PRAKTEK PERDATA

PRAKTEK PERADILAN PERDATA

Pendahuluan

Dalam era reformasi dan dan situasi krisis moneter yang sekarang ini terjadi  membuat banyak perusahaan maupun bank-bank menjadi tak berdaya. Bahkan banyak diantara  menjadi bangkrut sehingga timbul berbagai macam perkara.
Dengan banyaknya perkara yang timbul akibat situasi tersebut disatu sisi memberikan banyak pekerjaan bagi para ahli hukum, salah satunya yang bergerak sebagai Pengacara litigasi. Namun untuk menjadi Pengacara  yang tangguh  dalam bidang perdata  diperlukan pengalaman dan keahlian diantaranya adalah dalam membuat gugatan atau menganalisa suatu gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu Gugatan atau Jawaban. Kadangkala walaupun pokok perkaranya benar namun bila cara membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, maka hal itu  akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu  bila tidak dapat memberikan analisa  hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat Gugatan atau Jawabannya tidak sempurna atau keliru maka hal ini tentunya merugikan  kepentingan klien. Untuk itu diperlukan pemantapan  keahlian yang harus dimiliki sebelum terjun  di bidang litigasi di Pengadilan.
Untuk menanggulangi hal  tersebut maka diperlukan pendalaman pemahaman terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melakukan praktek beracara perdata di Pengadilan .
Pemahaman mengenai bagaimana bila akan beracara  (perdata) di Pengadilan baik itu dalam kaitan gugat menggugat biasa atau dalam Pengadilan Niaga adalah sangat penting sekali. Pemahaman yang benar akan dapat memberikan jalan keluar atau “problem solving” atas masalah yang diserahkan oleh klien untuk dicarikan jalan keluarnya tersebut. Kadangkala  Pengacara Litigasi dapat berperan sebagai Kuasa Tergugat yang harus mampu mengaplikasikan  pengetahuan  hukum perdatanya baik dari aspek acaranya (formil) maupun dari aspek hukum perdata  materiilnya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena kesempurnaan  dalam membuat suatu Jawaban   dapat menggagalkan suatu guatan dari lawannya. Karenanya tidak ada salahnya kita untuk mempelajari kembali masalah-masalah ini sebagai suatu “refreshing” semasa kuliah dulu sekaligus untuk dapat dijadikan sebagai salah satu pegangan dalam menerapkan ilmunya dalam praktek khususnya dalam Praktek Hukum Perdata.


Surat Kuasa (khusus)

Pendahuluan

Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis.
Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan  secara lisan namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.
Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.
Karena hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat pelimpahannya dapat dilakukan secara umum [1] dan dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini dapat dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik. Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi kekuatan bukti yang sempurna juga pihak [pemberi kauas tidak mudah untuk mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi karena si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya tersebut.
Maka diharapkan dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam  suatu surat kuasa.
Dengan demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.
Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.
Surat kuasa secara tertulis dibagi atas dua macam , pertama surat kuasa umum dan surat kuasa khusus.
Dalam kaitan ini yang akan diuraikan adalah mengenai surat kuasa yang dipakai dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus)  perlu dicermati dengan baik karena kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.[2]
Kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak dapat diterima oleh Pengadilan.
Bahkan ada dalam perkara kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu yakin akan  keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung  ternyata hanya melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang dibuat tersebut, walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit  yang diajukan tak dapat diterima karena tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal  11 Mei 1999).[3]
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November 1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat tanggal 31  Januari 19784 No. 516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan bahwa pasal 123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri hukum mana gugatan harus diajukan.[4]
Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:[5]
1.    Nama para pihak, subjek (identitas);
2.    Pokok Sengketa atau obyek sengketa
3.    Nama Pengadilan
4.    Apa berlaku juga untuk banding/kasasi

Ad.1 Nama Para Pihak

Untuk menentukan para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali, karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak  bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala daerah Irian Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini sungguh ironis sekali.
Mengenai tidak dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan. Pihak yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa yang tidak sesuai dengan keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga dapat mengakibatkan tidak diterimanya suatu gugatan. [6]
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a.    Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang memberikan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi kuasa  termasuk dalam pengertian cakap hukum diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua ahli waris untuk melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.[7]
b.    Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum ?
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang –orang namun tidak berbadan hukum seperti  Persekutuan Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law firm (kantor  hukum) .
Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa  adalah mereka para sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan  pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu komanditer.
Apabila  pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus dibedakan antara badan hukum yang berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum perdata.
Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang dapat memberi  kuasa  masing-masing   adalah  Kepala  Jawatan  untuk

Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan.
Sedangkan untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melakukan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan.
Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan.
Seperti misalnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat memberikan  kuasa adalah direksi yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah terjadi dalam perkara permohonan kepailitan dimana pihak kuasa hukum tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan baru yang telah berkembang serhingga dalam permohonan pailit yang dilakukan tidak memperoleh sasaran artinya permohonan pailitnya kandas ditengah jalan karena syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus  yaitu siapa yang berwenang dalam memberikan kuasa tidak diperhatikan. .( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal  11 Mei 1999).[8]
Sedangkan Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut hanya dapat beracara di Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, karena ada Pengadilan Tinggi yang dapat memberikan ijin insidentiil tapi ada yang tidak dapat.



Namun ijin praktek Pengacara sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung hanya dapat beracara di wilayah Pengadilan Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum dimana perijinannya diberikan oleh Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi setempat maka barulah ijin diberikan.
Ijin ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Namun bila praktek di Pengadilan Tinggi diluar wilayah Pengadilan Tinggi yang menjadi domisili Penasehat hukum tersebut maka sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Penasehat hukum tersebut hanya cukup memberitahukan rencana beracaranya saja diwilayah Pengadilan Tinggi yang dituju tersebut dengan beberapa tembusannya.
Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa  yang namanya tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut.
Konsekwensinya adalah dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau  membuat Jawaban sebagai Terrgugat  maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut .
Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima kuasa sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan.
Maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu atau lebih penerima kuasa tidak dapat menandatangani baik itu gugatan atau Jawaban karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.

Ad.b. Obyek gugatan

Kemudian obyek dari gugatan juga harus ditentukan dan dituliskan dalam kolom khusus tersebut misalnya apakah gugatan itu berkaitan dengan wan prestasi atau cidera janji ataukah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Dalam praktek mengenai banyaknya kasus sungguh bervariasi misalnya ada perkara yang berkaitan dengan penyerobotan, sewa menyewa, sengketa hak milik, kredit macet dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan dalam persengketaan yang dianggap merugikan hak perdata salah satu pihak terdiri dari dua hal sebagaimana diatas yaitu cidera janji/wan prestasi dan perbuatan melawan hukum. Suatu perkara dianggap merupakan suatu sengketa wan prestasi bila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hubungan hukum antara para pihak biasanya dibuat secara tertulis lebih dulu. Sehingga bila ada hal-hal yang dilanggar sebagaimana yang telah tertuang dalam perjajian itu maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa wan prestasi/cidera janji. Sedangkan bila anatara para pihak tidak ada hubungan hukum seperti suatu perjanjian dinatara mereka, namun kemudian ada pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak dan kemudian dianggap merugikan hak perdata pihak lain dimana pelanggaran itu dianggap tindakan yang melanggar peraturan hukum yang berlaku maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa perbuatan melawan hukum.

Ad.c. Nama Pengadilan

Pada kolom khusus ini maka pengisian hak-hak apa saja yang dimasukkan harus benar benar diperhatikan, apakah dalam hal ini sebagai Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus ditegaskan. Demikian pula juga harus diperhatikan bila sebagai Penggugat maka untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini akan diajukan ini juga penting. Karena salah menentukan pengadilan akan timbul bermacam-macam eksepsi baik yang merupakan eksepsi yang absolut atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan dengan eksepsi-eksepsi yang berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu ketentuan pada pasal 118 HIR bila para pihak tidak mencantumkan secara khusus dalam suatu perjanjian yang telah disepakati. Namun bila para pihak yang bersengketa telah menyepakati dalam perjanjian diantara mereka adanya ketentuan yang mengatur mengenai tempat penyelesaian misalnya di Pengadilan Negri Jakarta Pusat  maka walau para pihak tidak berada diwilayah di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka gugatan tetap diiajukan di Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang bersengketa tidak ada perjanjian tertulis tentang penyelesaian bila terja di sengketa maka gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap berikutnya adalah menentukan siapa saja para pihak yang akan digugat. Untuk menentukan para Tergugat juga kadang berkaitan dengan penentuan di Pengadilan mana gugatan itu diajukan terutama bila ada Tergugat yang paling dianggap menimbulkan kerugian bagi Penggugat  berada bersama sama dengan para Tergugat lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang secara tidak langsung dianggap turut terlibat  maka harus juga dimasukan sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk menghindari adanya eksepsi yang mungkin diajukan oleh lawan tentang eksepsi kurangnya para pihak sebagaimana yang telah diputus dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.mengenai persona standi dari pihak-pihak yang digugat juga memerlukan kecermatan dan kalau perlu membuat sedikit investigasi untuk menentukan status dan alamatnya secara tepat. Dalam menentukan status pihak Tergugat juga harus dipahami sebelumnya mengenai apakah Tergugat dituntut sebagai pribadi atau sebagai  (Direksi) suatu badan hukum tertentu, atau mungkin dituntut dalam 2 kapasitas  sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat maka kita harus yakin bila si Tergugat memang bertempat tinggal atau berdomisili di tempat tersebut. Bila si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka alamat yang terakhir sebagai tempat domisili terakhir. Namun kadang-kadang  seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu ditulis semua agar gugatan dapat diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan banyak asset dari para Tergugat yang harus disita dalam pengajuan gugatan tersebut.

Ad.d  Hak Banding dan Kasasi

Dalam mencantumkan klausul hak banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor hukum atau law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan kasasi ini. Tapi ada pula kantor hukum lain tidak mencantumkan hak banding untuk pada saat berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah perkara diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak bandingnya untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk putusan Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu surat kuasa yang baru. Sebenarnya bisa saja memakai surat kuasa yang lama sepanjang dalam surat kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi. Namun kadang-kadang ada hambatan dimana pada saat telah diputus di tingkat Pengadilan Negri ternyta panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini pada bagain banding dan kasasi. Kadang-kadang berkas perkara tertinggal atau masih ditangan panitera pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan. Sedangkan dalam pengajuan banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat kuasa aslinya bukan salinannya. Oleh karena itu untuk menghindari kesuulitan tehnis administrasi tersebut biasanya para Pengacara lebih memilih membuat suarat kuasa khusus baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih mempercayainya untuk membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya masih ada hak-hak penerima kuasa yang harus dicantumkan dalam setiap surat kuasa. Seperti hak untuk mengajukan dan menerima Jawaban, Replik, Duplik, saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan dan termasuk mendengarkan putusan. Kadangkala terjadi suatu debat seru antara kuasa hukum dengan majelis hakim mengenai hak-hak tertentu yang tidak dicantumkan terutama bila si kuasa hukum ini adalah kuasa subtitusi. Maka apabila ada hak –hak tertentu tidak dicantumkan seperti hak menerima Jawaban, Duplik dsb maka Hakim akan menolak permintaan kuasa hukum menerima Jawaban atau Duplik bila tidak dicantumkan hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa subtitusi hanya dicantumkan hak untuk menerima Jawaban saja sehingga pada sidang berikutnya kuasa hukum tersebut ditolak hadir dalam persidangan karena tidak ada hak untuk tahap Replik atau Duplik, apalagi bila perkara tersebut menyangkut masalah gugatan perceraian .
Demikian pula dengan hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta mencabut perkara dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi perdamaian yang telah ditandatangani kuasa hukum diingkari oleh klienya dengan alasan dia tidak memberikan hak tersebut.  Hal ini kadang-kadang bisa membuat si kuasa hukum digugat kliennya di Pengadilan dan  biasanya sekaligus ingin  membatalkan apa yang telah disepakati dalam akta dading sebelumnya.Hak untuk mencabut perkara dari rol ini bila tidak dicantumkan akan membuat si kuasa hukum tidak dapat mencabut perkara begitu saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara tersebut baru dapat dicabut bila ada kuasa baru yang mencantumkan hak tersebut. Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan balik atau yang dikenal dengan gugatan rekopensi. Kalau si kuasa hukum sebagai kuasa Tergugat tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya dia membuat dan mengajukan pula gugatan rekopensi, maka gugatan rekopensi ini tidak mempunyai dasar hukum karena si kuasa hukum tidak mempunyai hak untuk mengajukan hal itu. Dengan perkataan lain gugatan rekopensinya menjadi batal demi hukum. Hak penting yang lain yang harus dicantumkan adalah hak subtitusi baik sebagian atau seluruhnya. Dalam praktek  kadang-kadang dalam perkara tertentu misanya menyangkut peraturan pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dikuasai secara sempurna kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memberikan kemudian bagi si kuasa hukum untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan tersebut ada beberapa perkara yang ditangani secara bersamaan sehingga mau tidak mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam surat kuasa semula.
Setelah surat kuasa tersebut dibuat dan isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa maupun Penerima Kuasa maka sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang tersebut  diwujudkan dalam penandatanganan surat kuasa khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang antara satu Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam standarisasi mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa. Demikian pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia  dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memberikan suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari hasil Raker Mahkamah Agung-Republik Indonesia  paling tidak dalam surat kuasa dimasukan 4 hal sebagaimana diatas.

Contoh-contoh Surat Kuasa Khusus :

SURAT KUASA
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                     ;untuk selanjutnya
sebagai Pemberi Kuasa.

Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang bertindak baik bersama-sama atau sendiri-sendiri; untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS:
Untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai .(Penggugat)….. lawan …(nama)….. yang beralamat  sebagai Tergugat di …….mengenai(perkara apa) ……., di Pengadilan Negeri …… .

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.

