CARA DAN TEKNIK PEMBUATAN SURAT GUGATAN
Agar supaya berhasil
membuat surat gugatan dengan baik maka diperlukan adanya langkah persiapan.
Adapun maksud dan tujuan diperlukan langkah-langkah persiapan tersebut diteliti
secara cermat, detail dan terperinci agar supaya surat gugatan sedikit mungkin
terjadi adanya jesalahan formal yang dapat berakibat gugatan tidak dapat
diterima. Apabila hal ini sampai terjadi, maka akan berakibat perkara akan
berlarut larut serta pengeluaran biaya akan semakin banyak.
Pada hakekatnya
langkah-langkah persiapan cara dan teknik pembuatan surat gugatan itu meliputi
tindakan sebagai berikut :
1.
Teknik
mempelajari obyek sengketa.
Penggugat
dan kuasanya haruslah benar-benar menguasai bahwa obyek sengketa merupakan
pangkal pokok gugatan serta penggugat merupakan pihak yang memiliki kepentingan
terhadap barang tersebut.
Teknik
mempelajari obyek sengketa haruslah memperhatikan factor-faktor sebagai berikut
:
·
karena
keberhasilan suatu surat gugatan tergantung adanya obyek sengketa, maka
diperlukan tindakan secara cermat, teliti dan terperinci dari penggugat atau
kuasanya terhadap eksistensi obyek sengketa baik secara formal maupun material
dalam surat gugatan. Misalnya apabila obyek sengketa berupa tanah, maka dalam
surat gugatan hendaknya dijelaskan secara terperinci mengenai bagaimana cara
memperolehnya, hubungan hokum dengan penggugat, luas dan batas-batas tanah
tersebut sebagaimana tercantum dalam sertifikat hak milik.
·
Dalam
mempelajari teknik obyek sengketa haruslah diperhatikan masalah kompetensi
dimana surat gugatan tersebut harus diajukan. Apabila hal ini diabaikan maka
berakibat gugatan tidak dapat diterima. Khusus terhadap tanah, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak (pasal 142 Rbg).
·
Bahwa
dalam mempelajari obyek sengketa hendaknya harus diperhatikan penguasaan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, surat edaran
mahkamah agung dan peraturan mahkamah agung RI yang berlaku dan diterapkan
dalam praktik.
·
Bahwa
dalam mempelajari teknik obyek sengketa harus dicermati dengan seksama bahwa
penggugat benar-benar sebagai pemilik barang dari obyek sengketa atau merupakan
empunya yang berhak atas hak tertentu. Untuk itu perlu dicermati terhadap
alat-alat bukti yang dapat berupa bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan
dan sumpah
2.
Kelengkapan
formal surat gugatan
Setelah
tahap teknik mempelajari obyek sengketa, maka berikutnya hendaknya diperhatikan
masalah kelengkapanformal dari surat gugatan. Kelengkapan formal ini meliputi
subyek gugatan baik dari pihak penggugat maupun pihak tergugat atau turut
tergugat. Pada kelengkapan formal ini hendaknya harus jelas identitas (nama,
umur dan alamat) para pihak yang berperkara dan khusus terhadap pihak yang
digugat haruslah semuanya di ikutsertakan sebagai tergugat/turut tergugat dalam
surat gugatan itu. Hal ini haruslah dicermati secermat mungkin dan diperhatikan
secara baik oleh karena apabila kelengkapan formal dari surat gugatan
diabaikan, misalnya ada pihak yang seharusnya digugat akan tetapi ternyata
dalam surat gugatan mereka tidak digugat maka akan berakibat surat gugatan
penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.
3.
Kelengkapan
material surat gugatan
Kelengkapan
material ini pada asasnya walaupun lebih intens akan dipergunakan pada tahap
pembuktian hendaknya harus telah dipersiapkan seawal dan sedini mungkin, khususnya terhadap
alat-alat bukti. Apabila memungkinkan dalam perkara perdata bukti surat
merupakan bukti yang cukup menentukan dengan sifat kebenaran formal yang dicari
maka hendaknya bukti surat tersebut harus akurat, kuat dan meyakinkan sehingga
dapat menjadi bukti sempurna. Selain itu pula hendaknya juga harus didukung
oleh alat bukti lain seperti saksi, persangkaan dan bukti lainnya.
