GUGAT CERAI

Form dan Bentuk Gugutan Cerai

Pada dasarnya bentuk/ form surat gugatan cerai tidak memiliki perbedaan dengan bentuk/ form surat gugatan pada umumnya. Format surat gugatan cerai tetap merunjuk pada kaedah-kaedah umum suatu surat gugatan seperti subjek hukum (Penggugat - Tergugat), Dasar hukum gugatan, posita dan petitum.

Bahwa kemudian yang menjadi pembeda tersendiri adalah bahwa dalam surat gugatan cerai masalah alas gugatannya jelas hanya terpaku pada satu pasal yakni Pasal 19 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur tentang bahwa suatu Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pembatasan pada alasan-alasan terjadinya/ dikabulkannya suatu perceraian sebagaimana diatur pasal tersebut sejalan dengan prinsip UU No. 1 Tahun 1974 yang mempersulit terjadinya perceraian karena tujuan perkawinan yang dikehendaki para penyusun UU No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera.
Karena hanya ada 1 (satu) alas hukum suatu gugatan cerai dapat dikabulkan oleh Pengadilan maka biasanya pihak yang mengajukan gugatan cerai hanya menguraikan "cerita" dalam posita tentang adanya perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangganya. Karena hanya menguraikan "cerita" pada akhirnya yang sering terlupakan adalah "akibat" dari perceraian tersebut seperti masalah nafkah yang harus ditanggung oleh suami, hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak dan atau hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK

Dalam persidangan perceraian, tidak tertutup kemungkinan ketidakhadiran pihak tergugat meskipun ia telah dipanggil secara patut menurut undang-undang dimana pemanggilan tersebut dilakukan oleh jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan. Undang-undang mensyaratkan pemanggilan para pihak untuk bersidang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pemanggilan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 126 – 127 HIR (Herziene Indonesisch Reglement / Reglemen Indonesia Baru -RIB) :

“ …., Pengadilan Negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil pada kedua kali datang menghadap pada hari persidangan yang datang, yang diberitahukan oleh ketua kepada yang hadir, untuk siapa pemberitahuan ini berlaku seperti panggilan. Jika tergugat tidak menghadap dan juga tidak menyuruh orang lain hadir selaku wakilnya, maka pemeriksaan perkara diundur sampai ke hari persidangan lain, sedapat mungkin jangan lama.”

Jika setelah melewati 3 (tiga) kali pemanggilan ternyata tergugat tidak hadir maka jatuhlah bagi pihak yang tidak hadir tersebut putusan verstek. Putusan Verstek adalah putusan hakim yang bersifat declaratoir (op tegenspraak) tentang ketidakhadiran tergugat meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Terhadap kondisi verstek ini, tuntutan penggugat tidak berarti serta merta akan dikabulkan seluruhnya. Perkara tetap diperiksa menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 125 HIR menentukan, bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugatan harus memenuhi syarat-syarat seperti petitum tidak melawan hukum dan memiliki cukup alasan.

Permasalahannya, tenggang waktu sejak putusan cerai dibacakan oleh hakim sampai dengan juru sita pengadilan melakukan pemberitahuan putusan tersebut terkadang memakan waktu yang terlalu lama. Bisa jadi putusan dibacakan awal bulan November 2008 tetapi pemberitahuan putusan dilakukan baru pada 1 Desember 2009. Kalau ditanya kepada juru sita yang bersangkutan maka ada berbagai macam alasan, entah itu putusan belum ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan, putusan belum selesai diketik dan lain sebagainya. Tapi karena hukum acara telah mengatur demikian maka penggugat cerai harus tetap sabar.

Implikasi hukum dari putusan verstek dalam perceraian adalah menyampingkan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan. Perceraian dengan putusan verstek mensyaratkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung sejak putusan perceraian itu diberitahukan kepada pihak yang verstek bukan terhitung sejak perceraian tersebut dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini sebagaiman aturan hukum Pasal 128 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa keputusan hakim yang menyatakan verstek, tidak boleh dijalankan, sebelum lewat 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan. Jadi, berdasarkan pasal 128 ayat (1) HIR seorang penggugat cerai tidak bisa langsung mendaftarkan putusan cerai tersebut kepada kantor catatan sipil dimana perceraian itu terjadi. Penggugat cerai masih harus menunggu masa pemberitahuan putusan cerainya.