Jakarta,
Pemberi Kuasa

(…………………..)
Penerima kuasa

(. . . . . . . . . . . . .)
SURAT KUASA (Tergugat)


Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                  ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.

Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :

Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No.. …/Pdt.G/………….mengenai………………………lawan…………………………sebagai Penggugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.


Jakarta,

Pemberi Kuasa


(…………………..)
Penerima kuasa


(. . . . . . . . . . . . .)


( . . . . . . . . .. . . . .)










SURAT KUASA  (gugatan perceraian)


Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                     ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS

Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Penggugat,  mengajukan dan menanda-tangani gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta ………. mengenai  …perceraian….
terhadap (nama)……, (pekerjaan) …………., bertempat tinggal di Jalan …………sebagai Tergugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.


Jakarta,


Pemberi Kuasa



(…………………..)
Penerima kuasa



(. . . . . . . . . . . . .)




SURAT KUASA (Tergugat perceraian)

Yang bertanda tangan di bawah ini,

N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                    ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS

Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No..…/Pdt.G/…………. mengenai……………………… lawan…………………………sebagai Penggugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.


Jakarta,




Pemberi Kuasa



(…………………..)
Penerima kuasa



(. . . . . . . . . . . . .)







( . . . . . . . . .. . . . .)

SURAT KUASA SUBSTITUSI


Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                 ;  berdasar Surat
Kuasa Khusus tertanggal…………………………(terlampir); selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.


Dengan ini memberikan Kuasa Substitusi kepada :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                   ; yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.


KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat/Penggugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No.. …/Pdt.G/………….mengenai………………………lawan…………………………sebagai Penggugat/Tergugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.


Jakarta,




Pemberi Kuasa

(…………………..)
Penerima kuasa

(. . . . . . . . . . . . .)



( . . . . . . . . .. . . . .)




SURAT KUASA  (Banding)

Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                 ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.

KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pembanding, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan…………………………….selaku Terbanding.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.


Jakarta,




Pemberi Kuasa


(…………………..)
Penerima kuasa


(. . . . . . . . . . . . .)




( . . . . . . . . .. . . . .)





SURAT KUASA  (Terbanding)


Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                 ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.

KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Terbanding, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan……………………………………selaku Pembanding.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.


Jakarta,


Pemberi Kuasa


(…………………..)
Penerima kuasa


(. . . . . . . . . . . . .)



( . . . . . . . . .. . . . .)







SURAT KUASA  (Kasasi)

Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                 ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :


Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.

KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pemohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Tinggi……………… No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selakuTermohon Kasasi.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.



Jakarta,



Pemberi Kuasa

(…………………..)
Penerima kuasa

(. . . . . . . . . . . . .)


( . . . . . . . . .. . . . .)








SURAT KUASA  ( Termohon Kasasi)

Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a     :
Pekerjaan   :
Alamat      :                 ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :

Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ……., beralamat di …… yang  baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.

KHUSUS
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Termohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori kasasi kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Tinggi………………No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selaku Pemohon Kasasi.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol,  menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.



Jakarta,


Pemberi Kuasa


(…………………..)
Penerima kuasa


(. . . . . . . . . . . . .)




( . . . . . . . . .. . . . .)





Langkah-Langkah Dalam Pembuatan Gugatan

I.Pendahuluan

Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat melakukan gugatan kepada pihak yang merugikan tersebut. Diantara para pihak mutlak harus ada perselisihan hukum.[9] Adapun pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan, kumpulan orang-orang ataupun suatu badan hukum.
Apabila pihak yang dirugikan bermaksud menggugat pihak yang merugikan kemudian datang pada pengacara, maka bila kita berperan sebagai seorang pengacara atau penasehat hukumnya tentunya harus membuat langkah-langkah persiapan dalam proses membuat gugatan.
Dalam membuat gugatan tidaklah semudah yang diperkirakan oleh kebanyakan para pengacara. Kesalahan dalam membuat gugatan sehingga secara formil tidak terpenuhi akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan. Bahkan bisa jadi masalah pokoknya menjadi tidak terlindungi, justru malah berdebat dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan eksepsi.

Namun yang merugikan klien apabila dalam membuat gugatan  cara penyusunan dalil-dalil tidak disesuai dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat gugatan tidak dapat dibuktikan. Atau dengan perkataan lain dapat membuat suatu gugatan menjadi ditolak.
Oleh karena itu dalam membuat gugatan kita harus hati-hati dan cermat jangan sampai kekeliruan dan ketidak-cermatan akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan.

II.Tahap Persiapan

Dalam membuat suatu gugatan memang diperlukan kecermatan dan kehati-hatian, karena kekeliruan-kekeliruan yang dibuat dalam membuat gugatan baik itu yang mengakibatkan syarat formil dan materiil gugatan tidak terpenuhi akan membuat gugatan kandas ditengah jalan. Demikian pula sebagimana seperti pada saat pembuatan Surat Kuasa Khusus  maka dalam membuat gugatan ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Siapa yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu badan hukum ataukah pula sebagai keduanya ?
2.    Di- pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan ini mengenai suatu perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati mengenai penyelesaian terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada hubungan hukum sebelumnya ?
3.    Bukti-bukti apakah yang dimiliki oleh klien, apakah buktinya lengkap atau hanya sebagian ataukah hanya  berupa foto copi saja?
4.    Apakah  Tergugat mempunyai asset yang akan disita sebagai jaminan gugatan agar tidak menjadi sia-sia ?
Dalam membuat suatau gugatan sebenarnya harus dikumpulkan lebih dulu data-data yang dimiliki klien. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh klien. Kadang –kadang bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi demikian maka kita harus pandai mengingatkannya sehingga seluruh data-data bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap akan memudahkan kita menentukan langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan masalah tersebut.Apabila data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah terkumpul maka adakalanya diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan hukum. Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang terakhir. Demikian pula bila yang digugat adalah bank cabang maka terhadap bank cabang tersebut dapat digugat secara berdiri sendiri dan bukannya kantor pusat bank tersebut yang digugat karena bank cabang.[10]
Pada waktu melakukan investigasi tersebut juga perlu dicheck kembali asset asset yang masih dimiliki oleh pihak yang akan digugat tersebut. Letak batas-batas tanah yang mungkin akan diajukan sebagai jaminan atas gugatan klien kita harus jelas diketahui batas-batasnya juga data-data pendukungnya.
Kalau perlu diminta pula kronologis masalah yang menimbulkan  sengketa yang merugikan klien kita kemudian dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada data-data yang tidak jelas.
Setelah data-data bukti telah lengkap sebagimana yang dimiliki klien kita dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi telah membentuk suatu kelengkapan dalam pembuatan suatu gugatan maka langkah pertama adalah membuat surat kuasa lebih dulu sebagaimana yang telah pernah diuraikan.

III. Menentukan siapa yang menjadi Penggugat

Untuk dapat menntukan siapa yang akan menjadi Penggugat atau yang berhak secara hukum memberikan kuasa kepada kita maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu.  Bila klien kita yang dirugikan berupa perorangan maka yang perlu diteliti adalah apakah dia mempunyai hubungan hukum dengan pihak yang akan digugat atau ada hak perdatanya yang dilanggar dimana pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian pula bila klien kita merupakan kumpulan orang-orang baik yang berupa firma, matschaap atau namloze vennoschap (cv) maka yang dapat bertindak sebagai penggugat sekaligus pemberi kuasa adalah para sekutu yang sah sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Bila Penggugatnya berupa badan hukum maka kita harus lebih cermat untuk menentukan siapa yang  dapat mewakili dari badan hukum itu.
Tapi secara umum yang dapat memberikan kuasa atau mewakili sebagai penggugat adalah Direksi yang memang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran dasarnya. Namun dalam hal tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang mewakili sebagai penggugat (yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tunduk dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan dapat pula diatur dengan peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang dan mewakili sebagai penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti adanya perkembangan peraturan-peraturan baru.

IV. Menentukan siapa yang menjadi Tergugat

Sebagaimana dalam pembuatan Surat kuasa Khusus maka dalam menentukan para pihak yang akan digugat juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.    Apakah ada pihak yang dianggap telah melakukan tindakan yang merugikan hak keperdataan klien kita dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum ?
2.    Apakah diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan tersebut mempunyai hubungan hukum ?
3.    Bila mempunyai hubungan hukum apakah dalam perjanjian yang telah disepakati ada ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4.    Perlunya informasi yang terakhir mengenai domisili dari para pihak dan data-data sepanjang assets para pihak yang akan digugat tersebut.
Dalam hubungan dimasyarakat kadangkala mungkin terjadi ada tindakan kita yang dianggap pihak lain merugikan hak keperdataannya padahal kita tidak merasa melakukannya.
Secara hukum apabila ada perbuatan yang dilakukan yang menurut pandangan satu pihak wajar dan tidak ada masalah namun oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap sebagai suatu tindakan kelalaian yang menurut pasal 1365 dan pasaaal 1366 KUHPerdata dapat dituntut secara hukum penggantian kerugiannya.
Kemudian pihak yang dianggap merugikan secara langsung tersebut dimasukan sebagai Tergugat utama baru ditentukan pihak-pihak lain yang secara tidak langsung dianggap turut serta merugikan tersebut. Kaitan yang harus diperhatikan adalah dal;am penyusunan gugatan terhadap perkara yang demikian  penyusunan para tergugat tersebut harus memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 sampai ayat 4 HIR. Ketentuan ini harus diperhatikan agar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Namun apabila diantara para pihak kemudian ternyata ada hubungan hukum sbelumnya dimana hubungan hukum itu berbentuk suatu perjanjian; kemudian dalam perjanjian tersebut para pihak telah sepakat mengenai pengadilan atau badan tertentu sebagai penyelesaian bila terjadi perselisihan hukum maka  pengajuan gugatan dilakukan ditempat yang yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan para pihak yang akan digugat adalah pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian yang telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan digugat biasanya dipersiapkan pula sekaligus kelengkapan data-data baik itu mngenai alamat terakhir pihak yang akan digugat juga data-data mengenai harta kekayaan tergugat yang diperkirakan akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan. Data-data harta kekayaan tersebut sebaiknya dibuat selengkap mungkin sehingga tidak terjadi kekeliruan sita. Bila terjadi kekeliruan tersebut akan membuat biaya sita menjadi membengkak karena adanya duakali atau lebih permohonan sita. Kalau perlu harus diketahui batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut seperti batas sebelah utara dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa, sebelah selatan dengan tanah siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula, dan kadang-kadang gugatan bisa menjadi batal.[11]

Detail yang lengkap ini diperlukan agar pada waktu pendaftaran sita jaminan di BPN menjadi lebih mengikat atau merupakan sita jaminan yang sah dan berharga.
Kadangkala bila tanahnya belum bersertifikat maka tembusan penetapan sita jaminan dan berita acaranya diberikan ke pihak Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila terjadi jual beli atas tanah girik tersebut pihak terkait dalam hal ini  Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi tidak bersedia melakukan pembuatan akte jual beli tersebut.

V. Persona Standi in Judicio

Setelah menentukan siapa Penggugat dan siapa saja yang menjadi Tergugat sekaligus menentukan di Pengadilan mana gugatan itu akan diajukan maka hal itu merupakan bagian dari persona standi dari gugatan ini.
Untuk lebih meyakinkan lagi sebaiknya dicheck lebih dulu apakah antara Penggugat dengan para Tergugat jumlah dan alamatnya sama sebagaimana yang telah tertuang dalam surat kuasa (khusus). Bila tidak sama maka dapat membuat pihak Tergugat kemungkinan untuk mengajukan eksepsi atas kekurangan ini.
Dalam menuliskan data-data baik dari penggugat maupun dari Tergugat maka baik data-data seperti nama, pekerjaan dan alamatnya serta kapasitas  sebagai Tergugat harus jelas benar. Apakah Tergugat digugat dalam kapasitas pribadi atau personafikasi dari suatu badan hukum. Atau dapat pula digugat dalam kapasitas sebagai pribadi dan badan hukumnya sekaligus.

VI. Posita Gugatan

Dalam penyusunan posita dalam praktek dapat diklasifikasikan ada 3 macam model yang sering dipakai.
Model pertama, bila data-data atau bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah lengkap, dan hubungan hukum dianatara para pihak memang sudah jelas maka pada bagian posita gugatan akan disusun sedemikian rupa  dari masalah yang luas menjadi menyempit seperti kerucut. Sehingga setiap orang akan mudah memahami bila gugatan tersebut adalah merupakan gugatan wan prestasi atau perbuatan melawan hukum. Disamping itu runtutan peristiwa hukum telah disusun dengan baik.  Penyusunan model demikian akan nampak jelas mudah dipahami karena peristiwa-peristiwa hukum (rechtfeits) yang merupakan dalil-dalil yang didukung bukti-bukti yang dikemukakan seluruhnya. Dari peristiwa-peristiwa hukum yang disusun jelas nampak kapan tergugat wan prestasi atau kapan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penyusunan dengan cara ini akan lebih sempurna bila gugatannya dibuat dengan memperhatikan syarat formil dan materiil suatu gugatan.
Model kedua, dalam penyusunan gugatan maka peristiwa hukum-pertistiwa hukum yang diajukan hanya merupakan dalil-dalil yang hanya didukung oleh sebagian bukti-bukti yang dimiliki. Sedang sebagian bukti lainnya diajukan dapat tahap berikutnya setelah ada Jawaban dari tergugat.Biasanya model yang demikian dipakai bila kuasa hukumnya sendiri belum begitu yakin akan bukti-bukti yang dimiliki kliennya. Namun bisa juga karena ada hubungan hukum tertentu dari peristiwa hukum yang diajukan masih samar-samar. Oleh karena itu biasanya pada tahap Replik baru sebagian lagi bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya dipakai juga bila kliennya hanya memiliki sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian lain ada di tangan tergugat. Atau dengan perkataan lain hanya memiliki sebagian bukti saja sedang sebagian lagi biasanya hanya foto copinya saja karena aslinya berada di tangan tergugat atau pihak lain.
Model ketiga, bila klienya hanya memiliki sebagian kecil bukti saja maka penyusunan positanya biasanya merupakan dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing. Namun karena disusun seolah juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan terpancing dan memberikan tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi dalam Dupliknya . Kadangkala  ada  juga pengacara yang begitu mudah terpancing sehingga dia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu adalah strategi lawannya.
Namun sering pula dalam praktek kuasa hukum lawan tidak mau terpancing, terutama pengacara senior. Bahkan pada waktu pembuktian dia akan menyatakan akan menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih dulu bila lawannya menyatakan buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang berikutnya pasti  akan menyatakan bukti asli tidak ada pada kliennya.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat posita maka setelah peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang hendak dicapai dalam pengajuan gugatan tersebut yaitu sita jaminan (conservatoir beslag). Permohonan sita jaminan sebagai jaminan agar gugatan tersebut tidak menjadi sia-sia belaka harus diajukan bersama-sama dalam gugatan.  Kadang-kadang walau telah diajukan dalam posita gugatan  juga diajukan lagi dalam permohonan tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si tergugat berusaha mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna menghindari tanggung jawab dari gugatan ini maka permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat berkas  masih berada  dalam kewenangan Ketua Pengadilan ( berkas belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah melalaui proses pembuktian. Dalam bagian posita setidak-tidaknya dimasukkan pula alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian mengenai dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam gugatan gantirugi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini disesuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.

