A. Umum
Gugatan dalam hukum
perdata terdiri dari Gugatan Permohonan (voluntair) dan Gugatan
Kontentiosa. Gugatan permohonan menurut Mahkamah Agung adalah permasalahan
perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau
kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Ciri-ciri dari suatu
permohonan sebagai berikut:
1. masalah yang diajukan bersifat kepentingan
sepihak semata (for the benefit of one party only).
2.
permohonan tidak menyangkut sengketa dengan pihak lain;
3.
tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik
sebagai lawan (ex-parte).
Sedangkan Gugatan
Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung permasalahan dengan orang
lain yang mengandung sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between
contending parties) yang diajukan kepada ketua pengadilan untuk diperiksa
dan diputus.
Gugatan Kontentiosa kita
temukan dalam, pertama di Pasal
118 ayat (1), 119 dan 120 HIR dengan menyebut istilah ”Gugatan Perdata dan
Gugatan”; kedua di Pasal 1 RV menyebut Gugatan Kontentiosa dengan
istilah ”Gugatan” yang berbunyi ”tiap-tiap proses perkara
perdata....,dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan....”. Menurut Prof.
Sudikno Mertokusumo, Gugatan Kontentiosa adalah adalah tuntutan perdata (burgerlijke
vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Mahkamah
Agung menyebut Gugatan Kontentiosa dalam putusannya yang berbunyi ”selama
proses perkara belum diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut
gugatan dengan persetujuan tergugat”.
B. Syarat-syarat Gugatan
C.1. Syarat Formil
Syarat formal dari suatu gugatan,
dapat dirinci sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
dalam surat gugatan biasanya
disebutkan secara tegas tempat dimana gugatan itu dibuat. Misalnya apakah
gugatan dibuat di tempat domicili penggugat atau di tempat kuasanya.
Selanjutnya disebutkan tanggal, bulan dan tahun pembuatan gugatan itu. Tanggal
yang termuat pada kanan atas surat gugatan itu hendaklah sama dengan tanggal
yang dimuat pada materai surat gugatan. Apabila terdapat perbedaan tanggal,
maka tanggal pada materai yang dianggap benar.
b. Materai
dalam prakteknya, surat gugatan
wajib diberi materai secukupnya. Suatu surat gugatan yang tidak dideri materai
bukan berarti batal, tetapi akan dikembalikan untuk diberi materai. Pada
materai itu kemudian diberi tanggal, bulan dan tahun pembuatan atau
didaftarkannya gugatan itu di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.
c. Tanda Tangan
Tanda tangan (handtekening)
dalam Surat Gugatan merupakan syarat formil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal
118 ayat (1) HIR, bahwa bentuk surat permohonan ditandatangani penggugat atau
kuasanya. Menurut Pasal St. 1919-776, Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat
membubuhkan Cap Jempol ─ berupa ibu jari tangan ─ di atas Surat Gugatan sebagai
pengganti tanda tangan. Surat Gugatan yang dibubuhkan Cap Jempol selanjutnya
dilegalisir di pejabat yang berwenang ─
misalnya Camat, Notaris, Panitera ─, namun bukan hal yang ”Imperatif”
mengakibatkan (rechts gevolg) gugatan menjadi cacat hukum secara formil,
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 769 K/Sip/1976 yang
berbunyi ”....cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat
gugatan batal demi hukum (van rechtswege nietig), tetapi cukup diperbaiki
dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisir”;
B. 1. Syarat Materiil
a. Identitas Para Pihak
dalam suatu surat gugatan
haruslah jelas diuraikan mengenai identitas Penggugat/Para Penggugat atau tergugat/para
tergugat.
Identitas itu umumnya menyangkut
:
1). Nama lengkap;
2). Tempat Tanggal Lahir/ Umur;
3). Pekerjaan;
4). Alamat atau domicili
Dalah hal penggugat atau tergugat
adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas disebutkan dan siapa yang
berhak mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau ada
kalanya kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang
dari badan hukum itu, maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas
badan hukum itu.
Penyebutan identitas para pihak
dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak (absolute)
keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada
gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah
untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
b. Dasar-dasar gugatan (Fundamentum Petendi/Posita)
Dasar gugatan (grondslag van
de lis ) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib
dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUH
Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang mendalilkan
suatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain,
diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Mengenai Dasar Gugatan,
muncul dua teori: Pertama, Substantierings Theori. Teori ini mengajarkan
bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi
dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului
peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut; dan Kedua,
Individualisering Theori. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa hukum yang
dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding)
yang menjadi dasar gugatan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah
terjadinya hubungan hukum, karena itu dapat diajukan berikutnya dalam proses
pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 547 K/Sep/1971,
yang menegaskan bahwa, ”....perumusan kejadian materi secara singkat sudah
memenuhi syarat....”.
Di dalam praktek posita itu
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Obyek Perkara
2). Fakta-Fakta Hukum
3). Kualifikasi Perbuatan
Tergugat
4). Uraian Kerugian
5). Hubungan Posita Dengan
Petitum.
c. Petitum
Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg
disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat
agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di
dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara jelas,
singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan
tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. Disamping itu
petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh posita. Posita
yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya
tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya
tuntutan ditolak oleh hakim.
Dalam praktek peradilan, petitum
dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1). Petitum Primer;
Petitum ini merupakan tuntutan
yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang
dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang
diminta atau dituntut.
2). Petitum Tambahan;
Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer.
Biasanya dapat berupa:
· Tuntutan agar tergugat membayar
biaya perkara;
· Tuntutan uitvoerbaar bij
voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
· Tuntutan provisionil,
yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara
yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
· Tuntutan agar tergugat
dihukum untuk membayar bunga muratoir;
· Tuntutan agar tergugat
dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom);
3). Petitum Subsider;
Diajukan oleh penggugat untuk
mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh
hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili menurut keadilan
yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)”
PERIHAL GUGATAN
A. Pendahuluan
Perkara perdata yang tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak boleh diselesaikan
dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi harus diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yg merasa
dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan
untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan
menyampaikan gugatan terhadap pihak dirasa merugikan.
Perkara perdata ada 2 yaitu :
- Perkara contentiosa (gugatan) yaitu perkara yang di dalamnya
terdapat sengketa 2 pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah
gugatan perdata. Artinya ada konflik yang harus diselesaikan dan harus
diputus pengadilan, apakah berakhir dengan kalah memang atau damai
tergantung pada proses hukumnya. Misalnya sengketa hak milik, warisan,
dll.
- Perkara voluntaria yaitu yang didalamnya tidak terdapat sengketa
atau perselisihan tapi hanya semata-mata untuk kepentingan pemohon dan
bersifat sepihak (ex-parte). Disebut juga gugatan permohonan. Contoh
meminta penetapan bagian masing-masing warisan, mengubah nama,
pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dll.
Menurut Yahya Harahap gugatan permohonan
(voluntair) adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk
permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan
kepada ketua pengadilan.
Ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only) :
- Benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang
sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hokum, isalnya
permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu.
- Apa yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan lain.
2. Permasalahan yang dimohon penyelesaian kepada pengadilan negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (withaout disputes of defferences with another party).
Berdasarkan ukuran ini tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang
penyelesaian sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta
pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.
3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte.
Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex parte. Permohonan untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau yang terlibat dalam permasalahan hokum (involving onle one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu, hanya satu pihak.
Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria dapat ditinjau dari :
1. Pihak yang berpekara :
- Contentiosa, pihak yang berperkara adalah penggugat dan tergugat.
Ada juga isitlah turut tergugat (tergugat II,II, IV , dst). Pihak ini
tidak menguasai objek sengketa atau mempunyai kewajiban melaksanakan
sesuatu. Namun hanya sebagai syarat lengkapnya pihak dalam berperkara.
Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohon agar tunduk dan taat dan taat
terhadap putusan pengadilan (MA tgl 6-8-1973 Nomor 663 K/Sip/1971
tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972). Sedangkan turut penggugat tidak
dikenal dalam HIR maupun praktek.
- Voluntaria, pihak yang berpekara adalah pemohon.
Istilah pihak pemohon dalam perakra
voluntaria diatas, ini tentunya tidak relevan dengan jika dikaitkan
dengan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebab dalam UU
tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan
perceraian dilakukan oleh suami kepada istrinya sehingga pihak-pihaknya
disebut pemohon dan termohon berarti ada sengketa atau konflik . istilah
pihak-pihak yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 adalah tentunya suatu
pengecualiaan istilah yang dipakai dalam perkara voluntaria.
