ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Undang-Undang yang Mengatur Alat Bukti Teknologi Bisa Digunakan Alat Bukti di Pengadilan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
Pasal 27
“Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.”
Penjelasan Pasal 27
“Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”. Tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang :
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau
c. dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.”
UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Pasal 41
“Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 26 A
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pasal 86
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pasal 24
“Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada :
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.”
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 29
“Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.”
UU No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Pasal 1
3. Dokumen adalah alat bukti berupa data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, desain, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 13
“Dalam hal pengajuan permintaan Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Menteri dapat meminta orang yang memberikan pernyataan atau menunjukkan dokumen atau alat bukti lain yang terkait dengan permintaan Bantuan tersebut untuk diperiksa atau diperiksa silang melalui pertemuan langsung atau dengan bantuan telekonferensi atau tayangan langsung melalui sarana komunikasi atau sarana elektronik lainnya baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan dengan :
a. penyidik, penuntut umum, atau hakim; atau
b. tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya.”
UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 36
(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 38
“Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.”
UU No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 1
4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
UU No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
Pasal 2
(1) Surat Utang Negara diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.
Penjelasan Pasal 2
(1) Surat Utang Negara dengan warkat adalah surat berharga yang kepemilikan-nya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk. Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum, sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. Surat Utang Negara tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga yang kepemilikan-nya dicatat secara elektronis (book-entry system). Dalam hal Surat Utang Negara tanpa warkat, bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis dimaksudkan agar pengadministrasian data kepemilikan (registry) dan penyelesaian transaksi perdagangan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat, aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Pasal 17
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1), Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia.
(2) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak dilakukan secara regional.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal apabila Pemegang Paten telah mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang.
(4) Syarat-syarat mengenai pengecualian dan tata-cara pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 17
(1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjang adanya alih teknologi, penyerapan investasi, penyediaan lapangan kerja dengan dilaksanakannya Paten melalui pembuatan produk.
(2) Ketentuan pada ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan Paten sebab tidak semua jenis Invensi yang diberi Paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan. Beberapa cabang industri menghadapi persoalan ini, misalnya industri di bidang farmasi. Di cabang industri seperti itu skala kelayakan ekonomi seringkali meliputi pasar yang berskala regional misalnya kawasan Asia Tenggara. Untuk itu, kelonggaran diberikan atas dasar penilaian objektif.
Apabila Paten tidak akan dilaksanakan di Indonesia, Pemegang Paten harus mengajukan permintaan kelonggaran yang disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang. Misalnya di bidang obat atau farmasi bukti serupa diberikan oleh Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, sedangkan di bidang elektronik diberikan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Apabila Invensi tersebut menyangkut teknologi untuk keperluan di bidang eksplorasi, keterangan diberikan oleh Departemen Pertambangan dan Energi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat pengecualian yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah diharapkan tetap memperhatikan upaya untuk menunjang alih teknologi yang efektif dan dapat meningkatkan devisa Negara.
(3) Cukup jelas
(4) Cukup jelas
DELIK
Pengertian Delik dan Macam-Macam Delik
Pengertian Delik
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.
“perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”
Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum (Utrecht, 1994 : 251).
Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah pelanggaran pidana untuk kata delik.
Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.
Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.
Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).
pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah:
Pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.
Macam-Macam Delik
1.Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik Hukuman, ancaman Hukumannya lebih berat;
2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang ancaman Hukumannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya;
3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya.Contoh: Delik pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;
4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;
5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan diberlakukan secara umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku II KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP;
6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain;
7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk melakukan tindakan;
8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan sengaja.Contoh: Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;
9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya, kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain menjadi korban.Contoh: Seorang sopir yang menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil, tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP, pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang berkualifikasi;
11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan keadaan yang memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa;
12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi.Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak mencuri dan memperkosa;
13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan;
14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang bersifat larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP;
15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;
16. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284 K
PEMBUNUHAN
Kejahatan Terhadap Nyawa
Pengertian
Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven). Atas dasar kesalahannya, ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa,
yaitu:
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 sampai 350:
Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP)
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (339 KUHP)
Pembunuhan berencana (moord, 340 KUHP)
Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (341, 342, dan 343 KUHP)
Pembunuhan atas permintaan korban (344 KUHP)
Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (345 KUHP)
Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346, 347, 348, dan 349 KUHP)
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven) dimuat dalam Bab XXI, pasal 359.
A. Kejahatan Terhadap Nyawa yang Dilakukan Dengan Sengaja (dolus misdrijven)
1. Pembunuhan Biasa Dalam Bentuk Pokok (Doodslag, 338 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1) Perbuatan: Menghilangkan nyawa;
2) Obyek: Nyawa orang lain.
Unsur subyektif: dengan sengaja
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Adanya wujud perbuatan;
Adanya suatu kematian (orang lain);
Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP) dimaksudkan untuk menghilangkan nyawa orang lain, sedangkan tindak pidana penganiayaaan (mishandeling, 351 KUHP) yang ditujukan hanyalah rasa sakit (pijn), luka (letsel) atau merusak kesehatan saja.
2. Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului Dengan Tindak Pidana Lain (339 KUHP)
Unsur-unsur:
Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) pasal 388;
Yang (1) diikuti, (2) disertai atau (3) didahului oleh tindak pidana lain;
Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud:
1) Untuk mempersiapkan tindak pidana lain;
2) Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain;
3) Dalam hal tertangkap tangan ditujukan:
a) Untuk menghindarkan:
(1) Diri sendiri
(2) Peserta lainnya dari pidana
b) Untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu).
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembedaan pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain (339 KUHP) dengan pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (365 KUHP):
Pencurian dengan kekerasan (365 KUHP) kejahatan pokoknya adalah pencurian, sedangkan kejahatan dalam pasal 339 KUHP kejahatan pokonya adalah pembunuhan.
Kesengajaan pada pasal 365 KUHP tidak ditujukan pada kematian orang lain sedangkan kesengajaan pada pasal 339 KUHP ditujukan pada matinya orang lain.
3. Pembunuhan Berencana (Moord, 340 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur subyektif:
1) Dengan sengaja;
2) Dengan rencana terlebih dahulu;
Unsur obyektif:
1) Perbuatan: menghilangkan nyawa;
2) Obyek: nyawa orang lain.
Moord, pada dasarnya mengandung tiga syarat:
Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;
Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak;
Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pembunuhan berencana (340 KUHP) mengandung semua unsur pembunuhan pokok (338 KUHP) dan ditambah satu unsur lagi, yakni dengan rencana terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 KUHP adalah tanpa rencana sedangkan dalam pasal 340 KUHP adalah dengan rencana terlebih dahulu.
4. Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan (341, 342, dan 343 KUHP)
Pembunuhan Biasa Oleh Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan (Kinderdoodslag, Pasal 341 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur subyektif: Dengan sengaja;
Unsur obyektif:
1) Petindaknya: seorang ibu
2) Perbuatannya: menghilangkan nyawa
3) Obyeknya: nyawa bayinya
4) Waktunya:
(1) Pada saat bayi dilahirkan atau
(2) Tidak lama setelah bayi dilahirkan
5) Motifnya: karena takut diketahui melahirkan
Syaratnya, petindaknya haruslah seorang ibu, yang artinya ibu dari bayi yang dilahirkan.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan antara kejahatan dalam pasal 341 KUHP dengan pasal 338 KUHP adalah kejahatan dalam pasal 341 KUHP harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya ketika bayi dilahirkan atau tidak lama setelahnya. Sedangkan pasal 338 KUHP tidak harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya, melainkan oleh siapa saja.
Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah Dilahirkan Dengan Direncanakan Lebih Dulu (Kindermoord, Pasal 342 KUHP)
Unsur-unsur:
Petindak: seorang ibu
Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya;
Perbuatan: menghilangkan nyawa;
Obyek: nyawa bayinya sendiri
Waktu:
a) Pada saat bayi dilahirkan;
b) Tidak lama setelah bayi dilahirkan;
Karena takut akan diketahui melahirkan bayi
Dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan kejahatan dalam pasal 340 KUHP dengan pasal 342 KUHP adalah dalam hal pembentukan kehendak, pembunuhan berencana (340 KUHP) dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tenang, sebaliknya kindermoord (342 KUHP) dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tidak tenang karena dalam suasana batin yang ketakutan akan diketahui bahwa ia melahirkan bayi.