Perlu
ditekankan guna mendukung materi dan tujuan dari surat gugatan maka penggugat
atau kuasanya sedapat mungkin mengajukan permohonan terhadap sita jaminan baik
berupa penyitaan barang bergerak dan
barang tidak bergerak milik tergugat.
B.
Fundamentum Petendi /
Posita
Pada hakekatnya
fundamentum petendi terdiri atas bagian yang menguraikan tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa. Dalam praktik peradilan baik pada
putusan hakim dan dalam surat gugatan lazim disebut dengan istilah “tentang
duduknya perkara” atau “kasus posisi”. Kemudian ada juga bagian yang berisikan
penguraian tentang hukumnya yang menjadi dasar yuridis gugatan. Penguraian
tentang hukumnya ini tidak perlu dicantumkan ketentuan-ketentuan pasal-pasal
yang menjadi dasar yuridis gugatan oleh karena apabila di sebutkan hak tersebut
dalam praktik terkesan “menggurui hakim”. Maka hanya kewajiban para pihak saja
menguraikan peristiwa-peristiwa dan penguraian tentang hukumnya sedangkan
penerapan pasal-pasal merupakan tugas hakim mempertimbangkan yang dituangkan
dalam putusannya.
C.
Petitum
Petitum pada
hakekatnya merupakan perumusan secara tegas dan jelas terhadap apa yang menjadi
tuntutan penggugat kepada tergugat atau turut tergugat yang akan diputus oleh
hakim dalam amar putusannya.
Pada praktik di
pengasilan mengenai aneka tuntutan atau petitum dapat diaktegorikan dengan
penyebutan tuntutan “primair” dan “subsidair”
atau ada juga dengan formulasi “dalam Provisi” “Dalam Pokok Perkara”.
Dalam surat gugatan
maka petitum harus dimintakan secara tegas dan bila tidak demikian maka gugatan
menjadi “obscure libel” dan tidak sempurna karena itu gugatan tidak dapat
diterima dan untuk itu hakim terikat pada petitum yang diajukan dan tidak boleh
melebihi dari apa yang dituntut dan apabila putusan hakim melebihi dari apa
yang dituntut maka menurut putusan Mahkamah Agung RI (Nomor:443 k/Sip/1983)
putusan demikian pada tingkat kasasi akan dibatalkan.
D.
Bentuk , format dan
pengertian surat gugatan
Mengenai bentuk dan
format serta pengetikan surat gugatan tidak ada pengaturan yang baku dalam
perundang-undangan.
Akan tetapi walaupun demikian bukan berarti penggugat atau kuasanya dapat
menentukan bentuk, format dan pengetikan surat gugatan dengan seenaknya sendiri
tanpa mengindahkan etika dan nilai-nilai keindahan / kebersihan.
Hendaknya format dan
bentuk serta pengetikan surat gugatan dibuat serapi, seindah dengan format dan
bentuk yang dapat menggugah hati nurani hakim. Maka untuk itu diperlukan dan
diusahakan surat gugatan diketik serapi mungkin, bersih dan terang serta bebas dari
kesalahan pengetikan atau bersih dari coretan serta sejauh mungkin dihindari
adanya tipe-ex. Buatlah opini dan perasaan hakim bahwa penggugat atau kuasannya
adalah orang yang benar-benar mendambakan keadilan atau ingin menegakkan
hak-haknyasesuai rasa keadilan sehingga dengan demikian surat gugatan tersebut
tidak mencerminkan dibuat dengan secara “tergesa-gesa”, “asal-asalan” saja. Hal
ini walaupun tidak bersifat teknis yuridis, akan tetapi perlu diperhatikan
secara seksama oleh karena hakim juga manusia biasa yang mempunyai etika,
perasaan akan nilai-nilai keindahan dan kerapihan serta kebersihan