WARIS ISLAM


HUKUM WARIS ISLAM
1.   Pengertian.
Hukum waris atau hukum Faroid adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan ( tirkah ) pewaris termasuk siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. ( pasal 171 a KHI ).
Pewaris atau muwarits adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. ( pasal 171 b KHI ).
Ahli waris atau warits adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan dan untuk itu dia tidak terhalang karena hukum.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. ( pasal 171 d KHI ).
Harta warisan atau Tirkah adalah harta peninggalan yang siap diwariskan setelah digunakan untuk keperluan si pewaris yaitu biaya pengurusan jenazah, membayar hutang pewaris dan wasiat.
2.   Syarat waris mewarisi.    
  1. Ada orang yang meninggal.
  2. Ada ahli waris yang masih hidup.
  3. Tidak ada penghalang untuk menerima warisan.  
3.   Rukun waris mewarisi.
  1. Adanya Tirkah.
  2. Adanya Pewaris.
  3. Adanya Ahli waris.
4.   Orang yang terhalang mendapatkan warisan.
1.   Sesuai pasal 173 KHI adalah orang yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan  hukum yang tetap dihukum karena :
a.       Telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
  1. Murtad atau telah menyatakan keluar dari agama Islam.
5.   3 (tiga) hal penting yang menjadi masalah dalam waris.
  1. Mafqud adalah ahli waris yang tidak diketahui keberadaannya.
Untuk bagian yang mafqud maka tetap diberikan tetapi untuk sementara dititipkan dulu kepada ahli waris yang lain sampai dia kembali untuk mengambil bagiannya. Apabila dia telah meninggal dunia atau mendengar kabar yang benar tentang kematiannya, maka bagian tersebut dibagi kepada ahli waris yang lain.
  1. Anak yang masih dalam kandungan ibunya.
Maka pembagian waris harus ditunda dulu sampai dia dilahirkan. Apabila lahir hidup maka dia berhak mendapat bagian warisan.
  1. Mati secara bersama-sama.
Secara prinsip hal ini tidak terlalu merepotkan dalam pembagian waris.
6.   Pengertian mati menurut ulama, ada 3 :
1.   Mati Haqiqi adalah mati yang sesungguhnya dapat dilihat oleh panca indera.
2.   Mati Huqmi adalah mati berdasarkan putusan Pengadilan.
3.   Mati Taqdiry adalah mati berdasarkan dugaan yang kuat bahwa dia telah benar-benar mati
7.   Golongan ahli waris (menurut hukum Islam yang bukan hukum positif).
7.1. Golongan Laki-laki ( ada 15 orang ), yaitu :
         1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki.
3. Bapak dari laki-laki.
4. Datuk / kakek.
5. Suami / duda.
6. Saudara laki-laki kandung.
7. Saudara laki-laki se-ayah.
8. Saudara laki-laki se-ibu.
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah.
11. Paman kandung.
12. Paman se-ayah.
13. Sepupu kandung.
14. Sepupu se-ayah.
15. Orang laki-laki yang memerdekaan budak.
Jika ke-15 orang ini ada semua, maka yang lebih berhak adalah :
1. Anak laki-laki.
2. Bapak dari laki-laki.
3. Suami / duda.
7.2. Golongan Perempuan ( ada 10 orang ), yaitu :
         1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan.
3. Ibu.
4. Isteri / janda.
5. Nenek dari ibu.
6. Nenek dari ayah.
7. Saudara perempuan kandung.
8. Saudara perempuan se-ayah.
9. Saudara perempuan se-ibu.
10. Orang perempuan yang memerdekakan budak.
Jika dari ke-10 orang ini ada semua, maka yang lebih berhak :
    1. Anak perempuan.
    2. Cucu Perempuan.
    3. Ibu.
    4. Isteri / janda.
    5. Saudara perempuan kandung.
         Jika dari golongan laki-laki dan golongan perempuan ini ada semua, maka yang paling berhak adalah : anak (laki-laki/perempuan),  ayah, ibu, janda atau duda.
8.   Golongan ahli waris ( menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 174 ).
8.1    Berdasarkan Hubungan Darah :
1.   Golongan laki-laki ( ada 5 orang ), yaitu :
      1. Anak laki-laki.
      2. Ayah.
      3. Saudara laki-laki kandung.
      4. Paman.
      5. Kakek.
2.   Golongan Perempuan ( 4 orang ), yaitu :
      1. Anak Perempuan.
      2. Ibu.
      3. Saudara perempuan kandung.
      4. Nenek.
8.2.   Berdasarkan hubungan perkawinan / semenda :
         1. Suami / Duda.
         2. Isteri / Janda.
Jika semua ahli waris ada, maka yang berhak hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
9.   Ada 3 ( Tiga ) golongan ahli waris.
1.   Ashabul Furudl, adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu menurut syara’ (al qur’an dan hadist). Bagian tertentu meliputi 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8. Ada 2 yaitu :
1.   Issababiyah, adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian tertentu akibat dari hubungan perkawinan. Yaitu Suami/Duda atau Isteri/Janda.
      Duda mendapat ½, bila isteri meninggal tanpa anak.
      Duda mendapat ¼, bila isteri meninggal dan punya anak.
      Janda mendapat ¼, bila suami meninggal tanpa anak.
      Janda mendapat 1/8, bila suami meninggal dan punya anak.
2.   Innasabiyah, adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian tertentu akibat hubungan darah/nasab/garis keturunan, yaitu :
      1. Ibu dan nenek.
      2. Bapak dan kakek.
      3. Anak perempuan dan cucu perempuan dari laki-laki.
      4. Saudara perempuan dari ibu.
      5. Saudara laki-laki dari ibu.
      6. Saudara perempuan kandung.
      7. Saudara perempuan se-ayah.
2.   Asshabah, adalah golongan ahli waris yang mendapat sisa / menghabisi seluruh bagian warisan karena tidak ada ahli waris ashabul furudl. Ada 3 yaitu :
1.   Asshabah binafsi, adalah golongan ahli dari kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan si pewaris tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan, yaitu :
      1. Bapak dan kakek.
      2. Anak laki-laki dan cucu laki-laki.
      3. Saudara laki-laki kandung.
      4. Saudara laki-laki se-ayah.
2.   Asshabah bilghoir, adalah ahli waris dari kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi asshabah dan untuk bersama-sama menerima bagian, yaitu :
      1. Anak perempuan yang menerima warisan bersama anak laki-laki.
      2. Cucu perempuan yang menerima warisan bersama cucu laki-laki.
      3. Sdr.pr. kandung / se-ayah  bersama Sdr.laki-laki kandung/se-ayah.
3.   Asshabah ma’al ghoir, adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi asshabah tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima warisan, yaitu : saudara perempuan kandung dan saudara perempuan se-ayah bersama-sama dengan anak perempuan / cucu perempuan.
3.   Dzawil arham, adalah kerabat / ahli waris yang tidak termasuk dalam golongan ashabul furudl maupun asshabah (yang berjumlah 25 orang tersebut). Mereka adalah :
      1. Cucu dari anak perempuan.
      2. Anak laki-laki /perempuan dari cucu perempuan.
      3. Kakek dari pihak ibu.
      4. Nenek dari kakek.
      5. Anak perempuan dari saudara laki-laki (kandung/se-ayah/se-ibu).
      6. Anak laki-laki/perempuan dari sdr.perempuan (kandung/se-ayah/se-ibu).
      7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ibu.
      8. Bibi dan saudara perempuan dari kakek.
      9. Paman yang se-ibu dengan bapak.
      10. Saudara laki-laki yang se-ibu dengan kakek.
      11. Saudara laki-laki/perempuan dari pihak ibu.
      12. Anak perempuan dari paman.
      13. Bibi dari pihak ibu.
10. Hijab dan Mahjub.
Hijab adalah dinding / penutup / penghalang bagi ahli waris yang semestinya mendapatkan bagian menjadi berkurang bagiannya atau tidak mendapat sama sekali karena masih ada ahli waris yang lebih berhak. Ada 2 ( dua ) yaitu :
1.   Hijab nuqshon, yaitu bagiannya menjadi berkurang.
      Misalnya terhijabnya ibu dari 1/3 menjadi 1/6 karena adanya anak.
2.   Hijab hirman, yaitu bagiannya menjadi tidak ada sama sekali.
      Misalnya terhijabnya kakek karena masih ada bapak yang masih hidup.
Mahjub adalah orang yang terhalang mendapatkan warisan atau bagiannya menjadi berkurang, karena adanya ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris.
                             
11. Ahli waris pengganti ( pasal 185 KHI ).
(1)  Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. (terhalang menjadi ahli waris).
(2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
12. Perihal anak angkat ( pasal 209 KHI ).
(1)  Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
(2)  Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
13. Perihal Hibah ( pasal 210 KHI ).
(1)  Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta peninggalannya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2)  Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211 KHI
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebgai warisan.
14. Tentang Aul ( meningkat/bertambah – pasal 192 KHI ).
Apabila dalam pembagian harta warisn diantara para ahli Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang.
Biasanya sumber utama Aul adalah asal masalah 6, 12, 14.
Contoh : Asal Masalah 6.
               Suami                  : ½  x  6 = 3  menjadi 3/7 x jml. Harta warisan.
             &nbrp; 2 orang sdr. pr     : 2/3 x 6 = 4  menjadi 4/7 x jml. Harta warisan.
                                                                 7
15. Tentang Rad ( pasal 193 KHI ).
Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara Rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.

SENGKETA WARISAN


Tidak sedikit keluarga terpecah karena masalah harta. Banyak perkara warisan diajukan ke pengadilan karena tidak mampu diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah desa. Berikut ini adalah uraian prosedur mengurus warisan jika harus diselesaikan melalui pengadilan :
Jika hanya mengurus penetapan ahli waris-------------------

1. Siapkan segala dokumen yang dibutuhkan seperti :

  • Surat Keterangan Waris, biasanya dikeluarkan oleh Kepala Desa atas permintaan keluarga. Surat ini menerangkan tentang kematian pewaris dan siapa-siapa ahli warisnya.
  • Keterangan Silsilah, biasanya dikeluarkan oleh Kepala Desa atas permintaan keluarga, surat ini menggambarkan silsilah keluarga dalam bentuk bagan.
  • Segala dokumen bukti kepemilikan dari pewaris baik Sertifikat Hak Milik, Akta Jual Beli dan lain sebagainya yang menunjukkan bukti kepemilikan.
  • Jika bukti tertulis tidak ada, maka bukti saksi harus ada dan dipersiapkan, biasanya saksi adalah orang-orang yang mengetahui sejarah dan riwayat harta tersebut secara langsung, misalnya menjadi saksi  langsung saat jual beli atau hibah dilakukan
2.  Mengajukan permohonan ke pengadilan setempat dalam wilayah di mana obyek
     harta warisan berada, jika non muslim diajukan ke Pengadilan Negeri sedangkan
     jika muslim permohonan diajukan ke Pengadilan Agama, saat mengajukan
     permohonan Pemohon akan diminta membayar biaya perkara sesuai dengan ketentuan
     yang berlaku.
3.  Mengikuti proses persidangan : proses persidangan bisa sekali atau dua kali tergantung
     kesiapan Pemohon dalam mengajukan bukti-bukti.
4.  Hasil proses persidangan adalah adanya putusan berupa Penetapan oleh Hakim
     yang dibacakan dalam sidang, tapi Surat Penetapannya diambil pada panitera
     saat telah selesai ditulis dan ditandatangani oleh Hakim dengan membayar biaya sedikit.