Turut Serta Dalam Kinderdoodslag Atau Kindermoord (Pasal 343 KUHP)
Pasal 343 KUHP merupakan perkecualian dari ketentuan pasal 58, yang mana ditujukan agar orang yang berkualitas pribadi selain ibu tidak mendapatkan keringanan pidana. Tujuan pasal ini hanya dalam hal penjatuhan pidana semata. Dengan kata lain beban tanggung jawab pidananya yang sama, bukan perbuatannya yang sama atau dianggap sama.
5. Pembunuhan Atas Permintaan Korban (344 KUHP)
Unsur-unsur:
Perbuatan: menghilangkan nyawa;
Obyek: nyawa orang lain;
Atas permintaan orang itu sendiri;
Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan nyata antara pembunuhan dalam pasal 344 KUHP dengan pembunuhan dalam pasal 338 KUHP ialah terletak bahwa pada pembunuhan dalam 344 KUHP terdapat unsur (1) atas permintaan korban sendiri, (2) yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh, dan (3) tidak dicantumkannya unsur kesengajaan sebagaimana dalam rumusan pasal 338 KUHP.
6. Penganjuran dan Pertolongan Pada Bunuh Diri (345 KUHP)
Unsur-unsur:
1) Unsur obyektif terdiri dari:
a) Perbuatan:
(1) Mendorong,
(2) Menolong,
(3) Memberikan sarana
b) Pada orang untuk bunuh diri
c) Orang tersebut jadi bunuh diri
2) Unsur subyektif: dengan sengaja
Dalam perbuatan mendorong (aanzetten), inisiatif untuk melakukan bunuh diri bukan berasal dari orang yang bunuh diri, melainkan dari orang lain, yakni dari orang yang mendorong. Berbeda dengan perbuatan menolong dan memberikan sarana, karena dalam kedua perbuatan ini, inisiatif untuk bunuh diri berasal dari korban sendiri.
Perbedaan Dengan Pasal Lain
Perbedaan perbuatan mendorong dalam pasal 345 KUHP dengan perbuatan menganjurkan (uitlokken) dalam pasal 55 (1) KUHP:
Dalam melakukan perbuatan menganjurkan (pasal 55 ayat 1 sub 2 KUHP) sudah ditentukan cara atau upaya melakukannya secara limitatif, karenanya melakukan penganjuran tidak boleh di luar dari cara-cara yang sudah ditentukan oleh UU itu. Sedangkan dalam melakukan perbuatan mendorong karena tidak disebutkan cara dan bentuknya, maka dapat digunakan dengan segala cara, termasuk cara sebagaimana yang digunakan untuk melakukan perbuatan menganjurkan.
Pada perbuatan mendorong ditujukan agar terbentuknya kehendak orang untuk melakukan bunuh diri yang bukan merupakan suatu tindak pidana, tetapi pada perbuatan menganjurkan ditujukan pada terbentuknya kehendak orang untuk melakukan suatu tindak pidana.
Perbedaan perbuatan menolong dan memberi sarana dengan (pasal 345 KUHP) perbuatan membantu (pasal 56 KUHP):
Perbuatan menolong dan memberi sarana adalah merupakan unsur (perbuatan) dari suatu tinak pidana. Sedangkan membantu bukan merupakan unsur (perbuatan) dari suatu tindak pidana, melainkan suatu bagian dari pelaksanaan dari suatu tindak pidana.
Bagi orang yang menolong dan memberi sarana dibebani tanggung jawab sendiri tanpa melihat dan dikaitkan pada tanggung jawab orang ynag ditolong dan diberi sarana. Sebaliknya, pada pembantuan, orang yang membantu dibebani tanggung jawab dengan dikaitkan pada orang yang dibantu, yakni dipidana setinggi-tingginya pidana maksimum diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiganya.
Percobaan pada bunuh diri, dalam arti jika setelah perbuatan bunuh diri dilaksanakan akibat kematian tidak timbul, maka orang yang menolong dan memberi sarana tidak dapat dipidana. Sebaliknya dalam pembantuan terhadap tindak pidana, misalnya pembunuhan walaupun akibat tidak timbul, sudah dapat dipidana.
7. Pengguguran dan Pembunuhan Terhadap Kandungan (346, 347, 348, dan 349 KUHP)
Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan yang Dilakukan Sendiri (Pasal 346 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
Petindak: seorang wanita,
Perbuatan:
1) Menggugurkan
2) Mematikan
3) Menyuruh orang lain menggugurkan; dan
4) Menyuruh orang lain mematikan;
Obyek: kandungannya sendiri;
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap kandungannya sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun kelahiran bayi, sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan kejahatan dalam pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud sebagai bayi lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu adalah pada waktu bayi sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka dikatakan bahwa pelakunya haruslah ibunya.
Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Tanpa Persetujuan Perempuan yang Mengandung (Pasal 347 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1) Perbuatan:
a) menggugurkan,
b) mematikan
2) Obyek: kandungan seorang perempuan;
3) Tanpa persetujuan perempuan itu
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan kejahatan dalam pasal 346 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 347 KUHP adalah dalam pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) menggugurkan dan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam pasal 347. Pada pasal 347 ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang mengandung). Petindak dalam pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedang petindak dalam pasal 347 adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung.
Pengguguran dan Pembunuhan Kandungan Atas Persetujuan Perempuan yang Mengandung (348 KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1) Perbuatan:
a) menggugurkan,
b) mematikan
2) Obyek: kandungan seorang perempuan;
3) Dengan persetujuan perempuan itu
Unsur subyektif: dengan sengaja
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan mendasar antara kejahatan dalam pasal 347 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 348 KUHP adalah dalam pasal 347, pengguguran dan pembunuhan kandungan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung sedangkan pasal 348 dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung.
Pengguguran Atau Pembunuhan Kandungan Oleh Dokter, Bidan Atau Juru Obat (349 KUHP)
Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan:
(1) Melakukan
(2) Membantu melakukan.
Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari kejahatan itu, yang artinya dialah (dokter, bidan atau juru obat) sebagai pelaku baik sebagai petindaknya maupun sebagai pelaku pelaksananya (plegen). Sebagai petindak, apabila ia melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam kejahatan itu. Sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu dapat terlibat orang lain selain dirinya. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu.
B. Kejahatan Terhadap Nyawa yang Dilakukan Tidak Dengan Sengaja (culpose misdrijven)
Unsur-unsur dari rumusan pasal 359 KUHP adalah:
Adanya unsur kelalaian (culpa)
Adanya wujud perbuatan tertentu,
Adanya akibat kematian orang lain;
Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Perbandingan Dengan Tindak Pidana Lain
Perbedaan pasal 338 KUHP dengan pasal 359 KUHP adalah dalam pasal 338, kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan sedangkan dalam pasal 359 KUHP kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati.
Kejahatan Terhadap Nyawa
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Untuk menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain.
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:
(1). Atas dasar unsur kesalahan
(2). Atas dasar objeknya (nyawa)
Atas dasar kesalahan ada 2 (dua) kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah:
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven)
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose misdrijven)
Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:
Kejahatan terhadap nyawa orang pada umunya, dimuat dalam Pasal: 338, 339, 340, 344, 345.
Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343
Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal: 346, 377, 348, dan 349.
Dilihat dari segi “kesengajaan (dolus/opzet)” maka tindak pidana terhadap nyawa ini terdiri atas:
Dilakukan dengan sengaja
Dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat
Dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh
Menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri
Adapun jenis-jenis tindak pidana pembunuhan yaitu:
1) KEJAHATAN TERHADAP NYAWA YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA
Apabila kita melihat ke dalam KUHP, segera dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan yang terdiri dari:
a). Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok.
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang rumusannya adalah:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.