2. Aktifitas hakim dalam memeriksa perkara :
- Contentiosa, terbatas yang dikemukakan dan diminta oleh pihak-pihak
- Voluntaria : hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas hakim bercorak administratif.
3. Kebebasan hakim
- Contentiosa : hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah ditentukan undang-undang
- Voluntaria : hakim memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaannya.
4. Kekuatan mengikat putusan hakim
- Contentiosa : hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa serta orang-orang yang telah didengar sebagai saksi.
- Voluntaria : mengikat terhadap semua pihak.
5. Hasil akhir perkara :
- Hasil suatu gugatan (Contentiosa) adalah berupa putusan (vonis)
- Hasil suatu permohonan (voluntaria) adalah penetapan (beschikking).
B. Pengertian Gugatan
- Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Psl 1 angka 2, gugatan adalah
tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan
- Sudikno Mertokusumo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
main hakim sendiri (eigenrichting).
- Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan
terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu
oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan
tersebut.
C. Ciri-Ciri Gugatan
- Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
- Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
- Bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak
dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai
tergugat.
D. Bentuk Gugatan
Gugatan diajukan dapat berbentuk :
- Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg
- Lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg
Tentang gugatan lisan “bilamana penggugat
buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan
kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan”.(Pasal 120 HIR).
Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim
lagi, bahkan menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369
K/Sip/1973 orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan
gugatan secara lisan
Yurisprudensi MA tentang syarat dalam menyusun gugatan :
- Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup
memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan
(MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972)
- Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)
- Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975 dll
- Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak,
batas-batas dan ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971)
Tidak memenuhi syarat diatas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan
jika penggugat/kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu
ke ketua pengadilan. Namun karena sekarang sudah banyak
advokat/pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa
tulisa baca.
Dalam hukum acara perdata ada istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak.
- Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum
yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak
membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak
gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat
mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi
syarat formil.
- Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila
tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan
hakim dengan melakukan penolakan bermaksud menolah setelah
mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini penggugat tidak ada
kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada
tidak memenuhi syarat materil (pembuktian)
E. Syarat dan Isi Gugatan
Syarat gugatan :
- Gugatan dalam bentuk tertulis.
- Diajukan oleh orang yang berkepentingan.
- Diajukan ke pengadilan yang berwenang (kompetensi)
Isi gugatan :
Menurut Pasal 8 BRv gugatan memuat :
- Identitas para pihak
- Dasar atau dalil gugatan/ posita /fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum
- Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/tambahan
Identitas para pihak adalah keterangan yang
lengkap dari pihak-pihak yang berpekara yaitu nama, tempat tinggal, dan
pekerjaan. Kalau mungkin juga agama, umur, dan status kawin.
Fundamentum petendi (posita) adalah dasar
dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara
pihak-pihak yang berpekara (penggugat dan tergugat) yang terdiri dari 2
bagian yaitu : 1) uraian tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah merupakan
penjelasan duduk perkaranya, 2) uraian tentang hukumnya (rechtsgronden)
adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis dari gugatan
Petitum adalah yang dimohon atau dituntut
supaya diputuskan pengadilan. Jadi, petitum ini akan mendapat jawabannya
dalam diktum atau amar putusan pengadilan. Karena itu, penggugat harus
merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas, kalau tidak bisa
menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.
Dalam praktek ada 2 petitum yaitu :
- Tuntutan pokok (primair) yaitu tuntutan utama yang diminta
- Tuntutan tambahan/pelengkap (subsidair) yaitu berupa tuntutan agar
tergugat membayar ongkos perkara, tuntutan agar putusan dinyatakan dapat
dilaksanakan lebih dahulu (uit vierbaar bij vorraad), tuntutan agar
tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom), tuntutan akan nafkah
bagi istri atau pembagian harta bersama dalam hal gugatan perceraian,
dsb.
F. Teori Pembuatan Gugatan
Ada 2 teori tentang bagaimana menyusun sebuah surat gugatan yaitu :
- Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini menyatakan bahwa
gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului
peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hokum tersebut.
Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan
tidak cukup hanya menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi
juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli,
mewaris, hadiah dsb. Teori sudah ditinggalkan
- Individualiserings Theorie yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam
dalam gugatan cukup disebutkan peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hhukum yang menjadi
dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang
mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian hokum tersebut.
Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, misalnya dalam
gugatan cukup disebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu. Dasar
terjadinya atau sejarah adanya hak milik atas benda itu padanya tidak
perlu dimasukan dalam gugatan karenaini dapat dikemukakan di persidangan
pengadilan dengan disertai bukti-bukti. Teori ini sesuai dengan system
yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana orang boleh beracara secara lisan,
tidak ada kewajiban menguasakan kepada ahli hukum dan hakim bersifat
aktif.
G. Pencabutan Gugatan
Pencabutan gugatan dapat terjadi:
- Sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini adalah tergugat belum memberikan jawaban.
- Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila
tergugat sudah memberikan jawaban maka harus dengan syarat disetujui
oleh pihak tergugat.
Jika gugatan dicabut sebelum tergugat
memberikan jawaban maka penggugat masih boleh mengajukan gugatannya
kembali dan jika tergugat sudah memberikan jawaban penggugat tidak boleh
lagi mengajukan gugatan karena penggugat sudah dianggap melepaskan
haknya.
H. Perubahan Gugatan
Perubahan surat gugatan dapat dilakukan dengan syarat :
- Tidak boleh mengubah kejadian materil yang menjadi dasar gugatan (MA tanggal 6 Maret 1971 Nomor 209 K/Sip/1970.
- Bersifat mengurangi atau tidak menambah tuntutan.
Contoh ad. 1. Penggugat semula menuntut agar
tergugat membayar hutangnya berupa sejumlah uang atas dasar “perjanjian
hutang piutang”, kemudian diubah atas dasar “perjanjian penitipan uang
penggugat pada tergugat”. Perubahan seperti ini tidak diperkenankan.
Contoh ad. 2. Dalam gugatan semula A menutut
B agar membayar hutangnya sebesar Rp. 1.000.000. Kemudian A mengubah
tuntutannya agar B membyara hutangnya sebesar 1.000.000 ditambah Bungan
10 % setiap bulan. Perubahan bentuk seperti ini tidak dibenarkan.
Tentang perubahan atau penambahan gugatan
tidak diatur dalam HIR/Rbg namun dalam yurisprudensi MA dijelaskan bahwa
perubahan atau penambahan gugatan diperkenankan asal tidak merubah
dasar gugatan (posita) dan tidak merugikan tergugat dalam pembelaan
kepentingannya (MA tgl 11-3-1970 Nomo 454 K/Sip/1970, tanggal 3-12-1974
Nomor 1042 K/Sip/1971 dan tanggal 29-1-1976 Nomor 823 K/Sip/1973).
Perubahan tidak diperkenankan kalau pemeriksaan hamper selesai. Semua
dali pihak-pihak sudah saling mengemukakan dan pihak sudah memohon
putusan kepada majelis hakim (MA tanggal 28-10-1970 Nomo 546
K/Sip/1970).
Kesempatan atau waktu melakukan perubahan gugatan dapat dibagi menjadi 2 tahap :
- Sebelum tergugat mengajukan jawaban dapat dilakukan tanpa perlu izin tergugat.
- Sesudah tergugat mengajukan jawaban harus dengan izin tergugat jika
tidak di setujui perubahan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan :
a) Tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan terutama tergugat.
b) Tidak menyimpang dari kejadian materil sebagai penyebab timbulnya perkara.
c) Tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.
I. Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan
Penggabungan / kumulasi gugatan ada 2 yaitu :
- Kumulasi subjektif yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127
HIR/151 RBg) adalah penggugat atau beberapa penggugat melawan
(menggugat) beberapa orang tergugat, misalnya Kreditur A mengajukan
gugatan terhadap beberapa orang debitur (B, C, D) yang berhuntang secara
tanggung renteng (bersama). Atau beberapa penggugat menggugat seorang
tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwan tuntutan tersebut harus
ada hubungan hokum yang erat satu tergugat dengan tergugat lainnya
(koneksitas). Kalau tidak ada hubunganya harus digugat secara
tersendiri.
- Kumulasi objektif yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam satu
perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan), misalnya A menggugat B
selain minta dibayar hutang yang belum dibayar juga menuntut
pengembalian barang yang tadinya telah dipinjam.
Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
- Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
- Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
- Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan.
Tujuan penggabungan gugatan :
- Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/bertentangan.
- Untuk kepentingan beracara yang bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan.
J. Kompetensi atau Kewenangan Mengadili
Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan.