Jika mengajukan gugatan karena ada sengketa tentang warisan (baik dengan saudara kandung, paman dlsbnya) maka prosedur agak lebih panjang sebagai berikut :

1. Siapkan segala dokumen yang dibutuhkan seperti :
  • Surat Keterangan Waris, biasanya dikeluarkan oleh Kepala Desa atas permintaan keluarga. Surat ini menerangkan tentang kematian pewaris dan siapa-siapa ahli warisnya. 
  • Keterangan Silsilah, biasanya dikeluarkan oleh Kepala Desa atas permintaan keluarga, surat ini  menggambarkan silsilah keluarga dalam bentuk bagan.
  • Segala dokumen bukti kepemilikan dari pewaris baik Sertifikat Hak Milik, Akta Jual Beli dan lain sebagainya yang menunjukkan bukti kepemilikan.
  • Jika bukti tertulis tidak ada, maka bukti saksi harus ada dan dipersiapkan, biasanya saksi adalah  orang-orang yang mengetahui sejarah dan riwayat harta tersebut secara langsung, misalnya menjadi saksi  langsung saat jual beli atau hibah dilakukan
2.  Mengajukan gugatan ke pengadilan setempat dalam wilayah di mana obyek
     harta warisan berada,  jika non muslim diajukan ke Pengadilan Negeri sedangkan jika
     muslim  permohonan diajukan ke Pengadilan Agama, saat mengajukan gugatan 
     Pemohon akan diminta membayar biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3.  Mengikuti proses persidangan yang agak panjang yang akan diawali dengan proses
     mediasi oleh Pihak pengadilan, dimana kedua belah pihak akan dipanggil untuk
     bermusyawarah tentang apa yang disengketakan yang akan ditengahi oleh seorang
     mediator yang disediakan oleh Pengadilan, setelah mediasi tidak berhasil maka dilanjutkan
    dengan proses sidang yang meliputi beberapa kali sidang yaitu untuk :

  1. Pemeriksaan gugatan dan kesempatan perbaikan gugatan untuk Penggugat.
  2. Jawaban dari Tergugat, boleh lisan dan boleh tertulis
  3. Replik dari Penggugat (bantahan atas jawaban Tergugat)
  4. Duplik dari Tergugat (bantahan atas Replik Penggugat)
  5. Pembuktian baik dengan pengajuan bukti surat maupun bukti saksi minimal 2 orang yang bukan keluarga dekat (ayah, ibu, suami/istri, anak).
  6. Kesimpulan oleh para pihak diajukan secara tertulis ataupun lisan.
  7. Keputusan Hakim.
4. Setelah selesai keputusan hakim dibacakan dalam sidang, maka Penggugat dan
    Tergugat dapat mengambil dokumen putusannya pada panitera di luar persidangan,
    jadi putusan tertulis tidak diterima langsung dalam sidang.
5. Hasil keputusan hakim yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah
    dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan kembali oleh pihak yang menang dengan
    mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan dengan prosedur :
  • pengajuan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan disertai pembayaran biaya eksekusi
  • panggilan (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada Termohon Eksekusi
  • penetapan eksekusi oleh Ketua Pengadilan
  • pemberitahuan waktu pelaksanaan eksekusi kepada pihak terkait
  • pelaksanaan eksekusi oleh Jurusita dibantu 2 orang saksi dan hasilnya dimuat dalam Berita Acara eksekusi.

Demikian prosedur lengkapnya bagi para pihak yang mempunyai masalah hukum tentang warisan sehingga harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.

KURANG PIHAK DALAM GUGATAN WARIS


Pendahuluan
Dalam menilai terpenuhinya syarat-syarat formil sebuah surat gugat, sering kali menjadi perdebatan dan perbedaan antar hakim. Misalnya dalam sengketa waris, ada hakim yang berpendapat keharusan melibatkan semua ahli-waris dalam sengketa, sehingga kalau ada ahli-waris yang berhak tetapi ia tidak mau menggugat, maka ia harus didudukkan sebagai “turut tergugat”, sebuah istilah baru dan diada-adakan di luar hukum acara. Jika tidak mengikuti patron ini, maka gugatan waris tersebut dinilai sebagai gugatan yang cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklart) karena kurang pihak (plurium litis consortium).