Adapun rumusan unsur-unsurnya, adalah sebagai berikut:
Unsur Objektif
1) Perbuatan menghilangkan nyawa
2) Objeknya yaitu nyawa orang lain
Unsur Subjektif
1) Dengan sengaja
Adapun unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 338 KUHP yang dikemukakan oleh Andi Abu Ayyub Saleh adalah sebagai berikut:
Dengan sengaja;
Unsur sengaja meliputi tindakannya dan objeknya, artinya si pembuat atau pelaku mengetahui atau mengkehendaki adanya orang mati dari perbuatannya tersebut. Hilangnya jiwa seseorang harus dikehendaki dan harus menjadi tujuan, sehingga karenanya perbuatan yang dilakukan tersebut dengan suatu maksud atau tujuan yakni adanya niat untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Jika timbulnya akibat hilangnya jiwa orang lain tanpa dengan sengaja atau bukan menjadi tujuan atau bukan bermaksud dan tidak pernah diniatkan tidaklah dapat dikatakan sebagai pembunuhan (doogslag) in casu tidak dapat dikenakan ketentuan tindak pidana pembunuhan tersebut tetapi mungkin dapat dikenakan tindak pidana lain yang mengakibatkan orang mati tetapi tidak dengan unsur sengaja.
Baik timbulnya akibat maupun perbuatan yang menimbulkannya harus dilakukan dengan sengaja, jadi pelaku atau pembuat harus mengetahui dan menghendaki bahwa dari perbuatannya itu dapat bahkan pasti mengakibatkan adanya orang mati.
Untuk memenuhi tindak pidana pembunuhan dengan unsur sengaja yang terkadang dalam Pasal 338 KUHP ini disyaratkan bahwa perbuatan pembunuhan tersebut harus dilakukan sesegera mungkin sesudah timbulnya suatu maksud atau niat untuk membunuh tidak dengan pikir-pikir atau tidak dengan suatu perencanaan.
Unsur sengaja ini dalam praktek seringkali sulit untuk membuktikannya, terutama jika pemuat atau pelaku tersebut licik ingin menghindar dari perangkat tindak pidana tersebut. Karena unsur dengan sengaja adalah unsur subjektif adalah unsur batin si pembuat yang hanya dapat diketahui dari keterangan tersangka atau terdakwa di depan pemeriksaan penyidik atau didepan pemeriksaan persidangan, kecuali mudah pembuktiannya unsur ini apabila tersangka atau terdakwa tersebut memberi keterangan sebagai “pengakuan” artinya mengakui terus terang pengakuannya bahwa kematian si korban tersebut memang dikehendaki atau menjadi tujuannya.
Pada umunya kasus-kasus tindak pidana pembunuhan si tersangka atau terdakwa berusaha menghindar dari pengakuan unsur sengaja tetapi selalu berlindung bahwa kematian si korban tersebut tidak dikehendaki atau bukan menjadi nia tujuannya yakni hanya ingin menganiaya saja atau melukainya saja.
Untuk membuktikan unsur sengaja menurut ketentuan ini haruslah dilihat cara melakukan dalam mewujudkan perbuatan jahatanya tersebut. Sehingga memang dikehendaki atau diharapkan supaya korbannya meninggal dunia.
Menghilangkan jiwa orang lain;
Unsur ini disyaratkan adanya orang mati. Dimana yang mati adalah orang lain dan bukan dirinya sendiri si pembuat tersebut.
Pengertian orang lain adalah semua orang yang tidak termasuk dirinya sendiri si pelaku.
Dalam rumusan tindak pidana Pasal 338 KUHP tidak ditentukan bagaimana cara melakukan perbuatan pembunuhan tersebut, tidak ditentukan alat apa yang igunakan tersebut, tetapi Undang-Undang hanya menggariskan bahwa akibat dari perbuatannya itu yakni menghilangkan jiwa orang lain atau matinya orang lain.
Kematian tersebut tidak perlu terjadi seketika itu atau sesegera itu, tetapi mungkin kematian dapat timbul kemudian.
Untuk memenuhi unsur hilangnya jiwa atau matinya orang lain tersebut harus sesuatu perbuatan, walaupun perbuatan itu kecil yang dapat mengakibatkan hilangnya atau matinya orang lain.
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi yaiatu:
Adanya wujud perbuatan
Adanya suatu kematian (orang lain)
Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain)
Antara unsur subjektif sengaja dengan wujud perbuatan menghilangkan nyawa terdapat syarat yang harus juga dibuktikan adalah pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain harus tidak lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan nyawa orang lain itu. Oleh karena apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama sejak timbulnya atau terbentuknya kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya, dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu petindak dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah kehendaknya itu akan diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah tidak, dengan cara apa kehendak itu akan diwujudkan. Maka pembunuhan itu masuk kedalam pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), dan bukan lagi pembunuham biasa.
Apabila kita melihat ke dalam rumusan ketentuan pidana menurut Pasal 338 KUHP, segera dapat dilihat bahwa kata opzettelijk atau dengan sengaja itu terletak didepan unsur menghilangkan nyawa orang lain, ini berarti bahwa semua unsur yang terletak dibelakang kata opzettelijk itu juga diliputi opzet. Artinya semua unsur tersebut oleh penuntut umum harus didakwakan terhadap terdakwa dan dengan sendirinya harus dibuktikan di sidang pengadilan, bahwa opzet dari terdakwa juga telah ditujukan pada unsur-unsur tersebut. Atau dengan kata lain penuntut umum harus membuktikan bahwa terdakwa:
Telah menghendaki (willens) melakukan tindakan yang bersangkutan dan telah mengetahui (wetens) bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Telah menghendaki bahwa yang akan dihilangkan itu adalah nyawa, dan
Telah mengetahui bahwa yang hendak ia hilangkan itu ialah nyawa orang lain.
Unsur dengan sengaja (dolus/opzet) merupakan suatu yang dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens). Dalam doktrin, berdasarkan tingkat kesengajaan terdiri dari 3 bentuk, yakni:
Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheids bewustzijn)
Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis).
Berdasarkan pandangan bahwa unsur opzettelijk bila dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka pengertian opzettelijk itu harus diartikan termasuk kedalam 3 bentuk kesengajaan tersebut. Pandangan ini sesuai dengan praktik hukum yang dianut selama ini.
Rumusan Pasal 338 KUHP dengan menyebutkan unsur tingkah laku sebagai menghilangkan nyawa orang lain, menunjukkan bahwa kejahatan pembunuhan adalah suatu tindak pidana materil. Tindak pidana materil adalah suatu tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat tertentu (akibat yang dilarang).
Perbuatan menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif artinya mewujudkan perbuatan itu harus dengan gerakan dari sebagaian anggota tubuh, tidak boleh diam atau pasif. Disebut abstrak karena perbuatan ini tidak menunjukkan bentuk konkrit tertentu. Oleh karena itu dalam kenyataan secara konkrit perbuatan itu dapat beraneka macam wujudnya seperti menembak, memukul membacok, dan lain sebagainya yang tidak terbatas banyaknya.
2). Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain
Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, menentukan:
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau sementara waktu paling lama 20 tahun”
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
Semua unsur pembunuhan (objektif dan subjektif) Pasal 338 KUHP.
Yang (1) diikuti, (2) disertai atau (3) didahului oleh tindak pidana lain.
Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud:
1) Untuk mempersiapkan tindak pidana lain
2) Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain
3) Dalam hal tertangkap tangan ditujukan:
a) Untuk menghindari (1) diri sendiri maupun (2) peserta lainnya dari pidana, atau
b) Untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya sencara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu).
Kejahatan Pasal 339 KUHP, kejahatan pokoknya adalah pembunuhan, suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam pembunuhan yang diperberat ini terjadi dua macam tindak pidana sekaligus, ialah yang satu adalah pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338) dan yang lain adalah tindak pidana lain (selain pembunuhan). .
Dalam hal tindak pidana lain yang harus telah terwujud dan harus ada hubungan (subjektif) dengan pembuhunan, tidak selalu berupa kejahatan tetapi boleh juga suatu pelanggaran. Oleh karena dalam rumusan Pasal 339 disebut istilah tindak pidana (strafbaarfeit), yang menurut KUHP dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran.
Unsur-unsur objektif dalam perkataan diikuti, disertai dan didahului serta ditempatkan antara unsur pembunuhan dengan tindak pidana lain. Unsur-unsur subjektif menunjukkan ada hubungan yang bersifat subjektif (hubungan alam batin petindak) antara pembunuhan dengan tindak pidana lain itu. Hubungan ini terdapat dari unsur atau perkataan dengan maksud.
Adanya hubungan objektif maupun subjektif antara pembunuhan dengan tindak pidana lain, dapat dilihat dari perkataan atau unsur-unsur diikuti, disertai atau didahului dengan maksud untuk mempersiapkan dan seterusnya.
3). Pembunuhan berencana (Moord)
Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia , diatur dalam Pasal 340 yang rumusannya adalah:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.
