DASAR PEMBUKTIAN

DASAR HUKUM PEMBUKTIAN


DASAR HUKUM PEMBUKTIAN 
A. Latar Belakang Masalah 
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan.
Manakala hukum pembuktian dihubungkan dengan hukum perdata, para pakar hukum memandangnya sebagai suatu hal yang perlu adanya penelusuran lebih lanjut. Karena hukum pembuktian justru lebih banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acaranya. Dari sini muncul beberapa interpretasi mereka seputar kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan alasan atas perumusan hukum pembuktian yang banyak diatur dalam KUHPer, bukan dalam KUHAPer. Inilah sebagaian dari beberapa hal yang melatar belakangi penulisan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Terdapat beberapa rumusan masalah yang disampaikan dalam makalah ini, diantaranya :
A. Apakah yang menjadi dasar hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pidana maupun Tata Usaha Negara ?
B. Teori apa saja yang digunakan untuk hukum pembuktian dalam masing-masing bidang/wilayah hukum tersebut ?
C. Siapa saja yang dibebani oleh hukum untuk memenuhi pembuktian pada bidang hukum itu ?
D. Bagaimana seorang hakim dapat menilai alat-alat bukti yang diajukan kepadanya ?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
A. Mengetahui apakah yang menjadi dasar hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pidana maupun Tata Usaha Negara.
B. Menganalisis semua teori yang diterapkan dalam hukum pembuktian di bidang hukum masing-masing.
C. Mengetahui siapa saja pihak yang dibebani oleh hukum untuk memenuhi pembuktian pada bidang hukum tersebut.
D. Menelusuri pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh hakim dalam menilai alat-alat bukti yang diajukan kepadanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pembuktian
1. Hukum Acara Perdata

Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya. Mengapa hal ini bisa terjadi, para pakar hukum masih memperdebatkan masalah tersebut. Sebenarnya pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata. Diaturnya pembuktian dalam KUHPer karena masih adanya kerancuan dari makna hukum formil dan hukum materiel.
Di satu sisi hukum materiel diartikan sebagai hukum dalam suasana damai dan hukum formil adalah hukum dalam suasana pertentangan. Dalam hal ini pembuktian termasuk dalam hukum formil. Di sisi lain hukum materiel diartikan sebagai suatu aturan yang berkaitan dengan isi, sedangkan hukum formil adalah suatu aturan yang berkaitan dengan bentuk luar. Dalam pengertian yang kedua ini pembuktian termasuk dalam hukum materiel karena merupakan bagian dari hukum gugatan. Inilah yang menjadikan adanya unsur tarik ulur dalam menempatkan pembuktian pada Hukum Perdata atau Hukum Acaranya .
2. Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan-persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pebuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” dimuka hakim atau pengadilan. Memang, pembuktian itu hanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan.
Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feit) “negatief wettelijk bewijs theorie”. Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti. Hal ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.
Dalam KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas “unus testis nullus testis”, namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah.
Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat 1, yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau Pengakuan Terdakwa.
Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Secara material, barang bukti yang ada bermanfaat bagi hakim untuk memperkuat keyakinan hakim dalam proses persidangan. Bahkan sering kali hakim dapat membebaskan seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada dalam proses persidangan (setelah melewati proses yang arif, bijaksana, teliti, cermat dan saksama). Jika dicermati, pembuktian dalam proses perkara pidana tidak mudah. Oleh karena itu, jika terjadi kasus pidana dalam pelaksanaan PPK, sebaiknya terlebih dahulu dimanfaatkan berbagai alternatif penanganan yang mudah, murah dan praktis untuk lebih mempercepat penyelesaian masalah. Proses hukum dapat dipilih sebagai alternatif terakhir apabila ditemui jalan buntu dalam penyelesaian masalah PPK.
Menurut pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/penasehat hukum. Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan. Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
Menurut pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksamaberdasarkan hati nuraninya.