Perbedaan pendapat yang demikian ini ternyata tidak hanya terjadi antar hakim dalam suatu majlis yang melahirkan disenting opinion, akan tetapi juga terjadi antara majlis hakim peradilan tingkat pertama dengan tingkat banding, bahkan antara putusan hakim banding dengan  putusan kasasi. Hal tersebut dapat diketahui antara lain dari putusan-putusan berikut :
1.     Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 : Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa “pertimbangan yudex faksi (Pengadilan Tinggi) yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”.
2.     Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980 mempertimbangkan bahwa :“Gugatan harus tidak dapat diterima, karena tidak semua ahli waris turut sebagai pihak dalam perkara”.
Nampaknya akhir-akhir ini pendapat mayoritas (grand opinion) lebih banyak cenderung kepada pendapat yang kedua, yaitu bahwa dalam gugatan sengketa waris segenap “ahli waris” harus didudukkan sebagai pihak. Ahli-waris yang pasif harus didudukkan sebagai “turut tergugat”.
Akibat adanya dua pendapat besar tersebut, banyak putusan-putusan yang disparitas antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding, antara pengadilan tingkat banding dengan putusan tingkat kasasi. Akibat lain adalah menimbulkan stigma negatif seakan-akan lembaga peradilan masih belum mempunyai law standard dalam menangani masalah ini; Bahkan ada penilaian bahwa peradilan belum mempunyai kesamaan pandang (unified legal opinion) serta keseragaman (unified legal fram work) dalam menangani kasus yang sama.
Melihat kenyataan tersebut mendorong penulis untuk mewacanakan masalah ini dalam diskusi melalui media elektronik pada WEB BADILAG ini dengan harapan untuk mendapatkan tanggapan dari para pembaca, sehingga dengan tanggapan-tanggapan tersebut pembahasan permasalahan akan lebih konprenhensip dan mendalam, sehingga dapat menawarkan suatu pandangan yang dapat dijadikan sebagai law standard, agar peradilan dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang sehingga terhindar dari putusan-putusan yang disparitas ke dapan.
Memang perbeda pendapat bagi seorang hakim dengan lainnya adalah sah-sah saja, apa lagi bila dilihat dari perspektif ushul fiqh, bahwa masing-masing hakim adalah mujtahid sehingga baginya berlaku  kaidah al-ijtihaad la yaungqodlu bi al-ijtihadi, akan tetapi bagaimanapun juga putusan yang disepakati (ittifaq) lebih kredibel dari daripada putusan yang terdapat ikhtilaf.
Fokus Permasalahan
Masalah utama dalam pembahasan ini adalah :
1.    Dalam sengketa waris apakah semua ahli-waris harus dilibatkan menjadi pihak;
2.    Apa maksud dan kepentingan pihak didudukkan sebagai  “turut tergugat”;
Gugatan yang Dinyatakan Kurang Pihak.
Gugatan yang kurang pihak dalam istilah hukum disebut plurium litis consortium yang merupakan salah satu genus dari gugatan yang cacat karena eror in persona.
Menurut ilmu pengetahuan, gugatan cacat karena eror in persona, terdapat 3 (tiga) kategori yaitu :
a.     Diskwalifikasi in person, karena penggugatnya bukan persona standi in judicio; Misalnya penggugat adalah bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau karena penggugatnya belum dewasa dan masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang yang menggugat tidak berkwalitas; Misalnya orang tersebut tidak mendapat kuasa, atau mungkin juga karena surat kuasanya tidak sah dan lain-lain;
b.     Gemis Aanhoedanig Heid; yaitu orang yang ditarik/yang didudukkan sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi.
c.      Plurium Litis Consortium; yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap.
Plurium litis consortium, berasal dari bahasa latin pluries berarti banyak, litis consertes berarti kawan sejawat pihak berperkara.
Dalam referensi hukum para ahli hokum boleh dikatana  tidak ada yang membicarakannya secara tuntas dan memadai masalah ini, kebanyakan mereka hanya menjelaskan pengertiannya berdasarkan makna harfiyah (etimologis), sehingga dalam tataran praktis mumunculkan tafsiran dan pemahaman yang subyektif-fareatif.
Yahya Harahab, SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama halaman 21, setelah beliau mengartikan makna plurium litis consortium secara lateral (harfiyah), lantas beliau hanya memberikan sebuah contoh suatu gugatan yang dapat dikategorikan sebagai “pihak tidak lengkap” adalah sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975;
Jika dilakukan analisis atas putusan a quo, pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan Penggugat, tidak lagi dikuasai oleh Tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka berdasarkan pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat.
Berdasarkan prinsip-prinsip hukum acara perdata, pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus tersebut adalah sudah tepat dan benar. Karena pada kasus a quo, pihak ketiga secara nyata (lahiriyah) telah menguasai barang/obyek sengketa sehingga seolah-olah obyek sengketa adalah kepunyaannya. Menurut hukum benda/kebendaan, orang yang memegang, menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter. Menurut hukum bezit, mempunyai fungsi polisionil, artinya bahwa hukum harus mengindahkan keadaan dan kenyataan itu tanpa mempersoalkan “hak- milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa yang “membezit” sesuatu benda sekalipun dia pencuri, maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti dimuka pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Oleh karena itu bagi Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang menguasai obyek sengketa tersebut sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama didepan hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak, maka proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem. Karena itu sangat tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna dan diputus niet on vankelijke verklaart (N.O).
Kasus tersebut diatas, amat sangat berbeda sekali dalam kasus-kasus sengketa ahli waris pada umumnya. Kasus-kasus sengketa waris seringkali pihak ahli-waris yang tidak menguasai barang/obyek warisan tetapi juga tidak mau menggugat tetap diwajibkan dilibatkan sebagai pihak “turut tergugat”. Atau dengan kata lain dalam sengketa waris,  segenap ahli waris termasuk yang tidak menguasai “barang warisan” harus dilibatkan sebagai pihak.   Konyolnya gugatan yang tidak mengikuti patron ini dianggap sebagai gugatan yang cacat.
Agar permasalahan ini nampak lebih jelas, penulis mengemukakan sebuah ilustrasi kasus sederhana agar contoh kasus menjadi terang benderang, sebagai berikut :
-       Seorang Pewaris (ayah), meninggal dunia dengan meninggalkan 5 (lima) orang anak laki-laki semua, yaitu : Si Nakal, Si Jujur, Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal;
-       Pewaris meninggalkan harta warisan (tirkah) berupa uang Rp. 5.000.000.000,- (lima milyard)
-         Seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak pertama saja, yaitu Si Nakal;
-       Si Jujur merasa mempunyai hak atas harta warisan ayahnya (Pewaris) bersama adik-adiknya;
-       Tiga adik Si Jujur yaitu : Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakal adalah orang yang baik, sabar dan rendah hati, mereka sangat tidak mau konflik dengan kakaknya hanya lantaran harta warisan;
-       Ketika Si Jujur mengajak mereka untuk menggugat Si Nakal, mereka tidak mau;
-       Maka majulah Si Jujur sebagai Penggugat satu-satunya; berhadapan dengan Si Nakal sebagai Tergugat satu-satunya; Pikiran Si Jujur tidak mungkin memaksa adik-adiknya menggugat, dan tidak layak adik-adiknya (Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal) digugat, karena ia tidak menguasai barang warisan 1 (satu) senpun;
-       Si Jujur dalam gugatannya sudah jelas dalam mendudukan perkaranya; Siapa yang mati, berapa anak-anaknya, dan apa saja harta yang ditinggalkan pewaris; Terakhir tuntutan  agar Si Nakal dihukum untuk membagi dan menyerahkan harta peninggalan Pewaris kepada segenap saudara-saudaranya yang lain sesuai dengan hukum Islam; 
Dalam mengadili kasus yang sederhana sebagai tersebut diatas, memunculkan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dikalangan internal majlis hakim yang bersangkutan.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa gugatan adalah tidak sempurna dan cacat formil, dengan alasan karena Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal tidak didudukkan sebagai ”turut tergugat”, sehingga subyek hukum tidak lengkap maka gugatan tidak dapat diterima (N.O).
Pendapat kedua, mengatakan bahwa gugatan Si Jujur tanpa menarik Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal sebagai pihak, tidaklah dapat dikwalifikasi sebagai gugatan yang dianggap kurang pihak atau tidak sempurna. Yang penting Penggugat sudah menjelaskan dalam positanya, bahwa ahli-waris (anak-anak) pewaris sebanyak 5 (lima) orang; Sehingga hakim dapat saja mendeklair putusannya siapa-siapa ahli-waris dari Pewaris dan berapa bagian masing-masing sesuai dengan faraidl, kemudian diikuti dengan amar agar Si Nakal dihukum membagi dan menyerahkan bagian masing-masing sesuai dengan hukum.
Kasus-kasus serupa banyak terjadi di jumpai oleh penulis dengan berbagai fareasi; Misalnya dalam pemeriksaan persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi, ternyata ditemukan bahwa pewaris masih mempunyai/meninggalkan ibu (ahli-waris), karena ibu tidak dijadikan pihak, bahkan tidak pula disebut dalam posita, maka gugatan adalah kurang pihak. Menurut hemat penulis seharusnya tidaklah  demikian.
   Penulis ingin mencoba menganalisa kedua pendapat tersebut berdasarkan prinsip-prinsip sengketa keperdataan, sehingga dapat ditentukan pendapat mana yang dianggap lebih tepat;
Pembahasan
Menurut Hukum Acara Perdata  (HIR, R.Bg dan RV) subyek hukum dalam sengekata perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat”, sedangkan stilah “turut tergugat” tidak ada dalam HIR, R.Bg. maupun RV; Istilah “turut tergugat” dijumpai dalam praktek, karena gagasan ilmu pengetahuan hukum, bukan kehendak HIR atau R.Bg maupun RV sebagai instrumen hukum publik (publicrecht instrumentarium). Dari segi ini gagasan ilmu pengetahuan hukum tidak mempunyai kekuatan otoritatif maupun imperatif sebagai proses orde.
Masalah siapa penggugat dan siapa tergugat itu, hukum acara tidak memberikan penjelasan konkrit dan memadai, tetapi logika hukum obyektif mengajarkan bahwa penggugat atau yang patut menggugat adalah orang atau orang-orang (termasuk badan hukum) yang merasa dirugikan/dilanggar haknya oleh orang lain. Sering juga didefinisikan  “penggugat” adalah orang  yang dilanggar hak subyektifnya. Sedangkan ”tergugat” adalah orang yang disangka terdapat hak orang lain dan atau orang yang disangka perbuatannya telah merugikan/melanggar hak subyektif orang lain. Dua partajn yang saling berhadapan tersebut diatas adalah mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara gugatan yang bersifat contentiosa.
Selanjutnya siapa sebenarnya yang harus didudukkan sebagai “turut tergugat”, hukum acara tidak membicarakan jelas dan konkrit.
Dalam berbagai literatur yang ditulis oleh bebarapa ahli hukum, boleh dikatakan belum ada yang membahasnya secara komprehensip. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 38 menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan dalam proses, agar dalam petitum ia dihukum sebagai pihak yang harus tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.
Definisi dan pendapat tersebut menyisahkan sejumlah permasalahan; inti permasalahannya adalah, apakah mendudukkan seseorang yang tidak menguasai obyek sengketa sebagai “turut tergugat” sebagai kewajiban hukum atau hanya bersifat proforma.
Menjawab secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting, sebab jika hal tersebut merupakan kewajiban hukum karena secara ekplisit telah diatur oleh hukum acara, maka menjadi amat tepat dan benar jika sebuah gugatan yang tidak mendudukkan semua ahli waris sebagai subyek, maka gugatan tersebut menjadi cacat formil. Tetapi jika mendudukkan ahli-waris yang tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka tidak menjadi tidak tepat jika gugatan yang demikian dianggap tidak sempurna atau cacat formil.   
Logika hukum obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai tergugat, hanyalah orang yang nantinya dituntut untuk memenuhi suatu prestasi yang diminta oleh penggugat lewat putusan hakim. Sedangkan orang yang padanya diharapkan tunduk atas putusan pengadilan untuk menerima hak adalah tidak merupakan keharusan. Oleh karena itu pendapat yang mewajibkan mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta waris sebagai turut tergugat dengan alasan bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan adalah alasan yang berlebihan (overbodig); Karena hakim wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar orang; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena ia tidak meminta asas ini kemudian dipakai dalam peradilan dengan nama asas ultra petita (hakim dilarang memutus hak orang yang tidak diminta);
Menerima warisan adalah hak perdata bukan kewajiban hukum. Pada hak berlaku asas “tidak ada sebuah hukum yang dapat mememaksa seseorang untuk menerima hak”, karenanya dalam sengketa perdata hakim bersifat pasif dan hakim hanya berkewajiban memberikan hak sepanjang yang diminta penggugat agar tidak melanggar prinsip/asas ultra petita.
Jika jalan pemikiran sebagai tersebut diatas dapat diterima maka mendudukkan ahli- waris yang senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat harus dipandang sebagai hal yang proforma, karenanya mengabaikan ketentuan itu tidak menyebabkan gugatan cacat atau tidak sempurna.
Pembedaan Istilah Tergugat dan Turut Tergugat
Perlunya pembedaan sebutan “tergugat” dengan “turut tergugat” menurut ilmu pengetahuan adalah disebabkan adanya kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda.
Klausula hubungan hukum yang menjadi dasar seseorang harus didudukkan sebagai tergugat adalah disebabkan adanya hubungan primer (langsung), sedang dasar seseorang didudukkan sebagai turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair (tidak langsung).
Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Jika harta waris yang belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli waris pada pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum primair dan dan secundair, sebagai berikut :
-   Hubungan hukum antara ahli waris satu dengan lainnya adalah hubungan hukum primair.
-   Hubungan hukum antara ahli waris yang menjual (penjual) dengan pembeli adalah hubungan hukum primair;
-   Ahli waris yang tidak turut menjual menggugat kepada ahli waris yang menjual harta waris, maka ahli waris yang menjual didukkan sebagai tergugat (ada hubungan primair);
-   Pembeli barang dapat didukkan dalam posisi sebagai turut tergugat (ada hubungan secundair) dia bukan ahli waris tetapi ia telah menguasai obyek sengketa disebabkan hubungan hukum yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris yang belum dibagi waris.
-    Mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat tidak tepat, sebab ia bukan ahli waris, karena jika demikian, maka akan nampak sebagai sengketa milik yang menjadi kewenangan peradilan umum.
Dalam kasus sebagai tersebut diatas, oleh ilmu pengetahuan perlu membedakan istilah “tergugat” dengan istilah “turut tergugat”.
Bila asas yang demikian ini disepakati maka mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat juga tidak tepat, karena tidak ada alasan prestasi yang diharapkan atau dituntut oleh penggugat kepada orang yang tidak menguasai harta warisan.
Berdasarkan alasan tersebut, penulis berpendapat bahwa mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat adalah salah kaprah, oleh karena itu gugatan waris tanpa melibatkan ahli waris yang tidak menguasai barang sengketa tidak dapat dipandang sebagai gugatan yang cacat formil.
Sifat HIR Menghendaki Proses Perdata Yang Sederhana
Tujuan orang menghadap pengadilan adalah untuk mencari keadilan. Dalam hal ini mungkin saja pencari keadilan tidak mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli waris dari seseorang pewaris serta berapa besar bagian masing-masing. Karena untuk menentukan siapa-siapa sebagai ahli waris dan berapa bagian masing-masing adalah sudah menyangkut wilayah hukum obyektif yang hanya wajib diketahui oleh hakim (ius curia novit). Kewajiban pihak-pihak hanya mengemukakan fakta kejadiannya bukan fakta hukumnya, Dalam sengketa waris penggugat hanya berkewajiban menyebutkan siapa yang mati, siapa keluarga dan ahli-warisnya yang ditinggalkan pada saat pewaris meninggal dunia serta apa saja harta peninggalan pewaris. Penggugat dianggap cukup dengan memohon kepada hakim agar menetapkan ahliwaris dan bagiannya masing-masing.
Dengan demikian seseorang marasa tidak merasa dipersulit oleh hukum, karena orang awampun dapat mengajukan gugatan, penggugat diminta oleh hukum untuk menceritakan peristiwa-peristiwanya saja. Karena itulah pasal 120 HIR membolehkan mengajukan gugat secara lisan, maksud yang terkandung dalam pasal tersebut adalah kemudahan dan kesederhanaan, sehingga sikap hakim yang terlalu formalistis akan memberikan kesan betapa berat dan sulitnya seseorang yang ingin menuntut hak keperdataannya di muka pengadilan.
Kewajiban penggugat selainnya adalah mendudukkan siapa orang-orang yang secara nyata menguasai harta waris sebagai tergugat. Selebihnya adalah kewajiban hakim untuk menguji kebenaran gugatan penggugat tersebut dengan hukum obyektif, bila ternyata benar, maka gugatannya dikabulkan sesuai dengan dasar-dasar hukum obyektif.
Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang budaya hukum “ewoh pakewoh”. Maknanya bahwa sungguhpun para ahli waris menghendaki harta warisan itu dibagi, tetapi kadang seseorang karena baik hati atau perasaan malu atau segan untuk terlibat dalam sengketa waris, sehingga ia harus mengambil sikap diam. Untuk itu pasal 88 Kompilasi Hukum Islam telah secara tegas memberikan ajaran, bahwa “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan, bila ada diantara ahli waris lain yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”. Filosofi yang terkandung dalam ajaran tersebut bahwa tidak semua ahli waris harus terlibat sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi cukup diwakili seseorang, sedangkan yang perlu didudukkan sebagai tergugat adalah mereka yang menguasai harta waris yang menjadi obyek sengketa.
Jika alur pikir tersebut dapat diterima maka dalam menyelesaikan ilustrasi kasus sederhana sebagai tersebut diatas adalah Majelis menyatakan porsi hak masing seluruh ahli waris, Si Nakal 1/5 (seperlima), Si Jujur 1/5 (seperlima), Si Sabar 1/5 (seperlima), Si Tabah 1/5 (seperlima) dan Si Tawakkal 1/5 (seperlima), Dan selanjutnya hakim menghukum kepada Si Nakal, untuk menyerahkan bagian yang menjadi hak masing-masing seluruh ahli waris sesuai dengan bagiannya menurut hukum. Dengan demikian maka sengketa-sengketa kewarisan dapat diselesaikan dengan asas formal prosedur and can be put in motion quickly.
Masalah eksekusi, adalah sudah masalah diluar konteks mengadili, apakah Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal mau meminta haknya atau tetap tidak mau mengambil haknya, hal tersebut terserah yang bersangkutan yang jelas tidak ada hukum yang bisa memaksa seseorang untuk menerima haknya. Karena hakim wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar orang; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena ia tidak meminta (azas ultra petita)  
Kesimpulan
1.    Mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai pihak “turut tergugat” hanya syarat proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat formil.
2.    Dalam sengketa kewarisan yang bertindak sebagai penggugat boleh satu orang atau beberapa orang saja, asalkan dalam posita sudah dijelaskan siapa-siapa sebagai ahli-warisnya, serta telah ada petitum dimintakan hak semua ahli warisnya menurut hukum.
3.    Gugatan kewarisan dinilai sebagai kurang pihak/tidak sempurna/cacat formil, jika ternyata ada ahli-waris lain yang menguasai harta warisan (obyek) yang tidak digugat.
4.    Jika penggugat hanya menuntut bagian haknya sendiri tanpa menuntut haknya ahli waris lainnya kepada para ahli waris yang menguasai harta peninggalan (tergugat), gugatan yang demikian dapat dibenarkan. Karena hakim wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar orang; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena ia tidak meminta (azas ultra petita :hakim dilarang memutus hak orang yang tidak diminta);
Wallahu a’lam bis-shawaab




