Bentuk Kesalahan
- 1.Kesengajaan
Menurut
sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa
kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat
tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek
1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan
perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881
yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi mencantumkan arti
kesengajaan seperti rancangan terdahulu (Jonkers 1946: 45).
Seseorang
yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat
an harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk
perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh
reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.
Kesengajaan itu secara alternatif,
dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud
kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan
kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.
Teori
kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karanganya
tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan
bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak
untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan katta alin apabila
seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu
kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan
perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya,
ataupun hal ikhwal yang menyertai.
Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank
(Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner
Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat
atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya
tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat
membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Menurt
teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya
maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki
oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada
perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut
teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)bahw
aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh
si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada
perbuatan saja.
Dalam
kehidupan sehari- hari memang seseorang yang hendak membunuh orang
lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka
perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi
akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena
itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat
membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan
timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia,
dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De
voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya,
dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan piikiran
bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan
sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk
menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan
(gambaran) tentang sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah,
maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong
untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan (Prof. Moeljanto,S.H. Kuliah:
224).
3. Beberapa Jenis dan Pengertian Lain Dari Beberapa “Dolus”
Di dalam beberapa literature hokum
pidana antara lain tulisan Vos (1950 : 121), Jonkers (1946 : 55) dan D.
Hazewinkel Suringa (1968 : !07-108) dapat disusun beberapa jenis dan
pengertian yang lain dan pengertian yang lain dari pembagian dolus, yang
terdiri atas :
a. dolus
generalis, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada orang banyak atau
kesengajaan tidak ditujukan kepada orang banyak melainkan kepada
seseorang akan tetapi untuk mencapai tujuanya diperlukan lebih banyak
perbuatan yang dilakukan. Misalnya, melempar bom ditengah-tengah
orang-orang berkerumun.
b. Dolus indirectus, yaittu melakukan suatu perbuatan yang dilarang undang-undang yang terbit akibat lain yang tidak dikehendaki.
Misalnya,
mendorong seorang wanita hamil dari suatu tangga sehingga jatuh dengan
mengakibatkan gugurnya kandungan. Bangunan dolus yang demikian ini sudah
banyak tidak diikuti, seperti halnya sengaja melakukan penganiayaan
tetapi akibat perbuatanya si korban menjadi mati, yang dalam peristiwa
ini pembuat dituntut pasal 351 ayat 3 dan bukan oleh pasal 338 KUHP.
c. dolus
determinatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada tukuan tertentu,
baik terhadap pada pembuatnya maupun pada akibat perbuatanya. Apabila
tujuan yang dimaksudkan hanya semata-mata dipandang sebagai objek
tidaklah mempunyai arti karena tidak pernah ada.
d. Dolus
indeterminatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang
atau tidaka mempedulikan apa/siapa saja yang menjadi korban. Misalnya
menuangkan racun kedalam mata air sungai dimana tempat itu dipakai untuk
keprluan air minum bagi umum.
e. Dolus
alternatives, yaitu kesengajaan dari pembuat menghendaki akibat yang
satu atau akibat ynag lain, jadi memilih diantara dua akibat. Misalnyasi
pembuat bertujuan untuk membunuh terhadap A atau B saja, dan untuk
membunuh orang sebanyak mungkin seperti terror yang disebut kesengajaan
umum atau generalis;
f. Dolus
premiditatus, dan dolus repentitus, yaitu yang peetama merupakan
kesengajaan yang dilakukan dengan telah dipertimbangkan masak-masak
lebih dahulu dalam hati yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan
kesengajaan dengan sekonyong-konyong.
Perbedaan antara kedua bentuk kesengajaan itu terletak pada pemberatan pidananya.
4. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan (Dwaling)
Seseorang yang melakukan perbuatan yang
dilarang dan diancan dengan pidana oleh peraturan hokum pidana itu
dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan. Mengenai dwaling ada
beberapa bentuk, dan biasanya dibarengi dengan masalah hubungan antara
kesengajaan dengan sifat melawan hukum,, yaitu ada tidaknya penginsyafan
atas unsur melawan hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas sifat
melawan hukum itu berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai
hal-hal di luar hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke
dwaling), akan tetapi apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum
pidan maka di situlah kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali
untuk melepaskan diri dari tuntutan pidana (rechtsdwaling).
a. Feitelijke dwaling
Jika
kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah
satu unsur perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.