VII. Petitum Gugatan

Apabila kita membuat petitum dalam suatau gugatan  maka dalil-dalil yang akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam bagian posita, baru dapat dimntaakan dalan bagian petitumnya. Jadi kalau tidak pernah diuraikan terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada bagian posita maka hal itu tak dapat dituntut dan diajukan pada bagian petitumnya. Secara standar yang dimuat pertama kali pada petitum dalam perkara wan prestasi adalah  klausul :

“Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya”;
“Menyatakan secara hukum Tergugat telah cidera janji “
“Menyatakan batal demi hukum atau menyatakan sah demi hukum perjanjian…..”
“Menyatakan secara hukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi…..”
Bila ada persengketaan bezitrecht maka klausulnya adalah “ Menghukum Tergugat/para Tergugat  atau siapapun yang memperoleh dari Tergugat untuk menyerahkan sebidang tanah dan bangunan aquo kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baik”.
“Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan”.
“Menghukum Tergugat/para Tergugat untum membayar dwangsom sebesar……”.
“dan seterusnya sesuai dengan masalahnya.
“ Biaya perkara menurut hokum.

Kemudian kebanyakan ditambah pula petitum subsidairnya dengan klausul,
“ A t a u, bila Mejelis berpandangan lain mohon diberikan putusan seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan YME”.

Sedangkan kalau gugatan itu merupakan gugatan melawan hukum maka petitum yang diajukan  adalah ;
“Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya”.
“Menyatakan bahwa Tergugat/para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum”
“Menghukum Tergugat/para Tergugat untuk membayar ganti rugi (secara tanggung renteng) secara tunai  kepada Penggugat meliputi,
-      Ganti rugi materiil sebesar……..
-      Ganti rugi immateril sebesar…
“Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan”
“Menghukum  Tergugat/para Tergugat membayar dwangsom sebesar….”
“.Biaya perkara menurut hukum”
Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair atau ex aquo et bono
Untuk lebih jelasnnya dapat dilihat pada contoh-contoh model  terlampir

Ref.No.:___/IHP/DN-YAS/III/99                                                  Jakarta, __Maret 1999


Kepada Yth,
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
di Jakarta

Hal:Gugatan Wanprestasi

Dengan hormat,

Dani Indrawan, SH dan, Eva Rahayu SH., Penasehat Hukum di INDRAWAN, HEISKY & PARTNERS, beralamat di Gedung Arthaloka Lantai 15, Jalan Jenderal Asudirman Kav. 2, Jakarta 10220, berdsarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal _________, bertindak untuk dan atas nama PT. BANK UNIVERSAL Tbk., berkantor pusat di ___________ , yang dalam hal ini diwakili oleh _________ selaku ________, berlamat di ____________, selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”.

Penggugat bersama ini mengajukan gugatan terhadap :


1. PT. Berkatama Raya Finance, beralamat di Jl. Abdul Muis No. 6-8-10, Jakarta 10160 dan Kompleks Harmoni Plaza Blok K 4-5, Jl. Suryo Pranoto 2, Jakarta, selanjutnya disebut “Tergugat I”.

2.            Saderah Susantadiredja, berlamat di Jalan Tomang Rawa Kepa Utama  No. 22 Rt 003/013, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11440, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat II”.

Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan adalah sebagai berikut:


1.            Bahwa Tergugat II , semula adalah Direktur Utama dari Tergugat I,  yang bergerak di bidang pembiayaan yang menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa pemberian kredit dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian kendaraan kepada nasabah bank dalam keadaan baru atau bekas pakai, merek-merek tertentu kepada nasabahnya dengan cara pembiayaan angsuran dalam pemberian kredit untuk membiayai tagihan debitur kepada Supplier (factoring) yang dibuat berdasarkan kontrak atau perjanjian lainnya.

2.       Bahwa Tergugat II dalam mengajukan permohonan-permohonan dalam proposal mengenai kegiatan usahanya tersebut untuk meyakinkan Penggugat sebagai pihak Bank yang membantu kegiatan usaha Tergugat tersebut yaitu memberikan fasilitas kredit berupa pinjaman uang kepada debitur/tergugat untuk membiayai piutang yang timbul dari kontrak yang disetujui.

3.            Bahwa Tergugat I melalui Tergugat II dalam beberapa kali presentasi begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi Perusahaan tersebut bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin usaha tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing [vide P.1].

4.            Bahwa karena prospek usaha PT. Berkatama Raya Finance nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di atas, maka Penggugat dan Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II sepakat mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No. 316/ABF/STR/XII/96 sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah) tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5726/MONO (“Perjanjian Kredit”)[vide P.2] dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5727/MONO [vide P.3].

5.            Bahwa semenjak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka terlihat kegiatan usaha Perusahaan berkembang baik dan bahkan usaha Tergugat I menunjukkan terdapat banyak peningkatan jumlah nasabahnya, oleh karena itu maka Perusahaan memerlukan tambahan biaya lagi.
Bahwa karena hal tersebut di atas, maka pada tahun 1997 berturut-turut Penggugat mengucurkan dana lagi kepada Tergugat I yaitu sebagai berikut :

5.1   Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 028/ABF/STR/III/97 tanggal 17 Maret 1997 (“Perubahan I”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5. 000.000.000,- (lima milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah); [vide P.4]

5.2   Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 073/ABF/STR/VI/97 tanggal 30 April 1997 (“Perubahan II”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5.000.000.000,- (lima milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar Rupiah);[videP.5]

5.3   Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 122/ABF/STR/VII/97 tanggal 9 Juli 1997 (“Perubahan III”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuh belas milyar Rupiah).[vide P.6]

6.            Bahwa sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir 7.7 telah disepakati sebagai berikut :

Debitur tidak diperkenankan, tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, (i) mengubah struktur permodalan atau dengan cara bagaimanapun mengubah atau mengijinkaan agar akta pendirian atau anggran dasarnya diubah, kecuali meningkatkaan modal dasarnya yang diambil daari laba yang ditahan atau penempatan modal baru oleh pemegang saham, (ii) mengijinkan, mengganti atau mengubah susunan pemegang saham, (iii) mengubah atau mengganti atau mengganti susunan anggota Direksi, DewanKomisaris atau staff


inti, akan tetapi jika perubahan atau penggantian tersebut disebabkan karena
pensiun, mengundurkan diri atau meninggal dunia, hal mana tidak mengakibatkaan pelanggaran terhadap ayat ini jika kekososngan tersebut diisi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kekososngan tersebut dengan orang yang disetujui oleh bank, kecuali untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;


7. Bahwa Para Tergugat kemudian secara diam-diam merubah anggaran dasar Perseroan tanpa seijin tertulis dari Penggugat pada tanggal 15 Juli 1998; tindakan Para Tergugat ini jelas bertentangan dengan butir 7.7 Perjanjian Kredit [vide P.2].

8.            Bahwa karena Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh kedua pihak.  Oleh karena itu tindakan perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat adalah batal demi hukum.

9.            Bahwa kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi tersebut dimaksudkan agar Tergugat II tidak bertanggung jawab lagi akan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dengan Penggugat atau dengan perkataan lain merupakan usaha Tergugat II dengan itikad buruk untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain.

10.         Bahwa ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Penggugat ternyata dana-dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi oleh Tergugat II  yang pada waktu itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat I, karena nampak berusaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.

11.         Bahwa setelah Penggugat berkali-kali menghubungi Para Tergugat untuk menyelesaikan tanggung jawab pengembalian kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menyelesaikannya.

12. Bahwa Penggugat pada tanggal 28 Agustus 1998 mendapat surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada pokoknya menyatakan bila Tergugat II adalah penanggung jawab dalam Perusahaan [vide P.7].

13.         Bahwa wajar bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut tanggung jawab Tergugat II karena dalam penandatanganan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dilakukan oleh Tergugat II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal 13 Desember 1996 sampai dengan tanggal 10 Juni 1998 berada dalam tanggung jawab Tergugat II, sedangkan gugatan terhadap pengurus atau pemegang saham lain akan dilakukan dalam gugatan tersendiri.

14.         Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam tanggung jawab Tergugat II dan telah terbukti bahwa Tergugat II telah lalai dalam menjalankan kewajibannya, maka sesuai dengan ketentuan  Pasal 85 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Tergugat II dapat dituntut untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi.


15.         Bahwa kerugian akibat kredit macet yang diderita Penggugat per tanggal ________________ dengan perincian sebagai berikut:
S     .
S     .
S     .

16.         Bahwa karena adanya jaminan pribadi dari Tergugat II [vide P.1] dan dengan adanya surat dari pemegang saham lainnya [vide P.7] dimana pengurusan dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat II, maka secara hukum baik Tergugat I mauapun Tergugat II bertanggung jawab secara tanggung renteng.

17.         Bahwa untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dan guna menghindari usaha tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain, maka Penggugat mohon agar dapat dilakukan sita jaminan terhadap:

17.1 Sebidang tanah dan bangunan__________(milik Tergugat I);

17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. Tomang Rawa Kepa Utama Rt 003/013 No. 22, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II;

17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. Rawa Kepa Raya No. 3, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II.

18.         Bahwa karena gugatan ini didudkung oleh bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij voorraad).

19.         Bahwa wajar pula bila Penggugat membebankan adanya uang paksa / dwangsom yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta) per hari.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dengan segala kerendahan hati mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan sebagai berikut :


1.            Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2.            Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3.            Menyatakan secara hukum Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan perjanjian yang terkait [vide P.2–P.6]) yang dibuat antara Perusahaan dengan Penggugat;
4.            Menghukum Tergugat untuk membeyar ganti rugi sebesar Rp. _________ kepada Penggugat secara tunai;
5.            Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;
6.            Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, damupun verzet (iut voerbaar bij voorraad);
7.            Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) perhari bila lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak tanggal putusan ini sampai dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;
8.            Biaya perkara menurut hukum



Atau bila Pengadilan berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat
INDRAWAN, HEISKY & PARTNERS



Dani Indrawan, SH.,            Eva Rahayu, SH.

Langkah-Langkah  Dalam Membuat Jawaban
Pendahuluan
Apabila kita berperan sebagai kuasa hukum dari klien kita yang digugat seseorang maka diperlukan data-data pendukung untuk memberikan suatu tanggapan hukum. Tanggapan hukum tersebut sering dinamakan Jawaban. Jawaban ini merupakan suatu langkah yang penting dan sangat menentukan dalam memenagkan suatu kasus. Kadangkala bila Jawaban kita terutama bila eksepsi yang diajukan diterima oleh Majelis Hakim yang kemudian ditungkan dalam pertimbangan hukum dalam putusannya maka dapat dipastikan gugatan lawan kita dinyatakan tak dapat diterima (niet onvankelijk).
Namun dapat pula terjadi dalil-dalil yang dibuat dalam gugatan dapat dipatahkan dalam Jawaban sehingga dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan secara sempurna. Bila terjadi demikian maka dapat dipastikan gugatan yang diajukan dinyatakan ditolak. Oleh karena itu perlu sekali kita mendalami agar dalam membuat Jawaban benar-benar dapat dilakukan sesuai dengan faktanya dengan didukung bukti-bukti akan membantu kita dalam membuat suatu Jawaban atas gugatan yang diajukan seseorang atau badan hukum tertentu.

A. Tahap Persiapan
Dalam membuat suatu Jawaban  diperlukan persiapan dan penguasaan materi pokok perkara dalam suatu sengketa keperdataan.
Disamping memerlukan data-data pendukung berupa bukti-bukti yang dimiliki oleh klien juga diperlukan kronologis kejadian perkara yang sebenarnya.
Mungkin data-data yang diberikan masih kurang dan baru kita minta pada klien setelah membaca kronologis perkaranya baik yang disampaikan secara tertulis maupun secara lisan. Biasanya baru akan dibuat Jawaban bila kita telah hadir pada sidang pertama dengan menyerahkan Surat kuasa Khusus yang  menunjukkan kewenangan kita sehingga dapat bertindak untuk dan atas nama klien kita selaku Tergugat. Dalam persidangan dapat juga kita minta pada Majelis Hakim Surat Kuasa lawan dimuka persidangan untuk dicocokan dengan gugatan yang kita terima.
Namun dalam perkara tertentu bisa saja terjadi pada saat sidang pertama setelah Hakim menyampaikan usulan perdamaian kepada para pihak ternyata ada pihak yang langsung menyerahkan Jawaban. Hal ini terjadi bila memang diketahui dengan pasti gugatan yang diajukan pihak lawan ternyata  tidak memenuhi syarat formal suatu gugatan.
Bila hal ini terjadi maka penggugat tidak dapat merubah gugatannya tanpa persetujuan tergugat.