MENDISKUSIKAN KRITERIA PLURIUM LITIS CONSORSIUM DALAM GUGATAN WARIS 1


: Drs. H. Abd. Salam, S.H.M.H. Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
Latar Belakang Masalah
Dalam sengketa pembagian harta warisan kebanyakan praktisi berpendapat bahwa seluruh ahli-waris harus dilibatkan sebagai pihak, jika tidak demikian maka gugatannya cacat. Yahya Harahap, S.H. Mantan Hakim Agung yang pemikiran dan pendapatnya banyak dikutip dan diikuti oleh orang, dalam bukunya Hukum Acara Perdata pada Halaman 121 juga berpendapat demikian, arus besar yurisprudensipun mengarah demikian. Sengketa pembagian harta waris yang diajukan ke pengadilan seringkali tidak sederhana sebagaimana contoh kasus dalam pelajaran ilmu faraid ketika kita masih di pesantren maupun diperkuliahan, karena sengketa diajukan atas peristiwa kematian pewaris yang sudah lampau puluhan tahun. Pihak-pihak yang bersengketapun bukan lagi anak-anak pewaris (generasi pertama), tetapi mereka adalah antara cucu dan cicit pewaris dimana orang tua mereka juga sudah meninggal dunia, padahal harta warisan yang disengketakan merupakan hak genersi petama yang belum dibagi dalam ilmu faraid disebut masalah munasakhoh (pewaris serial). Pada era globalisasi seperti sekarang ini mobilitas perpindahan manusia begitu tinggi, jelajahnya luas karena dunia seakan-akan tanpa batas (borderless), sehingga kadang-kadang ahli-waris yang ditinggalkan pewaris tidak berada disuatu tempat yang sama, tetapi menyebar diberbagai tempat yang berjauhan bahkan mungkin berada di luar negeri, shingga seseorang (penggugat) tidak mengetahui lagi siapa dan dimana tinggalnya ahli-waris yang perlu digugat. Maka ketika seseorang ahli-waris merasa mempunyai hak atas harta peninggalan dan ingin menuntut haknya menjadi bingung seakan-akan hukum tidak memberikan jalan yang mudah,
Ketika ia mencoba mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, gugatannya sering kandas terbentur dengan syarat formalitas gugatan, karena dalam pemeriksaan ternyata ditemukan terdapat ahli waris yang tidak disertakan oleh Penggugat, sehingga gugatannya gugatannya dinilai cacat oleh hakim, sehingga dinyatakan tidak dapat diterima (N.O).
1 Makalah ini pernah disajikan oleh Penulis sebagai bahan diskusi panel Hakim Pengadilan Agama Sekoordinator Surabaya tanggal 12 April 2013 di Hotel Yusro-Jombang;
2
Dicoba lagi gagal, dicoba lagi gagal lagi karena ditemui permasalah yang sama. Ibarat kapal, gugatan penggugat kandas sebelum berlayar, kalau bunga dikatakan layu sebelum berkembang. Pendapat demikian menurut hemat penulis terlalu sempit dan formalistis sehingga sangat merugikan penggugat. Kasus yang demikian ini menimbulkan image negatif di tengah masyarakat; Bahwa menuntut keadilan itu sulit dan harus mengeluarkan biaya besar. Orang menggugat harus pintar ilmu hukum, harus mengerti dan memahami hukum waris, bahkan harus pula menguasai hukum acara; Betapa berat dan sulitnya seseorang untuk memperoleh haknya ?; Paling tidak mereka harus sewa pengacara sehingga harus membayar mahal ?; Apakah begitu menurut hukum acara kita ? Dimana semboyan perdilan justice for all, justice for the poor ? Berdasarkan pikiran-pikiran di muka, penulis ingin mencoba mengangkat masalah kriteria gugatan kurang pihak (prulium litis consorsium) dalam kaitannya dengan gugatan pembagian harta warisan dengan harapan mendapatkan tanggapan dan pembahasan yang lebih mendalam dari semua pihak, sehingga kita dapat menawarkan suatu law standard, agar peradilan dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang dan terhindar dari putusan-putusan yang disparitas. Walaupun dalam perspektif methodoligi hukum Islam (Ushul Fiqh) seorang hakim adalah mujtahid, sehingga sah-sah saja berbeda pendapat dengan hakim lainnya, sebagaimana kaidah fikih yang terkenal; al-ijtihaad la yaungqodlu bi al-ijtihadi, tetapi dalam rana hukum acara (hukum formil) kaidah itu tidak berlaku, karena hukum acara sebagai instrumen hukum pablik (publik recht instrumentarium) tidak selayaknya terjadi perbedaan. Pendahuluan Mengawali pembahasan ini, terlebih dahulu perlu disampaikan beberapa prinsip sebagai dasar pemikiran; Pertama; Hukum acara yang baik adalah yang dapat menjamin bahwa roda peradilan dapat berjalan lancar, sederhana, cepat, adil dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU Nomor: 48/2009); karena itu salah satu butir Putusan Rakernas Mahkamah Agung RI, tanggal 28 Oktober 2012 – 01 Nopember 2012 di Menado, mengamanatkan agar hakim Peradilan Agama dalam memeriksa perkara bersifat proaktif tidak bersikap pasifisme;
Kedua; HIR sebagai salah satu sumber hukum acara, bersifat sederhana, langsung (onmiddelijk heid van procedure); Dalam arti jalannya proses pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan tanya-jawab langsung secara hidup (levend
3
kontact) antara semua pihak yang terlibat, karena itu hukum acara kita memberikan peluang bagi keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan persidangan. Bukti lain dari madzhab kesederhanaan yang dianut HIR/RBg adalah dalam pasal-pasal kesua Kitab Hukim Acara tersebut memungkinkan pihak mengajukan gugat dengan lisan (vide Pasal 120 HIR), mengapa hakim harus mengharamkan tambahan-tambahan penjelasan dalam persidangan. Prinsip yang dianut HIR tersebut sangat berbeda dengan RV yang mewajibkan gugatan secara tertulis dan menggunakan pengacara (procereurstelling). Ketiga; Dimana-mana sekarang sering terdengar keluhan pihak yang berperkara bahwa proses di muka pengadilan tidak lagi sederhana dan terlalu lama disamping keluhan bahwa beracara di pengadilan agama terlalu formalistis; padahal dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan (hakim) harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Keempat; Hukum waris Islam, bersifat Ijbari dan Individual; Ijbari artinya perpindahan hak kebendaan atau harta waris (tirkah) tidak atas inisiatip dan kehendak manusia (pemilik) akan tetapi dikehendaki dan ditentukan oleh hukum; Siapa-siapa yang berhak dan berapa bagiannya telah diatur oleh hukum (Al-Qur-an); Individual artinya hak yang telah diberikan dan ditentukan oleh hukum tersebut menjadi hak pribadi, sehingga pemilik-hak boleh ibro’ (melepas haknya) atau takharruj (mengambil sebagian kecil haknya). Permasalahan: Dalam praktek yang dijumpai penulis, mayoritas hakim (Pengadilan Agama) berpendapat bahwa dalam gugatan waris harus melibatkan semua ahli waris menjadi pihak atau subyek dalam sengketa. Yang dimaksud subyek perkara adalah salah satu diantara Penggugat atau Tergugat, jika terdapat ahli-waris yang pasip maka ia harus ditarik sebagai Turut Tergugat. Gugatan yang tidak memenuhi patron demikian dianggap gugatan cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklart).
Perbedaan penilaian tersebut, tidak hanya terjadi antar hakim yang akhirnya melahirkan putusan disenting opinion(D.O), akan tetapi juga terjadi antara majelis hakim peradilan tingkat pertama dengan majlis hakim tingkat banding, bahkan antara putusan
4
hakim banding dengan putusan kasasi. Hal tersebut dapat kita diketahui dari putusan-putusan antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 : Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa “pertimbangan yudex faksi (Pengadilan Tinggi) yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”.
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980 mempertimbangkan bahwa :“Gugatan harus tidak dapat diterima, karena tidak semua ahli waris turut sebagai pihak dalam perkara”.
Nampaknya dalam yurisprudensi Peradilan Agama lebih banyak cenderung kepada pendapat yang kedua, yaitu dalam sengketa waris, segenap ahli-waris harus didudukkan sebagai pihak, ahli-waris yang pasip harus didudukkan sebagai “turut tergugat”; Sebuah istilah yang sebenarnya tidak ada dalam hukum acara perdata. Akibatnya banyak putusan yang disparitas sehingga menimbulkan stigma negatif bagi peradilan, seakan-akan peradilan tidak mempunyai law standard, belum mempunyai kesamaan pandang (unified legal opinion) serta keseragaman (unified legal fram work) walaupun dalam menangani kasus-kasus yang sama. Padahal secara doktrinal hukum acara tidak boleh terjadi perbedaan. Sekarang yang menjadi masalah:
 Apakah semua ahli-waris harus menjadi subyek gugatan dalam gugatan waris ?
 Apakah mendudukkan ahli-waris yang pasip sebagai turut tergugat sebagai syarat formil ataukah hanya proforma ?
PEMBAHASAN: Gugatan Kurang Pihak Hukum Acara Perdata (HIR dan RBg) sekali-kali tidak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan, tetapi praktek yurisprudensi (hukum obyektif) mengajarkan bagaimana surat gugatan itu disusun, yang menurut hemat penyaji dapat disimpulkan sebagai berikut:
 Orang bebas merumuskan dan menyusun surat gugatan, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi tuntutan;
 Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas;
 Ada pihak-pihak yang saling berhadapan (bersifat partaij) yaitu penggugat dan tergugat sebagai ciri suatu perkara yang bersifat contentiosa;
5
 Khusus gugatan mengenai tanah, harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas dan ukuran tanah;
Gugatan yang kurang pihak atau pihak tidak lengkap dalam istilah hukum acara disebut plurium litis consortium, merupakan salah satu alasan gugatan dapat dikwalifikasi sebagai cacat formil karena eror in persona. Menurut ilmu pengetahuan (hukum), gugatan yang eror in persona, terdapat 3 (tiga) sebab yaitu :
1. Diskwalifikasi in person, karena penggugatnya bukan orang yang persona standi in judicio, misalnya karena bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau karena belum dewasa dan masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang yang menggugat tidak berkwalitas yaitu: misalnya tidak mendapat kuasa, atau kuasanya tidak sah;
2. Gemis Aanhoedanig Heid yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi;
3. Plurium Litis Consortium, yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap.