Kompetensi ada 2 yaitu :
- Kompetensi mutlak/absolut yaitu dilihat dari beban tugas
masing-masing badan peradilan. Di Indonesia ada beberapa badan
peradilan, misalnya peradilan umum (pengadilan negeri), peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, peradilan niaga
(kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual), pengadilan hubungan industrial
(perburuhan), peradilan HAM di Indonesia. Jika ada suatu sengketa
dibidang tanah, maka yang berwenang (kompetensi asbulut) adalah
pengadilan negeri. Atau sengketa warisan bagi orang islam maka yang
berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan agama.
- Kompetensi relatif/nisbi yaitu dari wilayah hukum masing-masing
peradilan. Wilayah hukum peradilan biasanya berdasarkan pada wilayah
dimana tempat tinggal tergugat, misalnya sengketa warisan orang islam
tergugatnya berada di Tembilahan (Inhil) maka komptensi relatifnya
adalah pengadilan agama Tembilahan. Lain hal jika alamat tergugat berada
di kabupaten Rengat, maka kompetensi relatifnya adalah pengadilan agama
Rengat. Dalam perkara cerai talak, komptensi relatifnya berdasarkan
dimana alamat termohon. Tentang kompetensi relative, hal ini disebutkan
dalam Pasal 118 HIR/142 RBg kompetensi relatif adalah pengadilan negeri
di tempat tinggal tergugat (asas Actor Sequitor Forum Rei).
Pasal 118 HIR/142 RBg mengatur juga pengecualiannya yaitu :
- Diajukan di tempat kediaman tergugat yang terakhir yang sebenarnya apabila tidak diketahui tempat tinggalnya.
- Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
- Satu tergugat sebagai yang berhutang dan satu lagi penjamin diajukan
di tempat tinggal yang berhutang, apabila tempat tinggal tergugat
(berhutang) dan tempat turut tergugat (penjamin) berbeda maka diajukan
dimana tempat tinggal tergugat.
- Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan
kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah
seorang penggugat.
- Jika objeknya benda tetap diajukan di tempat benda tetap itu berada.
- Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang
dipilih (domisili hukum) mka gugatan diajukan di tempat tinggal yang
dipilih tersebut (pilihan domisili hukum), namun jika penggugat mau
memilih berdasarkan tempat tinggal tergugat, maka gugatan juga dapat
diajukan di tempat tinggal tergugat.
K. Para Pihak Dalam Berperkara
Ada 2 pihak yaitu penggugat dan tergugat.
Pihak ini dapat secara langsung berperkara di pengadilan dan dapat juga
diwakilkan baik melalui kuasa khusus (pengacara) maupun kuasa
insidentil (hubungan keluarga).
Untuk ini dapat dibedakan atas :
- Pihak materil : pihak yang mempunyai kepentingan langsung yaitu
penggugat dan tergugat. Sering juga disebut dengan penggugat in person
dan tergugat in person.
- Pihak formil : mereka yang beracara di pengadilan, yaitu penggugat, tergugat dan kuasa hukum.
- Turut tergugat : pihak yang tidak menguasai objek perkara tetapi akan terikat dengan putusan hakim.
Contoh perkara sengketa tanah antara A
(penggugat) dengan B (Tergugat), dimana B mengusai tanah milik A dan
tanah tersebut disertifikat, dimana B mengusai tanah milik A dan tanah
tersebut disertifikatkan oleh C (BPN), maka A dan B disebutkan oleh C
(BPN), maka A dan B disebut pihak formil/materil dan C adalah turut
tergugat.
L. Perwakilan dalam Perkara Perdata
Dalam sistim HIR/RBg beracara di muka
pengadilan dapat diwakilkan kepada kuasa hukum dengan syarat dengan
surat kuasa. Menurut UU No 18 Tahun 2003 tentang advokat , kuasa hukum
itu diberikan kepada advokat.
Advokat adalah orang yang mewakili kliennya
untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan
untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan
atau beracara di pengadilan.
M. Surat Kuasa
Surat kuasa adalah suatu dokumen di mana
isinya seseorang menunjuk dan memberikan wewenang pada orang lain untuk
melakukan perbuatan hukum untuk dan atas namanya. Menurut Pasal 1792
KUHPerdata, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Macam-macam surat kuasa :
- Surat kuasa umum yaitu surat yang menerangkan bahwa pemberian kuasa
tersebut hanya untuk hal-hal yang bersifat umum saja, artinya untuk
segala hal atau segala perbuatan dengan titik berat pengurusan. Surat
kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili
pemberi kuasa.
- Surat kuasa khusus yaitu kuasa yang menerangkan bahwa pemberian
kuasa hanya berlaku untuk hal-hal tertentu saja atau lebih (1795
KUHPerdata). Dengan surat kuasa khusus penerima kuasa dapat mewakili
pemberi kuasa di depan pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 123 HIR.
Dengan demikian dalam beracara perdata digunakan surat kuasa khusus.
Isi Surat Kuasa Khusus :
- Identitas pemberi kuasa dan penerima kuasa yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat atau tempat tinggal.
- Apa yang menjadi pokok perkara, misalnya perkara perdata jual beli
sebidang tanah ditempat tertentu melawan pihak tertentu dengan nomor
perkara, pengadilan tertentu.
- Batasan isi kuasa yang diberikan. Dijelaskan tentang kekhususan isi
kuasa. Diluar kekhususan yang diberikan penerima kuasa tidak mempunyai
kewenangan melakukan tindakan hukum, termasuk kewengan sampai ke banding
dan kasasi.
- Hak subsitusi/pengganti. Ini penting manakala penerima kuasa
berhalangan sehingga ia berwenang menggantikan kepada penerima kuasa
lainnya, sehingga sidang tidak tertunda dan tetap lancar.
Contoh kuasa khusus :
SURAT KUASA
Yang bertanda tangan dibawah ini :
N a m a : FIRDAUS Bin DAUS
TTL / Umur : Makasar, 26 Juni 1975 / 29 tahun
Pekerjaan : Tani
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : WNI
Alamat : Jalan Pelita jaya No. 20 Tembilahan Inhil Riau
Dengan ini menerangkan memberikan kuasa pekara No.… (tulis nomor perkara jika perkara sudah masuk dipersidangan) kepada :
N a m a : ABDUL HADI HASIBUAN, SH
Pekerjaan : Pengacara / Advokat
Berkantor jalan Subrantas No. 09 Tembilahan.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi mewakili sebagai
Penggugat, mengajukan gugatan …….terhadap H. SINAGA Bin H. LUBIS di
Pengadilan Negeri Tembilahan.
Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan
untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan Negeri
Temvbilahan, menghadapi instansi-instansi, jawabatan-jawatan, hakim,
pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, menerima, mengajukan
kesimpulan-kesimpulan, meminta siataan, mengajukan dan
menolak-saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi,
meminta atau memberikan segala keterangan yang diperlukan, dapat
mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang
diberi kuasa, menerima uang pembayaran dan memberikan kwitansin tanda
penerimaan dan memberikan kwitansi tanda penerimaan uang, meminta
penetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakukan
peneguran-peneguran, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu
dan berguna sehubungan dengan menjalankan perkara serta dapat
mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh
seorang kuasa/wakil guna kepentingan tersbeut diatas, juga mengajukan
permohonan banding atau kontra, kasasi atau kontra.
Kuasa ini berikan dengan berhak mendapatkan
honorarium (upah) dan retensi (hak menahan barang milik orang lain)
serta dengan hak substitusi (melimpahkan) kepada orang lain baik
sebagian maupun seluruhnya.
Tembilahan, 2010
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa
Materi 6000
ABDUL HADI HASIBUAN, SH FIRDAUS BIN DAUS
Bentuk Gugatan menurut HIR
Dalam
Herziene Indonesische Reglement (
“HIR”) dikenal 2 (dua) macam bentuk surat gugatan yaitu;
1. Gugatan Tertulis
Bentuk gugatan tertulis adalah yang
paling diutamakan di hadapan pengadilan daripada bentuk lainnya. Gugatan
tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”)
yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus
dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang
berhak dan berwenang dalam mengajukan surat gugatan adalah; (i)
penggugat dan atau (ii) kuasanya.
2. Gugatan Lisan
Bagi mereka yang buta huruf dibuka
kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata,
karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg)
yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya
dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang
mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan
lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan
penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia
pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang
tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat
memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili
suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.
Formulasi Surat Gugatan
Setiap
orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan Gugatan terhadap pihak
yang dianggap merugikan melalui pengadilan. Bentuk Gugatan dapat
diajukan secara lisan atau secara tertulis. Gugatan itu harus diajukan
oleh orang atau badan hukum yang berkepentingan, dan tuntutan hak di
dalam Gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya
yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam
sidang pemeriksaan.