Rumusan tersebut di atas, terdiri dari unsur-unsur:
Unsur Objektif:
1) Perbuatan menghilangkan nyawa
2) Objeknya yaitu nyawa orang lain
Unsur Subjektif:
1) Dengan sengaja
2) Dan dengan rencana terlebih dahulu.
Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti Pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur rencana terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam Pasal 338, kemudian ditambah dengan suatu unsur lagi yakni dengan rencana terlebih dahulu. Oleh karena dalam Pasal 340 mengulang lagi seluruh unsur-unsur Pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri.
Unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 syarat atau unsur:
Memutuskan kehendak dalam suasana tenang
Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.
Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Adanya pendapat yang mengatakan bahwa unsur dengan rencana terlebih dahulu adalah bukan bentuk kesengajaan tetapi berupa cara membentuk kesengajaan/opzet yang mana mempunyai 3 syarat yaitu:
Opzet’nya itu dibentuk setelah direncanakan terlebih dahlu.
Dan setelah orang merencanakan (opzetnya) itu terlebih dahulu, maka yang penting adalah cara “Opzet” itu dibentuk yaitu harus dalam keadaan yang tenang.
Dan pada umunya, merencanakan pelaksanaan “opzet” itu memerlukan jangka waktu yang agak lama.
Memperhatikan pengertian dan syarat dari unsur yang direncanakan terlebih dahulu di atas, tampak proses terbentuknya direncanakan terlebih dahulu (berencana) memang lain dengan terbentuknya kesengajaan (kehendak).
4). Pembunuhan oleh ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan
Bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap bayinya pada saat dan tidak lama setelah dilahirkan, yang dalam praktek hukum sering disebut dengan pembunuhan bayi, ada 2 (dua) macam yaitu:
Pembunuhan bayi yang dilakukan tidak dengan berencana (pembunuhan bayi biasa, Pasal 341 KUHP)
Pembunuhan biasa oleh ibu terhadap bayinya sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 341 KUHP, dirumuskan sebagai berikut:
“seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan bayi pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mengilangkan nyawa anaknya dipidana karena membunuh bayinya sendiri dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”.
Apabila rumusan itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur:
Unsur objektif terdir dari:
1) Petindak seorang ibu
2) Perbuatannya menghilangkan nyawa
3) Objeknya adalah nyawa bayinya
4) Waktunya:
a) Pada saat bayi dilahirkan
b) Tidak lama setelah bayi dilahirkan
5) Motifnya karena takut diketahui melahirkan.
Unsur subjektif adalah dengan sengaja
Unsur kesengajaan dalam pembunuhan bayi harus ditujukan pada seluruh unsur yang ada dibelakangnya. Bahwa dengan demikian, maka kehendak dan apa yang diketahui si ibu harus ditujukan, yakni:
Untuk mewujudkan perbuatan menghilangkan nyawa
Nyawa bayinya sendiri
Waktunya, yakni:
a) Ketika bayi sedang dilahirkan
b) Tidak lama setelah bayi dilahirkan
Artinya kesengajaan yang demikian itu adalah, bahwa si ibu menghendaki mewujudkan perbuatan menghilangkan nyawa dan mengetahui perbuatan itu dapat menimbulkan akibat kematian, yang diketahuinya bahwa perbuatan itu dilakukan terhadap bayinya sendiri, yang diketahuinya perbuatan mana dilakukan pada saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan.
Mengikuti saat/waktu melakukan pembunuhan bayi itu, saat terbentunya kehendak ibu untuk melakukan perbuatan menghilangkan nyawa ada 2, yaitu (1) pada saat sedang melahirkan, dan (2) dalam tenggang waktu tidak lama setelah melahirkan bayi. Bila kehendak itu timbul sebelum waktu “saat sedang melahirkan”, maka yang terjadi adalah pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Sebaliknya apabila kehendak itu ang waktu “tidak lama setelah melahirkan”, maka yang terjadi adalah pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).
Pembunuhan bayi yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu (Pasal 342 KUHP).
Pembunuhan seorang ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan dengan direncanakan lebih dahulu di atur dalam Pasal 342 KUHP yang rumusannya adalah:
“Seorang ibu yang untuk melaksankan keputusan kehendak yang telah diambilnya karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan bayi, pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja menghilangkan nyawa bayinya itu dipidana karena pembunuhan bayinya sendiri dengan rencana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.
Pembunuhan bayi berencana tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
Petindak adalah seorang ibu
Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya
Perbuatannya menghilangkan nyawa
Objek nyawa bayinya sendiri
Waktu:
a) Pada saat bayi dilahirkan
b) Tidak lama setelah bayi dilahirkan
Karena takut akan diketahui melahirkan bayi
Dengan sengaja
5). Pembunuhan atas permintaan korban
Pembunuhan atas permintaan korban diatur dalam Pasal 334 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan sesungguh hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.
Kejahatan yang dirumuskan di atas, tersediri dari unsur sebagai berikut:
Perbuatan menghilangkan nyawa
Objeknya adalah nyawa orang lain
Atas permintaan orang itu sendiri
Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.
Perbedaan yang nyata antara pembunuhan Pasal 344 KUHP dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP, ialah terletak bahwa pada pembunuhan 344 terdapat unsur (1) atas permintaan korban sendiri, (2) yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh, dan (3) tidak dicantumkannya unsur kesengajaan sebagaimana dalam rumusan Pasal 338.
Dari unsur permintaan korban membuktikan bahwa inisiatif untuk membuktikan pembunuhan itu terletak pada korban sendiri. Permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta.
6). Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri
Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri ini dicantumkan dalam Pasal 345 KUHP yang rumusannya adalah:
“Barangsiapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri menolongnya dengan perbuatannya itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”.
Apabila rumusan itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur objektif terdiri:
a) Perbuatan mendorong, menolong, memberikan sarana.
b) Pada orang untuk bunuh diri
c) Orang tersebut jadi bunuh diri.
Unsur subjektifnya: dengan sengaja
Berdasarkan pada unsur perbuatan, kejahatan Pasal 345 KUHP ini ada 3 bentuk yaitu:
bentuk pertama, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan mendorong orang lain untuk bunuh diri.
Bentuk kedua, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri.
Bentuk ketiga, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan memberikan sarana pada orang yang diketahui akan bunuh diri.
7). Pengguguran dan pembunuhan kandungan
Kejahatn pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan diatur dalam 4 Pasal yakni:
Pengguguran dan pembunuhan kandungan oleh perempuan yang mengandung itu sendiri, dicantumkan dalam Pasal 346 KUHP.
“Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.
Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah:
Unsur objektif:
a) Petindak seorang ibu
b) Perbuatan:
Menggugurkan
Mematikan
Menyuruh orang lain menggugurkan, dan
Menyuruh orang lain mematikan
c) Objeknya adalah kandungannya sendiri
Unsur subjektif: dengan sengaja
Pengguguran dan pembunuhan kandungan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung, dicantumkan dalam Pasal 347 KUHP.
“Barang siapa dengan sebgaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun’.
Unsur-unsur dari rumusan tersebut adalah:
Unsur objektif:
Perbuatan mengugurkan dan mematikan
Objeknya kandungan seorang perempuan
Tanpa persetujuan perempuan itu
Unsur subjektif: dengan sengaja
Kini diketahui adanya persamaan dan perbedaan antara ketentuan dalam Pasal 346 KUHP dengan ketentuan Pasal 347 KUHP. Persamaannya ialah (1) pada kedua perbuatan, yakni menggugurkan dan mematikan, (2) objeknya yakni kandungan seorang perempuan. Perbedaannya ialah dalam Pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) menggugurkan dan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam Pasal 347 KUHP. Pada Pasal 347 KUHP ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang mengandung). Petindak dalam Pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedang petindak menurut Pasal 347 KUHP adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung).
Pengguguran dan pembunuhan kandungan atas persetujuan perempuan yang mengandung (Pasal 348 KUHP).
“Barangsiapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan”.
Adapun unsur-unsurnya adalah:
Unsur objektifnya:
Perbuatan: menggugurkan dan mematikan
Objeknya adalah kandungan seorang perempuan
Dengan persetujuannya.
Unsur subjektif: dengan sengaja
Perbedaan pokok kejahatan Pasal 348 dengan Pasal 347 adalah, bahwa perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan dalam Pasal 348 dilakukan dengan persetujuan perempuan yang mengandung.
