PENADAH

Celah dari Jeratan Sebagai Penadah

Dalam suatu transaksi jual beli barang, terkadang atau kebanyakan pembeli tertarik dengan barang yang dijual dibawah harga pasar. Ini merupakan hukum pasar yang tidak tertulis dan suatu hal yang lumrah dalam praktik jual beli. Apalagi jika si pembeli ternyata berniat untuk menjual lagi dengan harga pasaran tentunya ia akan mendapat keuntungan dari selisih harga pembelian awal.

Sayangnya, terkadang keinginan untuk mendapat selisih atau keuntungan tersebut, jika tidak hati-hati, dapat menjerat si pembeli dalam masalah hukum pidana. Pasal 480 KUHPidana tentang pertolongan (jahat) atau yang dalam praktik pidana dikenal dengan pasal penadah (heling) menyatakan dengan jelas hal-hal sebagai berikut :

dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun ….dihukum ; (1) karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. (2) barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.”

Ketentuan pasal 480 KUHPidana tersebut diatas mengatur 2 (dua) perbuatan yakni perbuatan bersekongkol dan perbuatan mengambil keuntungan dari barang yang diperoleh karena kejahatan. Jika si pembeli memang mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan maka ia pasti dijerat oleh penyidik dengan pasal 480 ayat (1) KUHPidana yakni sebagai sekongkol atau yang biasa disebut dengan “penadah”. Jika si pembeli tidak tahu asal perolehan barang tetapi si pembeli dari awal sudah curiga namun tetap membeli barang tersebut maka si pembeli dapat dijerat dengan Pasal 480 ayat (2) KUHPidana.

Mengkaji dan mencermati tentang ketentuan Pasal diatas khususnya tentang “mengetahui atau patut dapat menyangka” bahwa barang tersebut berasal dari suatu kejahatan apa bukan, rasanya sangat sulit. Umumnya penyidik enggan membuktikan apakah benar si pembeli ini tidak tahu atau tidak curiga terhadap asal usul barang yang dibelinya. Penyidik biasanya hanya berpatokan pada keterangan si penjual, dimana ia menjual dan siapa pembelinya. Kecurigaan atau dugaan awal penyidik untuk menjerat pembeli sebagai penadah hasil kejahatan biasanya terkonsentrasi pada keadaan atau cara dibelinya barang tersebut, misalnya dibeli dengan dibawah harga pasaran, dibeli dengan cara sembunyi-sembunyi atau sebagainya. Kecurigaan penyidik yang demikian tentunya akan merugikan si pembeli yang beritikad baik yang secara hukumnya sudah seharusnya dilindungi pula oleh si penyidik tersebut.

Pada dasarnya sifat “asal dari kejahatan” yang melekat pada suatu barang dapat hilang apabila barang tersebut telah diterima oleh pembeli yang beritikad baik (ter goedertrouw). Atas dasar itikad baik dan sepanjang itikad baik tersebut dapat dibuktikan, misalnya dengan kwitansi pembelian dan atau berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, maka tentunya pembeli dapat lepas dari jeratan hukum sebagai penadah.



MEMBELI EMAS HASIL RAMPOKAN APAKAH DAPAT DIPIDANA ?