Ciri-ciri Gugatan adalah:
- Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan berupa sengketa.
- Sengketa terjadi di antara para pihak, minimal antara 2 (dua) pihak.
- Bersifat partai (party) dengan kedudukan, pihak yang satu berkedudukan sebagai Penggugat, dan pihak lain berkedudukan sebagai Tergugat.
Mengenai persyaratan tentang isi
daripada Gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam
Rv Pasal 8 angka 3 yang mengharuskan adanya pokok Gugatan yang
meliputi:
1. Identitas para pihak.
Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari Penggugat dan Tergugat, yaitu Nama, pekerjaan, tempat tinggal/domisili.
2. Dalil-dalil konkret tentang adanya peristiwa dan hubungan hukum
yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan. Dalil-dalil ini
lebih dikenal dengan istilah Fundamental Petendi.
Fundamental Petendi adalah
dalil-dalil hukum konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar dan alasan dari tuntutan.
Fundamental Petendi terbagi atas 2 (dua) bagian:
- Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
- Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
Uraian tentang kejadian merupakan
penjelasan duduknya perkara, tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Tentang uraian yuridis tersebut
tidak harus menyebutkan peraturan perundang-undangan yang dijadikan
dasar tuntutan, melainkan hanya hak atau peristiwa yang harus dibuktikan
di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan yang memberikan
gambaran mengenai fakta materiil.
3. Tuntutan atau Petitum, harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan Gugatan.
Tuntutan atau Petitum adalah segal hal
yang dimintakan atau dimohonkan oleh Penggugat agar diputuskan oleh
majelis hakim. Jadi, Petitum itu akan terjawab di dalam amar atau diktum
putusan. Oleh karenanya, Petitum harus dirumuskan secara jelas dan
tegas. Apabila Petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat
berakibat tidak diterimanya Petitum tersebut.
Demikian pula Gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut obscuur libel (Gugatan yang tidak jelas/ Gugatan kabur), yang berakibat tidak diterimanya atau ditolaknya Gugatan tersebut.
Petitum terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Petitum Primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
2. Petitum Tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
Petitum Tambahan dapat berwujud:
a. Tuntutan agar Tergugat di hukum untuk membayar biaya perkara.
b. Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad”
yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada
perlawanan, banding atau kasasi. Di dalam praktek, tuntutan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan, akan tetapi Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secra mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) berupa sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom).
3. Petitum Subsidiari atau pengganti. Biasanya berisi kata-kata: “apabila Majelis Hakim perkara perpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).”
Jadi, maksud dan tujuan tuntutan
subsidiair adalah apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan
dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan atau kebijaksaaan
hakim berdasarkan keadilan.
Perbedaan Prinsip antara Permohonan dengan Gugatan
Sering
kita dengar dan jumpai istilah permohonan dan gugatan di dalam Hukum
Acara Perdata yang berlaku di Indonesia. Namun, bagi sebagian besar
orang awan tidak mengerti perbedaan antara keduanya karena kedua istilah
tersebut sangat berkaitan dengan materi yang diajukan untuk dilakukan
pemeriksaan oleh pengadilan.
1. Permohonan
Secara yuridis, permohonan adalah
permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang
ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.
Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah:
- Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only);
- Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party);
- Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).
Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair
merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”). Meskipun UU 14/1970 tersebut telah
diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair yang merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa
yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan
tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.
Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte
yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon,
memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada
tahap replik-duplik dan kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka
pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikking ; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalan gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).
2. Gugatan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa penetapan dapat disebut dengan gugatan voluntair,
tetapi pengertian ini berbeda dengan pengertian gugatan pada umumnya
yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dalam perundang-undangan,
yaitu gugatan yang dimaksudkan adalah gugatan contentiosa atau biasa disebut dengan gugatan perdata atau gugatan saja.
Pengertian gugatan adalah permasalahan
perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai
penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa,
berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau
berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa,
disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Ciri khas gugatan adalah:
- Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, diffirences).
- Terjadi sengketa di antara para pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.
- Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu
bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya
berkedudukan sebagai tergugat.
- Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
- Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari
permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan
mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.
Bentuk gugatan ada 2 (dua) macam, yaitu
gugatan lisan dan gugatan tertulis. Dasar hukum mengenai gugatan diatur
dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) juncto
Pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) untuk gugatan
tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan tetapi yang
diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.
Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir),
yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membantah
dalil-dalil penggugat dan sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan
bantahan tergugat. Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung
dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun
dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek
atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri
persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah
dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan
sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai
akhir, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan atas gugatan tersebut.
Prinsip Hukum Pemberian Kuasa
Pengaturan
mengenai kuasa pada prinsipnya diatur dalam Bab XVI, Buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), sedangkan aturan khususnya
diatur pada Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dan Reglement voor
de buitengewesten (“RBg”). Oleh karena itu, perlu dipahami beberapa
prinsip hukum pemberian kuasa. Berikut di bawah ini terdapat beberapa
prinsip hukum pemberian kuasa yang dianggap penting untuk diketahui,
antara lain:
1. Penerima Kuasa Langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa.
Pemberian kuasa mengatur hubungan hukum
antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, dimana pemberi kuasa langsung
menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada penerima kuasa
untuk menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
- Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
- Tindakan penerima kuasa
tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan
yang dilakukan penerima kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang
dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
- Dalam ikatan hubungan hukum
yang dilakukan penerima kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa
berkedudukan sebagai pihak materil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
2. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian kuasa adalah
konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan antara pemberi
kuasa dan penerima kuasa, serta berkekuatan mengikat sebagai persetujuan
di antara mereka. Pasal 1792 KUH Perdata dan Pasal 1793 ayat (1) KUH
Perdata pada pokoknya menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas
persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta
otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan.
3. Bersifat Garansi-Kontrak
Kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
(i) sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
(ii) apabila penerima kuasa
bertindak melampaui batas mandat, maka tanggung jawab pemberi kuasa
hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat yang diberikan,
sedangkan pelampauan itu menjadi tanggung jawab pribadi penerima kuasa,
sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang diatur dalam Pasal 1806 KUH
Perdata.
Surat Kuasa Khusus
Latar Belakang
Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia,
apabila seseorang ingin mengajukan suatu gugatan perdata di pengadilan
negeri mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan
prestasi dalam perjanjian atau pun perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang atau badan hukum terhadap dirinya, dan dia
bermaksud menunjuk seorang atau lebih advokat sebagai penerima kuasanya
dalam mewakili dan/atau memberikan bantuan hukum pada proses pemeriksaan
perkara di persidangan, maka orang tersebut harus memberikan kuasa
kepada advokat yang ditunjuk dalam bentuk Surat Kuasa Khusus yang dibuat
dan ditandatangani serta diperuntukkan khusus untuk itu. Hal pemberian
Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus yang demikian ini, berlaku pula bagi
pihak yang digugat oleh pihak lain, yang pada akhirnya diwakili oleh
seorang advokat sebagai penerima kuasa.
Surat Kuasa Khusus
Bentuk kuasa yang sah di depan pengadilan untuk mewakili kepentingan
pihak yang berperkara , di atur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR, yaitu :
1. Kuasa secara Lisan;
Kuasa ini dinyatakan secara lisan oleh
Penggugat di hadapan Ketua Pengadilan Negeri, dan pernyataan pemberian
kuasa secara lisan tersebut dinyatakan dalam catatan gugatan yang dibuat
oleh Ketua Pengadilan Negeri.
2. Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan;
Penggugat dalam surat gugatannya, dapat
langsung mencantumkan dan menunjuk Kuasa Hukum yang dikehendakinya untuk
mewakili dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam praktek, cara
penunjukan seperti itu tetap saja didasarkan atas Surat Kuasa Khusus
yang telah dicantumkan dan dijelaskan pada surat gugatan.
3. Surat Kuasa Khusus.
Pengertian dan definisi dari Surat Kuasa
Khusus tidak di atur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”) maupun HIR, akan tetapi dapat diikhtisarkan
esensi dari Surat Kuasa Khusus yaitu : (i) yang meliputi pencantuman
kata-kata “Khusus” dalam surat kuasa, (ii) yang
berisikan pengurusan kepentingan tertentu pemberian kuasa yang dibuat
dan ditandatangani khusus untuk itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal
1795 KUH Perdata.
Berkaitan dengan pengurusan perkara
perdata di pengadilan negeri oleh seorang advokat sebagai penerima
kuasa, maka hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Kuasa Hukum
dalam pemberian Surat Kuasa Khusus adalah :
- Identitas para pihaknya;
- Pokok dan obyek sengketanya;
- Wilayah kewenangan pengadilan tempat gugatan diajukan;
- Penyebutan kata-kata “KHUSUS” dan klausul khususnya;
- Hak-hak penerima Kuasa, yaitu hak substitusi dan hak retensi;
- Tanggal dibuatnya Kuasa Khusus;
- Tanda tangan para pihaknya, sebagai persetujuan.