Tata Cara Perceraian

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan tentang bagaimana tata cara perceraian di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri berikut disampaikan tata cara perceraian sebagaimana diatur dan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR I TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN :

Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat Keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan.

Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 20
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(2) Dalam hal kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 21
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampaui 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.

Pasal 22
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu.

Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk rnendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakaan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Pasal 25
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 26
(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud dalam ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tercatat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 28
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 29
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu
diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (3) sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.

Pasal 30
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

Pasal 31
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang perneriksaan.

Pasal 32
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 33
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 34
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.



Prosedur Perceraian PNS

Prosedur perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

Pasal 3 :

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai Penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai Tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.

Dalam pasal 5-nya, ditegaskan bahwa izin tersebut harus diajukan kepada Pejabat melalui saluran tertulis. Adapun pejabat yang dimaksud adalah pimpinan instansi dimana Pegawai Negeri Sipil tersebut bekerja. Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh Pejabat. Selain itu, izin cerai juga tidak diberikan apabila alasan perceraian tersebut terdapat hal-hal sebagai berikut :

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengatur tentang akibat perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yakni sebagai berikut :

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.
(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
(5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
(7) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.

Ketentuan Prosedur perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 selain berlaku bagi pegawai negeri sipil, berlaku pula bagi pegawai yang dipersamakan dengan PNS yakni :

a. Pegawai Bulanan di samping pensiun;
b. Pegawai Bank milik Negara;
c. Pegawai Badan Usaha milik Negara;
d. Pegawai Bank milik Daerah;
e. Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
f. Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa;



Hukum Perkawinan

Perkawinan Perdata, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan ( Pasal 26 BW)
Dengan demikian, bersifat YURIDIS karena sahnya perkawinan jika syarat – syarat menurut UU (KUHPer) dipenuhi.
Artinya, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat – syarat yang ditetapkan dalam KUHPer dan syarat – syarat peraturan yang dikesampingkan.
Menurut UU NO.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kekurangan Pasal 26 KUHPer,tidak memperhatikan beberapa hal seperti :
  • Unsur Agama. : UU tidak mencampurkan upacara – upacara perkawinan menurut peraturan
  • UU tidak memperhatikan larangan – larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama
Segi Agama, cerai tidak dimungkinkan meskipun dalam hukum agama katolik, tidak ada istilah perceraian
Segi Biologis, UU tidak memperhatikan faktor – faktor biologis seperti kemandulan
Segi motif, UU tidak mempedulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan
Jadi, KUHPer hanya memperlihatkan segi – segi formalitas saja.
Positifnya Pasal 26 KUHPer :
  • Perkawinan monogami : Sesuai dengan Pasal 27 KUHPer
  • Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian
  • Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan2 tertentu ; limitatif
Pelanggaran terhadap Pasal 27 KUHPer, dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 279 KUHPidana.
Yang berisi bahwa seseorang dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun apabila ia mengadakan perkawinan padahal masih terikat pada perkawinan sebelumnya yang menjadi penghalang yang sah untuk perkawinan yang baru.
Dan apabila menyembunyikan perkawinan baru tersebut maka dapat dikenakan pidana penjara selama 7 tahun.
Perkawinan merupakan suatu lembaga yang abadi, yg dapat disimpulkan dengan :
  1. Larangan perceraian dengan persetujuan
  2. Hakim wajib mendamaikan kembali sebelum memutuskan perkara perceraian
  3. Perceraian harus dengan alasan – alasan terbata, di luar alasan – alasan tersebut perceraian dilarang.