B. Tahap Pembuatan
Dalam membuat jawaban maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah gugatan penggugat telah memenuhi syarat formal suatu gugatan. Dalam praktek sering terjadi suatu gugatan disusun secara tergesa-gesa atau mungkin dengan data yang tidak lengkap atau dapat juga karena ada kekeliruan dalam melakukan upaya hukum. Perbaikan gugatan masih dapat dimungkinkan sepanjang dalam persidangan (pertama) tidak diajukan jawaban terlebih dulu oleh tergugat. Bila telah diaajukan jawaban maka perubahan gugatan diperbolehkan asal tidak ada keberatan dari tergugat, hal ini mustahil terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka dalam membuat suatu Jawaban harus memperhatikan :
1.    Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya?
2.    Apakah memang benar penggugat dalam menentukan kompetensi pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
3.    Apakah diantara  para pihak ada hubungan hukum sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
4.    Apakah ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum gugatan penggugat ?
5. Apakah ada konsistensi tuntutan dalam posita dengan petitum gugatan ?
Ad.1. Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya  ?
Dalam membuat gugatan kadangkala para pihak dalam gugatan dengan surat kuasa khusus yang menjadi dasar kewenangan kuasa hukum penggugat tidak sama. Pada gugatan tertulis ada tiga tergugat tapi dalam surat kuasa hanya dua tergugat. Bila terjadi demikian  dapat diajukan eksepsi atas hal tersebut. Demikian pula sebaliknya bila ada ketidaaksamaan jumlah pihak yang digugat bila anatara surat kuasa dengan persona standi gugatan tidak sama. Disamping itu juga bila dalam persona standi surat kuasa seperti nama, pekerjaan, alamat bila tergugat merupakan perorangan/pribadi tidak sama dengan persona standi dalam gugatan. Sedangkan bila merupakan suatu badan hukum yang digugat ternyata tertulis langsung atas nama direkturnya misal Drs. Amin Singgih SE, pekerjaan Direktur yang bertindak untuk dan atas nama PT.X, alamat Jl. Situbaru…dstnya . Maka penulisan yang demikian bisa juga dijadikan eksepsi, karena suatu perseroan terbatas  tiap bulan atau dua bulan direksinya dapat berganti terus silih berganti, tanpa  mudah untuk diketahui secara umum.

Ad.b. Apakah memang benar penggugat dalam menentukan kompetensi
pengadilan  dengan para pihak yang digugat ?
Apabila penggugat dalam gugatannya  ternyata ada beberapa tergugat, namun dalam gugatannya ternyata tidak dapat membedakan mana yang tergugat utama dan mana yang menjadi  turut tergugat, maka dalam hal ini dapat juga diajukan suatu eksepsi kompetensi. Demikian  pula jika penggugat dalam gugatannya ternyata ada banyak tergugat tapi gugatannya diajukan di Pengadilan Negri dimana letak tanah yang akan digugat juga ada salah satu dari tergugat tapi bukan tergugat utama. Terhadap gugatan demikian dapat pula diajukan ekssepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Ad.c Apakah diantara  para pihak ada hubungan hukum sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
Bila  penggugat dalam menentukan pihak  yang digugat  ternyata melupakan adanya perjanjian diantara para pihak dimana dalam perjanjian itu jelas dan tegas ternayat para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di lembaga tertentu misal Arbiter ad hock  dan bila tak selesai baru ke BANI . Bila memang telah disepakati demikian maka penggugat tak dapat langsung mengajukan gugatan ke BANI melainkan harus menunjuk arbiter ad hock terlebih dulu untuk menyelesaikan permasalahan mereka; kemudian bila tidak selesai dalam jangka waktu yang telah disepakati baru dapat diajukan ke BANI. Demikian pula bila telah disepakati dalam perjanjain tersebut penyelesaian masalah  akan diputus dan tunduk pada ketentuan BANI, maka tidak dapat dalam gugatannya langsung dilakukan di Pengadilan Negri tanpa melalui BANI terlebih dahulu. Bila dalam gugatan terjadi seperti diatas maka terhadap gugatan tersebut dapat diajukan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi absolut.
Ad. Apakah ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum gugatan penggugat ?
Apabila ada gugatan yang ternyata tidak konsisten antara persona standi dengan posita maupun petitum dapat juga dijadikan eksepsi atau bahan pertimbangan hukum yang dimasukkan dalam jawaban yang akan melemahkan dalil-dalil dalam gugatan penggugat. Misalnya dalam persona standi para tergugat tidak dijelaskan kaitan dalam hubungan hukum sehingga terjadinya gugatan ini  kemudian muncul dalam petitum yang menyatakan para tergugat harus secara tanggung renteng menanggung kerugian penggugat maka hal in dapat pula dijadikan dasar untuk mengajukan eksepsi maupun sanggahan atas dalil-dalil dalam gugatan. Contoh lain misalnya dalam posita gugatan diuraikan peristiwa-peristiwa hukum  yang secara keseluruhan merupakan suatu gugatan cidera janji ternyata dalam petitumnya para tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini merupakan suatu kontradiksi yang kadang-kadang dalam kasus tertentu dapat membuat gugatan kandas ditengah jalan. Bila dalam petitum gugatan kemudian muncul begitu saja permohonan serta merta (uit voerbaar bij voorraad), sita jaminan, dwangsom tanpa diuraikan dasar pertimbangan hukumnya dalam posita maka ini juga dapat dijadikan dasar untuk melemahkan gugatan.
Demikian pula bila dalam petitum gugatan ternyata  para tergugat dinyatakan telah melakukan cidera janji juga dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka dalam praktek juga dijadikan bahan pertimbangan untuk melemahkan gugatan.
Dalam gugatan kadangkala tidak diteliti lebih lanjut dalam perjanjiannya sehingga  dibuat gugatan tanpa mempertimbangkan masalah waktu tersebut juga dapat dijadikan pertimbangan yang melemahkan gugatan; bentuknya dapat berupa eksepsi atau sanggahan dalil dalam pokok perkara. Seringpula terjadi seharusnya upaya yang dilakukan adalah bantahan tapi justru diajukan dalam gugatan ini juga sebagai pertimbangan dalam Jawaban.
C. Tahap Membuat Jawaban
Setelah mempersiapkan semua itu dan setelah mempelajari dari bahan-bahan untuk membuat jawaban, maka diperlukan suatu kecermatan dan naluriah untuk dapat menemukan kelemahan-kelemahan gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu jawaban.
Jawaban dibuat dengan dua bagian yaitu bagian eksepsi dan bagian pokok perkara. Pada bagian eksepsi seperti kita ketahui dapat merupakan eksepsi yang absolut atau relatif. Bila ada eksepsi yang merupakan eksepsi absolut kemudian dalam persidangan biasanya diminta Hakim untuk menunjukkan bukti-bukti dasar-dasar hukumnya, maka bila terbukti akan dibuat suatu putusan sela yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Bila tak terbukti pemeriksaan akan dilanjutkan sesuai dengan tahapan  prosedur yang berlaku.
Dalam bagian eksepsi juga dapat dimasukkan bermacan eksepsi seperti dilatoir eksepsi, obscuur libel, ne bis in idem, kurangnya para pihak, kadaluarsa dan macam-macam eksepsi lainnya. Eksepsi–eksepsi yang dikemukakan diatas merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara sehingga putusan atas eksepsi tersebut dilakukan bersama-sama dengan putusan akhir dengan telah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. Setelah bermacam eksepsi diajukan dalam jawaban maka dalam pokok perkara  ada beberapa klausul yang setidaknya harus dicantumkan dalam pokok perkara tersebut diantaranya
- Menyatakan agar hal-hal yang telah diuraikan pada bagian eksepsi
merupakan bagian dalam pokok perkara yang tidak terpisah; maksud klausul tersebut adalah karena kebanyakan eksepsi yang diajukan merupakan bagian dari pokok perkara sehingga harus diperiksa bersama-sama dengan pokok perkara dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.
-  Klausul kedua adalah merupakan penolakan atas seluruh dalil-dalil
penggugat kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh tergugat.
-  Dalil berikutnya adalah merupakan dalil-dalil yang membenarkan dalil
penggugat bila memang benar; atau membantah kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam gugatannya satu demi satu tanpa ada yang terlewatkan; karena bila ada yang tidak dibantah hal tersebut dianggap oleh penggugat mengakui secara tidak langsung dalil-dalil yang dikemukakannya; dalam bantahan dalil tersebut harus dikemukakan dasar hukumnya, bila perlu pendapat doktrin maupun yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dibantah atau yang didalilkan itu.
-   Kemudian pada bagian petitum jawaban diajukan permohonan yang
disesuaikan dengan masalahnya baik itu pada apa yang diminta bagian
eksepsi maupun bagian pokok perkaranya;
Pada bagian petitum jawaban bila ada eksepsi yang diajukan dimana eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara maka ada pergeseran bentuk.Bila dalam jawaban ternyata mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan rekopensi sebagaimana yang diatur dalam pasal 132a HIR. Sedangkan cara membuat gugatan rekovensi hampir sama dengan ketentuan membuat gugatan.Namun yang harus dicermati adalah posisi/kwalitas dari subjek hukum menjadi berbeda secara terbalik dimana semula sebagai tergugat dalam konvensi kemudian menjadai penggugat dalam rekovensi.
Bentuk petitum jawaban tidak sama modelnya dengan petitum gugatanm namun bula ada rekovensi maka petitumnya menjadi berbeda .untuk lebih jelasnya lihat  contoh atau model.

JAWABAN
Rol perkara No……./Pdt.G/2000/PN………….

Dalam Perkara antara :

PT.X ……………………Sebagai Tergugat Konpensi/
PenggugatRekopensi


Lawan


PT.Y……………………SebagaiPenggugat Konpensi/
Tergugat Rekopensi

————————————————————


Jakarta, …………….
Kepada Yth.
Bapak Ketua
Pengadilan Negeri ……………
u/p.
Majelis Hakim
Yang memeriksa perkara No. ……….
Di  Jakarta


Dengan hormat,
Untuk dan atas nama klien kami, PT.X ………. yang dalam hal ini diwakili oleh ……………. yang bertindak untuk dan atas nama PT. ……………, alamat …………, berdasarkan Surat Kuasa Khusus (terlampir), selanjutnya sebagai Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekovensi, bersama ini menyampaikan Jawaban dalam Konvensi dan Gugatan dalam Rekovensi, antara lain sebagai berikut :

I.             Dalam Konpensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ……………………..
2.    ……………………, dst.
B.    Dalam Pokok Perkara
3.    Bahwa Tergugat mohon apa yang telah diuraikan di atas dianggap telah termasuk pula dalam pokok perkara ini.
4.    Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat kecuali yang secara tegas diakui oleh Tergugat.
5.    ………….. dst.
II.           Dalam Rekopensi
15. ………………
16. …………….. dst.
Berdasarkan ………/2
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dalam Konpensi/ Penggugat dalam Rekopensi mohon dengan segala kerendahan hati agar Pengadilan Negeri ………… berkenan untuk memutuskan antara lain sebagai berikut :

I.             Dalam Konpensi
A.   Dalam Eksepsi
-     Menerima Eksepsi Tergugat seluruhnya
-     Menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
B.    Dalam Pokok Perkara
-      Menolak Gugatan Penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima
-      Biaya perkara menurut hukum
II.           Dalam Rekopensi
1.    Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya
2.    Menyatakan secara hukum ……………………
3.    ………………………………..
4.    Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan.
5.    Menghukum Tergugat  ………………….
6.    Biaya perkara menurut hukum.






Hormat Kuasa
Tergugat Konpensi/Penggugat Rekopensi,





(………………………………, S.H. )



Replik
Replik merupakan tahapan persidangan yang diberikan kepada Penggugat dimana Penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan hak perdatanya atas sanggahan yang diberikan Tergugat berupa tanggapannya atas Jawaban yang diberikan Tergugat .Relpik tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam  pasal 142 Rv (Reglement op Rechtsverordering).[12]
Dalam Replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat yang dikemukakan dalam jawabannya.Bila dalam jawaban ada dalil-dalil yang bertolak belakang dengan dalilPenggugat dalam gugatannya maka pada tahap replik penggugat akan berusaha memperkuat dalil yang telah dikemukakan tersebut dengan menambahkan pendapat doktrin atau Yurisprudensi yang berkaitan erat dengan dalil yang telah dibantah tergugat tersebut. Sehingga kadang-kadang untuk semakin memperkuat dalil tersebut juga ditambahakan bukti baru yang menambah kejelasan akan dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Dalam replik juga dikemukakan dalil baru yang belum pernah dinyatakan dalam gugatan. Dalil baru tersebut biasanya merupakan dalil yang berdiri sendiri tetapi posoisinya tetap akan semakin memperkuat dalil-dalil gugatan secara keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan dalam gugatan semula. Dengan demikian dapat dikatakan dalil-dalail yang dikemukakan penggugat dalam repliknya merupakan dalil-dalil yang membatah dalil-dalil tergugat dalam jawabannya juga sekaligus semakin mempertegas dan memperkokoh dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Bila ada eksepsi yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya maka penggugat pada repliknya harus memberikan tanggapannya yang cecara keseluruhan berisi dalil-dalil yang mematahkan eksepsi yang dikemukakan tergugat tersebut. Dalil-dalil yang dipergunakan penggugat dalam menangkis eksepsi tersbut harus benar benar mempunyai dasar hukum yang kuat, karena bila tidak kuat bila dalil eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi baik yang absolut maupun yang relatif akan membuat majelis yang memeriksa perkara tersebut menyatakan dirinya tak berwenang untuk memeriksa  tersebut dalam suatu putusan sela. Bila eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk dalam  pokok perkara  seperti eksepsi ne bis in idem maka dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil yang mematahkan atau setidaknya melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti yang mendukungnya beserta yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa yang dimaksud dengan ne bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada eksepsi-eksepsi lain maka penggugat dalam repliknya harus memberikan tanggapan atas eksepsi tersebut apakah membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada bagian pokok perkara dalam replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama adalah menyatakan bila pada bagian eksepsi yang berisi sanggahan atau penolakan atas dalil eksepsi tergugat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya tersebut. Hal ini penting dinyatakan karena hampir sebagian besar eksepsi merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara sehingga harus diperiksa dan diputus bersama-sama dalam pokok  perkara pada putusan akhir.
Kedua, klausul yang berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan menyatakan  diakui bila  ada pengakuan sepanjang memang diakui oleh penggugat. Kmeudian penggugat harus menetukan sikap dan kejelasan pokok masalahnya atas setiap dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat satu demi satu. Penolakan itu harus dimuat dalam repliknya satu demi satu. Bila ternyata dalil-dalail dalam jawaban tersebut mempunyai kesamaan maka penggugat dalam menanggapinya bisa memasukan penolakannya tersebut dalam suatu kesatuan. Bila dalam jawaban tergugat mengajukan eksepsi maka petitum dari replik juga mengalami pergeseran bentuk yang tidak sama dengan petitum dalam gugatan dan petitum dalam jawaban  sepanjang mengenai eksepsinya.
]

REPLIK

Rol Perkara No.  / Pdt. G./2000 /PN …….