Menurut pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
B. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses tentang bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Oleh karena alat-alat bukti dalam masing-masing hukum acara berlainan, maka pembuktian yang diterapkannya juga berbeda. Dalam hal ini yang dituju oleh Acara Perdata adalah kebenaran formil, dalam pengertian bahwa seorang hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Sedangkan yang dituju dalam Acara Pidana adalah kebenaran materiel, sebagaimana Acara Tata Usaha Negara, yaitu yang sesuai dengan fakta yang terungkap . Oleh karena itu, masing-masing hukum acara tersebut mempunyai teori tersendiri dalam menerapkan pembuktian. Berikut akan penulis paparkan teori yang diterapkan pada hukum acara tersebut.
1. Hukum Acara Perdata
Menurut Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya yang dialihbahasakan oleh M. Isa Arief, SH. Dengan judul “Pembuktian dan Daluwarsa”, tiga teori yang diterapkan dalam acara perdata untuk memberikan pembebanan terhadap pembuktian adalah :
a. Teori Hak (Teori Hukum Subjektif)
Dalam teori ini, pihak yang mengemukakan hak (pihak yang menuntut) harus membuktikan segala apa yang diperlukan untuk membuktikan haknya. Sedangkan pihak lawan juga harus membuktikan adanya kekeliruan yang dituntutkan oleh pihak penuntut, seperti adanya fakta khusus yang menghapuskan hak yang dimiliki oleh penuntut dengan sudah dibayarnya hak tersebut oleh pihak tertuntut misalnya.
b. Teori Hukum (Teori Hukum Objektif)
Teori ini lebih mengedepankan pada apa yang diatur dalam Undang-undang. Sehingga tugas hakim adalah mengoreksi apakah yang disampaikan oleh penuntut telah memenuhi Undang-undang atau belum yang pada akhirnya memberikan putusan untuk menerima atau menolaknya.
c. Teori Hukum Acara dan Teori Kepatutan
Teori ini mengatur tentang bagaimana seharusnya hakim bertindak adil dalam memberikan hak berperkara dalam sidang kepada kedua belah pihak dan tidak diperbolehkan baginya untuk memihak kepada salah satu pihak. Seperti halnya tidak boleh bagi hakim memberikan beban pembuktian kepada salah satu pihak yang tidak berpadanan beratnya dengan pihak lawan.
2. Hukum Acara Pidana
a. Teori Pembuktian Negatif (Negatief Wettelijke Systeem)
Sebagaimana dituangkan dalam pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah seorang hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa keyakinan seorang hakim lebih diprioritaskan daripada keberadaan alat-alat bukti yang sah. Namun, seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa ada unsur alat bukti yang sah.
b. Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijke Systeem)
Teori ini merupakan kebalikan dari teori pembuktian negatif. Karena teori ini mewajibkan hakim untuk memutuskan perkara dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hanya berdasarkan pada banyaknya jenis dan jumlah alat-alat bukti yang sah. Berbeda dengan teori sebelumnya yang memberikan kesempatan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila dari alat-alat bukti tersebut ia tidak memperoleh keyakinan untuk memutuskannya .
c. Teori Pembuktian Conviction Intim
Tidak jauh beda dengan teori pembuktian negatif, teori ini menitik beratkan pada hati nurani hakim. Akan tetapi dalam teori ini dimungkinkan adanya pemidanaan terhadap terdakwa tanpa ada alat-alat bukti yang sah sesuai Undang-undang. Penganut teori ini adalah Peradilan Jury di Perancis.
d. Teori Pembuktian La Conviction Raisonee
Hampir sama juga dengan teori pembuktian negatif adalah teori La Conviction Raisonee. Keyakinan hakim menjadi unsur utama dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa disamping ada unsur penunjang yang berupa dasar-dasar pembuktian yang disertai suatu kesimpulan. Sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi .
