PUTUSNYA PERKAWINAN

putusnya perkawinan dan akibatnya

A. PENDAHULUAN
Akad perkawinan dalam hukum islam bukannya perkara perdata semata melainkan ikatan suci mitsaqon ngolidhoh. Yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada allah dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga akan abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera sakinnah, mawaddah warahmah dapat terwujud. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas diperjalanan manakala kehidupan bahtera rumah tangga tidak dapat bertahan lagi maka islam memberikan jalan alternatif dengan bercerai atau talak apabila usaha-usaha perdamaian tidak dapat dimusyawarahkan lagi. Dalam hadist riwayat abu dawud disebutkan bahwa “sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci allah adalah talak kemudian dalam Undang-undangpun juga terdapat pasal-pasal atau aturan tentang putusnya perkawinan.
B. PEMBAHASAN
Putusnya perkawinan dan akibatnya
 PERSPEKTIF FIQIH
Menurut istilah talak adalah melepas ikatan atau juga disebut mengurangi melepas ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan yang dimaksud ikatan disini perkawinan. Setidaknya ada empat kemungkinan terjadinya perceraian yaitu
1. terjadinya nusyuz dari pihak isteri
nusyuz bermakna kedurkahaan yang dilakukan kepada isteri terhadap suaminya hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah tidak mau taat kapada suami penyelewengan dan hal-hal yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka Allah memberikan solusinya dalam Q.S. annisa 34 yang artinya:” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”
Nusyuz yang terjadi kepada pihak isteri setelah diusahakan dan dinasehati dan berpisah tidur serta memukul tapi tidak berhasil berakibat gugurnya kewajiban nafkah atas suami untuk isterinya. Dalam hal beristeri lebih dari satu maka terhadap isteri yang bernusyuz tidak wajib nafkah.tidak wajib memberi gilirannya tetapi masih wajib memberikan tempat tinggal.
2. nusyuz yang terjadi pada pihak laki-laki
nusyuz yang terjadi pada pihak suami apabila suami tadak mau menunaikan kewajibannya terhadap istri.apabila terjadi demikian hendaklah diberikan nasehat-nasehat secukupnya, agar kembali menuanaikan kewajiban kewajibanya. Apabila kekhawatiran nusyuz itu karna istri, misalnya suami tidak lagi senang terhadap istri yang tua, sakit yang tidak kunjung sembauh, karna muka ynag semakin berkerut, dll. Maka Al-qur’an menerangkan dalam Q.S An-Nisa: 128 yang artinya: ”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Isi perdamaian yang dimaksud diatas diterangkan dalam hadits riwayat bukhori dan aisyah, yaitu” ada istri yang tidak lagi memenuhi hasrat suaminya, hingga suami nampak ingin menceraikan istrinya.kemudian ingin kawin lagi dengan wanita lain, melihat demikian, istri mengatkan kepada suaminya” tahanlah aku dan janagna kau ceraikan” ” kawinlah denagna perempuan lain, kubebaskan engkau dari memberi nafkah dan mengiliri aku”. Dalam hadist tersebut tampak lah perdamaian yang jelas, yaitu istri melepaskan hak nya untuk memberi nafkah dan giliran dari suaminya, asal tidak cerai.
3. terjadi nya syiqaq
apabila antara suami istri terdapat pertentangan pendapat dan pertengkaran yang memuncak hingga kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya dan tidak mungkin mendamaikannya sendiri maka dapat diutus seorang hakim dari pihak suami dan hakim istri. Kasus rumah tangga yang memuncak seperti ini disebut shiqoq. Dalam firman Alloh Q.S An-Nisa:35 yang artinya:” Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Tugas kedua hakim ini adalah meyelidiki dan mencari hakikat dari permasalahan yang menimbulakan krisis itu, mencari sebab musabab yang menimbulkan persengketaan kemudian sedapat mungkin mendamaikan kedua belah pihak, apabila kedua belah pihah tidak dapat didamaikan. Maka keda hakam boleh mengambil inisiatif untuk mneceraikannya dan atas prakarsa kedua hakim ini, mereka mengajukan permasalahanya kepada hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan perceraian tersebut.
4. salah satu pihak melakukan perbuatan zina( fahisyah)
yang menimbulkan salaing tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaiakan dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan dengancara li’an. Li’an sesungguhnya telah memaski gerbang putusnya perkawinan dan bahkan untuk selama-lamanya. Karna akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in qubro.
Tawaran penyelesaikan yang diberikan Al-Qur’an adalah antisipasi agar nusyuz, dan shiqoq yang terjadi tidak sampai mengakibatkan terjadiya perceraian. Bagaimanapun juga perceraiaan merupakan sesuatu yang dibenci oleh ajaran agama. Kendati demikian apabila berbagai cara yang ditempuh tidak mendapatkan hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi keduanya belah pihak untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing.
 PERSFEKTIF UU No.1/ 1974
Sebagaimana yang disebat pasal 1 UU No.1/1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa atau dalam bahwa KHI mistaqan gholiza( ikatan yang kuat), namun dalam realitan sering kali tersebut perkawinan kandas ditengah jalan yang mengakitkan putusnya baik karena sebab kematian, perceraiaan maupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 38 UUP dinyatakan:
Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, atas keputusan pengadialan.
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia sedangkan untuk sebab perceraian, UUP memberikan aturan aturan ynag telah baku, terperinci dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan penngadilan jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. UUP tidak menyebutkan jangka waktu yang lama untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu, bahkan didalam penjelasan UUP, pasal 38 tersebut dipandang cukup jelas.
Pasal 39:
1. perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah mengadialan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. untuk melakukan perceraian harus ada cukup alsan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. tata cara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang sendiri.
Pasal 40:
1. gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
2. tata cara mengajukan gugatan tesebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundang tersendiri.
Didalam PP NO.9 1975 pasal 19 dinyatakan hal hal yang menyebabkan terjadinya perceraian:
1. salah satu pihak berbuat zina atau memjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagaianya yang sukar disembuhkan.
2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berurut turut pihak lain dan tanpa alasan yang sah.atau karna hal lain yang diluar kemampuannya.
3. salah satu pihah melakukan kekejaman atau penganiyayan berat yang membahayakan pihah lain
4. salah satu pihak memdapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat memjalankan kewajibanya sebagai suami istri.
5. antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah tangga.
PERSPEKTIF KHI
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP walaupun pasal pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada BAB XVI:
Pasal 113 menyatakan:
Perkawinan dapat putus karena
a. kematian
b. perceraian
c. atas putusan pengadilan.
Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian dijelasakan pada pasal114 yang mambagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang disebabkan karena talak dan gugatan perceraian. Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak. KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah ” ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagai mana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. perceraian dapat terjadi karena alasan alasan seperti Didalam PP NO.9 1975 pasal 19.tetapi diKHI dijelaskan dalam pasal 116.perbedaannya hanya pada poin
- suami melanggar taklid talak
- peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Kematian, perceraian, keputusan pengadialan
 Akibat kematian
akibat suami meninggsl maka si isteri selain manjalani masa tunggu ia berhak mewarisi harta peninggalan suami dan sekaligus berkewajiban memelihara anak-anaknya.
pasal 96:
1. apabila terjadi cerai mati maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
2. pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri, yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.