Plurium litis consortium berasal dari bahasa latin, pluries berarti banyak, litis consertes berarti kawan berperkara. Para ahli hukum, tidak ada yang membicarakan secara tuntas dan memadai masalah ini, mereka biasanya hanya menjelaskan pengertian berdasarkan makna harfiyah (etimo logis) saja, sehingga dalam tataran praktis mumunculkan pemahaman yang fariatif-subyektif berbeda pemahaman satu sama lainnya. Yahya Harahab, SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama halaman 21; Setelah beliau mengartikan makna secara harfiyah, beliau memberikan sebuah contoh suatu gugatan yang dapat dikategorikan sebagai “pihak tidak lengkap” adalah Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975; Jika dilakukan analisis, pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan Penggugat, tidak lagi dikuasai oleh Tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka berdasarkan pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat.
Pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus tersebut adalah sudah tepat dan benar, karena pada kasus a quo, pihak ketiga secara nyata (lahiriyah) menguasai barang sengketa, seolah-olah obyek sengketa adalah kepunyaannya. Menurut hukum benda (bezit), orang yang memegang, menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter. Menurut hokum, bezit mempunyai fungsi polisionil, artinya bahwa hukum harus mengindahkan keadaan dan
6
kenyataan itu tanpa mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa ? Dengan kata lain siapa yang yang “membezit” sesuatu benda sekalipun dia pencuri, maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti dimuka pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Karena itu bagi Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang menguasai obyek sengketa sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama didepan hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak, maka proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem. Karena itu sangat tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna alias cacat dan diputus niet on vankelijke verklaart (N.O). Kasus tersebut diatas, amat sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar hakim Pengadilan Agama. Yaitu, gugatan pembagian waris yang tidak melibatkan seluruh ahli waris termasuk ahli-waris yang pasip dan tidak menuasai harta warisan adalah cacat. Agar permasalahan nampak lebih jelas, penyaji mengajukan sebuah ilustrasi kasus sederhana sebagai berikut :cat
- Pak Hartawan (Pewaris) meninggal dunia dengan meninggalkan uang sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyard rupiah) dan meninggalkan dua anak laki-laki, yaitu Si Nakal dan Si Jujur;
- Seluruh harta peninggalan dikuasai sendiri oleh Si Nakal;
- Si Jujur merasa mempunyai hak, maka menggugatlah ia di Pengadilan Agama Sidoarjo kepada Si Nakal, dengan tuntutan agar pengadilan menghukum Si Nakal menyerahkan separoh harta peninggalan kepada Si Jujur; karena menurut pemahamannya ia adalah sebagai ahli-waris ayahnya(Pak Hartawan) bersama kakaknya (Si Nakal) saja;
- Dalam proses jawab menjawab dipersidangan, terungkap bahwa ternyata pewaris tidak hanya meninggalkan dua anak laki-laki (Si Nakal dan Si Jujur) yang sedang bersengketa, akan tetapi pewaris masih juga meninggalkan Ayah dan Ibunya;
- Dalam kasus yang demikian, hakim tahu bahwa ahli waris dari pewaris adalah empat orang; yaitu Ayah, Ibu, Si akal dan Si Jujur; dan bahkan hakim juga mengetahui bagiannya masing-masing ahli-waris;
Bahwa karena sejak awal penggugat tidak mendudukkan/menarik Ayah dan Ibu pewaris dalam gugatan sebagai Turut Tergugat, maka gugatan oleh hakim dinyatakan tidak dapat diterima (N.O);
Menurut hemat penulis, pendapat menganggap cacat formil gugatan penggugat tersebut dalah tidak tepat. Hakim dapat saja memberikan putusan positif, misalnya dengan
7
mendeklairasikan siapa-siapa ahli-waris dari pewaris dan bagiannya masing-masing, kemudian menghukum Tergugat (Si Nakal) untuk membagi dan menyerahkan bagian ahli-waris masing-masing, misalnya dengan amar:
- Menyatakan sebagi hukum bahwa ahli-waris dari Pewaris dan bagiannya bagian masing-masing, adalah:
1. Ayah Pewaris (sebut nama) = 1/6 bagian = Rp. 1.000.000.000,- (satu milyard rupiah)
2. Ibu Pewaris (sebut nama) = 1/6 bagian; Rp. 1.000.000.000,-
3. Si Jujur dan Si akal mendapatkan sisa, yaitu 4/6 (empat per enam)= Rp. 4.000.000.000,- (empat milyard rupiah) yang harus dibagi sama besar sehingga bagian masing-masing; Si akal = Rp. 2.000.000.000,- dan Si Jujur = Rp. 2.000.000.000,- (dua milyard rupiah);
- Menghukum Si Nakal untuk membagi dan menyerahkan bagian ahli-waris tersebut diatas sesuai dengan bagiannya masing-masing;
Dengan amar demikian pengadilan dapat menyelesaikan sengketa pihak-pihak dengan, cepat, sederhana dan biayapun ringan sebagaimana yang diamanatkan undang undang. Masalah siapa Ahli-Waris dari Pewaris Termasuk Hukum Meteriil ? Salah satu ciri khusus hukum waris Islam dibanding dengan hukum waril lainnya adalah bahwa hukum waris Islam bersifat Ijbari dan Individual; Ijbari artinya perpindahan hak kebendaan atau harta waris (tirkah) tidak atas inisiatip dan kehendak manusia (pemilik) akan tetapi dikehendaki dan ditentukan oleh hukum; Siapa-siapa yang berhak dan berapa bagiannya telah diatur oleh hukum (Al-Qur-an); Individual artinya hak yang telah diberikan dan ditentukan oleh hukum tersebut menjadi hak pribadi, sehingga pemilik-hak boleh ibro’ (melepas haknya) atau takharruj (mengambil sebagian kecil haknya).
Berdasarkan asas Ijbari tersebut maka siapa-siapa sebagai ahli-waris dari seseorang dan berapa bagiannya, adalah sudah termasuk masalah hukum materiil (bukan formil) yang menjadi kompetensi hakim sesuai dengan adegium ius curia novit. Maka jika hukum mamaksakan harus menarik semua ahli waris sebagai pihak bisa mematikan hak perdata sesorang untuk menuntut keadilan. Padahal secara doktrinal pihak yang berperkara (sekalipun pengacara) tidak berkewajiban mengetahui hukum. Kewajiban pihak hanyalah menceritakan kasusnya atau fakta kejadiannya. Sehingga siapapun dapat menggugat karena ia dapat bercerita tentang kasus/kejadiannya. Sangat tidak adil dan memberatkan jika hakim memberikan syarat supaya penggugat libatkan orang-orang yang tidak diketahuinya,
8
berarti hakim mewajibkan penggugat mengetahui hukum waris sekaligus mewajibkan penggugat mengetahui hukum acara, padahal semangat hukum acara kita adalah ingin mempermudah dan menyederhanakan proses orde (vide Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Istilah “Turut Tergugat” Tidak ada Dalam Hukum Acara Hukum Acara adalah hukum publik (Publicrecht Instrumentarium) yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang beracara; Hakim, Jaksa Polisi, Pengacara, Penggugat dan Tergugat. Suber hukum acara perdata antara lain adalah HIR, RBg. RV, UU, PP, SEMA dan lain-lain dan sumber utama hukum acara adalah HIR dan RBg. Dalam Hukum Acara Perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat” sebagai subyek persengketaan, sedangkan istilah “turut tergugat” tidak dikenal. Masalah siapa penggugat dan siapa tergugat, hukum acara juga tidak memberikan penjelasan konkrit. Logika hukum obyektif atau doktrin mengajarkan bahwa “penggugat” adalah orang (termasuk badan hukum) yang “merasa” hak subyektifnya dilanggar oleh orang lain. Sedangkan ”tergugat” adalah orang diduga telah melanggar hak subyektif orang lain. Penggugat dan Tergugat adalah dua partajn yang saling berhadapan dan mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara gugatan yang bersifat contentiosa. Dalam praktek sengketa perdata selain ”penggugat dan tergugat”, ada juga istilah “turut tergugat” sebagai pihak. Siapa sebenarnya yang harus didudukkan sebagai “turut tergugat”, tidak ada satupun pasalpu dalam hukum acara yang menyinggungnya. Dalam berbagai literatur boleh dikatakan belum ada yang membahasnya secara mendalam. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 38 menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi “formalitas” gugatan harus dilibatkan dalam proses, agar dalam petitum ia dihukum sebagai pihak yang harus tunduk dan taat pada putusan hakim perdata. Pernyataan pakar sebagai tersebut diatas kalau ditarik dalam sengeketa waris menjadi ambigu sehingga menimbulkan pertanyaan; Apakah yang dimaksud tunduk dan taat pada putusan ? Apakah ahli-waris yang pasip (tidak mau menggugat) yang tidak menguasai harta warisan harus taat dan patuh menerima warisan ? Ketika eksekusi harus dipaksa menerima ? Apakah menerima warisan menjadi wajib ? dan sejumlah petanyaan yang cukup menggelikan. Turut Tergugat Sebagai Syarat Proforma:
9
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ada suatu pertanyaan yang urgen untuk ditemukan jawabannya yaitu: Apakah mendudukkan seseorang (ahli-waris) yang tidak menguasai obyek sengketa sebagai “turut tergugat” sebagai kewajiban hukum atau hanya bersifat proforma? Menjawab secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting, sebab jika hal tersebut merupakan kewajiban hukum, maka amat tepat dan benar jika sebuah gugatan yang tidak mendudukkan semua ahli-waris termasuk yang tidak menguasai warisan sebagai pihak, maka gugatan menjadi cacat formil; Jika mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka tidak tepat jika gugatan yang demikian dianggap tidak sempurna atau cacat formil. Logika hukum obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai tergugat, hanyalah orang yang disangka melanggar hak sehingga nantinya ia pantas dituntut memenuhi suatu prestasi yang diminta oleh penggugat lewat putusan hakim. Sedangkan orang yang padanya diharapkan tunduk atas putusan pengadilan untuk menerima hak adalah tidak merupakan keharusan. Oleh karena itu pendapat yang mewajibkan mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta waris sebagai turut tergugat dengan alasan bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan adalah alasan yang berlebihan (overbodig); Menerima warisan adalah hak bukan kewajiban. Pada hak berlaku asas “tidak ada sebuah hukum yang dapat memaksa seseorang untuk menerima hak”, Hakim hanya diperintah menegakkan “keadilan”. Keadilan adalah memberikan hak sepanjang diminta. Hakim harus membiarkan orang-orang yang berhati mulia membiarkan haknya dilanggar orang lain, karena orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain adalah kebaikan (al-ihsan) dan kebajigan (al-birr), hakim tidak diperintah menegakkan al-ihsan atau al-biiru ketentuan tersebut kemudian menjadi asas hakim dalam memberikan putusan terkenal dengan azas ultra petita dan asas hakim perdata bersifat pasif. Hakim hanya mencari kebenaran dan memenuhi permintaan sebuah prestasi sepanjang diminta oleh pihak yang bersangkutan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka sebenarnya mendudukkan ahli-waris yang senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai “turut tergugat” harus dipandang sebagai hal yang proforma yang tidak boleh dianggap menyebabkan gugatan tidak sempurna. Pembedaan Istilah Tergugat dan Turut Tergugat