3. Hukum Acara Tata Usaha Negara
Tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan para pihak, seorang hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan hal-hal berikut :
a. Apa yang harus dibuktikan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian
c. Alat bukti mana saja yang harus diutamakan
Pada dasarnya teori ini hampir sama dengan teori pembuktian negatif yang diterapkan dalam Acara Pidana. Perbedaannya adalah bahwa jika dalam Acara Pidana hakim mendapatkan keyakinan dari minimal dua alat bukti yang diajukan. Sedangkan dalam Tata Usaha Negara hakimlah yang menentukan apa yang harus dibuktikan berdasarkan keyakinannya sendiri.
C. Pihak yang Dibebani Pembuktian

D. Penilaian Alat Bukti
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkara (judex facti), yaitu hakim tingkat pertama dan tingkat banding. Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam tingkat kasasi.
Dalam hal ini pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (ps. 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi 
yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Di dalam buku “Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia” karya Bambang Waluyo diterangkan bahwa pada dasarnya terdapat beberapa pendapat para ahli tentang teori penilaian pembuktian dalam Acara Perdata. Salah satu pendapat yang sering dimunculkan adalah pendapat Prof. Sudikno Mertokusumo yang mengemukakan tiga teori berikut :
a. Teori Pembuktian Bebas
Di dalam teori ini tidak dikehendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian diserahkan penuh kepadanya. Dan di tangannyalah putusan peradilan berada.
b. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yaitu harus mempunyai batasan yang berupa larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
c. Teori Pembuktian Positif
Kebalikan dari teori Pembuktian Negatif, dalam teori ini hakim diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Seperti misalnya adanya suatu akta autentik yang diduga palsu, hakim berhak melakukan penilaian terhadap pembuktian tersebut . Berbeda dengan teori pembuktian negatif yang melarang hakim melakukan penilaian terhadap pembuktian yang semisal keterangan seorang saksi. Dalam hal ini, jika ada keterangan dari seorang saksi saja, maka langkah yang harus diambil adalah menolak gugatan. Kecuali jika dikuatkan dengan alat bukti lain, minimal satu alat bukti lagi.
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
a. Faktor Nilai Pembuktian dari Keterangan Saksi
Penilaian terhadap kebenaran keterangan seorang saksi haruslah sungguh-sungguh memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya (pasal 185 ayat (6) KUHAP)
b. Faktor Nilai Pembuktian dari Keterangan Ahli.
Bahwa menurut sistem KUHP, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrijbewijst. Pada alat bukti tersebut tidak melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan atau mengikat. Terserah kepada hakim, hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak adanya keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, 1988:829). Pendapat ini sesuai pula dengan yurispundensi sebagai berikut:
- Putusan mahkamah Agung Nomor: 72K/Kr/1961 tanggal 17 Mart 1962, yang mnyatakan bahwa hakim tidak terikat pada pendapat seorang ahli jika pendapat ini bertentangan dengan keyakinannya;
- Putusan Mahkamah Agung Nomor: 121K/ Kr/1961 tanggal 22 Juni 1976, yang menyatakan bahwa kesimpulan saksi ahli tidak mutlak harus menjadi kesimpulan hakim.
Tentang pendapat orang ahli ini menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan: “laporan dari ahli-ahli yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengutarakan pendapat dan pikirannya tentang keadaan-keadaan dari perkara yang bersangkutan, hanya dapat dipakai guna memberikan penerangan kepada hakim, dan hakim sama sekali tidak wajib tutur pada pendapat orang-orang ahli itu, apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli-ahli itu. Sebaiknya apabila hakim setuju dengan pendapat seorang ahli itu, maka pendapat ahli itu diambi over oleh hakim dan diaggap sebagi pendapatnya sendiri” (Wirjono Prodjodikoro, 1962: 83).
Pada hemat kami, dalam hal seorang ahli telah memberikan keterangan dalam pemeriksaa penyidik atau ahli yang bersangkutan hadir dala sidang dan memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai ahli, maka apa yang dikemukakannya dalam siding tersebut bernilai sebagai keterangan ahli, sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat huruf b yo pasal 186 KUHP. Apabila disamping keterangan yang diberikannya dalam sidang tersebut, ia telah memberikan keterangan pula dalam bentuk vism et repertum, maka keerangan tertulisnya itu bernilai sebagai alat bukti surat (pasal 184 ayat 1 huruf c yo pasal 187 huruf c KUHP). Jadi dalam hal ini, terdapat dua alat bukti yakni alat bukti berupa keterangan ahli da alat bukti surat.
