan pasal 30 UU No.30 tahun 1999 tersebut dibandingkan dengan praktek di Pengadilan Negeri, terdapat hal-hal yang tidak pas bahkan rancu.
Sebagaimana diketahui, pihak ketiga yang di luar perjanjian arbitrase dimaksud, dapat menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa ada 3 macam:
1. Vrijwaring
2. Tussenkomst
3. Voeging
Dalam vrijwaring, pihak ketiga tersebut masuk atas permintaan termohon guna melindungi kepentingan pihak yang dituntut. Dalam Tussenkomst, masuknya pihak ketiga tersebut adalah untuk membela kepentingan dirinya sendiri, oleh itu sangat tipis kemungkinan kehadirannya dalam proses dapat disepakati oleh para pihak. Sedangkan dalam Voeging, masuknya pihak ketiga di sini adalah untuk membela kepentingan salah satu pihak, baik pemohon maupun pihak termohon, semata-mata atas kemauan sendiri pihak ketiga tersebut.
Oleh karena hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut, maka baik dalam vrijwaring maupun tussenkomst ataupun pada voeging, dapat dimengerti apabila kedua belah pihak, baik pemohon ataupun termohon sulit untuk dapat sepakat menerimanya dengan mudah.
Kesepakatan kedua belah pihak dalam pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 merupakan persyaratan dalam menerima kehadiran pihak ketiga tersebut dalam proses penyelesaian sengketa, padahal persyaratan seperti itu tidak dianut dalam praktek di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian dapat diprediksikan penerapan pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 dalam praktek sulit untuk dilaksanakan dalam praktek.
Ad. 2. Putusan Akhir
Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.
Yang perlu dijaga dalam putusan akhir ini adalah apakah putusan tersebut sudah memenuhi bunyi pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Yaitu apakah sudah ada klausula arbitrase, apakah klausula arbitrase tersebut telah dimuat dalam dokumen yang telah diterima oleh kedua belah pihak. Dan dalam hal pembuatan klausula arbitrase tersebut dibuat dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman telegram, faximile, e-meil atau dalam bentuk sarana komonikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. (pasal 4).
Di samping itu harus pula diperhatikan apakah sengketa yang ditangani tersebut apakah sengketa di bidang perdagangan dan apakah hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, dikuasai sepenuhnya pihak-pihak yang bersengketa. Juga harus diperhatikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa-sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5).
Sesuai bunyi pasal 26 ayat (3) apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, kedua Pengadilan Negeri menolak dilaksanakannya putusan arbitrase dimaksud. Dan tidak terbuka upaya hukum apapun terhadap penolakan tersebut.
Ad. 3. Putusan Perdamaian
Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.
Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5 harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.
Ad. 4. Putusan Verstek.
Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata eksekutorial.
Adapun putusan verstek dalam arbitrase berbeda sifatnya dengan putusan verstek menurut HIR di Pengadilan, oleh karena pada arbitrase, tidak terbuka kesempatan untuk verzet, sedang dalam hukum acara di pengadilan diberi kesempatan verzet (perlawanan). Dan apabila dikaitkan dengan pelaksanaan putusan oleh ketua Pengadilan, juga putusan ini tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)