Pengguguran dan pembunuhan kandungan oleh dokter, bidan atau juru obat.
Dokter, bidan atau juru obat adalah kualitas pribadi yang melekat pada subjek hukum (petindak) dari kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 349 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut:
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346 ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang terangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan itu dilakukan”.
Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan (1) melakukan, dan (2) membantu melakukan.
2). KEJAHATAN TERHADAP NYAWA YANG DILAKUKAN KARENA KELALAIAN.
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:
“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dipidana kurungan paling lama 1 tahun”
Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah:
Adanya unsur kelalaian (culpa)
Adanya wujud perbuatan tertentu
Adanya akibat kematian orang lain
Adanya hubungan kausa antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain.
Perbedaan antara Pasal 359 KUHP dengan Pasal 338 KUHP yakni pada pembunuhan pasal 359 KUHP ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kengajaan (dolus).
359 KUHP
TINJAUAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP PADA KASUS KECELAKAAN LALU-LINTAS OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO (81)
SONG SIP(E1104071)
Hukum Pidana
ABSTRAK
Song Sip. E1104071. TINJAUAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP TERHADAP KASUS KECELAKAAN LALU-LINTAS OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk mengetahui penerapan Pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun” khususnya terhadap kasus kecelakaan lalu-lintas oleh Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dan Faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang menyebabkan matinya orang lain dalam kasus kecelakaan lalu-lintas.
Penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian empiris. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri sukoharjo. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan dua cara yaitu wawancara dan studi kepustakaan. Teknik Sampling menggunakan Purposive Sampling.Teknik analisa data secara kualitatif.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa penerapan Pasal 359 KUHP dalam kasus kecelakaan Lalu-lintas oleh Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yaitu penjatuhan sanksi pidana yang ringan, kurang dari satu tahun, hal ini dapat diketahui pada putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No 187/Pid.B/2007/PN.Skh, Terdakwa dijatuhi pidana penjara 9 bulan, sedangkan pada putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No.212/Pid.B/2007/PN.SKH, Terdakwa dijatuhi pidana penjara 10 bulan, dengan pertimbangan bahwa kecelakaan itu tidak diduga sebelumnya oleh pelaku, tetapi disebabkan karena kurangnya penghati-hati dan kurangnya penduga-duga pengemudi terhadap keadaan jalan, sedangkan penerapan sanksi pidana oleh Hakim lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga (sudah berkeluarga). Faktor-faktor lainnya yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara kecelakaan lalulintas di kota Sukoharjo yaitu tidak didapatinya alasan pembenar, pemaaf dan penghapus pidana, serta adanya perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban, sikap terdakwa baik di persidangan maupun diluar persidangan yang mana hal itu merupakan hal-hal yang meringankan dan memberatkan pidana.
Menghilangkan Nyawa Atau Melukai Seseorang Bisa Dijerat Pasal 359 KUHP
Pasal 359 KUHP
Masih ingat kasus meninggalnya istri Saeful Jamil dalam kecelakaan maut atau kasus yang terbaru adalah kasusnya Apriani bersama Xenia yang membabi buta di tugu Monas.
Walaupun tak sama persis, keduanya pernah dijerat dengan delik pasal yang sama yaitu pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain terluka atau meninggal.
Pasal 359 KUHP sering digunakan untuk menjerat supir ugal – ugalan yang sering mnajdi biang kerok terjadinya kecelakaan di jalan.
Mungkin karena itulah kita masih sering menjumpai korban tabak lari di jalanan, selain karena takut dikeroyok massa, para pengemudi juga dibayangi – banyangi ketakutakan akan hukuman pidana kurungan.
Walaupun lebih sering digunakan untuk menjerat supir yang ugal – ugalan, namn delik pada pasal ini tidak hanya terpaku pada kecelakaan lalu lintas.
Semua kegiatan yang merupakan kelalaian yang menyebabkan orang terluka atau meninggal bisa dijerat pasal ini, dengan hukuman pidana kurungan selama – lamanya 5 tahun penjara atau kurungan selama – lamuang 1 tahun.
Bunyi Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Penerapan Pasal 359 KUHP
Semua tindakan kelalailan yang bisa menyebabkan orang terluka ataupun meninggal dasarnya bisa dijerat dengan pasal 359 KUHP.
Contoh kasus yang bisa dijerat dengan pasal ini selain kasus kecelakaan yang menjadi pelanggan tetap adalah kasus malpraktik yang biasa terjadi di rumah sakit atau klinik dokter.
Kejadian malpraktrik yang dilakukan staff medis kerap kali menimbulkan kerugian bagi para pasiennya. Walauppun pada dasarnya kejadian malpraktik terjadi karena ketidaksengajaan.
Namun tetap saja, berdasarkan pasal 359 KUHP staff medis yang melakukan kelalaian hingga menyebabkan pasien terluka atau meninggal tetap dijerat dengan pasal ini.
Pasal 359 KUHP juga bisa dikenakan pada militer atau anggota berwajib yang lalai dalam menggunakan senjata sehingga melukai atau membunuh warga sipil ataupun rekan kerjanya.
Peristiwa ‘peluru nyasar’ memang sering terjadi utamanya ketika seorang polisi atau pihak berwajib sedang melakukan pengejaran terhadap pelaku kejahatan.
Walaupun sifat lupa atau lalai merupakan hal yang manusiawi, namun jika sudah sampai pada tahap melukai atau membunuh seseorang, tidak bisa dimaklumi lagi.
Peristiwa tersebut tetap harus ditindaklanjuti agar kedepannya kita lebih berhati – hati lagi dalam bertindak sehingga tidak merugikan orang lain apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. (nn)
Penerapan Hukum yang Lebih Khusus dalam Dakwaan
Bagaimana pertanggungjawaban pidana seorang pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas? Dan apa dasar hukumnya (KUHP dan UU LLAJ) dan biasanya hakim menerapkan yang mana? Terima kasih
Jawaban:
Ilman Hadi
Kami asumsikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian tersebut disebabkan kelalaian pengemudi kendaraan bermotor. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Namun, saat ini telah terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain adalah Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum, dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Terkait ini, di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.
Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan Baru sebagai berikut:
“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya harus diteliti dahulu tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut. Apabila pada waktu kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah berlaku, maka yang diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.
“Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”
Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang menggunakan Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ untuk kasus-kasus seperti Anda ceritakan. Salah satu contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Nomor 1915
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011
Menghilangkan Nyawa Atau Melukai Seseorang Bisa Dijerat Pasal 359 KUHP
Pasal 359 KUHP
Masih ingat kasus meninggalnya istri Saeful Jamil dalam kecelakaan maut atau kasus yang terbaru adalah kasusnya Apriani bersama Xenia yang membabi buta di tugu Monas.
Walaupun tak sama persis, keduanya pernah dijerat dengan delik pasal yang sama yaitu pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain terluka atau meninggal.
Pasal 359 KUHP sering digunakan untuk menjerat supir ugal – ugalan yang sering mnajdi biang kerok terjadinya kecelakaan di jalan.
Mungkin karena itulah kita masih sering menjumpai korban tabak lari di jalanan, selain karena takut dikeroyok massa, para pengemudi juga dibayangi – banyangi ketakutakan akan hukuman pidana kurungan.
Walaupun lebih sering digunakan untuk menjerat supir yang ugal – ugalan, namn delik pada pasal ini tidak hanya terpaku pada kecelakaan lalu lintas.
Semua kegiatan yang merupakan kelalaian yang menyebabkan orang terluka atau meninggal bisa dijerat pasal ini, dengan hukuman pidana kurungan selama – lamanya 5 tahun penjara atau kurungan selama – lamuang 1 tahun.
Bunyi Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Penerapan Pasal 359 KUHP
Semua tindakan kelalailan yang bisa menyebabkan orang terluka ataupun meninggal dasarnya bisa dijerat dengan pasal 359 KUHP.
Contoh kasus yang bisa dijerat dengan pasal ini selain kasus kecelakaan yang menjadi pelanggan tetap adalah kasus malpraktik yang biasa terjadi di rumah sakit atau klinik dokter.
Kejadian malpraktrik yang dilakukan staff medis kerap kali menimbulkan kerugian bagi para pasiennya. Walauppun pada dasarnya kejadian malpraktik terjadi karena ketidaksengajaan.