Tetapi apabila ahli yang bersangkutan dihadirkan di sidang hanya untuk dimintai penjelasan tentang keterangan tertulisnya, ia tidak diperiksa di bawah sumpah sebagai seorang ahli, maka di sini tetap terdapat satu alat bukti, yakni alat bukti surat.
c. Faktor Nilai Pembuktian Dari Surat
Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Jadi untuk menilai pembuktian dari surat sudah diatur oleh Undang-Undang.
d. Faktor Nilai Pembuktian Dari Petunjuk
Hal ini diatur dalam pasal 188 KUHAP yang bunyinya:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
A. Keterangan saksi;
B. Surat;
C. Keterangan terdakwa
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
e. Faktor Nilai Pembuktian Dari Keterangan Terdakwa
Dibanding dengan HIR, yang menyebut alat bukti pengakuan, maka makna keterangan terdakwa adalah lebih luas. Karena keterangan terdakwa tidak saja meliputi pengakuan, tetapi juga meliputi hal ihwal apa yang dialami oleh terdakwa. Keterangan terdakwa dalam KUHAP diatur dalam pasal 189.
Mengenai keterangan terdakwa, tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).

A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya. Sedangkan dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana)
2. Teori pembuktian yang diterapkan dalam hukum perdata terdiri dari teori pembuktian bebas, teori pembuktian positif dan teori pembuktian negatif. Sedangkan dalam hukum acara pidana dikenal 4 teori, yaitu teori pembuktian positif, teori pembuktian negatif, teori Conviction Intim dan teori La Conviction Raisonee. Dan dalam peradilan Tata Usaha Negara hanya diterapkan satu teori, yaitu hakim bersifat aktif yang mempunyai kekuasaan penuh untuk memberikan putusan.
3. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi
B. Saran
Yang perlu diperhatikan oleh pembaca adalah perlunya menganalisis seluruh materi yang dipaparkan oleh penulis dengan cara meneliti ulang pada referensi yang menjadi sumber pengambilan materi maupun dengan menelaah materi yang disampaikan itu dalam sumber lain yang belum dicantumkan dalam makalah ini. Karena dengan demikian pembaca akan dapat menganalisis pendapat mana yang lebih kuat. Selain itu hendaknya pembaca juga harus jeli dalam memperhatikan apakah materi yang disampaikan masih berlaku dan masih diterapkan dalam hukum di Indonesia pada masa sekarang.
                                   


Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti  Dalam Hukum Acara Perdata
A. Teori Pembuktian
1.         Pendahuluan
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.
1.         Pengertian Pembuktian/membuktikan
“Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
1.         Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :[
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
4. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)]. Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
5. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c) Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d) Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e) Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
B. Alat-Alat Bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu
1. Surat-surat
2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;
1.         Surat-Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb. Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi. Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.  Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
1.         Kesaksian
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu. Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
1.         Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
1.         Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian. Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
1.         Sumpah
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.
Pembuktian adalah usaha para pihak yang berkepentingan untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara. Hal ini bertujuan agar hal-hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan untuk memberi keputusan mengenai perkara tersebut. Para pihak mengemukakan hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang disengketakan agar dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut melalui bukti-bukti dan alat-alat bukti yang diajukan dimuka persidangan.
Bukti adalah sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian, sedangkan alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan.
Proses pembuktian ini juga sangat terkait dengan hal apa yang harus dibuktikan dan hal apa saja yang tidak harus dibuktikan. Dahulu ada ajaran hukum yang mengatakan bahwa yang dibuktikan itu hanyalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja.
Dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tersebut dapat diambil kesimpulan adanya hak milik, piutang, hak waris, dan sebagainya. Dengan demikian di muka persidangan yang harus dibuktikan adalah fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya suatu hak.