AKIBAT PERKAWINAN
AKIBAT PERKAWINAN TERHADAP DIRI PRIBADI
Hak dan Kewajiban suami istri dalam KUHPer :
  1. Pasal 103 KUHPer, harus setia – mensetiai dan tolong menolong
  2. Pasal 105 KUHPer, suami adalah kepala rumah tangga, suami wajib memberi bantuan kepada istri/mewakili istri di pengadilan, suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, suami harus mengurus harta kekayaan sebagaimana seorang bapak rumah yang baik dan bertanggungjawab atas segala kealpan dalam pengurusan tersebut, suami tidak diperbolehkan memindahtangakan/membebani harta kekayaan tak bergerak milik istri tanpa persetujuan istri
  3. Pasal 106 KUHPer, istri harus tunduk dan patuh pada suaminya
  4. Pasal 107 KUHPer, suami wajib menerima diri istrinya dalam rumah yang didiami, suami wajib melindungi dan memberi apa yang perlu dan berpautan dengan kedudukan dan kemampuannya
  5. Pasal 108 KUHPer, istri tidak berwenang untuk bertindak dalam hukum
  6. Pasal 110 KUHPer, seorang istri tidak boleh menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya
Hak dan Kewajiban suami istri dalam UU No.1 Tahun 1974 :
  1. Pasal 30, suami istri wajib menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat
  2. Pasal 31
-ayat 1, hak dan kedudukan suami istri seimbang
-ayat 2, masing – masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum
-ayat 3, suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
3. Pasal 32, suami istri harus mempunyai tempat kediaman tetap yang
ditentukan suami istri bersama
  1. Pasal 33, suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin
  2. Pasal 34, suami wajib melindungi istri, memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuan, istri wajib mengatur urusan rumah tangg sebaiknya, jika salah satu gagal/melakukan kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan pada pengadilan
AKIBAT PERKAWINAN TERHADAP HARTA BENDA SUAMI ISTRI
Menurut KUHPer adalah harta campuran bulat dalam pasal 119 KUHPer harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama meliputi seluruh harta perkawinan yaitu :
  1. Harta yang sudah ada pada waktu perkawinan
  2. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
Namun, ada pengecualian bahwa harta tersebut bukan harta campuran bulat yaitu apabila terdapat :
  1. Perjanjian kawin
  2. Ada hibah/warisan, yang ditetapkan oleh pewaris Pasal 120 KUHPer
Menurut Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, yaitu :
1. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan
2. Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan. Penguasaannya tetap pada masing – masing suami istri yang membawanya ke dalam perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan lain.
AKIBAT PERKAWINAN TERHADAP ANAK KETURUNAN (Pasal 250 KUHPer)
Pasal 250 KUHPer, Tiap – tiap anak yang dilahrikan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya (tentang anak sah)
Anak sah menurut Pasal 42 UU No.1 tahun 1974, adalah :
"Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah"
Penyangkalan anak dapat dilakukan menurut Pasal 251 – 254 KUHPer, jika :
  1. Dilahirkan sebelum 180 hari sejak saat perkawinan
  2. Jika masa 180 + 300 hari, belum pernah berhubungan tetapi istri melahirkan
  3. Istri melakukan perzinahan
  4. Anak dilahirkan setelah lewat 300 hari, keputusan hakim sejak perpisahan meja dan tempat tidur
Penyangakalan anak,
  1. Dilakukan oleh suami sendiri, maka :
a. Satu bulan ia berada di tempat
b. Dua bulan sesudah ia kembali dari bepergian
c. Kehadiran disembunyikan dua bulan
2. Dilakukan oleh ahli waris suami, setelah 2 bulan suami meninggal
PEMBUKTIAN ANAK SAH, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dua akte, yaitu :
1. Akte perkawinan, milik ibu
2. Akte kelahiran, dari ibu mana anak tersebut dilahirkan
Selain itu, dapat dilakukan pembuktian langsung/nyata yaitu :
1. Memakai nama keluarga Ayah
2. Masyarakat sekitar mengakui
3. Ayah memperlakukan baik keluarga lainnya
Anak diluar kawin/natuurlijk kind apabila diakui melalui akte pengakuan anak maka akan menimbulkan hubungan hukum dengan suami/istri yang mengakui. Apabila tidak diakui maka tidak ada hubungan hukum.
KEKUASAAN ORANG TUA / Ouderlijke Macht