Agar tidak terjebak kepada pengertian
antara Kuasa Umum dengan Kuasa Khusus, maka berikut dibawah ini terdapat
bagan perbedaan antara keduanya:
Perbedaan |
Surat Kuasa Khusus |
Surat Kuasa Umum |
Dasar Hukum |
Pasal 1795 KUH Perdata |
Pasal 1796 KUH Perdata |
Judul |
Mencantumkan kata-kata
“Surat Kuasa Khusus” |
Mencantumkan kata-kata “Surat Kuasa Umum” |
Isi |
Meliputi 1 (satu) kepentingan tertentu atau lebih dari
pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh
penerima kuasa |
Meliputi perbuatan- perbuatan segala
pengurusan kepentingan dari pemberi kuasa, misalnya : memindah
tangankan benda, meletakan Hak Tanggungan, membuat perdamaian. |
ISTILAH-ISTILAH DALAM GUGATAN PERDATA
Dalam Gugatan
Contentiosa
atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang berarti gugatan
yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal
beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata
yaitu:
1. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang
merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat. Jika dalam suatu
Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan
“Para Penggugat”.
2. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke
muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak Penggugat. Jika dalam
suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak
tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.
3. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut
Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang
sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi
lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.
Dalam pelaksanaan hukuman putusan hakim,
pihak Turut Tergugat tidak ikut menjalankan hukuman yang diputus untuk
Tergugat, namun hanya patuh dan tunduk terhadap isi putusan tersebut.
4. Penggugat/Tergugat Intervensi
Pihak yang merasa memiliki kepentingan
dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat mengajukan permohonan
untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata tersebut
yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu
perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam
gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah
satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung. Pihak
Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun
sebagai Tergugat Intervensi.
Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh
Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal
pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak
diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum
ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkanPasal
279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim
wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil.
Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud, yaitu:
a) Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging,
Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian
dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam putusan
harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
b) Intervensi /tussenkomst
(menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses
perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu.
Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang
miliknya disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.
Kemudian, permohonan intervensi
dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila permohonan
intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama
yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.
c) Vrijwaring (ditarik
sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab
(untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.
Setelah ada permohonan vrijwaring,
Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan
tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan
permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak,
maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan
banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama
dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka
dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient (pihak
intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka
putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara
Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan
menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara pokok.
Dalam suatu gugatan perdata, orang yang
bertindak sebagai Pengugat harus orang yang memiliki kapasitas yang
tepat menurut hukum. Begitu juga dengan menentukan pihak Tergugat,
haruslah mempunyai hubungan hukum dengan pihak Penggugat dalam perkara
gugatan perdata yang diajukan. Kekeliruan bertindak sebagai Pengugat
maupun Tergugat dapat mengakibatkan gugatan tersebut mengandung cacat
formil. Cacat formil dalam menentukan pihak Penggugat maupun Tergugat
dinamakan Error in persona.
TEKNIK PEMBUATAN SURAT GUGATAN ATAU SURAT PERMOHONAN DAN CARA CARA PEMBUKTIAN DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA
Disusun Oleh:
Nama : Umi Khoirun Nisa’
NIM : 1000080010
Jurusan : Syari’ah
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH SURAKARTA
A. Pendahuluan
Dalam menjalani aktifitas sehari-hari, seringkali kita mengalami
kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain, baik dalam kegiatan
bisnis, maupun saat berinteraksi dalam hidup bermasyarakat. Pada
prinsipnya semua orang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan apabila
kepentingannya dirugikan. Sayangnya masih banyak yang tidak memahami
bagaimana cara mengajukan gugatan tersebut. Sementara untuk menyewa
seorang Lawyer (Pengacara), kadang muncul kekhawatiran akan dibohongi
dan malah menghabiskan uang dan harta yang dimiliki. Nah, untuk memahami
tata cara mengajukan gugatan di Pengadilan sekaligus menghapus
kekhawatiran tadi, berikut adalah tata cara yang berlaku di Pengadilan
Umum disertai biaya perkara. Pada setiap Pengadilan biasanya memiliki
aturan tersendiri mengenai besaran biaya, namun perbedaannya tidak
terlalu signifikan.
Dalam makalah ini saya akan menyampaikan mengenai teknik pembuatan Surat
Gugatan atau surat permohonan serta cara cara pembuktiannya.
B. Teknik Pembuatan surat Gugatan atau surat permohonan
UNSUR-UNSUR DALAM SURAT GUGATAN
1. IDENTITAS
2. POSITA / FUNDAMENTUM POTENDI
Uraian tentang duduk perkara dan dasar-dasar hukum yang mengatur Dan
yang somasi-somasi telah dilakukan Ditunjukkan kesalahan/ pelanggaran
hukum tergugat Bahwa tergugat layak digugat dan diperiksa perkaranya
oleh hakim
3. PETITUM
Isi gugatan yang diminta untuk diputuskan oleh hakim
SuratGugatan :
Surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua
Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung sengketa dan sekaligus landasan pemeriksaan perkara
dan pembuktian kebenaran suatu hak.
SuratPermohonan:
Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan
hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang
tidak mengandung sengketa.
Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara
tertulis. Bagi penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan
menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua
Pengadilan Agama.
Ketua Pengadilan Agama kemudian memerintahkan kepada hakim untuk
mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat atau pemohon,
maka gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh Ketua atau
hakim yang menerimanya,didasarkan pada ketentuan atau pasal 120 HIR.
Gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh
penggugat atau pemohon (pasal 118 ayat (1) HIR). Jika penggugat atau
pemohon telah menunjuk kuasa khusus, maka surat gugatan atau permohonan
tersebut ditandatangani oleh kuasa hukumnya (pasal 123 HIR).
.PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT PERTAMA (Pengadilan Negeri)
• Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat pada Pengadilan Negeri
(bagian Perdata) dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus
dipenuhi, antara lain : Surat Permohonan / Surat Gugatan dan Surat Kuasa
yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat/Lawyer).
• Surat Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
• Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya
gugatan / SKUM di Kasir. Khusus bagi yang tidak mampu dapat diijinkan
berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan
dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa
setempat yang dilegalisasi oleh Camat. Bagi yang tidak mampu, maka
panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,- dan ditulis dalam Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR. Dalam tingkat
pertama, para pihak yang tidak mampu akan berperkara secara prodeo.
Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan
bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat
gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk
berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
• Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
• Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan.
• Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri setempat yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
• Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT BANDING (Pengadilan Tinggi)
• Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri setempat (Pada Tingkat Pertama), dengan beberapa
kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan Banding.
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat).
3. Memori Banding.
• Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
• Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
• Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan Banding.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage). Setelah
menerima Surat Pemberitahuan, Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari
untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori Banding.
• Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh Juru Sita Pengganti.
PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT KASASI (Mahkamah Agung)
• Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Permohonan Kasasi
kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan beberapa kelengkapan/syarat
yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan Kasasi.
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat).
3. Memori Kasasi.
• Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
• Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
• Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan Kasasi.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage). Sama seperti
pada tingkat Banding, Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk
datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
• Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori Kasasi.
• Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
BIAYA PERKARA
A. Biaya Proses :
1. Panjar biaya Gugatan Rp. 650.000,-
2. Panjar biaya Permohonan Rp. 250.000,-
3. Panjar biaya Sita (apabila memohon Pengadilan untuk melakukan sita) Rp. 1.000.000,-
4. Panjar biaya Banding Rp. 600.000,-
5. Panjar biaya Kasasi Rp. 1.000.000,-
6. Panjar biaya Peninjauan Kembali (PK) Rp. 3.000.000,-
7. Panjar biaya Eksekusi Riil Rp. 7.500.000,-
8. Panjar biaya Eksekusi Lelang Rp. 14.000.000,-
9. Panjar biaya Konsinyasi Rp. 400.000,-
10. Untuk biaya panggilan / pemberitahuan (Dalam Kota Rp. 50.000,- dan Luar Kota Rp. 100.000,-)
11. Untuk biaya Pemeriksaan setempat Rp. 500.000,-
12. Untuk biaya sumpah per berkas perkara Rp. 30.000,-
13. Fotokopi salinan putusan per lembar Rp. 200,-
B. Biaya Kepaniteraan :
Besaran biaya Kepaniteraan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor. 53 tahun 2008 tentang Jenis Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada
di bawahnya.