B. Rumusan Masalah
1. Hal – hal apasaja yang tidak perlu dibuktikan oleh hakim dalam pemeriksaan perkara perdata?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fakta atau peristiwa yang tidak perlu dibuktikan
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam beberapa hal ada peristiwa yang tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim, yang disebabkan karena:
a. peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yaitu:
1) dalam hal jatuhnya putusan verstek.
 Putusan verstek terjadi karena tergugat tidak datang menghadap ke
Ø persidangan. Hakim meneliti dalih – dalih gugatan penggugat dan kemudian ia memutuskan mengabulkan gugatan pihak penggugat tanpa mewajibkan si penggugat mengajukan alat bukti
 Jadi jika tergugat tidak hadir di persidangan, maka pihak yang tidak
Ø hadir tersebut dianggap tidak membantah dalih lawan ( lihat pasal 149 RBg / 125 HIR )
 Pokok pikiran yang menjadi dasar pengaturan tersebut ialah dalam
Ø proses perdata perlindungan kepentingan orang sepenuhnya diserahkan kepada individu masing – masing. Jika dalam suatu proses orang tersebut tidak memenuhi panggilan pengadilan untuk membela kepentingannya, maka ia dianggap tidak mampu atau tidak mau membantah dalih – dalih gugatan dari lawannya.
 Akan tetapi apabila menurut pendapat hakim tuntutan penggugat itu
Ø melawan hukum atau tidak berdasar, maka wajib bagi hakim untuk menolak.
Dengan demikian putusan verstek tidak selalu mengabulkan gugatan penggugat dan ketentuan yang menyangkut verstek terdapat dalam pasal 125 HIR / 145 RBg.
2) dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, Atau dengan kata lain Fakta Yang Tidak Dibantah, Tidak Perlu Dibuktikan
Sesuai dengan prinsip pembuktian, yang wajib dibuktikan adalah hal atau fakta yang disankal atau dibantah pihak lawan. Bertitik tolak dari prinsip tersebut fakta yang tidak disangkal pihak lawan, tidak perlu dibuktikan, karena secara logis sesuatu yang tidak dibantah, dianggap telah terbukti kebenarannya. Tidak menyangkal atau membantah, dianggap mengakui dalil dan fakta yang diajukan
Dengan demikian, tidak menyangkal identik dengan pengakuan. Dan pengakuan yang dianggap bernilai membebaskan pihak lawan membuktikan dalia atau falta, apabila pihak lain:
a) Mengakui dengan tegas (expressis verbis) dali atau falta tersebut, dengan ketentuan : pertama, pengakuan itu murni dan bulat dengan cara pernyataan pengakuan tidak dibarengi denga syarat atau kualifikasi. Kedua: pernyatan pengakuan disampaikan didepan sidang pengadilan secara lisan atau tulisan dalam jalaban, replik atau duplik
b) Sankalan atau bantahan yang diajukan tanpa dasar alasan. Sekiranya pihak lawan mengajukan penyangkalan atau bantahan, tetapi tidak tahu arahnya, dan sama sekali tidak dibarengi dengan dasar alasan yang masuk akal sehat, bantahan demikian disamakan dengan pengakuan tanpa syarat. Oleh karena itu pihak lawan dianggap mengakui dali-dalil dan fakta yang diajukan sehingga membebaskan pihak yang mengajukan untuk membuktikannya
akan tetapi, perlu diingat kembali ada pihak lawan yang bersikap diam, yakni yidak dapat diterapkan anggapan bahwa sikap itu sama dengan pengakuan, kepada pihak yang demikian masih terbuka hak mengajukan bantahan . oleh karena itu, dalam kasus yang seperti itu, tidak mutlak membebaskan pihak lain dari kewajiban pembuktian dalil dan fakta yang diajukannya. Tergantung pada sikap dan bentuk pernyataan selanjutnya yang disampaikan :
a) Apabila sikapnya tetap diam sampai proses tahap pembuktian dilampaui membebaskan pihak lawan membuktikan dalil dan fakta yang diajukan
b) Atau apabila bantahan yang diajukan kemudian tanpa dasar alasan yang masuk akal, membebaskan pihak lawan membuktikan dalil dan fakta yang diajukannya
c) Sebaliknya, apabila bantahan yang diajukan kemudian mempunyai dasar dan ditujukan kepada materi pokok perkara, dengan sendirinya mewajibkan pihak lawan membuktikan dalil dan fakta yang diajukan.