Kekuasaan orangtua meliputi dua hal, yaitu :
  1. Diri anak ; kebutuhan fisik anak
  2. Harta anak ; pengurusan harta sang anak
Sifat kekuasaan orangtua menurut KUHPer adalah kekuasaan kolektif yang dipegang oleh Ayah
Sifat kekuasaan orangtua menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah kekuasaan tunggal yang ada pada masing – masing pihak ayah dan ibu
Pencabutan kekuasaan orangtua dapat dilakukan (Pasal 49 UU No.1 1974), apabila :
  1. melalaikan kewajiban sebagi orangtua
  2. berkelakukan buruk
  3. Dihukum karena suatu kejahatan
AKIBAT PERKAWINAN YANG LAIN
Mengenai hubungan darah adalah sebagai berikut :
  1. Anak terhadap orangtua. Anak yang sah mempunyai hubungan darah yang sah baik dengan ayah maupun ibunya
  2. Anak terhadap ibunya (Pasal 280 KUHPer dan UU No. 1 tahun 1974). Menurut KUHPer, anak diluar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ibu apabila sang ibu mengakuinya.
Menurut UU No. 1/1974, setiap anak secara otomatis mempunyai hubungan darah dengan ibunya
  1. Anak terhadap ayahnya, menurut KUHPer seorang anak luar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ayahnya kalau sang ayah mengakuinya secara sah
KONSEPSI PERKAWINAN
Konsepsi, diartikan sebagai sistem hukum yang dipakai / sistem hukum tertentu. Sistem hukum tsb berbeda, hal tsb tergantung dari :
  1. pandangan hidup
  2. karakter
  3. cara berpikir penganut sistem (negara/bangsa)
Perbedaan sistem hukum konsepsi perkawinan dalam sistem KUHPer/BW dan UU No. 1 tahun 1974 adalah :
1. Konsepsi perkawinan menurut KUHPer, hanya dipandang dari segi keperdataannya saja. Artinya, UU melihat perkawinan itu sah dan syarat – syaratnya menurut UU dipenuhi. Yang dilihat hanya faktor yuridis sesuai dengan Pasal 26 KUHPer.
2. Konsepsi perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974, dapat dlihat dalam pasa 1 UU no.1/1974. Yang berisi :
Perkawinan adalah :
- ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang wanita
- sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
- berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Unsur – Unsur dalam Konsepsi Perkawinan
Terdapat Unsur – unsur atau asas – asas tentang konsepsi perkawinan di dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
  • Unsur religius / Keagamaan
Pasal 2 ayat 1, Pasal 8 sub f, Pasal 29 ayat 2, Pasal 51 ayat 3
  • Unsur biologis
Pasal 4 sub c
  • Unsur Sosiologis
Pasal 7 ayat 1
  • Unsur Yuridis
Pasal 2 ayat 2, Pasal 35 ayat 1 dan 2, Pasal 36 ayat 1 dan 2, Pasal 37
SYARAT – SYARAT PERKAWINAN
- Syarat perkawinan menurut KUHPer / BW
- Syarat perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974
Menurut KUHPer / BW
Syarat Materil
  • Syarat Materil Umum, yang berlaku untuk seluruh perkawinan yang terdiri dari :
- Kata Sepakat (Pasal 28 KUHPer)
- Asas yang dianut Monogami mutlak (Pasal 27 KUHPer)
- Batas usia (Pasal 29 KUHPer)
- Tenggang waktu tunggu, 300 hari (Pasal 34 KUHPer)
  • Syarat Materil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu, seperti :
- Larangan Perkawinan (Pasal 30, 31, 32, 33 KUHPer)
- Izin Kawin (Pasal 33, 35 – 38, 40, 42 KUHPer)
Syarat Formil
Mengenai Tata Cara Perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan
Sebelum Perkawinan :
  • Pemberitahuan / aangifte
Tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu pegawai yg nantinya akan melangsungkan pernikahan
  • Pengumuman
Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Syarat Materil
  • Syarat Materil Umum
  • Kata Sepakat
  • Azas yang dianut, monogami tidak mutlak / monogamy terbuka
  • Batas usia, laki – laki 19 tahun, perempuan 16 tahun
  • Jangka waktu :
    • cerai mati : 130 hari
    • cerai hidup : 3 kali suci
  • Syarat Materil Khusu
  • Larangan perkawinan (Pasal 7 UU no.1/1974)
  • Izin Kawin (Pasal 6 ayat 2 UU no.1/1974)
Syarat Formil
  • Sebelum Perkawinan :
  1. Pemberitahuan
  2. Penelitian
  3. Pengumuman
  • Pelangsungan perkawinan
  • Melaksanakan perkawinan
/AP Darell
Kepustakaan :
  • Pokok-Pokok Hukum Perdata (Prof. Subekti, SH)
  • Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat( Dr.Wienarsih Imam Subekti, SH,MH, Sri Soesilowati Mahdi, SH)