Dalam Perkara antara :

PT.Y……………Sebagai Penggugat Konpensi/                                                                                                Tergugat Rekopensi


Lawan


PT.X  …………Sebagai Tergugat Konpensi/
Penggugat Rekonpensi


Jakarta, …………..
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri ……………
u/p.
Majelis Hakim
Yang menerima perkara No. ……….
Di  Jakarta


Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Penggugat Konpensi /Tergugat Rekopensi bersama ini disampaikan Replik sebagai berikut :



I. Dalam Konpensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ………………………
2.    ………………………..
3.    …………………………
B.   Dalam Pokok Perkara
4. Bahwa Penggugat mohon apa yang diuraikan di atas termasuk pula dalam bagian ini.
5. Bahwa Penggugat menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Tergugat keculai secara tegas dan nyata diakui oleh Penggugat.
6.    ……………………………….
7.    ………………………………….
II. Dalam Rekopensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ……………………
2.    ………………….

B.   Dalam Pokok Perkara
1.    Bahwa Tergugat mohon apa yang diuraikan di atas termasuk pula dalam bagian.
2.    Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil Penggugat kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh Tergugat.
3.    ……………………………………………….
4.    ……………………………………, dst.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Penggugat Konpensi /Tergugat Rekopensi mohon dengan segala kerendahan hati agar Pengadilan Negeri ……………….  berkenan untuk memutuskan antara lain :

I.             Dalam Konpensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ………………..
2.    ………………..
B.    Dalam Pokok Perkara
1.    …………………..
2.    …………………., dst.
II. Dalam Rekopensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    …………………
2.    ……………….
B.    Dalam Pokok Perkara
1.    …………………
2.    ……………….
3.    …………………….




Hormat kuasa
Penggugat Konpensi/ Tergugat Rekopensi.





( ………………………………, S.H.)






Duplik
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang dimuat dalam jawaban.
Bila dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka tergugat  dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut dapat merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan dalam dalil tersebut.
Bila perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat mematahkan atau setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya.
Kemudian dalam pokok perkara sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat. Pertama, berisi pernyataan agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian eksepsi dianggap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya. Kedua, merupakan pernyatan yang menolak dalil-dali penggugat secara keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya.
Kemudian dalil-dalil  pada replik harus satu demi satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.
Sedang bentuk petitumnya memakai model yang sama dengan replik namun isinya tentunya harus bertentangan dengan apa yang dikemukakan pada replik tersebut.

DUPLIK

Rol Perkara No.      /Pdt.G/     /PN …….


Dalam Perkara antara :

PT.X……………..Sebagai Tergugat Konpensi/                                                                                Penggugat Rekonpensi

Lawan


PT.Y ………….  Sebagai Penggugat Konpensi /
Tergugat Rekopensi

—————————————————
Jakarta, ………..
Kepada Yth.
Bapak Ketua
Pengadilan Negeri ……………
u/p.
Majelis Hakim
Yang menerima perkara No. ……….
Di  Jakarta


Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekopensi bersama ini mengajukan Duplik, antara lain , sebagai berikut :
I. Dalam Konpensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ……………….
2.    ………………
3.    …………………..
B.   Dalam Pokok Perkara
4.    Bahwa Tergugat mohon apa yang diuraikan di atas dianggap termasuk pula dalam bagian ini.
5.    Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh Tergugat.
6.    …………………..
7.    ……………dst.
II. Dalam Rekopensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    …………………
2.    ………………

B.  Dalam Pokok Perkara
3.    Bahwa Penggugat mohon apa yang diuraikan di atas dianggap termasuk pula dalam bagian ini.
4.    Bahwa Penggugat menolak seluruh dalil-dalil Tergugat kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh Penggugat.
5.    …………….

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekopensi mohon diberikan putusan sebagai berikut :

I.             Dalam Konpensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ……………..
2.    ……………..
B.    Dalam Pokok Perkara
1.    ……………..
2.    ……………, dst.
II.           Dalam Rekopensi
A.   Dalam Eksepsi
1.    ……….
2.    …………, dst.
B.    Dalam Pokok Perkara
1.    ……….
2.    ………….., dst.




Hormat Kuasa
Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekopensi




(……………………………….., S.H.)


















Hukum Pembuktian
DASAR HUKUM/PENGATURAN

1.    Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44  (untuk jawa dan Madura)
2.    Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3.    Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4.    Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5.    Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a.    UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b.    UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c.     UU No. 14/1985 tentang MA. RI


TEORI

1.    Teori yang bersifat SUBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada pelanggaran hak subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak Subyektif harus membuktikan tiadanya hak subyektif tersebut.
2.    Teori yang bersifat OBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada hukum objektif/ UU
3.    Teori yang bersifat KEPATUTAN
Kedudukan Penggugat dan Tergugat sama (Equality before the law)
4.    Teori HUKUM ACARA
Asas “ Audi et Alteram Partem”
5.    Teori yang bersifat hukum PUBLIK


PENGERTIAN PEMBUKTIAN
1. Menurut Prof. Soepomo

-      Dalam arti luas membuktikan berarti, membenarkan hubungan hukum yaitu memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
-      Dalam arti terbatas berarti hanya diperlukan jika apa yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah Tergugat. Dan apa yang tidak dibantah oleh Tergugat tidak perlu dibuktikan. Artinya kebenaran yang tidak dibantah itu, tidak perlu dibuktikan.

2. Menurut Prof. Soebekti

Meyakinkan pada hakim, tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Maka terlihat bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan perkara.

3. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo

a.Dalam arti Logos, berdasarkan suatu axioma yaitu suatu asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak dimungkinkan adanya bukti lawanDDalam arti Konvensional, memberikan kepastian nisbi dengan tingkatan-tingkatan,
= Conviction intime, kepastian berdasarkan atas
perasaan yang bersifat intvitif.
= Conviction Rational, kepastian yangdidasarkan
pertimbangan awal.

b.Dalam arti Yuridis, Dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil bersifat khusus. Pembuktian ini hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Maka Pembuktian dalam arti Yuridis, berarti Memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang peristiwa yang diajukan.

4. Dasar Hukum :

a) Pasal 163 HIR,
Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian atau meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya haknya itu atau adanya kejadian itu

b) Pasal 1865 KUHPerdata,
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

c)    Pasal 164 HIR,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :

c.1 Bukti tulisan,
c.2 Bukti saksi,
c.3 Persangkaan,
c.4 Pengakuan,
c.5 Sumpah.

d)   Pasal 1866 KUHPerdata,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :
d.1 Bukti tulisan,
d.2 Bukti saksi,
d.3 Persangkaan,
d.4 Pengakuan,
d.5 Sumpah.


BUKTI TULISAN

PASAL 1867 KUHPerdata;
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.

PASAL 1868 KUHPerdata;
Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat.

PASAL 1874 KUHPerdata;
Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum ……….

Kekuatan Pembuktian akta :
1.    Akta otentik, Pembuktian sempurna (Ps. 1870 KUHPer, 165 HIR, 285 RBg)
2.    Akta dibawah tangan,
-      Diakui, Ps. 1875 KUHPer, Pembuktian sempurna.
-      Dipungkiri, Ps. 1877 KUHPer, diperiksa dipersidangan oleh hakim

PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI

1. DASAR HUKUM
Pasal 139 s.d. 152, Ps. 168 s.d. 178 HIR,
Pasal 165 s.d. 179 RBg.
Pasal 1895, Pasal 1902 s.d. 1912 KUHPerdata.

2. PENGERTIAN
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di depan persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.
Keterangan tentang peristiwa atau kejadian itu yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh dari berpikir tidak merupakan kesaksian.

3.    LARANGAN SEBAGAI SAKSI
a. Absolute
Ø  Keluarga sedarah atau semenda menurut keturunan lurus dari salah satu pihak. (Pasal 145 ayat (1)  HIR., Pasal 172 ayat (1) RBg., Pasal 1910 ayat (1) KUHPerd.)

Ø  Suami atau isteri salah satu pihak, walaupun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 3, 4 HIR., Pasal 172 ayat 1 sub 3 RBg., Pasal 1910 KUHPerd..)
Pengecualian :
- Kedudukan keperdataan salah satu pihak,
- Mengenai nafkah yang belum dibayar menurut  Buku I
- Alasan pembebasan atau pemecatan kekuasaan orang
tua/ wali;
- Perkara persetujuan perburuhan.

b.    Relatif (sebagai petunjuk tidak disumpah)
Ø  Anak kurang dari 15 tahun (Ps. 145 ayat 1, 3 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)

Ø  Orang gila (Ps. 145 ayat 1 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)
.




PERSANGKAAN

1. DASAR HUKUM
-      Ps. 1915 s.d. Ps. 1922 KUHPerd.
-      Ps. 173 HIR
2. PENGERTIAN
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peritiwa yang tidak terkenal.
Jenis : (Ps. 1915 KUHPerd.)
-      Persangkaan yang ditetapkan oleh Undang-undang (Wettelijk vermoden)
-      Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (Rechtelijk vermoden)

PENGAKUAN

1. DASAR HUKUM
-      Pasal. 1923 s.d. 1928 KUHPerdata
-      Pasal 174 HIR
-      Pasal 312 RBg.

2. PENGERTIAN
Pengakuan adalah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersengketa, tentang apa yang dikemukakan oleh lawannya.

3. MACAM ; (Ps. 1923 KUHPerd.)
Ø  Menurut Undang-undang
a.    Di muka hakim
-      Merupakan bukti sempurna (Ps. 1925 KUHPerd.)
-      Tak dapat ditarik (Ps. 1926 KUHPerd.)
b.    Di luar sidang
-    Diikuti saksi-saksi (Ps. 1927 KUHPerd.)
Ø  Menurut Ilmu Pengetahuan
-      Pengakuan murni,
-      Pengakuan dengan Klausula
-      Pengakuan dengan Kwalifikasi

SUMPAH

1. DASAR HUKUM
-      Pasal 155 s.d. 158 HIR,
-      Pasal 17, Pasal 182 s.d. 185 RBg.
-      Pasal 1929 s.d. 1945 KUHPerd.

2. PENGERTIAN
Sumpah adalah pernyataan khidmat yang dilakukan oleh salah stu pihak yang berkaitan dengan agamanya.

3.MACAM
Sumpah Pemutus (decissoir)
Sumpah Tambahan (supletoir)

Penerapan Pembuktian
Pembuktian dilakukan setelah para pihak melaksanakan tahap replik dan duplik telah selesai dilakukan. Kesempatan pembuktian pertama diberikan kepada Penggugat lebih dulu.Dalam praktek kadang-kadang baik bukti tertulis maupun saksi-saksi m baru kemudian tergugat. Namun ada juga bukti tertulis lebih dulu diberikan kepada penggugat baru tergugat, kemudian pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat setelah itu baru tergugat. Kalau diperlukan baik atas usulan salah satu pihak atau atas pertimbangan majelis hakim dapat juga dihadirkan saksi ahli.Dalam kasus tertentu juga kadangkala ada sidang ditempat lokasi kejadian terjadinya obyek perkara.
Contoh akta pembuktian /daftar bukti


Daftar Bukti Penggugat
Rol perkara No…../Pdt. G/2000/PN……….
1. Bukti P-1     : Kwitansi jual beli antara penggugat dengan tergugat
sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
2. Bukti P-2      : Bukti Giro yang ditolak beserta keterangannya.
3.    dst……..
4.    ……..


Jakarta,
Hormat kuasa,



(…………………….)


Daftar Bukti Tergugat
Rol perkara No…./Pdt.G/2000/PN……….

1. Bukti T-1    :  Akta Notariil Jual beli natara tergugat dengan
penggugat yang dibuat diNotaris/PPAT  Krayoso,
SH., No3 tanggal………
2. Bukti T-2     : Surat somasi tergugat tertanggal………
dst


Jakarta,
Hormat kuasa,



(…………………….



PUTUSAN


PENGERTIAN

Di bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut:
1.    Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.[13]
2.    Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.
3.    Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata.[14]
4.    Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[15]
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstuksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan .
Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis  dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi :
a.    Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.
b.    Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.
c.    Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.
d.    Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e.    Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f.     Tandatangan hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

BAGIAN PUTUSAN
Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
1)   Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial, karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR).
2)   Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat
secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain.

3)   Pertimbangan (alasan-alasan)
Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijke gronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan hukum (rechts gronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 638 k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16 Desember 1970, menyatakan bahwa jika suatu putusan pengadilan kurang cukup pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi yang berakibat batalnya putusan tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372 k/Sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan haruslah dibatalkan.
4)   Amar (dictum) putusan
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968, menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).