Berhubungan dengan apa yang diterangkan di atas tadi, maka dalam tiap – tiap putusan hakim perdata kita dapat melihat, bahwa hakim itu dalam pertimbangan – pertimbangannya tentang duduknya perkara, mulai dengan memperinci atau meneliti hal – hal manakah diantara para pihak yang berpekara itu tidak menjadi perselisihan dan kesemuanya bisa ditetapkan sebagai benar, dan hal – hal manakah yag disangkal atau dibantah dan karenanya harus dibuktikan. Kemudian dalam putusan itu diuraikan bukti – bukti apakah yang sudah diajukan oleh masing - masing pihak guna menguatkan dalil – dalilnya dan akhirnya diadakan penelitian tentang hasilnya pembuktian pada masing – masing pihak untuk menetapkan apakah yang dianggap terbukti dan apa yang tidak terbukti.
3) dengan telah dilakukannya sumpah decisioir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut
4) telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian
b. hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, yaitu;
1) Fakta Notoir
Banyak definisi yang dikemukakan, tetapi hamper sama maknanya. Ada yang mengatakan
 Setiap peristiwa atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang
v yang berpendidikan atau orang yang beradab yang mengikuti perkembangan zaman
 Mereka dianggap mesti mengetahui kejadian atau keadaan tersebut tanpa
v melakuan penelitian atau pemeriksaan yang saksama dan mendalam
 Dan hal itu diketahui secara pasti berdasarkan pengalaman umum dalam
v kehidupan masyarakat, bahwa kejadian atau keadaan itu memang demikian untuk dipergunakan sebagai dasar hukum membenarkan sesuatu tindakan kemasyarakatan yang serius dalam bentuk putusan hakim
Dalam hukum acara perdata, notoire feiten tidak lagi perlu dibuktikan, dan dianggap merupakan penilaian pembuktian yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. Lalu bagaimana halnya dalam huku acara pidana yang diatur dalam KUHAP? Apakah hal yang secara umum sudah tidak diketahui, tidak memerlukan pembuktian lagi? Memang demikian halnya sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 184 ayat (2) oleh karena itu, dalam penerapannya:
 majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan
Ø yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikannya lagi
 akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire faiten, tidak
Ø bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang diambil dan ditarik hakim dari notoire faiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
2. Fakta Prosessoil
Yaitu fakta – fakta yang diketahui oleh hakim didalam persidangan dalam memeriksa perkara misalnya :
a) Tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan , meskipun telah dipanggil secara patut
b) Pengakuan oleh salah satu pihak terhadap dalih – dalih lawan
c. pengetahuan tentang pengalaman, yang berarti bahwa pengetahuan tentang pengalaman ini merupakan kesimpulan berdasarkan pada pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidak termasuk hukum, karena tidak bersifat normatif, tetapi merupakan pengalaman semata. Contohnya kapal terbang lebih cepat jalannya daripada sepeda motor, api itu panas, benda yang berat apabila dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, sebagaimana dikutip dar buku hukum pembuktian (hari sasangka) dan hukum acar perdata mengenai hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah :
d. Penglihatan Hakim Dalam Sidang
Disamping fakta notoir. Ada lagi yang tidak perlu dibuktikan yakni mengenai apa yang dilihat oleh hakim dalam sidang. Karena membuktikan itu adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalih – dalih yang dikemukakan dalam suatu perkara, maka dengan sendirinya segala apa yang dilihat sendiri oleh hakim dimuka sedang tidak usah dibuktikan. Apakah yang lebih meyakinkan dari apa yang kita lihat sendiri. Misalnya dalam sidang, hakim melihat sendiri :
