. Perbedaan Tergugat dengan Turut Tergugat adalah Turut Tergugat hanya tunduk pada isi putusan hakim di pengadilan karena Turut Tergugat ini tidak melakukan sesuatu (perbuatan). Misalnya, dalam kasus perbuatan melawan hukum (“PMH”), Tergugat melakukan suatu perbuatan sehingga digugat PMH, namun Turut Tergugat ini hanyalah pihak terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak tersebut oleh Penggugat turut digugat sebagai Turut Tergugat sehingga pada akhirnya turut tergugat tunduk pada isi putusan pengadilan.
Selain itu, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek”
mengatakan bahwa dalam praktik perkataan Turut Tergugat dipergunakan
bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak
berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu
gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim (hal. 2).
Dalam artikel Kedudukan Notaris Sebagai Turut Tergugat dijelaskan bahwa perlunya diikutsertakan Turut Tergugat dalam gugatan menurut pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1642 K/Pdt/2005 adalah karena “dimasukkan sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat. Hal ini terjadi dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek gugatan menjadi tidak lengkap.”
Jadi, dari uraian pada poin satu di atas dapat diketahui bahwa peran kantor Anda sebagai Turut Tergugat sebenarnya adalah
pelengkap gugatan saja, namun tetap wajib tunduk dan taat terhadap
putusan hakim. Yang harus dilakukan kantor Anda sebagai Turut Tergugat
adalah cukup hadir menjalani proses persidangan di persidangan dan
menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena sebenarnya pihak yang
berkepentingan secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat.
Namun, ada hal lain yang juga penting diperhatikan
terkait ketidakhadiran pihak yang memang telah dipanggil secara patut di
pengadilan, sebagai contoh pihak yang tidak hadir tersebut adalah
Tergugat. Apabila Tergugat tidak
datang pada hari perkara akan diperiksa di persidangan padahal sudah
dipanggil secara patut dan Tergugat juga sama sekali tidak mewakilkan
kepada kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44),hakim dapat menjatuhkan putusan verstek. Bunyi selengkapnya pasal tersebut adalah:
“Jika
tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak
pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil
dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek),
kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu
melawan hak atau tidak beralasan.”
M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata mengatakan
bahwa maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk
mendorong para pihak menaati tata tertib beracara sehingga proses
pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan
(hal. 383). Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda
simak dalam artikel Putusan Verstek dan Ketidakhadiran Kuasa Hukum.
Dalam praktiknya, putusan verstek itu sendiri tidak hanya dijatuhkan kepada Tergugat saja, tetapi juga kepada Turut Tergugat. Contohnya dapat kita temukan dalam Putusan PN Yogyakarta No. 123/Pdt.G/2011/PN.Yk. Di dalam putusan tersebut dikatakan bahwa oleh karena pihak Tergugat dan Turut Tergugat tidakhadir, maka berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 7 ayat 1 Perma No. 01 Tahun 2008, perdamaian melalui prosedur mediasi tidak dapat dilangsungkan, sehingga Majelis melanjutkan perkara ini dengan tanpa hadirnya pihak Tergugat dan Turut Tergugat (verstek).
Jadi,
konsekuensi yang dapat diperoleh pihak kantor Anda sebagai Turut
Tergugat adalah menerima putusan verstek yang dijatuhkan hakim. M. Yahya
Harahap mengatakan bahwa penjatuhan putusan atas perkara yang
disengketakan memberi kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya
penggugat atau tergugat. Berdasarkan Pasal 125 HIR, hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat (hal. 381-382):
a. apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason)
b. dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum:
1) mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian
2) menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa bentuk putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan terdiri dari (hal. 397-399):
a. mengabulkan gugatan penggugat
b. menyatakan gugatan tidak dapat diterima
c. menolak gugatan penggugat
Jadi, kemungkinan konsekuensi
yang dapat diterima pihak kantor Anda sebagai Turut Tergugat apabila
tidak pernah hadir di persidangan adalah dikabulkannya gugatan yang
diajukan oleh penggugat melalui putusan verstek yang dijatuhi oleh hakim
di persidangan. Sebagai contoh, untuk gugatan PMH, isi gugatan
bisa saja berupa kewajiban ganti rugi sehingga mewajibkan Tergugat dan
Turut Tergugat membayar sejumlah ganti rugi yang diminta Penggugat. Hal
ini dimungkinkan karena dari pihak kantor Anda tidak hadir sidang dan
tidak memberikan pembelaannya sehingga melemahkan posisi Anda.
2. Menjawab
pertanyaan Anda kedua mengenai apa peran Anda sudah terjawab di poin
pertama yang kami jelaskan di atas. Sebelumnya kami sudah menjelaskan
bahwa Turut Tergugat wajib tunduk dan taat pada putusan hakim. Hal ini
juga berlaku untuk putusan verstek. Apabila dalam putusan verstek
tersebut juga disebutkan bahwa ada sejumlah hal yang perlu dilaksanakan
oleh Turut Tergugat, maka kantor Anda juga harus melaksanakan isi
putusan itu. Pada intinya adalah kantor Anda sebagai Turut Tergugat
diimbau untuk terus menjalani proses persidangan dan menaati putusan
hakim.
YANG TIDAK DAPAT MENJADI SAKSI DALAM KASUS PERDATA
YANG TIDAK DAPAT MENJADI SAKSI DALAM KASUS PERDATA
Dalam
persidangan perkara perdata seorang paman dari pihak Penggugat dapat
menjadi saksi. Hal ini karena paman tidak masuk dalam pihak-pihak yang
tidak dapat menjadi saksi yang diatur dalam Pasal 145 Het Herziene Indonesisch Reglemen atau HIR.
Adapun bunyi Pasal 145 HIR tersebut adalah sebagai berikut:
“Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:
1. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
2. istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia 15 (lima
belas) tahun;
4. orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.”
Sistem
Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan
mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur
dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat
2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem
ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses
pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan
sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh
karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di
bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan
hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses
pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian
tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak,
juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan
dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila
antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga
dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan
rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang
berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan
konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai
pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan
gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor
perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b.
Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada
sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode
konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan
konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing
penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan
yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada
ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat
belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari
tanggal putusan diberitahukan.
Adapun
dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi
dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan
pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun,
alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak
terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian
dan penanganan yang terpisah.
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Dari penjelasan Pasal 145 HIR tersebut, pada ayat 1 terdapat kata- kata “Keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus”, kalimat ini memiliki makna hubungan keluarga dengan orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat.
Selain itu, pada Pasal 146 HIR juga mengatur mengenai orang-orang yang memiliki hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu:
1. saudara laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
2. keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak;
3. semua
orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah,
diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal
demikian yang dipercayakan padanya.
Dengan
demikian, paman dari teman Anda dapat menjadi saksi dan dapat didengar
keterangannya di pengadilan tentang perkara perdata yang teman Anda
hadapi.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian,
sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu,
harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama
di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama pula.
Pengecualian tata cara pemeriksaan
konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi
benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan
pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
Pada sistem ini, meskipun secara teknis
yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi,
terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan
rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan
pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak
dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian
pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional
secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan
(koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan
yang terpisah.