PENGGOLONGAN PUTUSAN
Putusan  dapat di golongkan menjadi :
1.    Putusan Sela (Tussenvonnis)
Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut.
Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu :
a.    Putusan Preparatoir.
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b.    Putusan Interlocutoir.
Adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan akhir.
c.    Putusan Incidentieel
Adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d.    Putusan Provisionieel
Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

2.    Putusan Akhir (eindvonnis)
Merupakan putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
a.    Putusan Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
b.    Putusan Constitutief
Adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
c.    Putusan Condemnatoir
Adalah putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya.

PUTUSAN PERDAMAIAN
Merupakan putusan yang dijatuhkan hakim yang isinya menghukum para pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang sebelumnya telah disetujui oleh para pihak.
Berdasarkan pasal 130 ayat (2) HIR jo Putusan MARI No. 1038 k/Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

PUTUSAN GUGUR
Putusan gugur dijatuhkan kepada Penggugat oleh hakim dalam hal Penggugat tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir padahal penggugat telah dipanggil secara sah dan patut (Pasal 124 HIR).
Tentang pemanggilan yang sah dan patut telah diatur dalam HIR pasal 122, 388-390 HIR. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan gugar maka hakim harus terlebih dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan para pihak terutama pihak Penggugat. Bila hakim menemukan bahwa panggilan yang dilakukan oleh juru sita sebelumnya tidak memenuhi syarat pemanggilan yang sah dan patut maka hakim harus memerintahkan pada juru sita untuk mengadakan pemanggilan kembali.
Dalam menjatuhkan putusan agar hakim tidak mempertimbangkan pokok perkara karena memang hakim belum memeriksa pokok perkara gugatan melainkan putusan tersebut dijatuhkan untuk kepentingan tergugat yang hadir di persidangan yang telah mengorbankan tenaga, waktu dan biaya sedang Penggugat sendiri yang lebih berkepentingan terhadap gugatannya tidak hadir di persidangan.
Apabila penggugat hanya hadir pada sidang hari pertama maka terhadap gugatan penggugat tidak dijatuhi putusan gugur melainkan diputus secara contradictoir.

PUTUSAN VERSTEK
Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah walaupun telah dipenggil secara sah dan patut (pasal 125 HIR).
Apabila dalam suatu gugatan terdapat lebih dari satu tergugat dan salah satu tergugat datang pada hari sidang pertama atau bila tergugat atau kuasanya tidak hadir pada hari sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban terhadap gugatan penggugat maka terhadap gugatan penggugat tersebut tidak dapat diputus secara verstek melainkan secara contradictoir.
Pasal 125 ayat (1) HIR memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu putusan verstek dapat dikabulkan :
1.    Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan.
2.    Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3.    Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil secara saah dan patut
4.    Petitum tidak melawan hukum
5.    Petitum beralasan.

PUTUSAN SERTA MERTA
Putusan serta merta merupakan suatu putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu  (uit voerbaar bij voorraad) walaupun terhadap putusan tersebut ada upaya hukum lain (baik upaya hukum biasa maupun luar biasa).Putusan ini diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding, jika :
a.    Ada surat otentik atau tulisan di bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
b.    Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan.
c.    Ada gugatan provisionil yang dikabulkan.
d.    Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrechts.
Pada praktek putusan uit voerbaar bij voorraad sangat sulit dikabulkan karena banyak menimbulkan kesulitan.




















UPAYA HUKUM


PENGERTIAN
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi  (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.

UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1.    BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan  pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.[16]
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.[17]
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1.    Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2.    Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3.    Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4.    Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5.    Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6.    Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7.    Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

2.    KASASI
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya  diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.[18]
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran
perundang-undangan  yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1.    Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2.    Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3.    Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4.     Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5.    Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6.    Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7.    Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)

3.    VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1.    Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2.    Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3.    Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).[19]
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.[20]
Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1.    PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. [21]
Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)   Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2)   Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)   Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[22]
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.

ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)    Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)     Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)


2.    DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).














DAFTAR PUSTAKA

Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan. Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1994.


Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek. Cet.8. Jakarta:  CV. Mandar Maju,1997.


Subekti,  R.  Hukum Acara Perdata,Cet. 2, Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997.


Supomo, Prof. Dr. , S.H. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnja Paramita, 1967.


Syahrani, Riduan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Cet. 1. Jakarta : Sinar Grafika,1994.





EKSEKUSI

A. PENGERTIAN EKSEKUSI
Menurut M. Yahya H.  adalah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.[23]
Menurut Prof.R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).[24]
Menurut Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.[25]
Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan. [26]

B. SUMBER HUKUM EKSEKUSI
Hal menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[27]
Dalam Undang-undang (darurat) No. 1 tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya hukum acara perdata sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang mengenai acara perdata.[28]
Cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatas diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR, namun pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209 sampai pasal 222 HIR yang mengatur tentang “Sandera”, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.[29]
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal 209 sampai dengan pasal 222 HIR, karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah negara Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila Prikemanusiaan, salah satu dari Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan Surat Edarannya diatas Sandera dilarang untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari 1975 Reg. No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, hal. 378-382).[30]
Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi yaitu :
1.    Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 33 ayat (4) yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.
2.    Pasal 33 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 juncto pasal 60 UU No. 2 tahun 1985 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata adalah panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
3.    Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama  diatur dalam Stb.1982 No. 152 pasal 2 ayat (5) menyatakan, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan biasa tentang menjalankan keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini dan Stb. 1937 No. 63-639, pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah No. 45/1957 pasal 4 ayat (5) dan pasal-pasal lain yang berhubungan).
4.    Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.
5.    SEMA No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang-hutangnya dan kalau disandera dan karena itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.[31]

C. ASAS-ASAS EKSEKUSI
C.1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap.
Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat  kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.
Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud  hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu  mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan  bantuan kekuatan umum.[32]
Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang  tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun  putusan tersebut  belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah :
a. Pelaksanaan Putusan lebih dahulu
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh  kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih  dahulu, sekalipun terhadap putusan  itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
Syarat-syarat yang ditetapkan untuk mengabulkan putusan serta merta jumlahnya terbatas dan jelas tidak bersifat imperatif.  Syarat-syarat itu berupa :
a.1. Adanya  akta otentik atau tulisan tangan yang menurut Undang-undang    mempunyai   kekuatan bukti. a.2. Ada putusan  lain yang sudah ada dan sudah mempunyai kekuatan hukum pasti.
a.3. Ada  gugatan provisi yang dikabulkan.
a.4. Sengketa yang ada sekarang mengenai bezitsrecht.[33]
 

b. Pelaksanaan putusan provisi
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengemal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu  yang bersifat  sementara mendahului  putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan  provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).
c. Akta Perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.
d. Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang  dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.[34]
C. 2. Putusan  Tidak dijalankan secara Sukarela.
Dua cara menjalankan isi putusan, yaitu :

C.2.a. Secara sukarela

Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan.  Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela  memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti  isi putusan telah selesai dilaksanakan maka  tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi).
Untuk  menjamin pelaksanaan isi putusan  secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi  dan   ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan  Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan  pegangan oleh hakim.
Keuntungan  menjalankan amar putusan  secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.

C.2.b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi

Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela,  sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah  dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk  melakukan eksekusi bahkan  bila diperlukan dapat  dimintakan  bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya  eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.

C.3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator

Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung  unsur penghukuman tidak dapat  dieksekusi (Non-eksekutabel).
Menurut sifatnya amar atau diktum  putusan dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
a)     Putusan Condemnator, yaitu  yang amar putusannya berbunyi    “ Menghukum dan seterusnya”;
b)     Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut hukum,  dan
c)     Putusan yang Konstitutif, yaitu   yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.[35]
Putusan yang bersifat kondemnator biasanya terwujud  dalam perkara yang berbentuk Contentiosa (kontentiosa) dengan ciri-ciri :
1. 2.

3.
Berupa sengketa atau perkara yang bersifat partai Ada pihak penggugat  yang bertindak mengajukan gugatan  terhadap pihak tergugat, dan
Proses pemeriksaannya berlangsung secara Contradictoir, yakni pihak penggugat dan tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.[36]


C. 4. Eksekusi  atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh  satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan  Negeri yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita  berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam  bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut  Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat  sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak  jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang  akan dijalankan oleh jurusita  dan panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.[37]

D. MACAM-MACAM EKSEKUSI
D. 1. Eksekusi yang  diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
Apabila seseorang enggan untuk  dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah  dilakukan sita jaminan, maka  sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan  ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Apabila sebelumnya belum dilakukan  sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar  jumlah  uang yang harus dibayar  menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.


D. 2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana seorang dihukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan.
Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara  yang istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah  uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negri yang  memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.
D. 3. Eksekusi riil yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur
dalam HIR
Perihal ini tidak diatur dalam HIR pasal 200 ayat(11) yang mengatur lelang menyebut eksekusi  riil.
“ Jika perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya.”
Pasal ini memberi petunjuk sedikit tentang bagaimana eksekusi riil harus dijalankan. Pengosongan dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau anggota Polisi Militer, apabila yang dihukum untuk melakukan pengosongan rumah  itu anggota ABRI misalnya.
Meskipun eksekusi riil tidak diatur secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim dilakukan, oleh karena dalam praktek sangat diperlukan.[38]

E. TAHAP-TAHAP/PROSEDUR PERMOHONAN EKSEKUSI GROSSE AKTA HAK TANGGUNGAN
Sebelum mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri harus disiapkan surat permohonan eksekusi. Surat permohonan eksekusi ini diajukan  kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pilihan hukum yang tertera dalam akta Hak Tanggungan dengan dilampiri dokumen-dokumen hukum yang diperlukan. Dokumen-dokumen hukum yang diperlukan adalah :
1)   Asli Surat Kuasa dari kreditur yang bersangkutan bila yang mengajukan permohonan adalah kuasa dari Kreditur.
2)   Copy Perjanjian Kredit dan atau Akta Pengakuan Hutang beserta perpanjangan-perpanjangannya dan/atau perubahan-perubahan perjanjian kredit tersebut yang telah di nazegling (Pemateraian di Kantor Pos).
3)   Copy Sertifikat hak atas tanah berikut dengan dokumen kelengkapannya (Misalnya Ijin Mendirikan Bangunan, jika ada) yang telah di nazegel Kantor Pos..