Namun tetap saja, berdasarkan pasal 359 KUHP staff medis yang melakukan kelalaian hingga menyebabkan pasien terluka atau meninggal tetap dijerat dengan pasal ini.
Pasal 359 KUHP juga bisa dikenakan pada militer atau anggota berwajib yang lalai dalam menggunakan senjata sehingga melukai atau membunuh warga sipil ataupun rekan kerjanya.
Peristiwa ‘peluru nyasar’ memang sering terjadi utamanya ketika seorang polisi atau pihak berwajib sedang melakukan pengejaran terhadap pelaku kejahatan.
Walaupun sifat lupa atau lalai merupakan hal yang manusiawi, namun jika sudah sampai pada tahap melukai atau membunuh seseorang, tidak bisa dimaklumi lagi.
Peristiwa tersebut tetap harus ditindaklanjuti agar kedepannya kita lebih berhati – hati lagi dalam bertindak sehingga tidak merugikan orang lain apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. (nn)
Penerapan Hukum yang Lebih Khusus dalam Dakwaan
Bagaimana pertanggungjawaban pidana seorang pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas? Dan apa dasar hukumnya (KUHP dan UU LLAJ) dan biasanya hakim menerapkan yang mana? Terima kasih
Jawaban:
Ilman Hadi
Kami asumsikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian tersebut disebabkan kelalaian pengemudi kendaraan bermotor. Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Namun, saat ini telah terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang lalai, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain adalah Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum, dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Terkait ini, di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.
Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan Baru sebagai berikut:
“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya harus diteliti dahulu tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut. Apabila pada waktu kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah berlaku, maka yang diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.
“Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”
Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang menggunakan Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ untuk kasus-kasus seperti Anda ceritakan. Salah satu contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Nomor 1915
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011
PIDANA TUTUPAN
Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendaptkan fasilitas dari pada nara pidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yangd dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.
PK JAKSA
BOLEHKAH JAKSA MENGAJUKAN P.K.?
oleh Sudikno Mertokusumo
Apakah jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK)? Ahir-akhir ini tidak sedikit kasus dimana jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Marilah kita lihat bagaimanakah menurut sistem hukumnya yang berlaku?
Pasal 263 (1) KUHAP berbunyi bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Bunyi pasal tersebut bagi awam sangat sumir: “terhukum atau ahli warisnya”. Memang merekalah yang berkepentingan, jaksa sama sekali tidak disebut di dalam pasal tersebut. Dikecualikan ialah putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan, yang berarti bahwa putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan, tidak dapat dimohonkan peninjauan kembali. Apakah karena tidak disebut dalam pasal tersebut jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali?
Apakah kalau suatu peristiwa itu tidak diatur atau tidak disebutkan dalam undang-undang berarti peristiwa itu dibolehkan? Karena jaksa tidak disebut dalam pasal tersebut apakah itu berarti bahwa jaksa dibolehkan mengajukan permohonan peninjauan kembali? Apakah justru sebaliknya, karena tidak diatur atau disebutkan maka berarti dilarang?
Kalau suatu peristiwa tidak diatur atau tidak disebut dalam undang-undang kita cenderung menafsirkan “tidak ada larangan” jadi “dibolehkan”. Tetapi sebaliknya kita dapat berpendapat karena tidak disebut maka “dilarang”. tidak sesederhana itulah menafsirkannya. Tidak sesederhana itulah jawabannya. Kita harus melihat undang-undang sebagai suatu sistem, sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pasal-pasal.
Dalam membaca atau menafsirkan suatu pasal dalam undang-undang maka pasal tersebut harus diletakkan dalam proporsinya. Pasal yang bersangkutan harus ditempatkan dalam sistem, jangan dikeluarkan dari sistem atau undang-undang yang bersangkutan dan diteropong tersendiri lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Sebab suatu pasal dalam satu undang-undang merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut. Sebuah undang-undang merupakan suatu sistem, merupakan suatu kesatuan, sehingga merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian setiap pasal dalam suatu undang-undang mempunyai kaitan atau hubungan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut dan tidak terpisahkan satu sama lain.
Pasal 263 (1) KUHAP tersebut memang bagi awam kurang tegas, tetapi tidak boleh/dapat disalahtafsirkan, karena di samping Pasal 263 (1) KUHAP tersebut masih ada pasal lain dalam KUHAP yaitu Pasal 266 (3) yang berbunyi bahwa “Bahwa yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.” Putusan peninjauan kembali tidak boleh lebih berat dari pada putusan kasasinya. Ini berarti bahwa jaksa dalam tingkat peninjauan kembali nanti tidak boleh menuntut lebih berat dari putusan kasasinya.
Pertanyaannya ialah apakah jaksa dalam permohonan peninjauan kembali nanti akan mengajukan tuntutan yang sama atau bahkan kurang dari putusan kasasinya? Kalau jaksa akan menuntut sama dengan putusan kasasinya apakah itu tidak berarti membuang-buang waktu, tenaga atau mencari kerjaan?. Kalau jaksa akan menuntut kurang dari putusan kasasinya apa itu tidak berarti bertentangan dengan tuntutan dalam kasasinya?
Jadi kalau suatu peristiwa konkret tidak ada peraturan yang mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya peristiwa konkret itu dibolehkan atau dilarang, tetapi harus diteliti lebih lanjut apakah peristiwa konkret itu bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum atau tidak. Kalau tidak, untuk apa dilarang, sedangkan kalau bertentangan sudah selayaknya dilarang.
Ini merupakan penemuan hukum (menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap), tetapi penemuan hukum itu ada metodenya, ada aturannya, tidak sekedar atau asal mengadakan penerobosan: nrobos sana nrobos sini mencari enaknya, mencari untungnya. Lebih-lebih dalam hukum pidana penemuan hukum tidak sebebas dalam hukum perdata. Kepentingan para pihak atau terdakwa harus diperhatikan, sebab hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Baik ia terdakwa atau bukan.
Sebaiknya jaksa tidak bersikap terlalu agresif dan proaktif untuk menuntut kesalahan dan hukuman
Walaupun tugas jaksa adalah sebagai penuntut, tetapi kalau terdakwa terbukti di persidangan tidak bersalah ia harus jujur dan berani menuntut bebas. Tidak perlu malu atau "loosing face", sebab jaksapun harus mencari kebenaran dan keadilan.
Hukum memang harus ditegakkan, tetapi bukan seperti yang lazim kita dengar: “FIAT JUSTITIA ET PEREAT MUNDUS” yang berarti hukum harus ditegakkan meskipun dunia akan hancur, melainkan: ‘FIAT JUSTITIA NE PEREAT MUNDUS’ yang berarti bahwa hukum harus ditegakkan agar dunia tidak hancur.
MENURUT JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM, KEJAKSAAN MENANGANI PERKARA PEMBUNUHAN NASRUDIN "DENGAN HATI-HATI" PASALNYA PERKARANYA INI MENARIK PERHATIAN(berita dalam KOMPAS). Pertanyaan yang menggelitik: Kalau perkara itu tidak menarik perhatian apakah jaksa tidak akan serius menanganinya? Kasihan para pencari keadilan yang perkaranya kecil dan tidak menarik perhatian. Quo Vadis Reformasi Hukum?
Yogya 18 Juni 2009
PUTUSAN SELA
Putusan Sela
Putusan sela yang dimaksud disini
sesuai dengan pengertian putusan sela dimaksud dalam pasal 185 HIR yang
menentukan bahwa: (1) Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus
diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan akhir, tidak dibuat
sendiri-sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita acara persidangan.
Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase, meliputi Provisi dan Putusan Insidentil.
Sedang yang dimaksud dengan putusan sela Provisi; tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 30 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut hanya ada keterangan bahwa atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya…………dstnya……….. .
Dalam HIR sendiri, tidak mengatur tentang provisi ini, sehingga apabila kita lihat dalam praktek di pengadilan, provisi itu sebagai suatu keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.
Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir diajuhkan dan dilaksanakannya putusan tersebut.
Sedang putusan provisonil tersebut dijalankan lebih dahulu sebelum diputusnya sengketa mengenai pokok perkara dalam putusan akhir.
Putusan Sela sebagai putusan insidentil oleh UU No. 30 tahun 1999 hanya memberi penjelasan dalam pasal 30 yang berbunyi: 'Pihak ke tiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.