10
Perlunya pembedaan sebutan “tergugat” dengan “turut tergugat” menurut ilmu pengetahuan adalah disebabkan adanya kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda. Klausula hubungan hukum yang menjadi dasar seseorang harus didudukkan sebagai tergugat adalah disebabkan adanya hubungan primer (langsung), sedang dasar seseorang didudukkan sebagai turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair (tidak langsung). Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut : Jika harta waris yang belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli waris pada pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum primair dan secundair, sebagai berikut :
- Hubungan hukum antara ahli waris satu dengan lainnya adalah hubungan hukum primair.
- Hubungan hukum antara ahli waris yang menjual (penjual) dengan pembeli adalah hubungan hukum primair;
- Ahli waris yang tidak turut menjual menggugat kepada ahli waris yang menjual harta waris, maka ahli waris yang menjual didukkan sebagai tergugat (karena ada hubungan primair);
- Pembeli barang dapat didukkan dalam posisi sebagai turut tergugat (karena ada hubungan secundair); dia bukan ahli waris tetapi ia telah menguasai obyek sengketa disebabkan hubungan hukum yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris yang belum dibagi waris.
- Penggugat mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat akan sedikit tampak rancu, sebab ia bukan ahli waris dan tidak ada hubungan primer dengan semua ahli-waris.
- Karena pembeli telah membeli dan menguasai harta waris yang belum dibagi, maka ia perlu digugat. Agar tidak rancu, maka ilmu pengetahuan menghendaki adanya perbedaan istilah, “tergugat” dengan istilah “turut tergugat”.
Bila yang alur pemikiran yang demikian ini disepakati, maka mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat juga tidak tepat, karena hubungan hukum dengan sesama ahli-waris adalah hubungan primer dan ia tidak patut dituntut suatu prestasi apapun karena ia tidak menguasai harta warisan. Berdasarkan alasan tersebut, penulis berpendapat bahwa mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat adalah salah kaprah.
11
Gugatan waris tanpa melibatkan ahli waris yang tidak menguasai barang sengketa tidak dapat dipandang sebagai gugatan yang cacat formil. Kewajiban Penggugat Dalam Menuntut Hak Waris Tujuan orang menghadap Pengadilan adalah untuk mencari keadilan. Mungkin saja pencari keadilan tidak mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli waris dari seseorang pewaris, berapa besar bagian masing-masing, karena untuk menentukan siapa-siapa sebagai ahli-wraris dan berapa bagian masing-masing adalah sudah menyangkut wilayah hukum yang hanya wajib diketahui oleh hakim (ius curia novit). Oleh karena itu secara sederhana, kewajiban penggugat dalam mensengketakan waris berkisar pada menerangkan:
- Siapa yang meninggal dunia (pewaris);
- Kapan pewaris meninggal:
- Siapa-siapa saja keluarga yang ditinggalkan pewaris;
- Apa saja yang menjadi peninggalan (tirkah) Pewaris;
- Siapa saja yang menguasai harta peninggalan/warisan;
- Apa yang diminta oleh penggugat;
Item-item tersebut diatas, biasanya mudah dikemukakan oleh seorang penggugat, tetapi ketika ia diminta memformalkan dalam bentuk surat gugatan, sebagian besar merasa kesulitan, kejadian demikian menimbulkan image bahwa menggugat waris di Pengadilan Agama sangat sulit; Orang menggugat harus pintar ilmu hukum, harus mengerti, menguasai dan memahami hukum waris, bahkan harus pula menguasai hukum acara; Mereka banyak yang mengeluh betapa berat dan sulitnya seseorang untuk memperoleh haknya ?; Paling tidak mereka harus mengeluarkan biaya mahal untuk sewa pengacara. Jika hukum memaksakan keadaan seperti itu bisa mematikan hak perdata seseorang untuk menuntut haknya dari ahli-waris lain dan secara tidak langsung seakan-akan hukum acara kita menentukan bahwa seorang penggugat harus :
- Mengerti ilmu hukum, kalau tidak;
- Harus mesewa pengacara;
Maka untuk menghindari akibat buruk, praktek tersebut perlu dilenturkan penerapannya. Lalu dimanakah sandaran hukum acara kita untuk mentolerir ide pelenturan tersebut ? Menurut hemat penulis adalah prinsip-prinsip hukum acara sebagai berikut:
1. Hukum acara yang baik adalah yang dapat menjamin bahwa roda peradilan dapat berjalan lancar, sederhana, cepat, adil dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU Nomor: 48/2009); Melihat ketentuan itu dan kenyataan dilapangan, maka salah satu
12
butir Putusan Rakernas Mahkamah Agung RI, tanggal 28 Oktober 2012 – 01 Nopember 2012 di Menado, mengamanatkan agar hakim Peradilan Agama dalam memeriksa perkara bersifat proaktif tidak bersikap pasifisme;
2. Hukum acara yang berlaku bagi kita (HIR/RBg) bersifat sederhana, langsung (onmiddelijk heid van procedure); Dalam arti jalannya proses pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan tanya-jawab langsung secara hidup (levend kontact) antara semua pihak yang terlibat, karena itu hukum acara kita memberikan peluang bagi keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan persidangan;
3. Bukti lain dari madzhab kesederhanaan yang dianut HIR/RBg adalah dalam pasal-pasal kesua Kitab Hukim Acara tersebut memungkinkan pihak mengajukan gugat dengan lisan (vide Pasal 120 HIR), Menangkap lebih jauh dari ketentuan ini membolehkan hakim menggali penjelasan dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam persidangan; Karenanya HIR sangat berbeda dengan RV yang mewajibkan gugatan secara tertulis dan menggunakan pengacara (procereurstelling).
4. Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan (hakim) harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Berdasarkan prinsip yang dianut hukum acara, penulis berpendapat bahwa kekurang jelasan gugatan, jawaban, replik dan duplik dapat digali saat proses jawab-menjawab dari penggugat dan Tergugat dalam persidangan. Jika dalam proses jawab-menjawab ternyata ditemukan adanya ahli-waris lain yang tidak sebagai pihak (penggugat, tergugat maupun turut tergugat) gugatan tidak serta-merta menjadi cacat. Tetapi temuan tersebut harus dianggap sebagai fakta yang ditemukan dalam persidangan. Kewajiban hakim selanjutnya mepertimbangkan fakta tersebut sesuai dengan hukum materiil.
Disini hakim tidak bisa dikatakan sebagai telah memihak penggugat, selama fakta-fakta tersebut digali dari kedua belah pihak. Oleh karena itu pendapat-pendapat atau ungkapan-ungakan “hakim bukan bengkel yang harus membantu memperbaiki gugatan”, pengacara kok gak bisa membuat gugatan yang baik”; harus kita buang jauh-jauh agar kita dapat melayani pencari keadilan dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar ketentuan hukum acara, sehingga tidak ada lagi stigmatisasi negatif kepada lembaga peradilan kita bahwa “peradilan bagai “menara gading” yang tidak dapat dijamah oleh orang awam dan miskin. Ada pula ungkapan “betapa sulit dan mahalnya menuntut hak dihadapan pengadilan”.
13
Kalau pemikiran ini menjadi komitmen kita, maka kiranya kita telah sesuai dengan program yang dicanagkan pimpinan dengan adegium justces for all, justice for the poor dan lain sebagainya. Isyarat Dalam KHI Secara sosiologis masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang budaya hukum “ewoh pakewoh”. Artinya bahwa sungguhpun para ahli waris menghendaki harta warisan itu dibagi, tetapi kadang seseorang karena baik hati atau perasaan malu atau segan untuk terlibat dalam sengketa waris, sehingga ia harus mengambil sikap diam. Meskipun ada alasan-alasan lain yang memungkinkan ia tidak menggugat, misalnya karena faktor biaya, tidak tahu, takut kalah, kebingungan dan lain-lain. Untuk itu pasal 88 Kompilasi Hukum Islam telah secara tegas memberikan ajaran, bahwa “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan, bila ada diantara ahli waris lain yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”. Kompilasi Hukum Islam, memang bukan hukum acara, tetapi prinsip yang terkandung dalam pasal tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua ahli waris harus terlibat sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi cukup diwakili seseorang sebagai penggugat, sedangkan yang perlu didudukkan sebagai tergugat adalah mereka-mereka ahli-waris yang menguasai harta warisan. Jika pemikiran tersebut dapat dijadikan dasar, maka dalam menyelesaikan ilustrasi kasus sederhana sebagai tersebut diatas ada dua opsi kewajiban hakim. Opsi pertama, adalah pengadilan berkewajiban menyatakan porsi hak seluruh ahli waris Ayah 1/6 (seper enem), Ibu 1/6 (seper enam), Si Nakal 2/6 (dua perenam), Si Jujur 2/6 (dua perenam), Dan selanjutnya hakim menghukum kepada Si Nakal, untuk menyerahkan bagian yang menjadi hak masing-masing seluruh ahli waris sesuai dengan bagiannya menurut hukum. Opsi kedua, adalah pengadilan berkewajiban menghukum Si Nakal untuk menyerahkan bagian atau haknya Si Jujur saja yaitu 2/6 (dua perenam), tanpa harus menghukum Si Nakal untuk menyerahkan hak Ayah dan Ibu pewaris. Karena mereka secara perdata tidak menuntut hak kepada Si Nakal. Dengan demikian maka sengketa-sengketa kewarisan dapat diselesaikan dengan asas formal prosedur and can be put in motion quickly.