4)   Copy Sertifikat Hak Tanggungan (Berikut dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang telah di nazegling.
5)   Copy Surat Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang telah di Nazegling (jika ada).
6)   Copy Surat Peringatan/teguran kepada debitur yang telah di nazegling.
7)   Copy Catatan/ Pembukuan Bank yang membuktikan besarnya jumlah hutang debitur (Outstanding) yang telah di nazegling.[39]
E.1. AANMANING
Setelah permohonan diajukan dan surat kuasa khusus di daftarkan dan pengadilan menganggap permohonan tersebut dapat diterima, maka Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan Aanmaning (Tegoran/peringatan) kepada Debitur dan atau penjamin. Pengertian Aanmaning dihubungkan dengan menjalankan putusan menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa “Teguran” kepada tergugat agar tergugat menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai tenggang waktu peringatan, Pasal 196 HIR menentukan batas maksimum yaitu delapan (8) hari sejak debitur dipanggil untuk menghadap peringatan adalah :
1)   Dalam batas waktu yang diberikan diharapkan debitur dapat menjalankan putusan secara sukarela.
2)   Bila tidak terlaksana, maka sejak itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa.[40]
Isi teguran harus sesuai dengan seluruh bunyi amar putusan yang bersifat penghukuman. Peneguran tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak merupakan pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya tinggal mengenai pelaksanaan putusan tentang sengketa itu. Setiap teguran dilakukan dengan membuat berita acara, maksudnya agar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa peneguran telah dilakukan).[41]
Berapa orang dan siapa-siapa yang akan ditegur dapat diketahui dari surat permohonan yang dalam amar putusan juga dikutip atau dikurangi, akan tetapi tidak selalu semua yang dihukum sama orangnya dengan pihak-pihak dalam permohonan. Tereksekusilah sebagai pihak yang sebenarnya bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan putusan dan ia pula yang memikul tanggung jawab terhadap orang lain yang ada hubungan dengannya sebagai pihak.[42]
Pemanggilan harus memenuhi syarat syah yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu minimal 3 hari kerja, dan disampaikan kepada yang berhak atau kepala desa/Lurah setempat bila yang bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat diulangi sampai dua kali atau langsung dilanjutkan proses eksekusinya.[43]
E.2.1. SITA EKSEKUSI
Apabila batas waktu yang diberikan kepada Debitur dan atau Penjamin untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya secara sukarela telah lewat waktu (tidak ada pelunasan/perdamaian), maka selanjutnya Bank/Kreditur mengajukan permohonan Sita Eksekusi atas tanah yang dijaminkan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Penetapan sita eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning, dan harus disusul dengan tahap penetapan penjualan umum/lelang oleh jawatan tersendiri dan setiap proses dibarengi dengan tata cara serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Secara garis besar ada dua macam cara peletakan sita yaitu Sita Jaminan dan Sita eksekusi.
Sita Jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjual belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Ada dua macam Sita Jaminan yaitu Sita Conservatoir (Conservatoir beslag) yaitu sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat baik yang bergerak atau yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau dengan lain perkataan bahwa barang-barang tersebut tidak dapat dialihkan, diperjual-belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Jenis Sita Jaminan yang lain adalah Sita Revindicatoir (Revindicatoir beslag), yaitu bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, akan tetapi juga terhadap barang-barang bergerak milik pihak penggugat sendiri yang ada pada penguasaan tergugat juga dapat diletakkan sita jaminan.[44]
Sita Eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[45]
Ada dua macam sita eksekusi, yaitu  Sita Eksekusi yang langsung, adalah sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau termohon eksekusi. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta hipotik atau grosse akta hak tanggungan yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau sita eksekusi lanjutan apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian di lelang. Jenis sita eksekusi yang lain adalah Sita Eksekusi yang tidak langsung, adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat (8) HIR).[46]
Letak perbedaan yang paling pokok antara sita jaminan dan sita eksekusi adalah pada tahap proses pemeriksaan perkara. Pada Sita Jaminan, tindakan paksa perampasan hak untuk ditetapkan sebagai jaminan kepentingan penggugat dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara, sedangkan sita eksekusi penyitaan yang bertujuan menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan kepentingan pembayaran sejumlah uang kepada penggugat/pemohon dilakukan pada tahap proses perkara yang bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.[47]
Makna sita eksekusi yang dapat dirangkum dari Pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1) HIR, adalah Penyitaan harta kekayaan termohon/debitur setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Penyitaan sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pihak pemohon (Kreditur/bank). Cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta kekayaan termohon yang telah disita. Perampasan harta kekayaan debitur/Termohon eksekusi adalah sebagai dana pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya.[48]
E.2.2. TATA CARA SITA EKSEKUSI
1. Berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri
Merupakan syarat formal pertama, surat perintah tersebut berupa surat penetapan sita ekseskusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul atau keluarnya Surat Penetapan tersebut adalah :
a)    Termohon tidak mau menghadiri panggilan  peringatan tanpa alasan yang syah.
b)   Termohon tidak memenuhi putusan selama masa peringatan.
2. Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita
Surat perintah/penetapan sita eksekusi berisi  perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan termohon yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) HIR Isi pokok surat perintah sita eksekusi adalah  :
  • Penunjukan nama pejabat yang diperintahkan
  • rincian jumlah barang yang hendak disita eksekusi.
Undang-undang memisahkan fungsi Ketua Pengadilan Negeri dengan panitera atau juru sita. Ketua Pengadilan Negeri berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi (Pasal 195 ayat (1) HIR), sedangkan Panitera atau juru sita sebagai pejabat yang menjalankan eksekusi secara  mutlak. Pejabat yang terlibat dalam eksekusi merupakan satu kesatuan yang utuh, baik dalam pelaksanaan  maupun pertanggungjawabannya.
3. Pelaksanaan dibantu Dua Orang Saksi
Merupakan syarat formal, baik pada sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai pasal 197 ayat (6) HIR. Bila syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah. Kedua orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu berkedudukan sebagai pembantu dan sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi. Agar syarat formal terpenuhi maka kedua orang pembantu yang menyaksikan jalannya pelaksanaan sita eksekusi harus mencantumkan nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua saksi dalam berita acara sita eksekusi. Kedua orang saksi ikut menandatangani asli dan salinan berita acara sita eksekusi, sebagai syarat sah berita acara Sita Eksekusi. Syarat penunjukan saksi sesuai Pasal 197 ayat (7) HIR adalah: telah berusia 21 tahun, berstatus penduduk Indonesia, dan memiliki sifat jujur atau dapat dipercaya, umumnya diambil dari pegawai Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
4. Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat
Berdasarkan Pasal 197 ayat (5),(9) HIR tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak di sita.Hal ini disyaratkan agar panitera atau juru sita dapat melihat sendiri jenis atau ukuran dan letak barang yang akan disita bahkan harus dapat memastikan bahwa barang tersebut benar-benar milik termohon, hal ini disebabkan penyitaan berdasarkan rekaan tidak dibenarkan.
5. Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi
Merupakan satu-satunya bukti otentik kebenaran sita eksekusi. Sita eksekusi sebagai tahap awal menuju penyelesian  eksekusi merupakan tindakan yustisial yang harus bisa dipertanggung jawabkan Ketua Pengadilan Negeri dan juru sita. Tanpa berita acara, sita eksekusi dianggap tidak pernah  terjadi.
Hal penting yang harus tercantum  dalam Berita Acara Sita Eksekusi adalah :
  • Memuat nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang saksi.
  • Merinci secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.
  • Ditandatangani Pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
  • Tidak diharuskan hukum ikutnya pihak tersita atau kepala desa menandatangai berita acara.
  • Pemberitahuan isi berita acara kepada pihak tersita, maksudnya untuk perlindungan hukum.
6. Penjagaan Yuridis Barang yang Disita
Berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR, penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada ditangan tersita, sebab bila  penjagaan dan penguasaan barang yang disita diberikan  kepada pemohon sita maka seolah-olah sita itu sekaligus langsung menjadi eksekusi. Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilaksanakan penjualan lelang. Penempatan barang sita  eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain dengan alasan demi keselamatan barang sitaan. Penguasaan penjagaan disebut secara tegas dalam  berita acara sita, sebagai syarat formal hak penjagaan.
Sepanjang barang yang habis dalam pemakaian, tidak boleh dipergunakan  dan  dinikmati tersita.
7. Ketidakhadiran Tersita Tidak Menghalangi Sita Eksekusi.
syarat-syarat yang paling pokok mendukung keabsahan tata cara sita eksekusi antara lain :
Barang yang disita benar-benar milik pihak tersita (termohon)
Mendahulukan penyitaan barang yang bergerak, dan apabila tidak mencukupi baru dilanjutkan terhadap barang yang tidak bergerak, sampai mencapai batas jumlah yang dihukum kepada penggugat.
Tata cara pengumuman Sita Eksekusi, pengumuman ini khusus mengenai sita yang diletakkan terhadap barang yang tidak bergerak, sedang terhadap barang yang bergerak tidak diperlukan syarat pengumuman sita (Pasal 198 ayat (1) HIR). Tata cara yang ditentukan dalam pasal 198 ayat (1) HIR terdiri dari dua instansi, yaitu :
1.    Mendaftarkan berita acara sita dikantor yang berwenang untuk itu dengan cara “menyalin” berita acara sita dalam daftar yang ditentukan :
  • Di Kantor Pendaftaran Tanah (Agraria), apabila tanah yang disita bersertifikat(Stb.1834 No. 27 Jo. PP No. 10/1961)
  • Dikantor kepala desa dalam buku Letter C, apabila tanah yang disita belum memiliki sertifikat (Stb. 1834 No. 27)
  • Mencatat jam, hari, bulan, dan tahun pengumuman penyitaan



2. Pejabat  pelaksana sita eksekusi, memerintahkan  kepala desa mengumumkan penyitaan barang yang telah disita dengan cara :

  • Pengumuman menurut kebiasaan setempat, dengan maksud agar penyitaan diketahui secara luas oleh masyarakat sekitarnya.

Setelah sita eksekusi diumumkan dengan cara mendaftarkan berita acara sita dikantor yang berwenang barulah sita tersebut mempunyai kekuatan hukum  mengikat terutama pada pihak ketiga disamping sita eksekusi tersebut sudah sah secara formal serta kekuatan hukum mengikatnya berlaku kepada semua pihak. Begitu suatu sita eksekusi dikatakan mempunyai daya ikat maka terhadap sita eksekusi tersebut tidak dapat tergoyahkan dan mempunyai kekuatan eksekutorial.[49]
E.3.1. LELANG
Setelah pengadilan mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi berikut Berita Acara Sita Eksekusi, dan  terhadap pelaksanaan sita eksekusi itu telah berdaya ikat, maka Bank/Kreditur dapat segera mengajukan permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengertian lelang berdasarkan Pasal 200 ayat(1) HIR dikaitkan dengan Pasal 1 Peraturan Lelang (LN. 1908 No. 189) secara terperinci adalah : Penjualan di muka umum harta kekayaan  termohon yang telah di sita eksekusi atau dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik termohon (debitur), yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang (juru lelang) dan cara penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat, atau semakin menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran).
Pengadilan Negeri yang hendak melakukan eksekusi pembayaran sejumlah uang harus meminta bantuan kantor lelang untuk menunjuk seorang pejabat juru lelang menjual barang yang disita (Pasal 1 a Peraturan Lelang LN 1908 No. 189), pengecualian

ketentuan tersebut diatur dalam pasal dan ayat yang sama yaitu “Dengan peraturan pemerintah penjualan lelang dapat dibebaskan dari campur tangan juru lelang”. Pasal 2 LN. 1908 No.189 memberikan hak pada juru lelang untuk menunjuk kuasa menggantikannya, dan perbuatannya itu tidak membuat batal lelang yang dilakukan.[50]
Penentuan penjual lelang sangat penting sebab penjual lelanglah yang berhak menentukan syarat-syarat penjualan lelang (Pasal 200 ayat(1) HIR dan Pasal 1 b beserta Pasal 21 Peraturan Lelang) yaitu pejabat atau orang yang ditentukan undang-undang dan peraturan yang diberi kuasa mewakili pemilik untuk menjual lelang suatu barang . Pada eksekusi penjualan lelang menurut pasal 195, 196 dan 197 ayat(1), serta 224 HIR  pihak penjual lelang adalah Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri. Dengan kata lain undang-undang memberi kuasa kepada Ketua Pengadilan Negeri menjual lelang barang harta kekayaan termohon, guna memenuhi pembayaran kepada pihak pemohon. Sedang menurut Pasal 4 dan 5 UU No. 49 Prp tahun 1960 PUPN bertindak sebagai penjual mewakili pihak debitur.[51][52]
E.3.2. TATA CARA PENGAJUAN  LELANG
Pasal 5 kalimat pertama Peraturan lelang menyatakan “Seorang yang bermaksud mengadakan penjualan di muka umum memberitahukan hal itu kepada juru lelang, dan dalam pemberitahuan itu disebutkan kapan hari penjualan ingin dilakukan”. Kalimat kedua pasal 5 diatas menegaskan bahwa permintaan lelang yang diterima kantor lelang ditulis dalam daftar sehingga yang berkepentingan dapat melihat hal-hal sehubungan dengan permintaan lelang, tujuannya selain memenuhi fungsi administratif juga memberi kesempatan bagi pihak yang berkepentingan melihat dan meneliti surat- surat yang bersangkutan. Kalimat ketiga pasal yang sama menyatakan bahwa pada prinsipnya kantor lelang terikat pada hari yang ditentukan oleh peminta lelang sepanjang hal itu sesuai dengan aturan khusus yang dikeluarkan Menteri Keuangan.
Dokumen yang harus disampaikan ke Kantor Lelang untuk melaksanakan pelelangan berdasarkan grosse akta hak tanggungan adalah :
  • Surat permintaan lelang
  • Sertifikat Hak Tanggungan
  • Somasi(Peringatan) min. 30 hari sebelum pelelangan
  • Syarat penjualan lelang dari penjual
  • Grosse Akta Hak Tanggungan
  • Sertifikat Tanah
  • Pengumuman lelang 2 kali 15 hari di surat kabar
  • Jumlah rincian hutang


Pasal 7 Peraturan Lelang menegaskan bahwa juru lelang tidak berwenang menolak permintaan lelang sepanjang permintaan masih meliputi kawasan daerah hukum kantor lelang yang bersangkutan.
Pasal 200 ayat (4) HIR memberikan hak kepada pihak tereksekusi dalam hal ini debitur untuk mengatur urutan penjualan barang yang akan dijual, tetapi hak yang diberikan  hanya sebatas itu saja.
Yang berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah penjual lelang yaitu Pengadilan Negeri tetapi pemberian syarat itu dibatasi oleh Tambahan Lembaran Negara No. 4299 yaitu, harus berpedoman dan tidak boleh menyimpang dari ketentuan Peraturan Lelang. Hak Penjual Lelang selain menentukan syarat penjualan adalah menentukan cara pelelangan dan mengubah cara pelelangan terhadap barang yang telah dilelang, apabila penjual belum meluluskan penjualan lelang yang bersangkutan. Syarat-syarat lelang yang diatur dalam Peraturan Lelang No.189 tahun 1908 antara lain :
a)    Penawaran dilakukan melalui pendaftaran (pasal 9 alinea kedua) dengan menulis nama, pekerjaan dan harga penawaran dengan rupiah dan ditandatangani oleh yang bersangkutan ke kantor lelang setempat, akan tetapi ketentuan ini dapat disimpangi.
b)   Seorang peminat hanya dibolehkan mengajukan satu surat penawaran (pasal 9 alinea ketiga).
c)    Peminat menyetorkan panjar lebih dulu, sebagai tanda kesungguhannya secara lunas tunai dalam jangka waktu tertentu ke tempat penjual atau kantor lelang.
d)   Bila patokan harga terendah tidak tercapai, penjualan lelang ditunda dan  akan diadakan pengumuman lelang lanjutan atas biaya debitur.
e)    Bila patokan harga terendah  tidak tercapai lelang dapat  dilanjutkan dengan penawaran langsung (terbuka dan lisan) secara  tawaran meningkat atau menurun dan  menyerahkan penetuan harga yang patut pada pihak penjual.
f)     Pembayaran dengan tunai, sesuai pasal 22 Jo.Pasal 29 Peraturan Lelang, berdasarkan praktek diberi batas waktu 24 jam.
Agar syarat penjualan lelang yang sah secara materil mengikat dan sah secara formal maka,syarat lelang yang bersangkutan harus dilampirkan pada surat permohonan  lelang ke kantor lelang dan syarat lelang harus terbuka untuk umum.
Harga patokan terendah adalah harga  yang dianggap sesuai dengan nilai barang yang ditentukan lebih dahulu (minimal 3 hari sebelum lelang) oleh   pengawas Kantor Lelang Negara (Pasal 9 alinea pertama) berdasarkan kepatutan, keadaan atau kondisi  barang yang hendak dilelang, faktor ekonomis. Disamping itu tujuannya adalah sebagai indikator harga penjualan lelang yang dapat disetujui dan dibenarkan. Tidak adanya patokan harga terendah tidak menyebabkan lelang menjadi batal, lelang yang telah dilakukan  adalah sah  demi melindungi kepentingan pembeli lelang yang beritikad baik.
Pembocoran patokan harga terendah kepada pihak lain (Pihak penjual, pemohon atau termohon lelang) dari pengawas kantor lelang mengakibatkan penjualan lelang batal.
Pengumuman lelang merupakan syarat formal penjualan lelang, tidak terpenuhinya syarat ini menyebabkan lelang batal demi hukum. Kantor lelang terlebih dahulu akan melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan atas dokumen-dokumen tanah yang akan dilelang dengan meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), selanjutnya Kantor Lelang mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri mengenai tanggal pelaksanaan lelang.[53]
Pengumuman lelang benda bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (6) HIR, yaitu jumlah Pengumuman tidak ditentukan, dilakukan pada waktunya maksudnya adalah dapat dilakukan sesaat setelah sita eksekusi atau mulai aanmaning bila benda tersebut sudah disita jaminan, pengumuman dilakukan menurut kebiasaan setempat, akan tetapi perlu diingat bahwa penjualan lelang paling cepat delapan hari dari tanggal penyitaan barang.
Pengumuman dan penjualan barang yang tidak bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (9) HIR hanya satu kali melalui surat kabar selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari penjualan. Sedangkan Pasal 200 ayat (7) dikatakan pengumuman penjualan lelang barang yang bergerak jila bersamaan serentak dengan barang yang tidak bergerak mesti dilakukan 2 kali berturut-turut dengan selang minimum 15 hari.
tetapi dalam praktek Pengadilan Negeri menghendaki pengumuman lelang untuk benda tidak bergerak dilakukan 2 kali dengan selang 15 hari melalui surat kabar, dan pelaksanaan penjualan lelang sendiri baru bisa dilaksanakan 14  hari setelah pengumuman  kedua.
Bentuk penawaran lelang yang ada dan biasa digunakan penawaran tertulis, ditulis dalam bahasa Indonesia, dengan huruf latin, memuat dengan jelas identitas  penawar (nama, pekerjaan, tempat tinggal), ditandatangani penawar. Apabila patokan harga terendah belum tercapai penawaran dilanjutkan dengan penawaran lisan dengan syarat yang ditetapkan penjual.[54]
Lelang dilaksanakan di Kantor Pengadilan Negeri, Kantor Lelang Negera atau di Lokasi tanah dan dipimpin oleh Panitera Kepala Pengadilan Negeri didampingi oleh Pejabat Kantor Lelang.
Pengaturan risalah lelang terdapat dalam Pasal 35 Peraturan Lelang. Yang dimaksud dengan risalah lelang adalah sama artinya dengan “berita acara’ Lelang, yang merupakan landasan otentik penjualan lelang, tanpa risalah lelang, lelang yang dilakukan dianggap tidak sah. Risalah lelang mencatat segala peristiwa yang terjadi pada penjualan lelang.
Yang membuat risalah lelang adalah juru lelang. Pola rincian isi risalah lelang telah diatur dalam pasal 37 Peraturan Lelang, yaitu terdiri dari :
A. Bagian Kepala, yang terdiri dari :
1. 2.
3.
4.
5.