Sedangkan mengenai bagaimana cara membuat gugatan, memori banding dan
memori kasasi, serta proses beracaranya akan kami ulas dalam pembahasan
tersendiri. Semoga ini bisa membantu memberikan pemahaman permasalahan
hukum.
TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PERADILAN PERDATA:
A. TAHAP ATMINISTRATIF
a. Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang
Menurut pasal 118 HIR, ditentukan bahwa kewenangan Pengadilan Negeri yang berhak untuk memeriksa perkara adalah:
(1) Pengadilan Negeri dimana terletak tempat diam (domisili) Tergugat.
(2) Apabila Tergugat lebih dari seorang, maka tuntutan dimasukkan ke
dalam Pengadilan Negeri di tempat diam (domisili) salah seorang dari
Tergugat tersebut. Atau apabila terdapat hubungan yang berhutang dan
penjamin, maka tuntutan disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat
domisili sang berhutang atau salah seorang yang berhutang itu.
(3) Apabila Tergugat tidak diketahui tempat domisilinya atau Tergugat
tidak dikenal, maka tuntutan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri tempat
domisili sang Penggugat atau salah seorang Penggugat. Atau apabila
tuntutan tersebut mengenai barang tetap, maka tuntutan dimasukkan ke
dalam Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya barang tersebut
terletak.
(4) Tuntutan juga dapat dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang telah disepakati oleh pihak Penggugat (Domisili pilihan)
b. Penggugat membayar biaya perkara (Down Payment)
c. Penggugat mendapatkan bukti pembayaran perkara,
d. Penggugat menerima nomor perkara (roll).
Hak dan Kewajiban Tergugat/Penggugat:
Dalam hal pemahaman bahasa:
Pasal 120: Bilamana Penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat
dimasukannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat
gugatan itu.
Pasal 131:
(1) Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat
diperdamaikan (hal ini mesti disebutkan dalam pemberitahuan
pemeriksaan), maka surat yang dimasukkan oleh pihak-pihak dibacakan, dan
jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang dipakai dalam surat itu
diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua dalam bahasa
dari kedua belah pihak.
(2) Sesudah itu maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu memakai seorang juru bahasa.
(3) Jika juru bahasa itu bukan berasal dari juru bahasa pengadilan
negeri yang sudah disumpah, maka harus disumpah terlebih dahulu di
hadapan ketua.
Ayat ketiga dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa.
Dalam hal gugatan balik: (Rekonvensi)
Pasal 132 a:
(1) Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan/gugat balik, kecuali:
1e. kalau penggugat mengajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2e. kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan
3e. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
(2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat
melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.
Dalam hal kewenangan Pengadilan:
Pasal 134: Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk
kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan
perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa
dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya.
Dalam hal pembuktian:
Pasal 137: Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan
lawannya dan sebaliknya surat mana diserahkan kepada hakim untuk
keperluan itu.
Dalam hal berperkara tanpa biaya: (prodeo)
Pasal 237: Orang-orang yang demikian, yang sebagai Penggugat, atau
sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar
biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak
berbiaya.
Pasal 238:
(1) Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan
untuk itu pada waktu memasukkan surat gugatan atau pada waktu ia
memajukan gugatannya dengan lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118
dan 120.
(2) Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada
waktu itu memasukkan jawabnya yang dimaksudkan pada Pasal 121.
(3) Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai dengan surat
keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh Kepala polisi pada tempat
tinggal si pemohon yang berisi keterangan yang menyatakan bahwa benar
orang tersebut tidak mampu.
Penentuan hari sidang:
Pasal 122:
Ketika menentukan hari persidangan maka ketua menimbang jauh letaknya
tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak daripada tempat
pengadilan negeri bersidang, dan dalam surat perintah sedemikian, maka
waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan
ditetapkan, kecuali dalam hal yang perlu sekali, tidak boleh kurang dari
tiga hari pekerjaan.
Kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi pada sidang pertama:
1.Penggugat hadir, tergugat tidak hadir
Pasal 125
(1) : jikalau si Tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak
menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan
tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka
tuntutan itu diterima dengan keputusan tak hadir (Putusan Verstek) ,
kecuali jika tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.
2.. Penggugat tidak hadir, Tergugat hadir
Pasal 124: jikalau si Penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak
menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan
tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka
tuntutannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya
perkara; akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya
tersebut, memasukkan tuntutannya sekali lagi.
3. Kedua belah pihak tidak hadir
Ada anggapan bahwa demi kewibawaan badan peradilan serta agar jangan
sampai ada perkara yang berlarut-larut dan tidak berketentuan, maka
dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak
pernah ada.
4. Kedua belah pihak hadir.
Apabila kedua belah pihak hadir, maka sidang pertama dapat dimulai
dengan sebelumnya hakim menganjurkan mengenai adanya perdamaian di
antara kedua belah pihak tersebut.
Hak dan Kewajiban Hakim
Hak:
• Dalam hal pemberian nasehat
Pasal 119: Ketua Pengadilan Negeri berkuasa memberi nasehat dan
pertolongan kepada Penggugat atau wakilnya tentang hal memasukkan surat
gugatnya.
Pasal 132: Ketua berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan
kepada kedua belah pihak dan akan menunjukan supaya hukum dan keterangan
yang mereka dapat dipergunakan jika ia menganggap perlu supaya perkara
berjalan dengan baik dan teratur.
Dalam hal kewenangan hakim:
Pasal 159 ayat (4): Hakim berwenang untuk menolak permohonan penundaan
sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan bahwa hal tersebut tidak
diperlukan.
Pasal 175: Diserahkan kepada timbangan dan hati-hatinya hakim untuk
menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat di luar
hukum.
Pasal 180
(1) Ketua PN dapat memerintahkan supaya suatu keputusan dijalankan
terlebih dahulu walaupun ada perlawanan atau bandingnya, apabila ada
surat yang sah, suatu tulisan yang menurut aturan yang berlaku yang
dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan
keputusan yang sudah mendapat kekuasaan yang pasti, demikian juga
dikabulkan tuntutan dahulu, terlebih lagi di dalam perselisihan tersebut
terdapat hak kepemilikan.
(2) Akan tetapi dalam hal menjalankan terlebih dahulu ini, tidak dapat menyebabkan sesorang dapat ditahan.
Kewajiban:
• Dalam hal pembuktian:
Pasal 172: Dalam hal menimbang harga kesaksian, hakim harus menumpahkan
perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi; cocoknya
kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang
diperselsiihkan; tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu
untuk menerangkan duduk perkara dengan cara begini atau begitu; tentang
perkelakuan adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang
dapat menyebabkan saksi-saksi itu dapat dipercaya benar atau tidak.
Pasal 176: Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim
tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga
merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan
masksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti
dengan kenyataan yang dusta.
Dalam hal menjatuhkan putusan:
Pasal 178
(1) Hakim karena jabatannya, pada waktu bermusyawarah wajib
mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah
pihak.
(2) Hakim wajib mengadili atas seluruh bagian gugatan.
(3) Ia tidak diijinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat.
Dalam hal pemeriksaan perkara di muka pengadilan:
Pasal 372:
(1) Ketua-ketua majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan dan pemusyawaratan.
(2) Dipikulkan juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban
baik dalam persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk
keperluan itu, harus dilakukan dengan segera dan seksama.
UU No. 14 Tahun 1970
Tugas Hakim:
Pasal 2 ayat (1): Tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya.
Pasal 5 ayat (2): Dalam perkara perdata hakim harus membantu para
pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan.
Pasal 14 ayat (1): Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan ia wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Upaya Hukum:
Sifat dan berlakunya upaya hukum berbeda tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa.
1.Upaya Hukum Biasa:
Upaya hukum ini pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama
tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Upaya hukum ini bersifat
menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.
Upaya hukum biasa ini terbagi dalam:
a. Perlawanan; yaitu upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di
luar hadirnya tergugat. Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi
pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan
verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding.
b. Banding; yaitu pengajuan perkara kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan.
c. Prorogasi; yaitu mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu
persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak
wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat
peradilan yang lebih tinggi.
d. Kasasi; yaitu tindakan MA untuk menegakkan dan membetulkan hukum,
jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan
tertinggi. Alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi
adalah:
1). Tidak berwenang atau emlampaui batas wewenang,
2). Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
3). Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
• Peninjauan Kembali; yaitu peninjauan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan syarat terdapat hal-hal atau
keadaan yang ditentukan oleh UU.