Kesimpulan
14
1. Mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai “turut tergugat” hanya syarat proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat formil. Dengan kata lain ahli waris yang tidak menguasai harta warisan yang tidak didudukkan/ditarik sebagai pihak: tergugat maupun turut tergugat. gugatan tidak cacat formil.
2. Dalam sengketa kewarisan yang bertindak sebagai penggugat boleh satu orang atau beberapa orang saja, asalkan dalam petitum dimintakan hak ahli waris lain yang berhak menurut hukum.
3. Gugatan kewarisan dinilai sebagai kurang pihak/tidak sempurna/cacat formil, jika ternyata ada ahli waris lain yang menguasai harta peninggalan (warisan) yang tidak dilibatkan sebagai tergugat.
4. Jika penggugat hanya menuntut bagian haknya sendiri kepada tergugat yang menguasai harta warisan tanpa menuntut haknya ahli waris lainnya gugatan yang demikian dapat dibenarkan. Karena hakim wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar/dikuasai orang lain; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena ia tidak meminta (azas ultra petita);
Catatan: Artikel ini pernah diajukan sebagai bahan diskusi Hakim Pengadilan Agama Sekoordinator Surabaya (PA. Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Gersik, Mojokerto Jombang dan Bawean). Dari catatan diskusi muncul tanggapan pendapat pro-kontra; Penulis memandang perlu mengemukakan pendapat-pendapat yang kontra/tidak setuju dengan pemakalah dengan argumentasinya dalam diskusi tersebut;
1. Sebagaimana disampaikan bahwa, hak waris boleh diambil boleh tidak, dengan tidak menjadikan semua ahli waris sebagai pihak, maka akan kesulitan eksekusinya, sayang penanya tidak menjelaskan/contohkan dan kesulitannya (PA Bawean)
Jawaban Penyaji (JP): Kesulitan eksekusi bukan karena tidak menjadikan seluruh ahli-waris sebagai pihak, kesulitan eksekusi biasanya/seringkali timbul karena kerancuan amar putusan atau sebab lain. Kalau amar putusan jelas, konkrit dan tidak menimbulkan pengertian yang ambigu maka tentu tidak akan menimbulkan kendala eksekusi.
2. PERMA Nomor 1 Tahun 2008, menentukan bahwa sengketa yang tidak melalui proses mediasi adalah batal demi hukum. Dalam Pasal 14 (a) PERMA tersebut menentukan:
15
Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. (PA. Surabaya);
JP.: Perkara yang dinilai mediator tidak layak dimediasi, karena ada pihak lain yang tidak dilibatkan dalam gugatan; Penilaian mediator tidak mengikat hakim sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan dasar bagi hakim bahwa gugatan cacat. Pendapat mediator tersebut harus dianggap mediasi tidak terlaksana, dan tidak berarti perkara a quo tidak memalui mediasi yang harus dianggap batal demi hukum. Yang harus dilihat oleh hakim adalah apakah pihak-pihak telah melakukan mediasi. Perkara berhasil, tidak berhasil, layak tidak layak, pihak hadir atau tidak hadir dalam mediasi bukanlah hal yang amat menentukan bagi jalannya proses;
3. Dalam yurisprudensi-yurisprodensi Peradilan Agama banyak yang mensyaratkan /mewajibkan semua ahli-waris dilibatkan sebagai pihak (PA. Surabaya);
JP: Sebagaimana diakui sendiri oleh penulis/penyaji, memang arus besar/mayoritas yurisprudensi mengikuti pendapat tersebut, tetapi madzhab hukum kita tidak ada kewajiban mengikuti yurisprudensi (sitem preseden); Banyak dan sedikitnya pendapat tidak menjamin kebenaran suatu pendapat, benar dan tidak bukan masalah voting DPR/MPR;
4. Hukum Acara tidak tidak hanya HIR dan RBg, termasuk SEMA, PERMA dll. sehingga istilah “Turut Tergugat” bisa dipakai; dan gugatan yang tidak menyertakan semua ahli-ahli waris sebagai pihak/turut tergugat harus di N.O. (PA. Surabaya);
JP: Maksud penyaji tidak mengharamkan istilah “Turut Tergugat” dalam subyak sengketa, yang menjadi pokok pendapat adalah mendudukkan ahli-waris yang pasip sebagai “Turut Tergugat” bukan sebagai syarat formil gugatan, akan tetapi harus kita pandang sebagai syarat proforma sehingga menyimpanginya yang tidak menjadikan gugatan cacat formil.
5. Bahwa siapa yang digugat adalah domain pihak, bukan domain hakim, oleh karena itu semua harus terlibat dalam sengketa (PA. Surabaya)
6. Sependapat denga surabaya, gugatan waris yang tidak melibatkan semua ahli-waris, akan menyulitkan saat eksekusi ? (PA. Jombang);
16
7. Pendapat penyaji keluar dari pakem; gugatan yang tidak menyertakan segenap ahli-waris sebagai pihak melanggar kepastian hukum, sehingga merupakan bentuk kekeliruan dalam gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR, gugatan inparsial (PA. Mojokerto);
JP: Penyaji sepakat bahwa gugatan yang tidak memenuhi syarat formil adalah cacat. Yang menjadi masalah, apakah gugatan waris yang tidak mencantumkan semua ahli waris sebagai pihak termasuk cacat atau tidak ? Bagi penyaji tidaklah demikian, mensengketakan warisan tidak harus semua ahli-waris terlibat sebagai subyek gugatan (penggugat, tergugat atau turut tergugat) yang penting ahli-waris telah ada penggugat dan Tergugat; Semua ahli waris cukup disampaikan dalam dalil gugatan (posita); Gugatan dapat dinilai cacat, jika tidak semua ahli-waris yang menguasai harta tidak digugat, karena semua harta-warisa merupakan suatu kesatuan yang harus dibagi kepada semua ahli waris, jika tidak demikian hal tersebut jelas akan mempengaruhi perolehan, atau paling tidak akan membuka kembali gugatan warisan.
8. Pendapat penyaji sangat lemah, ibarat “becak” melawan “truk”, sebab nantinya kalau ada banding pasti putusannya akan dibatalkan ! (PA. Mojokerto);
JP.: Menjadi hakim, janganlah takut dan tidak perlu takut dengan perkaranya akan dibatalkan oleh hakim banding (PTA) atau Mahkamah Agung, putuskanlah menurut hatinurani tentunya dengan argumen hukum (legal reasoning) yang memadai;
9. Semua ahli-waris harus terlibat sebagai subyek sengketa (pihak), kalau tidak demikian harus N.O. karena akan menyulitkan ketika ada banding dari ahli-waris yang tidak dijadikan pihak; (PA. Gersik);
JP.: Memang kelihatan agak aneh, ketika ada ahli-waris yang pasip, tetapi setelah ada putusan pengadilan, maka ia tidak puas dan mengajukan banding ? Menurut hemat penyaji, orang yang semula tidak menjadi pihak secara formil (penggugat, tergugat, atau turut tergugat) tidak dapat mengajukan upaya banding. Upaya hukum ketidak puasan ahli-waris yang demikian adalah mengajukan “Perlawanan” atas putusan Pengadilan sehingga dia formil menjadi pihak. Kalau dia tidak puas atas putusan perlawanannya, maka barulah ia mengajukan upaya banding;
10. Yurisprudensi terakhir ada ahli waris pengganti yang tidak masuk sebagai pihak ternyata di N.O. (PA. Gersik);
17
JP.: Penyaji belum pernah mebacanya, tetapi perlu kita dipelajari kasusnya, Penyaji berpendapat, jika diketahui adanya ahli-waris pengganti perkara masih dalam proses baik dari keterangan Tergugat atau keterangan saksi dan itu dibenarkan sebagai fakta, maka hakim dapat saja memberikan haknya (sebagai ahli-waris pengganti), gugatan tidak perlu dianggap cacat.
11. Tidak setuju dengan pendapat penyaji, karena putusan yang baik adalah putusan yang tidak akan memunculkan masalah baru;
JP.: Putusan yang tidak mensyaratkan semua ahli-waris sebagai pihak, tidak senantiasa menimbulkan masalah baru. Dan tidak semua putusan yang telah melibatkan semua ahli-waris sebagai pihak, menjadi jaminan tidak akan memunculkan masalah, Harus kita lihat kasus perkasus. Munculnya perlawanan adalah karena adanya orang yang merasakan dirugikan. Dan semua putusan pengadilan punya potensi untuk dilawan orang yang marasa dirugikan.
12. Apakah ahli-waris yang bukan/tidak sebagai pihak dapat mengajukan eksekusi ? Bolehkan ahli-wris yang bukan sebagai pihak, membeli harta waris ?;
Tidak melibatkan semua ahli-waris tidak memenuhi aspek keadilan, misalnya tentang biaya perkara; Dengan kata lain, ahli waris yang bukan pihak, akan diuntungkan karena tidak menanggung biaya perkara (barangkali begitu yang dimaksudnya); (Ketua koordinator Surabaya) ? JP.: Ahli waris yang bukan sebagai pihak, dapat mengajukan eksekusi, karena putusan adalah akta authentik yang mengikat semua pihak, termasuk orang-orang yang berada diluar sengketa, sehingga pihak luar yang tidak puas/terganggu haknya atas putusan, dapat mengajukan perlawanan yang dikenal dengan darden verset; Sebaliknya kalau dia puas, maka ia mempunyai hak mohon eksekusi. Bahwa dengan adanya permohonan eksekusi dari ahli-waris yang bukan menjadi pihak, maka ia telah menjadi pihak formil (sebagai pemohon eksekusi); Pihak yang tidak menjadi pihak, boleh saja membeli harta harta waaris, jika harta waris tersebut telah dibagi dan menjadi milik seorang ahli-waris tertentu, selama harta waris belum dilakukan pembagian dan pemisahan, secara hukum siapapun tidak boleh membeli harta warisan, karena pada dasarnya harta warisan yang belum dibagi, menjadi harta kolektif bagi semua ahli-waris (gebonden made eigendom);
18
Bahwa tentang biaya perkara telah diatur oleh hukum acara, pihak formil yang kalah harus membayar biaya, ahli-waris yang tidak terlibat secara formil sebagai pihak tidak dapat dibebani bayar biaya. Itu memang keuntungan, tetapi hal itu bukan melanggar hukum dan tidak boleh dikatakan sebagai ketidak adilan. Harapan Penulis
1. Kamar mahkamah Agung diharapkan mengkaji ulang tentang permasalah tersebut, agar tidak terdapat putusan-putusan Peradilan Agama yang berbeda-beda (disparitas);
2. Kiranya kita sama-sama sepakat bahwa gugatan yang kurang pihak (plurium litis consossium) adalah cacat formil karena eros in persona. Yang berbeda adalah penerapannya; Apakah gugatan pembagian harta warisan yang tidak menyertakan semua ahli-waris cacat atau tidak.
Wallahu a’lam bis-shawaab