Jawab :
Sdr. HD, terimakasih atas perhatiannya terhadap program  konsultasi hukum   kami. Pertanyaan saudara berkaitan dengan tindak pidana penadahan (pertolongan jahat). Sebelum saya menjawab pertanyaan saudara perlu dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan penadahan. Hal ini dapat dilihat dalam buku R. Soesilo Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal.
Penadahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Pasal 480 yang berbunyi dengan hukuman penjara penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-  dihukum :
  1. Karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai,  menerima sebagai hadiah  atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan;
  2. Barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.;
Yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah”, dalam bahasa asing “heling”, itu sebenarnya hanya perbuatan yang sebutkan pada sub 1 dari pasal ini.  Pebuatan yang tersebut pada ayat (1) dibagi atas dua bagian ialah :
  1.  Membeli, menyewa dsb (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan : Misalnya A membeli sebuah arloji dari B yang diketahuinya, bahwa barang itu asal dari curian. Disini tidak perlu dibuktikan, bahwa A dengan membeli arloji itu hendak mencari untung ;
  2. Menjual, menukarkan, mengadaikan, dsb. Dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan ; Misalnya A yang mengetahui, bahwa arloji asal dari curian, disuruh oleh B (Pemegang arlorji itu) menggadaikan arloji itu ke rumah gadai dengan menerima upah.
Selain dari pada itu dihukum pula menurut pasal ini (sub 2) ialah : orang yang mengambil keuntungan dari hasil suatu barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh dari hasil kejahatan. Sebenarnya yang tersebut dalam sub 2 ini bukan “sekongkol”
“Hasil” barang asal dari kejahatan = misalnya A mencuri arloji, kemudian dijual laku Rp.150, : Arloji adalah barang asal dari kejahatan.
Elemen penting dari pasal ini ialah : Terdakwa harus mengetahui atau patut diketahui atau patut menyangka, bahwa barang itu asal dari kejahatan = disini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasaan, uang palsu, atau lain-lain) akan tetapi sudah cukup apa bila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai), bahwa barang itu barang “gelap” bukan barang “terang”. Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan dibawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran ditempat itu memang mencurigakan.
“Barang asal dari kejahatan” = misalnya asal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol dll. Asal dari pelanggaran, tidak masuk disini. Barang asal dari kejahatan itu dapat dibagi atas dua macam yang sifatnya amat berlainan, ialah :
  1. Barang yang didapat dari kejahatan, misalnya barang-barang hasil pencurian, penggelapan, penipuan atau pemerasaan. Barang-barang ini keadaanya adalah sama ajadengan barang-barang lain yang bukan asal kejahatan tersebut. Dapat diketahuinya, bahwa barang2 itu asal dari kejahatan atau bukan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan caranya berpindah tangan, dan
  2. Barang yang terjadi karena telah dilakukan suatu kejahatan, misalnya mata uang palsu, uang kertas palsu, diploma palsu, dll. Barang-barang ini rupa dan keadaannya berlainan dengan barang2 tersebut yang tidak palsu.
Berdasarkan hal dia atas, terkait dengan 3 pertantayaan saudara maka dijawab dalam bentuk rangkuman sebagai berikut :
Dalam hukum perdata diatur tentang syarat sahnya jual beli. Salah satu syaratnya adalah objek jual beli tersebut bukanlah objek hasil sebuah tindak pidana kejahatan. Jika syarat ini dlanggar maka jual beli tersebut adalah batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ayat 4 tentang Causa Halal  yaitu suatu causa yang tidak boleh bertentangan dengan UU, Kesusilaan dan Ketertibn Umum. Bahkan secara hukum pidana jika objek jual beli tersebut merupakan hasil tindak pidana kejahatan maka dapat dipidana misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHPidana yaitu tentang Penadahan (Pertolongan Jahat).
Kasus yang saudara ceritakan di atas andaikata suatu saat diketahui jual beli emas tersebut hasil tindak pidana perampokan maka sesuai dengan Pasal 480 KUHPidana dapat dipidana. Persoalannya adalah toko emas yang membeli tersebut apakah dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana semntara toko emas tersebut tidak tidak tahu emas tersebut hasil perampokan. Dalam hal ini jika jika lihat unsur yang terkandung dalam Pasal 480 KUHPidana  menurut R. Soesilo unsur penting dari pasal ini ialah  Terdakwa harus mengetahui atau patut diketahui atau patut menyangka, bahwa barang itu asal dari kejahatan = disini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasaan, uang palsu, atau lain-lain) akan tetapi sudah cukup apa bila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai), bahwa barang itu barang “gelap” bukan barang “terang”. Untuk membuktikan unsur ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan dibawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran ditempat itu memang mencurigakan. Contohnya seseorang ingin menjual emas harganya 1 gram adalah Rp. 400.000,- tanpa suarat-surat. Padahal dalam kenyataanya harga pasarannya Rp.1.000.000,-pergram. Selanjutnya toko emas tersebut setuju. Padahal dihatinya sudah ada kecurigaan terhadap asal muasal emas tersebut. Tetapi karena ingin mencari keuntungan maka dibelinyalah emas tersebut. Tetapi apabila ketidaktahuan asal muasal emas tersebut terjadi dan toko emas tersebut membelinya masih dalam harga normal misalnya harga emas tersebut 1 gram adalah Rp. 1.000.000,- karena tidak ada surat-surat lalu dibeli dengan harga Rp. 800.000,-, biasanya toko emas tersebut hanya sebatas saksi.
Selanjutnjya terhadap emas kalau memang merupakan hasil tindak pidana kejahatan perampokan maka dapat disita menjadi barang bukti dan melalui putusan pengadilan emas tersebut akan dikembalikan kepada yang berhak yang dalam hal ini korban perampokan. Soal toko emas mengalami kerugian materi akibat jual beli tersebut itu merupakan resiko bisnis karena tidak cermat dan hati-hati.