• Derdenverzet atau Perlawanan Pihak Ketiga; yaitu perlawanan yang
diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan pihaknya.
Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang
dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara
biasa. Apabila perlawanannya itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan
itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.
PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA
DI PERADILAN AGAMA
PERKARA DI TINGKAT PERTAMA
1. PERKARA CERAI TALAK
PROSEDUR :
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau kuasanya :
1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah (Pasal 118HIR, 142 R.Bg jl. Pasal 66 UU nomor 7
tahun 1989);
b. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal
119 HIP, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989);
c. Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan
petitum. Jika termohon telah menjawab surat pemohonan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan termohon
2. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (Pasal 66 ayat (2) UU nomor 7 tahun 1989);
b. Bila termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan harud diajukan kepada
pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU nomor 7 tahun 1989);
c. Bila termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU nomor 7 tahun 1989);
d. Bila pemohon dan termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah
hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU nomor 7 tahun
1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman pemohon dan termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau
sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU nomor 7 tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.
jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIP, 273 R.Bg.).
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah syariah;
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan;
3. a. Tahap persidangan:
1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua
belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU
nomor 7 tahun 1989);
2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA nomor 2
tahun 2003);
3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian)
termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a
HIP, 158 R.Bg).
b. Putusan pengadilan agama/ mahkamah syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
1). Permohonan dikabulkan. Apabila termohon tidak puas dapat mengajukan
banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
2). Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3). Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan agama/mahkamah syariah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan agama/mahkamah syariah memanggil pemohon dan termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang
penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar
talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut
dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang
sama (Pasal 70 ayat (6) UU nomor 7 tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta
Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU nomor 7
tahun 1989).
PERKARA CERAI GUGAT
Langkah-langkah yang harus dilakukan penggugat (isteri) atau kuasanya:
1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah (Pasal 118HIR, 142 R.Bg jl. Pasal 73 UU nomor 7
tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal
119 HIP, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989);
c. Surat Gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan
petitum. Jika tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan tergugat.
2. Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989);
b. Bila penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada
pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989 jo. Pasal 32
ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974));
c. Bila penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU nomor 7 tahun 1989);
d. Bila penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka
gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah
hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU nomor 7 tahun
1989).
3. Gugatan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman penggugat dan tergugat;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86
ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.
jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIP, 273 R.Bg.).
6. Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syariah.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama/mahkamah syariah;
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan;
3. a. Tahap persidangan:
1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua
belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU
nomor 7 tahun 1989);
2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA nomor 2
tahun 2003);
3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) tergugat
dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIP, 158
R.Bg).
b. Putusan pengadilan agama/ mahkamah syariah atas gugatan perceraian sebagai berikut :
1). Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
2). Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3). Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera
pengadilan agama/mahkamah syariah berkewajiban memberikan Akta Cerai
sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak
(Pasal 84 ayat (4) UU nomor 7 tahun 1989).
PERKARA GUGATAN LAIN
PROSEDUR
Langkah-langkah yang harus dilakukan penggugat:
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
2. Gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
b. Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat.
c. Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan agama/mahkamah syariah, yang daerah hukumnya meliputi tempat
letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah
beberapa pengadilan agama/mahkamah syariah, maka gugatan dapat diajukan
kepada salah satu pengadilan agama/mahkamah syariah yang dipilih oleh
penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg.).
3. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.
jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.).
4. Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan
berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 121, 124
dan 125 HIR, 145 R.Bg.).
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
1. Penggugat atau kuasanya mendaftarkan gugatan ke pengadilan agama/mahkamah syariah.
2. Penggugat dan tergugat dipangil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan.
3. a. Tahapan persidangan:
1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (PERMA nomor 2 tahun 2003).
3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dak kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian),
tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132
HIR, 158 R.Bg.).
b. Putusan pengadilan agama/mahkamah syariah atas gugatan tersebut sebagai berikut :
1). Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
2). Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3). Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR, 196 R.Bg.).
5. Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa,
kemudian tidak mau menyerahkan secara suka rela, maka pihak yang menang
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama/mahkamah
syariah yang memutus perkara tersebut.
Cara Menyusun Surat Gugatan Perdata Di Peradilan Di Negara Indonesia
Pendahuluan
- Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan.
- Gugatan dapat diajukan secara lisan (ps 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1)
atau tertulis (ps 120 HIR 144 ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta
bantuan Ketua Pengadilan Negeri
- Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan
- Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada
kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kabenarannya dapat
dibuktikan dalam sidang pemeriksaan
- Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada
ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv Psl 8 No.3 yang
mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
1) Identitas dari pada para pihak
2) Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih
dikenal dengan istilah fundamentum petendi
3) Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan
Identitas Para Pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah cirri-ciri daripada penggugat dan tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal.
Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi adalah dalil-dalil posita konkret tentang adanya
hubungan yang merupakan dasar serta ulasan daripada tuntutan
1. Fundamentum petendi ini terdiri dari dua bagian :
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
2. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara tetang
adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yurudis daripada
tuntutan
3. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan
peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan melainkan cukup
hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti
sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian
materiil yang merupakan dasar tuntutan itu
4. Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada bebarapa pendapat :
a. Menurut Subtantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang
menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula
kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang
menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timulnya peristiwa hukum
tersebut misalnya ; bagi penggugat yang menuntut miliknya, selain
menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal-asul
pemilik itu.
b. Menurut individualiseringtheori sudah cukup dengan disebutkannya
kajadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat
menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau
sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal
tersebut dapat dikemukakan didalam sidang-sidang yang akan datang
dengan disertai pembuktian.
c. Menurut putusan Mhkamah agung sudah cukup dengan disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat.
Petitum atau Tuntutan
1. Petitum atau Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan
penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab
didalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya petitum harus
dirumuskan secara jelas dan tegas
2. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat barakibat tidak
diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi
pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut abscuur
libel ( guagatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah
oleh pihak oleh pihak tergugat sehungga menyebabkan ditolaknya gugatan)
berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
3. Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah :
a. Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
b. Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
c. Tuntutan subsidiair atau pengganti.
4. Meskipun tidak selalu tapi seringkali di samping tuntutan pokok masih
diajukan tuntutan tamabahan yang merupakan pelengkap daripada tuntutan
pokok.
5. Biasanya sebagai tututan tambahan berwujud :
a. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
b. Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat
dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi.
Didalam praktik permohonan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan.
Namun demikian Mahkamah Agung mengintruksikan agar hakim jangan secara
mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir)
apabila tuntutan yang demikian oleh penggugat berupa sejumlah uang
tertentu.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk mambayar uang paksa (dwangsom),
apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia
tidak memenuhi isi putusan
e. Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan nafka bagi istri atau pembagian harta.
6. Mengenai tuntutan subsidiair selalu diajukan sebagai pengganti
apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidiair itu
berbunyi “ agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “
mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono)
Jadi tujuan daripada tuntutan subsidiair adalah agar apabila tuntutan
primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang
didasarkan atas kebebesan hakim serta keadilan.
7. Didalam berpekara di Pengadilan kita mengenal gugatan biasa/ pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte.
8. Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan dengan catatan :
a. Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan.
b. Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan
gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.
Larangan Mengajukan Gugatan Rekonvensi
Pasal 132a ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (“
HIR”),
mengatur bahwa tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi dalam
setiap perkara. Akan tetapi, ternyata pasal tersebut mencantumkan
pengecualian, berupa larangan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap
gugatan konvensi dalam perkara tertentu. Larangan pengajuan gugatan
rekonvensi yaitu:
1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan status kualitas
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a
ayat (1) ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi
kepada diri pribadi penggugat, sedangkan dia tengah bertindak sebagai
penggugat mewakili kepentingan pemberi kuasa (principal).
Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C
tentang sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam
peristiwa semacam ini undang-undang melarang atau tidak membenarkan C
mengajukan gugatan rekonvensi kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa
ini harus diajukan oleh C secara tersendiri kepada A melalui prosedur
gugatan perdata biasa.
2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a
ayat (1) ke 2 HIR, namun larangan dalam pasal ini hanya dapat diterapkan
sepanjang mengenai pelanggaran yurisdiksi absolut, tetapi dapat
ditolerir apabila yang dilanggar adalah kompetensi relatif. Contohnya, A
menggugat B atas sengketa jual beli tanah. Terhadap gugatan tersebut, B
mengajukan gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B
tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa
hibah bagi yang beragama Islam menjadi yurisdiksi absolut lingkungan
peradilan agama.
