TINJAUAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP PADA KASUS KECELAKAAN LALU-LINTAS OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO (81)
SONG SIP(E1104071)
Hukum Pidana
ABSTRAK
Song Sip. E1104071. TINJAUAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP TERHADAP KASUS KECELAKAAN LALU-LINTAS OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk mengetahui penerapan Pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun” khususnya terhadap kasus kecelakaan lalu-lintas oleh Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dan Faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang menyebabkan matinya orang lain dalam kasus kecelakaan lalu-lintas.
Penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian empiris. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri sukoharjo. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan dua cara yaitu wawancara dan studi kepustakaan. Teknik Sampling menggunakan Purposive Sampling.Teknik analisa data secara kualitatif.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa penerapan Pasal 359 KUHP dalam kasus kecelakaan Lalu-lintas oleh Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yaitu penjatuhan sanksi pidana yang ringan, kurang dari satu tahun, hal ini dapat diketahui pada putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No 187/Pid.B/2007/PN.Skh, Terdakwa dijatuhi pidana penjara 9 bulan, sedangkan pada putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No.212/Pid.B/2007/PN.SKH, Terdakwa dijatuhi pidana penjara 10 bulan, dengan pertimbangan bahwa kecelakaan itu tidak diduga sebelumnya oleh pelaku, tetapi disebabkan karena kurangnya penghati-hati dan kurangnya penduga-duga pengemudi terhadap keadaan jalan, sedangkan penerapan sanksi pidana oleh Hakim lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga (sudah berkeluarga). Faktor-faktor lainnya yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara kecelakaan lalulintas di kota Sukoharjo yaitu tidak didapatinya alasan pembenar, pemaaf dan penghapus pidana, serta adanya perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban, sikap terdakwa baik di persidangan maupun diluar persidangan yang mana hal itu merupakan hal-hal yang meringankan dan memberatkan pidana.
Menghilangkan Nyawa Atau Melukai Seseorang Bisa Dijerat Pasal 359 KUHP
Pasal 359 KUHP
Masih ingat kasus meninggalnya istri Saeful Jamil dalam kecelakaan maut atau kasus yang terbaru adalah kasusnya Apriani bersama Xenia yang membabi buta di tugu Monas.
Walaupun tak sama persis, keduanya pernah dijerat dengan delik pasal yang sama yaitu pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain terluka atau meninggal.
Pasal 359 KUHP sering digunakan untuk menjerat supir ugal – ugalan yang sering mnajdi biang kerok terjadinya kecelakaan di jalan.
Mungkin karena itulah kita masih sering menjumpai korban tabak lari di jalanan, selain karena takut dikeroyok massa, para pengemudi juga dibayangi – banyangi ketakutakan akan hukuman pidana kurungan.
Walaupun lebih sering digunakan untuk menjerat supir yang ugal – ugalan, namn delik pada pasal ini tidak hanya terpaku pada kecelakaan lalu lintas.
Semua kegiatan yang merupakan kelalaian yang menyebabkan orang terluka atau meninggal bisa dijerat pasal ini, dengan hukuman pidana kurungan selama – lamanya 5 tahun penjara atau kurungan selama – lamuang 1 tahun.
Bunyi Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Penerapan Pasal 359 KUHP
Semua tindakan kelalailan yang bisa menyebabkan orang terluka ataupun meninggal dasarnya bisa dijerat dengan pasal 359 KUHP.
Contoh kasus yang bisa dijerat dengan pasal ini selain kasus kecelakaan yang menjadi pelanggan tetap adalah kasus malpraktik yang biasa terjadi di rumah sakit atau klinik dokter.
Kejadian malpraktrik yang dilakukan staff medis kerap kali menimbulkan kerugian bagi para pasiennya. Walauppun pada dasarnya kejadian malpraktik terjadi karena ketidaksengajaan.
Namun tetap saja, berdasarkan pasal 359 KUHP staff medis yang melakukan kelalaian hingga menyebabkan pasien terluka atau meninggal tetap dijerat dengan pasal ini.
Pasal 359 KUHP juga bisa dikenakan pada militer atau anggota berwajib yang lalai dalam menggunakan senjata sehingga melukai atau membunuh warga sipil ataupun rekan kerjanya.
Peristiwa ‘peluru nyasar’ memang sering terjadi utamanya ketika seorang polisi atau pihak berwajib sedang melakukan pengejaran terhadap pelaku kejahatan.
Walaupun sifat lupa atau lalai merupakan hal yang manusiawi, namun jika sudah sampai pada tahap melukai atau membunuh seseorang, tidak bisa dimaklumi lagi.
Peristiwa tersebut tetap harus ditindaklanjuti agar kedepannya kita lebih berhati – hati lagi dalam bertindak sehingga tidak merugikan orang lain apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. (nn)
Penerapan Hukum yang Lebih Khusus dalam Dakwaan
Bagaimana pertanggungjawaban pidana seorang pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas? Dan apa dasar hukumnya (KUHP dan UU LLAJ) dan biasanya hakim menerapkan yang mana? Terima kasih
Jawaban:
Ilman Hadi
Kami asumsikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian tersebut disebabkan kelalaian pengemudi kendaraan bermotor. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Namun, saat ini telah terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain adalah Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum, dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Terkait ini, di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.
Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan Baru sebagai berikut:
“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya harus diteliti dahulu tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut. Apabila pada waktu kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah berlaku, maka yang diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.
“Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”
Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang menggunakan Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ untuk kasus-kasus seperti Anda ceritakan. Salah satu contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Nomor 1915
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011