Misalnya : seseorang mengira dengan jalan membayar sesuatu barang sudah
menjadi pemilik, dengan kemudian atas barng tersebut dipreteli sehingga
tidak seperti aslinya laginya lagi padahal pemilikan itu belum sempurna
karena belum ada penyerahan yang masih dibebani biaya diluar harga,
disini tidak dapat dituntut dengan pasal 406 KUHP. Demikian pula
seseorang yang bermaksud mengambil sebuah barang yang dikira kepunyaan
orang lain, ternyata barang itu dihibahkan oleh pemilik semula
kepadanya, disini tidaka dapat dituntut dengan pasal 362 KUHP
b. Rechtsdwaling & c. Error in persona
Rechtsdwaling
melakukan
suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh
undang-undang. Didalam rechtdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan
yang dapat dimengerti (verscoonbaredwaling) dan kekeliruan yang tidak
dapat dimengerti (onverschoonbare dwaling). Misalnya orang irian barat
yang biasanya hidup sebelum tahun 1962, masih selalu telanjang bulat,
dan kebiasaan telanjang itu dilakukan di tempat lain di jawa, karena itu
orang irian barat tidak dapat diharapkan untuk mengetahui undang-undang
yang berlaku, sehingga perbuatan itu dapat dimengerti atas kekeliruan
hukum yang dikira tidak dilarang (verschoonbare dwaling). Sebaliknya
seorang Monaco yang biasanya tidak dilarang untukmengadakan perjudian ditempat umum setelah ia di Indonesia
meneruskan mata pencaharian dengan berjudi iti dengan mengira tidak
dilarang oleh undang-undang yang sebenarnya terjadi kekeliruan hukum
sehingga kepadanya tetap dapat dituntut walaupun ada kekeliruan tentang
hukum yang berlaku (onverschoonbare).
Error in persona
Kekeliruan
mengenai orang yang menjadi tujuan dai perbuatan pidana. Misalnya A
hendak membunuh B, oleh karena belum kenal dekat ternyata yang dikira B
yang dibunuh iitu adalah C. perbuatan A itu tidak dapat melepaskan diri
dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.
d. Error in objecto
Kekeliruanmengenai
objek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya A melepaskan
tembakan kepada suatu sasaran yang dikira seekor rusa, akan tetapi
ternyata adah orag yang sedang begerak – gerak dianara pepohonan,
sehinga luka parah dan akhirnya meninggal. Dalam peristiwa ini tidak
terjadi perbuatan pidana pembunuhan dalam passal 338 KUHP melainkan
dapat dituntut karena perbuatan pidana pasal 351 ayat 3 KUHP yang lebuh
ringan yaitu menyebabkan matinya seseorang karena penganiayaan.
e. Aberratio ictus
kekeliruan
dalam hal ini mempunyai corak lain daripada error in persona karena
orangnya, akan tetai karena macam-macam sebab perbuatanya menimbulkan
akibat yang berlainan daripada yang di kehendaki. Misalnya A hendak
embunuh dengan lemparan pisau kepada B yang tidak mengenainya, akan
tetapi terkena pada C yang berdiri di dekat situ. Kepada A dapat
dituntut hukum pidana karena kealpaanya menyebabkan metinya orang lain,
ataupun tuntutan lainya tergantung dari hasil pemeriksaan sidang dengan
hasil kemudian sebagai kejahatan terhadap nyawa orang. Karena jlanya
aberratio ictus sedemikian rupa , adakalanya pendapat lain bahwa
aberratio ictus itu tidak ada dwaling, melainkan suatu perbuatan pidana
yang jalnya kausal menjadi lain dengan apa yang dikehendaki oleh
pembuatnya.
Seperti
diketahi dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja” (opzet)
sebagaiman dirumuskan pada tiap-tiap pasal. Bebrapa istilah itu dapat
dipandang sebagai istilah lain atau sama artinya dengan istilah sengaja,
oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja sama artinya telah
dikehendaki dan diketahui, willen en watens, seperti misalnya istilah :
padahal mengetahui (wetende dat) dalam pasal 220 KUHP, yang diketahui
(waarvanhij weet) dalam pasal 275 KUHP, yang telah diketahui (waarvanhij
kent) dalam pasal 282 KUHP, dan diketahuinya (waarvan hem beken is)
dalam pasal 247 KUHP.