6.
7.


8.
Tanggal, bulan dan tahun “dengan huruf” Nama kecil juru lelang atau  kuasanya
Nama tempat kedudukan juru lelang atau kuasanya
Nama kecil pemohon eksekusi,pekerjaan dan  tempat kediamannya
Nama atau kedudukan pihak penjual,dan atas dasar apa serta atas nama siapa penjualan lelang dilakukan, serta uraian tentang keyakinan juru lelang bahwa pihak penjual memang berhak untuk menjualnya
Tempat di mana penjualan dilangsungkan
Keterangan secara umum sifat barang yang hendak dilelang, khusus untuk benda tidak bergerak disebutkan lokasi, batas, dan status hak kepemilikannya sesuai bukti kepemilikannya
Uraian tentang syarat penjualan lelang yang ditentukan oleh pihak penjual



B.Bagian Badan, terdiri dari :
1. 2.


3.
Uraian jalannya pelelangan Nama, pekerjaan dan tempat tinggal pembeli lelang (tempat penjualan lelang  apabila pembeli tidak tetap tempat kediamannya)
Besarnya harga penjualan lelang dengan angka dengan penjelsana bahwa harga itu sesuai atau tidak dengan patokan harga yang diatur Pasal 9

C. Bagian Kaki, terdiri dari :
1. 2. Menyebutkan jumlah barang yang laku (terjual) Menyebut sisa barang yang ada

Bila pembeli bertindak untuk dan atas nama kuasa maka surat kuasanya dilampirkan dan dicatat dalam berita acara, sedang bila pemberian kuasa itu secara lisan maka diterangkan dalam berita acara.
Penandatanganan risalah lelang berdasarkan pasal 38 Peraturan Lelang ada dua cara yaitu :
1.    Penandatanganan setiap lembar oleh juru lelang yang bersangkutan (Pasal 28 ayat(1)), bila tidak dilakukan penjualan lelang dapat dibatalkan.
2.    Agar risalah lelang sempurna sebagai akta otentik, selain ketentuan diatas pada bagian akhir risalah lelang harus ditandatangani oleh  juru lelang dan pihak penjual. Ketidak  hadiran pihak penjual tidak mengakibatkan lelang tertunda, cukup dicatat dalam risalah lelang sebagai ganti tanda tangan pihak penjual yang tidak hadir.[55]
Pembeli dianggap sungguh-sungguh telah mengetahui apa  yang telah ditawar, beli olehnya. Apabila terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan ia tidak dapat menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskannya semua hak untuk meminta ganti kerugian apapun. Pembeli juga tidak boleh menguasai  barang yang dibelinya sebelum ia melunasi uang pembelian yang terdiri dari harga pokok, bea lelang dan uang miskin.[56]






DAFTAR PUSTAKA


BUKU

Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang Hukum Pembuktian Jilid I.
Bandung : Binacipta, cet.I, 1981.
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang Hukum Pembuktian Jilid II.
Bandung : Binacipta, cet.I, 1981.
Asser, C. Pengajian Hukum Belanda. Jakarta : Dian Rakyat,
cet.I, 1991.
——-Rechtspraakkoverzicht Bewijslastverdeling. Kluwer :
Gouda Quint bv-Arhem, 1995.
——-Bewijslatverdeling. Kluwer : Gouda Quint bv-Arhem,
1995.
Anser, W.D.H. Perubahan Hukum Acara Perdata Nederland. (Alih
Bahasa oleh Retnowulan Sutantio)Jakarta : Bina Justitia,
Mahkamah Agung, 1994.

Bidara.O . et.al. Hukum Acara Perdata. Cet.2. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.
Binawan Al Andang. Hukum, Hakim, Hikmat Catatan Tambahan Untuk Prof. Satjipto Rahardjo. Kompas tanggal 1 November 2002.
Budiarto, Ali.Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hutang Piutang.Cet.1. Jakarta : Ikahi. April 2000.

Bachar,Djazuli. EksekusiPutusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum. Cet. 2. Jakarta : CV. Akademika Pressindo Anggota IKAPI, 1995
Dijksterhuis H.L.G- Wieten. Bewijsrecht In Civiele
Procedure. Kluwer : Deventer, Tweede Druk, 1992.

Departemen Hukum dan Perundang-Undangan. Rancangan UU-RI Tentang Hukum Acara Perdata.Direktorat Perundangan-Undangan, Tahun 1999/2000.
Dirdjosisworo, Soedjono. Memorandum Hukum (Media Untuk Melatih Penulisnya Menerapkan Hukum Positif Dalam Meyelesaikan Perkara). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Cet. 3. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Koesmojo, Ida. Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam
Penyelesaian Perkara Perdata di Nederland. Jakarta : Bina
Justitia, 1994.
Koesnoe, Moh. Dasar-Dasar Ke-Tidak Pastian Hukum
Dalam Tata Hukum Kita Dewasa Ini (Suatu
Lintasan Tentang Dasar Perkembangannya)Majalah
Hukum Varia Peradilan No. 133,Oktober 1996.
Mulyadi, Lilik. Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara
Perdata Pada Praktek Pengadilan. Jakarta : Jambatan,
1996.
Mahkamah Agung RI. Abstrak Surat Petunjuk Mahkamah Agung RI Tahun 1951-1993. Jakarta:1997.
—– Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku II.Cet.2. Proyek Pembinaan Tehnis Yudistisial Mahkamah Agung RI, 1997.
—– Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1996.
—– Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1997.
—– Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1998.
—– Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1999.
—– Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 2000.
—– Abstrak Surat Petunjuk Mahkamah agung RI Tahun 1951-1993. Mahkamah Agung, 1997.
—–Himpunan Pranata Peradilan.Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1979.
—– Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tahun 1951-1978. Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, 1979.
—— Pendalaman Materi Hukum I,II dan III. Proyek Peningkaan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI, 1993.


Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Cet. 3. Bandung : Bina Cipta, 1989.


Supomo, R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Cet. 9. Jakarta : PT.  Pradnya Paramita, 1986.

Sutantio, Retno Wulan., Iskandar, Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Cet. IV. Bandung : Mandar Maju, 1989.
Sidharta, Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu
Hukum. Bandung: Mandar Maju,1999.
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan, Pribadi
Penanggungan (Borgtoch) Dan Perikatan Tanggung
Menanggung. Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 1995.
Setiawan. Aneka Masalah hukum dan Hukum Acara
Perdata. Bandung : Alumni1992.

MAKALAH

Tampubolon, Thomas E. “Masalah Eksekusi Lelang dalam Praktek”. Makalah disampaikan pada Seminar Hak Tanggungan di Jakarta, 3 Juli 1993.


Teknis Peradilan Perkara Perdata. Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Para Kepala Pengadilan Tingkat Pertama dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia. Seminar diadakan di Bandung ,16-20 Januari 1994.





[1] Surat Edaran Menteri Dalam Negri No. 14 Tahun 1982 yang ditujukan kepada PPAT seluruh Indonesia.
[2] Putusan MA-RI No.531K/Sip/1973 tgl.25 Juli 1974 yang memberi fatwa: “Surat kuasa umum tak dapat dipakai sebagaimana surat kuasa khusus untuk berperkara diPengadilan”.
[3] Tim Redaksi Tatanusa . Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara kepailitan. Jakarta:PT. Tatnusa, cet. 1, thn. 1999.
[4] Soebijakto. Makalah yang disampaikan dalam Program Pendidikan Lanjutan Hukum Bidang Konsultan Hukum dan Kepengacaraan, September 1992-Januari 1993. FHUI.
[5] Ali Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang.Jakarta: Ikahi, Cet. I., April 2000.
[6] Putusan Pengadilan Negri Suarabaya tanggal. 20 Maret 1979 No. 145/1978/Perdata jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal. 19 Maret 1984 No. 175/1983/Perdata jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal. 18 Februari 1988 No. 488K/Pdt/1986.
[7] Putusan MA-RI No. 431 K/Sip/1973 tgl. 9 Mei 1974.
[8] Loc. Cit.Tim Redaksi Tata Nusa.
[9] Putusan MA-RI No. 4 K/Rup/1958 tgl. 13 Desember 1958.
[10] Putusan MA-RI No. 2678 K/Pdt/1992 tgl. 27 Oktober 1994 jo Putusan Pengadilan Tinggi Aceh No. 41 K/Pdt/1992/PT. Aceh tgl. 13-4-1992 jo Putusan Pengadilan Negri Lhokseumawe No.477/Pdt/1991/PN. Lhokseumawe tgl. 19Nopember 1991.
[11] Putusan MA-RI No. 1149 K/Sip/1975 tgl. 17 April 1969 .
[12] Darwan Prinst, S.H. Strategi  Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata., PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1992, hal. 156.
[13] Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H. Pengantar Hukum Acara Perdata,penerbit: Alumni, Bandung,1974, hal. 105.
[14] Ridwan Syahrani, S.H.,Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,penerbit: Pustaka Kartini, Jakarta,1988, hal. 83.
[15] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,penerbit: Liberty,Jogyakarta,1993,Hal. 174.
[16] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal. 94,
[17] Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta: CV. Mandar Maju,1997), hal.149.
[18] sutantio,op.cit., hal 163.
[19] Supomo, Prof. Dr. , S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hal 39.

[20] Ibid.
[21] R. Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[22] R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172.
[23] M. Yahya Harahap, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991), hal. 1
[24] Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hal.130.
[25] Djazuli Bachar, S.H., Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal. 6
[26] Prof. Dr. R. Supomo, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta :P T.Pradnya Paramita, 1986), hal 119
[27] Djazuli, Op.cit., hal 12
[28] ibid
[29] M.Yahya H. S.H.,Op.cit.,hal 2.
[30] Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet. VI.(Bandung:Mandar Maju, 1989), hal. 122
[31] Djazuli Op.cit, hal. 13-19
[32] M.Yahya.H. Op.cit. hal 6
[33] Djazuli, Op.cit.,hal 30
[34] M Yahya H. Op.cit.,hal. 7-9
[35] Prof. R.Subekti, S.H., Op.cit, hal 127
[36] M. Yahya H.Op.Cit., hal 12
[37] ibid, hal 18
[38] RetnoWulan, Iskandar, Op.cit.,123-122
[39] wawancara dengan staff DPK- KP Bank Danamon Indonesia.
[40] M. Yahya H., Op.cit.,hal 26-27
[41] Djazuli, Op.cit.,hal 74
[42] ibid.,hal 75
[43] Pasal 122dan 390 HIR
[44] Ny. Retnowulan S., Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit., hal 91
[45] M. Yahya H.,Op.cit.,hal 62
[46] Teknis Peradilan Perkara Perdata, Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Ri dengan Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, (Bandung: 16-20 Januari 1994), hal 30-31
[47] M. Yahya H. Op.cit., hal 62
[48] ibid.
[49] ibid.,hal 68-92
[50] ibid.,103
[51] ibid.,hal 107
[52] Op.cit., Djazuli Bachar, hal 64
[53] Thomas E. Tampubolon, SH, Masalah Eksekusi Lelang Dalam Praktek, Business Dinner Meeting AAI, Hotel Grand Hyatt, Jakarta, 3 Juli 1993.
[54] Op.cit. M. Yahya H., hal102-162.
[55] ibid,hal 189
[56] Bahan Rapat KerjaNasional Mahkamah Agung RI, Loc.cit., hal 44
Ikuti

Get every new post delivered to your Inbox.