WARISAN DIKUASAI SEPIHAK OLEH SAUDARA

Email Cetak PDF
Kepada Yth Advokat H Bambang Hariyanto SH MH ditempat. Terima kasih atas kesediaan Bapak yang telah berkenan membaca dan menjawab surat yang saya tulis ini. Nama saya Tri, mau bertanya mengenai masalah waris terkait dengan keinginan kami menjual rumah warisan peninggalan orang tua kami namun dihalangi-halangi oleh salah satu saudara kami.

Kronologisnya 5 tahun yang lalu ayah kami meninggal dunia dikarenakan serangan jantung. Beliau meninggalkan istri dan 3 orang anak (laki-laki semua) serta harta warisan berupa sebuah rumah dan kebun karet seluas 4 ha. Setelah 1 tahun meninggalnya ayah kami, saya selaku anak tertua mengundang saudara saya yang berada di Surabaya untuk pulang kerumah orang tua di Palembang dan hendak membicarakan pembagian warisan dari almarhum termasuklah salah satunya yaitu menjual rumah peninggalan almarhum yang ditempati oleh adik kami.
 Namun timbul masalah ketika adik kami yang tinggal di rumah tersebut tidak ingin menjualnya dengan alasan apapun dan mengatakan bahwa rumah tersebut adalah tempat keluarga besar mengumpul apabila libur lebaran.  Atas sikapnya tersebut saya kemudian membujuknya agar warisan tersebut segera dibagi termasuk rumah yang ditempatinya yang merupakan peninggalan dari almarhum dengan pertimbangan agar dikemudian hari permasalahan waris tidak berlarut- larut,
Namun adik kami tersebut tidak mau menandatangani dokumen-dokumen yang berkaitan dengan jual-beli.  Sehingga jalan musyawarah yang sudah kami tawarkan tetapi tetap saja ia tidak mau menerimanya.
Kami sudah berupaya mencari tahu bagaimana jalan keluar dari masalah ini, diantaranya ada yang menyarankan ke Pengadilan Agama. Tapi kami masih bingung karena keputusan Pengadilan Agama setahu saya hanya mengatur pembagian hak waris, tidak mengatur legalitas jual-beli karena proses jual-beli tetap harus melibatkan seluruh ahli waris. Yang ingin saya tanyakan keapda Bapak :
1.    Bagaimana jalan/proses hukum yang harus kami tempuh sehingga rumah warisan tersebut dapat segera terjual tanpa masalah di kemudian hari ?

2.    Bagaimana jika nantinya sertifikat (atas nama ayah) di salahgunakan oleh saudara saya tersebut (dijaminkan), apakah melanggar hukum ?

Demikian pertanyaan yang saya sampaikan, terimakasih atas perkenan Bapak untuk menjawab dan memberikan sarannya atas permasalahan ini. Terima kasih.
Dari : Tri di Palembang

Kepada Sdr Tri di Palembang, terimakasih atas partisipasi Anda di kesempatan rubrik konsultasi hukum kali ini. Terkait dengan pertanyaan yang Anda sampaikan sebagaimana surat yang kami terima akan dijawab dan dibahas sebagai berikut :
           
Bahwa untuk menjawab pertanyaan yang saudara sampaikan sedikit akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu Pengadilan Agama dan aturan yang terkait. Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan sebagai berikut bahwa : "Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang  beragama Islam di bidang : a. perkawinan; b. waris;  c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat;  g. infaq;  h. shadaqah; dan  i. ekonomi syari'ah.

Dalam Pasal 50 ayat (1) pun ditegaskan sebagai berikut bahwa : dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Yang kemudian dalam ayat (2) nya disebutkan “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.  Sehingga dalam penjelasan Pasal 49 khususnya penjelasan huruf (b) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 bahwasanya yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Kemudian dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pada pokoknya menjelaskan bahwasanya Pengadilan Agama berwenang sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang orang yang beragama Islam.
 Berdasarkan atas ketentuan tersebut, penafsiran Anda yang pada pokoknya menyatakan "hanya mengatur pembagian hak waris, tidak mengatur legalitas jual-beli karena proses jual-beli tetap harus melibatkan seluruh ahli waris" adalah kurang tepat. Karena dalam masalah yang Anda hadapi, Pengadilan Agama memang tidak dapat melakukan legalitas penjualan objek waris akan tetapi dapat memerintahkan kepada pemegang objek waris (pihak yang menguasainya secara fisik) untuk menyerahkan hak waris seseorang atau beberapa orang ahli waris sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Sebagaimana diatur dalam Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan : "Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Namun bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan."
 Jadi berdasarkan ketentuan hukum di atas, apabila pembagian waris tersebut selalu dihalangi oleh saudara Anda maka Anda dapat mengajukan permohonan fatwa waris berikut penetapan bagian waris masing-masing ahli waris dan meminta Pengadilan Agama untuk memerintahkan ahli waris yang menolak penjualan objek waris tersebut untuk menyerahkan bagian waris dari Anda sebagai penggugat.

Dalam prakteknya, penyerahan tersebut dapat dilakukan berdasarkan penjualan atau penawaran harga sesuai dengan nilai bagian waris yang seharusnya diterima Anda sebagai ahli waris. Namun bilamana, setelah ada perintah Pengadilan Agama untuk menyerahkan bagian waris tersebut ternyata tetap juga tidak dijalankan oleh si penguasa objek waris (adik Anda) hal tersebut menurut saya dapat dikategorikan masuk dalam ranah hukum pidana.
 Perbuatan adik Anda dapat dilaporkan secara pidana atas dasar penggelapan (Pasal 372 KUHPidana).  Atau opsi lain yang dapat dilakukan adalah meminta Pengadilan Agama untuk menyita objek waris dimaksud sebagai jaminan yang nantinya dapat dilakukan penjualan didepan umum (lelang).
Selanjutnya dengan adanya penetapan bagian waris masing-masing ahli waris dan ternyata sertifikat objek waris disalahgunakan oleh adik Anda tanpa seijin ahli waris yang lain, tentunya hal tersebut secara jelas merupakan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Atas permasalahan ini saran saya sebelum Anda melakukan upaya hukum sebagaimana diuraikan diatas sebaiknya permasalahan waris ini diselesaikan terlebih dahulu secara kekeluargaan sehingga diharapkan didapat solusi yang elegan dan dapat diterima oleh semua pihak. Demikian jawaban yang dapat diberikan semoga membantu.