Apabila ketentuan pasal 30 UU No.30 tahun 1999 tersebut dibandingkan dengan praktek di Pengadilan Negeri, terdapat hal-hal yang tidak pas bahkan rancu.
Sebagaimana diketahui, pihak ketiga yang di luar perjanjian arbitrase dimaksud, dapat menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa ada 3 macam:
1. Vrijwaring
2. Tussenkomst
3. Voeging
Dalam vrijwaring, pihak ketiga tersebut masuk atas permintaan termohon guna melindungi kepentingan pihak yang dituntut. Dalam Tussenkomst, masuknya pihak ketiga tersebut adalah untuk membela kepentingan dirinya sendiri, oleh itu sangat tipis kemungkinan kehadirannya dalam proses dapat disepakati oleh para pihak. Sedangkan dalam Voeging, masuknya pihak ketiga di sini adalah untuk membela kepentingan salah satu pihak, baik pemohon maupun pihak termohon, semata-mata atas kemauan sendiri pihak ketiga tersebut.
Oleh karena hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut, maka baik dalam vrijwaring maupun tussenkomst ataupun pada voeging, dapat dimengerti apabila kedua belah pihak, baik pemohon ataupun termohon sulit untuk dapat sepakat menerimanya dengan mudah.
Kesepakatan kedua belah pihak dalam pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 merupakan persyaratan dalam menerima kehadiran pihak ketiga tersebut dalam proses penyelesaian sengketa, padahal persyaratan seperti itu tidak dianut dalam praktek di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian dapat diprediksikan penerapan pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 dalam praktek sulit untuk dilaksanakan dalam praktek.
Ad. 2. Putusan Akhir
Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.
Yang perlu dijaga dalam putusan akhir ini adalah apakah putusan tersebut sudah memenuhi bunyi pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Yaitu apakah sudah ada klausula arbitrase, apakah klausula arbitrase tersebut telah dimuat dalam dokumen yang telah diterima oleh kedua belah pihak. Dan dalam hal pembuatan klausula arbitrase tersebut dibuat dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman telegram, faximile, e-meil atau dalam bentuk sarana komonikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. (pasal 4).
Di samping itu harus pula diperhatikan apakah sengketa yang ditangani tersebut apakah sengketa di bidang perdagangan dan apakah hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, dikuasai sepenuhnya pihak-pihak yang bersengketa. Juga harus diperhatikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa-sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5).
Sesuai bunyi pasal 26 ayat (3) apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, kedua Pengadilan Negeri menolak dilaksanakannya putusan arbitrase dimaksud. Dan tidak terbuka upaya hukum apapun terhadap penolakan tersebut.
Ad. 3. Putusan Perdamaian
Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.
Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5 harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.
Ad. 4. Putusan Verstek.
Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata eksekutorial.
Adapun putusan verstek dalam arbitrase berbeda sifatnya dengan putusan verstek menurut HIR di Pengadilan, oleh karena pada arbitrase, tidak terbuka kesempatan untuk verzet, sedang dalam hukum acara di pengadilan diberi kesempatan verzet (perlawanan). Dan apabila dikaitkan dengan pelaksanaan putusan oleh ketua Pengadilan, juga putusan ini tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)
Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase, meliputi Provisi dan Putusan Insidentil.
Sedang yang dimaksud dengan putusan sela Provisi; tidak diatur dengan jelas dalam UU No. 30 tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut hanya ada keterangan bahwa atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya…………dstnya……….. .
Dalam HIR sendiri, tidak mengatur tentang provisi ini, sehingga apabila kita lihat dalam praktek di pengadilan, provisi itu sebagai suatu keputusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap sesuatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir.
Sebagai contoh adalah permohonan dari penuntut agar pembangunan sebuah bangunan dihentikan dulu sampai perkara pokok tentang sengketa kepemilikannya dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak menambah permasalahan kelak pada saat putusan akhir diajuhkan dan dilaksanakannya putusan tersebut.
Sedang putusan provisonil tersebut dijalankan lebih dahulu sebelum diputusnya sengketa mengenai pokok perkara dalam putusan akhir.
Putusan Sela sebagai putusan insidentil oleh UU No. 30 tahun 1999 hanya memberi penjelasan dalam pasal 30 yang berbunyi: 'Pihak ke tiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.
Apabila ketentuan pasal 30 UU No.30 tahun 1999 tersebut dibandingkan dengan praktek di Pengadilan Negeri, terdapat hal-hal yang tidak pas bahkan rancu.
Sebagaimana diketahui, pihak ketiga yang di luar perjanjian arbitrase dimaksud, dapat menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa ada 3 macam:
1. Vrijwaring
2. Tussenkomst
3. Voeging
Dalam vrijwaring, pihak ketiga tersebut masuk atas permintaan termohon guna melindungi kepentingan pihak yang dituntut. Dalam Tussenkomst, masuknya pihak ketiga tersebut adalah untuk membela kepentingan dirinya sendiri, oleh itu sangat tipis kemungkinan kehadirannya dalam proses dapat disepakati oleh para pihak. Sedangkan dalam Voeging, masuknya pihak ketiga di sini adalah untuk membela kepentingan salah satu pihak, baik pemohon maupun pihak termohon, semata-mata atas kemauan sendiri pihak ketiga tersebut.
Oleh karena hal-hal sebagaimana telah dijelaskan tersebut, maka baik dalam vrijwaring maupun tussenkomst ataupun pada voeging, dapat dimengerti apabila kedua belah pihak, baik pemohon ataupun termohon sulit untuk dapat sepakat menerimanya dengan mudah.
Kesepakatan kedua belah pihak dalam pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 merupakan persyaratan dalam menerima kehadiran pihak ketiga tersebut dalam proses penyelesaian sengketa, padahal persyaratan seperti itu tidak dianut dalam praktek di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian dapat diprediksikan penerapan pasal 30 UU No. 30 tahun 1999 dalam praktek sulit untuk dilaksanakan dalam praktek.
Ad. 2. Putusan Akhir
Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.
Yang perlu dijaga dalam putusan akhir ini adalah apakah putusan tersebut sudah memenuhi bunyi pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Yaitu apakah sudah ada klausula arbitrase, apakah klausula arbitrase tersebut telah dimuat dalam dokumen yang telah diterima oleh kedua belah pihak. Dan dalam hal pembuatan klausula arbitrase tersebut dibuat dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman telegram, faximile, e-meil atau dalam bentuk sarana komonikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. (pasal 4).
Di samping itu harus pula diperhatikan apakah sengketa yang ditangani tersebut apakah sengketa di bidang perdagangan dan apakah hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan, dikuasai sepenuhnya pihak-pihak yang bersengketa. Juga harus diperhatikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa-sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian (pasal 5).
Sesuai bunyi pasal 26 ayat (3) apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, kedua Pengadilan Negeri menolak dilaksanakannya putusan arbitrase dimaksud. Dan tidak terbuka upaya hukum apapun terhadap penolakan tersebut.
Ad. 3. Putusan Perdamaian
Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tida didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarasa arbiter maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara pihak-pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dan mempunyai daya kekuatan eksekutorial.
Putusan perdamaian ini oleh karena sudah final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Oleh karena putusan perdamaian ini juga tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (2) jo pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), maka ketentuan pasal 4 dan pasal 5 harus diperhatikan di dalam putusan perdamaian ini.
Ad. 4. Putusan Verstek.
Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majeli arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasar hukum. Putusan mana bersifat final dan mempunyai daya kekuata eksekutorial.
Adapun putusan verstek dalam arbitrase berbeda sifatnya dengan putusan verstek menurut HIR di Pengadilan, oleh karena pada arbitrase, tidak terbuka kesempatan untuk verzet, sedang dalam hukum acara di pengadilan diberi kesempatan verzet (perlawanan). Dan apabila dikaitkan dengan pelaksanaan putusan oleh ketua Pengadilan, juga putusan ini tunduk pada ketentuan pasal 62 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)
BENTUK KESALAHAN
Bentuk Kesalahan
- 1.Kesengajaan
Menurut
sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa
kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat
tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek
1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan
perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881
yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi mencantumkan arti
kesengajaan seperti rancangan terdahulu (Jonkers 1946: 45).
Seseorang
yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat
an harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk
perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh
reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.
Kesengajaan itu secara alternatif,
dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud
kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan
kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.