1. bahwa barang yang telah dibeli mengandung suatu cacat yang tersembunyi
2. bahwa merk atau cap dagang yang dipakai oleh tergugat adalah menyerupai merk atau cap dagang yang sudah dipakai dan didaftar lebih dahulu oleh penggugat
3. bahwa penggugat telah mendapat cacat badan akibat penubrukan mobil tergugat
Dalam hal seperti itu, tidak perlu diadakan pembuktian. Selanjutnya adalah mungkin bahwa hakim menganggap suatu dalih benar karena sesuatu hal diketahui sendiri.disini hakim mendasarkan kebenaran suatu hal atas pengetahuannya sendiri dimuka sidang. Apabila hakim dalam putusannya menyatakan bahwa sesuatu hal telah dilihatnyasendiri di muka sidang, maka pernyataan itu tidak dapat diganggu gugat, tetapi pertimbangan hakim bahwa sesuatu adalah hal yang diketahui oleh umum atau sesuatu hal diketahui sendiri, masih dapat ditinjau kembalioleh hakim atasan yakni hakim banding atau hakim kasasi. Hakim atasan tersebut leluasa untuk tidak menyetujui pendapat hakim pertama
e. Hukum Positif Tidak Perlu Dibuktikan
Hal itu bertitik tolak dari doktrin curia novit jus atau jus curia novit, yakni pengadilan atau hakim dianggap mengetahui segala hukum positif. Bahkan bukan hanya hukum positif, tetapi meliputi semua hukum. Pihak yang berpekara tidak perlu menyebutkan hukum mana yang dilanggar dan diterapkan, karena hal itu dianggap sudah diketahui hakim
Doktrin ini pada dasrnya menghendaki setiap hakim mengetahui seluruh hukum positif atau hukum obyektif. Namun kita sadar, tidak seorangpun yang mampu mengetahui seluruh hukum yang berlaku. Apalagi pada saat sekarang, semakin luas dan beragam peraturan perundang-undangan, mulai dari UU yang dikeluarkan DPR dengan pemerintah (eksekutif), PP, KEPRES, KEPMEN dan ditambah dengan segala bebtuk PD (peraturan daerah) yang dikeluarkan oleh Daerah tingkat I dan II. Oleh karena itu, meskipun hakim terdiri dari sarjana hukum, mustahil mengetahui seluruh hukm positif atau obektif. Namun demikian, tidak layak kalau hakim hanya membeo saja kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan para pihak berperkara. Yang perlu diingat, sehubungan, dengan permasalahn ini adalah sbb:
1. hakim mesti melaksanakan kasus yang disengketakan dan hukum yang mesti diterapkan, tidak boleh sedikitpun bertentangan dengan hukum positif maupun dengan hukum obyektif yang berlaku
2. oleh karena itu, hakim diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk diterapkan dalam perkara yang bersangkutan baik dari perkumpulan perundang-undangan, berita negara, yurispundensi atau komentar hukum
3. sejalan dengan itu para pihak yang berperkara tidak dapat dituntut membuktikan kepada hakim tentang adanya peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi yang berlaku terhadap perkara yang disengketakan. Bahkan mengenai hukum kebiasaan pun, tidak boleh dituntut pembuktiannya kepada para pihak yang berpekara
BAB III  PENUTUP   A. KESIMPULAN
a. peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yaitu:
1. dalam hal jatuhnya putusan verstek.
2. dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, Atau dengan kata lain Fakta Yang Tidak Dibantah, Tidak Perlu Dibuktikan
3. dengan telah dilakukannya sumpah decisioir
4. telah menjadi pendapat umum
b. hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, yaitu:
1. Fakta Notoir
2. Fakta Prosessoil
c. pengetahuan tentang pengalaman
d. Penglihatan Hakim Dalam Sidang
e. Hukum Positif Tidak Perlu Dibuktikan