 Akibat perceraian
a. akibat talak
menurut keteneuan pasal 149 maka bekas suami wajib
 memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut qobla aldukhul
 memberi nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekaas isteri selama masa iddah kecuali bekas isteri telah dijatuhi talajk bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
 melunasi mahar yang masih berhutang seluruhnya serta memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak yang belium mencapai umur 21 tahun

b.akibat kulu’
akibatnya maka isteri itu bebas dan semua urusan diserahkan kapadanya dan tidak boleh lagi suami rujuk kepadanya karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari perkawinan terdapat dalam pasal 161 kompilasi menjelaskan bahwa perceraian dengan jalan kulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.

c.akibat li’an
pasal 162 kompilasi menjelaskan ’bila mana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya sedang suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah

d.akibat cerai gugat
pasal 156 kompilasi
a. anak yang belum mumayis berhak mendapatkan khadanah drai ibunya kecuali bil ibunya telah meninggal dunia maka kedudukan digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya, ayah, wanita-wanita dari garis lurus keatas dari ayahnya, saudara perempuan dari anak yan bersangkutan,wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibunya ataupun ayahnya.
b. anak yangsudah mumayis berhak memilih untuk mendapatkan khadanah dari ayah atau ibunya
c. apabila pemegang khadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani atau rohani anak, meskipun biaya nafkah dan khadanah telah dicukupi, maka ataspermintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak khadanah kepada kerabat lain
d. semua biaya khdanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus diri sendiri sampai umur 21 tahun.
e. Bila mana terjadi perselisihan mengenai khadanak dan nafkah anak pengadilan agama memberi keputusannya berdasarkan huruf a,b,c dan d.
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut kapadanya.


KESIMPULAN
PADA UUP pasal 41 akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah
a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak anaknya semata mat berdasarkan kepentingan anak anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusanya
b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya, pemeliharaan dan pendidik yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentuka bahwa ibu ikut memikul biawa tersebut.
c. Pengadilan dapat menwajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.