Teori
kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karanganya
tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan
bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak
untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan katta alin apabila
seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu
kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan
perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya,
ataupun hal ikhwal yang menyertai.
Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank
(Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner
Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat
atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya
tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat
membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Menurt
teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya
maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki
oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada
perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut
teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)bahw
aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh
si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada
perbuatan saja.
Dalam
kehidupan sehari- hari memang seseorang yang hendak membunuh orang
lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka
perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi
akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena
itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat
membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan
timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia,
dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De
voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya,
dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan piikiran
bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan
sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk
menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan
(gambaran) tentang sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah,
maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong
untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan (Prof. Moeljanto,S.H. Kuliah:
224).
3. Beberapa Jenis dan Pengertian Lain Dari Beberapa “Dolus”
Di dalam beberapa literature hokum
pidana antara lain tulisan Vos (1950 : 121), Jonkers (1946 : 55) dan D.
Hazewinkel Suringa (1968 : !07-108) dapat disusun beberapa jenis dan
pengertian yang lain dan pengertian yang lain dari pembagian dolus, yang
terdiri atas :
a. dolus
generalis, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada orang banyak atau
kesengajaan tidak ditujukan kepada orang banyak melainkan kepada
seseorang akan tetapi untuk mencapai tujuanya diperlukan lebih banyak
perbuatan yang dilakukan. Misalnya, melempar bom ditengah-tengah
orang-orang berkerumun.
b. Dolus indirectus, yaittu melakukan suatu perbuatan yang dilarang undang-undang yang terbit akibat lain yang tidak dikehendaki.
Misalnya,
mendorong seorang wanita hamil dari suatu tangga sehingga jatuh dengan
mengakibatkan gugurnya kandungan. Bangunan dolus yang demikian ini sudah
banyak tidak diikuti, seperti halnya sengaja melakukan penganiayaan
tetapi akibat perbuatanya si korban menjadi mati, yang dalam peristiwa
ini pembuat dituntut pasal 351 ayat 3 dan bukan oleh pasal 338 KUHP.
c. dolus
determinatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada tukuan tertentu,
baik terhadap pada pembuatnya maupun pada akibat perbuatanya. Apabila
tujuan yang dimaksudkan hanya semata-mata dipandang sebagai objek
tidaklah mempunyai arti karena tidak pernah ada.
d. Dolus
indeterminatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang
atau tidaka mempedulikan apa/siapa saja yang menjadi korban. Misalnya
menuangkan racun kedalam mata air sungai dimana tempat itu dipakai untuk
keprluan air minum bagi umum.
e. Dolus
alternatives, yaitu kesengajaan dari pembuat menghendaki akibat yang
satu atau akibat ynag lain, jadi memilih diantara dua akibat. Misalnyasi
pembuat bertujuan untuk membunuh terhadap A atau B saja, dan untuk
membunuh orang sebanyak mungkin seperti terror yang disebut kesengajaan
umum atau generalis;
f. Dolus
premiditatus, dan dolus repentitus, yaitu yang peetama merupakan
kesengajaan yang dilakukan dengan telah dipertimbangkan masak-masak
lebih dahulu dalam hati yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan
kesengajaan dengan sekonyong-konyong.
Perbedaan antara kedua bentuk kesengajaan itu terletak pada pemberatan pidananya.
4. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan (Dwaling)
Seseorang yang melakukan perbuatan yang
dilarang dan diancan dengan pidana oleh peraturan hokum pidana itu
dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan. Mengenai dwaling ada
beberapa bentuk, dan biasanya dibarengi dengan masalah hubungan antara
kesengajaan dengan sifat melawan hukum,, yaitu ada tidaknya penginsyafan
atas unsur melawan hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas sifat
melawan hukum itu berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai
hal-hal di luar hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke
dwaling), akan tetapi apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum
pidan maka di situlah kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali
untuk melepaskan diri dari tuntutan pidana (rechtsdwaling).
a. Feitelijke dwaling
Jika
kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah
satu unsur perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.
Misalnya : seseorang mengira dengan jalan membayar sesuatu barang sudah
menjadi pemilik, dengan kemudian atas barng tersebut dipreteli sehingga
tidak seperti aslinya laginya lagi padahal pemilikan itu belum sempurna
karena belum ada penyerahan yang masih dibebani biaya diluar harga,
disini tidak dapat dituntut dengan pasal 406 KUHP. Demikian pula
seseorang yang bermaksud mengambil sebuah barang yang dikira kepunyaan
orang lain, ternyata barang itu dihibahkan oleh pemilik semula
kepadanya, disini tidaka dapat dituntut dengan pasal 362 KUHP
b. Rechtsdwaling & c. Error in persona
Rechtsdwaling
melakukan
suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh
undang-undang. Didalam rechtdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan
yang dapat dimengerti (verscoonbaredwaling) dan kekeliruan yang tidak
dapat dimengerti (onverschoonbare dwaling). Misalnya orang irian barat
yang biasanya hidup sebelum tahun 1962, masih selalu telanjang bulat,
dan kebiasaan telanjang itu dilakukan di tempat lain di jawa, karena itu
orang irian barat tidak dapat diharapkan untuk mengetahui undang-undang
yang berlaku, sehingga perbuatan itu dapat dimengerti atas kekeliruan
hukum yang dikira tidak dilarang (verschoonbare dwaling). Sebaliknya
seorang Monaco yang biasanya tidak dilarang untukmengadakan perjudian ditempat umum setelah ia di Indonesia
meneruskan mata pencaharian dengan berjudi iti dengan mengira tidak
dilarang oleh undang-undang yang sebenarnya terjadi kekeliruan hukum
sehingga kepadanya tetap dapat dituntut walaupun ada kekeliruan tentang
hukum yang berlaku (onverschoonbare).
Error in persona
Kekeliruan
mengenai orang yang menjadi tujuan dai perbuatan pidana. Misalnya A
hendak membunuh B, oleh karena belum kenal dekat ternyata yang dikira B
yang dibunuh iitu adalah C. perbuatan A itu tidak dapat melepaskan diri
dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.
d. Error in objecto
Kekeliruanmengenai
objek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya A melepaskan
tembakan kepada suatu sasaran yang dikira seekor rusa, akan tetapi
ternyata adah orag yang sedang begerak – gerak dianara pepohonan,
sehinga luka parah dan akhirnya meninggal. Dalam peristiwa ini tidak
terjadi perbuatan pidana pembunuhan dalam passal 338 KUHP melainkan
dapat dituntut karena perbuatan pidana pasal 351 ayat 3 KUHP yang lebuh
ringan yaitu menyebabkan matinya seseorang karena penganiayaan.
e. Aberratio ictus
kekeliruan
dalam hal ini mempunyai corak lain daripada error in persona karena
orangnya, akan tetai karena macam-macam sebab perbuatanya menimbulkan
akibat yang berlainan daripada yang di kehendaki. Misalnya A hendak
embunuh dengan lemparan pisau kepada B yang tidak mengenainya, akan
tetapi terkena pada C yang berdiri di dekat situ. Kepada A dapat
dituntut hukum pidana karena kealpaanya menyebabkan metinya orang lain,
ataupun tuntutan lainya tergantung dari hasil pemeriksaan sidang dengan
hasil kemudian sebagai kejahatan terhadap nyawa orang. Karena jlanya
aberratio ictus sedemikian rupa , adakalanya pendapat lain bahwa
aberratio ictus itu tidak ada dwaling, melainkan suatu perbuatan pidana
yang jalnya kausal menjadi lain dengan apa yang dikehendaki oleh
pembuatnya.
Seperti
diketahi dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja” (opzet)
sebagaiman dirumuskan pada tiap-tiap pasal. Bebrapa istilah itu dapat
dipandang sebagai istilah lain atau sama artinya dengan istilah sengaja,
oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja sama artinya telah
dikehendaki dan diketahui, willen en watens, seperti misalnya istilah :
padahal mengetahui (wetende dat) dalam pasal 220 KUHP, yang diketahui
(waarvanhij weet) dalam pasal 275 KUHP, yang telah diketahui (waarvanhij
kent) dalam pasal 282 KUHP, dan diketahuinya (waarvan hem beken is)
dalam pasal 247 KUHP.
Langganan:
Postingan (Atom)