Gugatan rekonvensi yang melanggar
kompetensi relatif dapat dibenarkan demi tegaknya asas peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Contohnya, A berdomisili di Bogor
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung kepada B yang bertempat
tinggal di Bandung. Dalam kasus tersebut, B dibenarkan mengajukan
gugatan rekonvensi kepada A meskipun hal ini melanggar kompetensi
relatif berdasar asas actor sequitur forum rei Pasal 118 ayat
(1) HIR, yang menggariskan, gugatan harus diajukan di daerah hukum
Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Berarti secara konvensional,
jika B hendak menggugat A sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1)
HIR, harus diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor. Akan tetapi untuk
tegaknya pelaksanaan sistem peradilan yang efektif dan efisien, B
dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi di Pengadilan Negeri Bandung,
meskipun terjadi pelanggaran yurisdiksi relatif.
3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi
Larangan
gugatan rekonvensi yang menyangkut sengketa perlawanan terhadap
eksekusi putusan, contohnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi
putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan
perlawanan tersebut, pihak terlawan tidak dibenarkan mengajukan gugatan
rekonvensi. Alasan larangan tersebut, gugatan pelawan terhadap putusan
eksekusi dianggap sebagai perkara yang sudah selesai diputus
persengketaannya.
Tetapi Pasal 379 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), menyatakan tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugatan perlawanan, baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak ketiga) atau partay verzet (perlawanan
para pihak), hal ini berarti hukum memperbolehkan terlawan mengajukan
gugatan rekonvensi atas gugatan perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan
adanya kontroversi dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke 3 (tiga) HIR
dengan Pala 379 Rv, dalam praktik terdapat acuan penerapan yaitu
terhadap perlawanan berbentuk derden verzet yang mengandung
dalil dan argumentasi lain yang masih berkaitan langsung dengan pokok
materi yang dilawan, secara kasuistik dimungkinkan mengajukan gugatan
rekonvensi. Akan tetapi, apabila gugatan perlawanan berbentuk partay verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.
4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding
Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 132 a
ayat (2) HIR. Pasal 132 a ayat (2) HIR mengatur bahwa apabila dalam
proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak
diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam
tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Sehubungan dengan larangan ini,
apabila tergugat mempunyai tuntutan kepada penggugat, tetapi lalai
mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses pemeriksaan
berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus ditempuh
adalah dengan mengajukan gugatan perkara biasa.
5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi
Tidak dijumpai ketentuan undang-undang
yang melarang secara tegas pengajuan gugatan rekonvensi dalam tingkat
kasasi. Dengan demikian, berdasarkan prinsip penafsiran
a contrario boleh
mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi, karena undang-undang
sendiri tidak tegas melarangnya. Akan tetapi, fungsi Mahkamah Agung
sebagai peradilan kasasi, bukan peradilan
judex facti yang berwenang memeriksa dan menilai permasalahan fakta (
feitelijke kwesties).
Sehingga tidak dibenarkan dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, meskipun tidak ada ketentuan yang
melarangnya. Larangan tentang itu dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung
No. 209 K/Sip/1970 yang mengatakan gugatan rekonvensi dalam tingkat
kasasi tidak dapat diajukan.
Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“
HIR”)
mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai
gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri,
pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan
penggugat. Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai syarat materil
gugatan rekonvensi, sehingga pada artikel ini akan dibahas mengenai
syarat formil gugatan rekonvensi.
Supaya gugatan rekonvensi dinyatakan
sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula
memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur
syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan
sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan
dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang
diajukan tergugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan
secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis.
Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu
diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil
gugatan yaitu:
- menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
- merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
- menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Apabila unsur-unsur di atas tidak
terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus
dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat
formil, dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang
yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik
sebagai tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi. Gugatan
rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat untuk melawan
gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya
penggugat konvensi.
Apabila tergugat rekonvensi terdiri
dari beberapa orang dan gugatan rekonvensi memiliki kaitan yang erat
dengan gugatan konvensi, sebaiknya seluruh penggugat konvensi ditarik
sebagai tergugat rekonvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari
terjadinya cacat formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium yaitu
kurangnya pihak yang ditarik sebagai tergugat. Dan, apabila gugatan
rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi, maka
tidak perlu menarik semua penggugat konvensi sebagai tergugat
rekonvensi. Cukup satu atau beberapa orang yang benar-benar secara
objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.
Pasal 132 huruf (b) angka (1) HIR
mengatur bahwa waktu pengajuan gugatan rekonvensi wajib dilakukan
bersama-sama dengan pengajuan jawaban. Apabila gugatan rekonvensi tidak
diajukan bersama-sama dengan jawaban, maka akan mengakibatkan gugatan
rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan
tersebut tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Terdapat
beberapa penafsiran yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan
“jawaban” dalam praktek, ada yang menafsirkan jawaban sebagai jawaban
pertama tetapi ada juga yang menfsirkan jawaban menjangkau juga jawaban
dalam bentuk duplik.
Penafsiran yang sempit yang menafsirkan “jawaban” bermakna jawaban pertama mempunyai alasan bahwa:
- memperbolehkan atau memberikan kebebasan bagi tergugat mengajukan
gugatan rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian
bagi penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;
- memperbolehkan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi melampaui
jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran pemeriksaan dan
penyelesaian perkara;
- rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan harus pada jawaban
pertama yaitu agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan
haknya mengajukan gugatan rekonvensi.
Prof. Subekti berpendapat bahwa
gugatan rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap
pemeriksaan saksi dimulai, hanya dapat dibenarkan dalam proses secara
lisan, dan tidak dalam proses secara tertulis.
Pengajuan gugatan rekonvensi tidak
harus bersama-sama dengan jawaban pertama tetapi dibenarkan sampai
proses pemeriksaan memasuki tahap pembuktian. Dengan demikian, gugatan
rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama tetapi
dimungkinkan pada pengajuan duplik. Ditinjau dari tata tertib beracara
dan teknis yustisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama
proses pemeriksaan masih dalam tahap jawab-menjawab. Yang menjadi syarat
adalah gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Sehingga dapat diajukan bersama-sama pada jawaban pertama boleh juga
pada jawaban duplik terhadap replik penggugat.
Menurut praktek peradilan saat ini,
pengajuan gugatan rekonvensi hampir seluruhnya disampaikan pada jawaban
pertama. Sehingga isi muatan jawaban pertama meliputi eksepsi, bantahan
terhadap pokok perkara (
verweer ten principale) dan gugatan rekonvensi.
Syarat Materil Gugatan Rekonvensi
Dalam hukum acara perdata
gugatan rekonpensi ini dikenal dengan “gugatan balik”. Gugatan
rekonvensi dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat. Gugatan
rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi sehingga
akan menghemat biaya dan waktu, mempermudah acara pembuktian, dan
menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain.
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”)
mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai
gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.
Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri,
pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan
penggugat. Pasal 224 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”)
juga memberikan definisi atas gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi
adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam
suatu proses perkara yang sedang berjalan.
Syarat materil gugatan rekonvensi
berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi
dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur
mengenai syarat materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf
(a) HIR hanya berisi penegasan bahwa:
- tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;
- tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang substansial.
Walaupun tidak terdapat pengaturan
mengenai syarat harus adanya koneksitas antara gugatan rekonvensi dengan
konvensi, ternyata dalam prakteknya, pengadilan cenderung
menerapkannya. Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materil gugatan
rekonvensi. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan
dapat diterima untuk diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila
terpenuhi syarat:
- terdapat faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;
- hubungan pertautan itu harus sangat erat, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan.
Salah satu tujuan pokok sistem
rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk
menghemat biaya dan waktu. Sehingga memperbolehkan pengajuan gugatan
rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan
rekonvensi, tidak akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena
memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, agar tujuan
yang diamanatkan dalam sistem rekonvensi ini (Pasal 132 huruf (a) HIR)
tidak menyimpang dari arah yang dicita-citakan, sedapat mungkin gugatan
rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan
gugatan konvensi. Namun, prinsip ini tidak boleh mengurangi hak tergugat
untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang
benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.
Pada dasarnya eksistensi gugatan
rekonvensi tidak tergantung (asesor) pada gugatan konvensi dan dapat
berdiri sendiri serta dapat diajukan secara terpisah dalam proses
penyelesaian yang berbeda. Hanya secara eksepsional hukum memberikan hak
kepada tergugat menggabungkan gugatan rekonvensi kedalam gugatan
konvensi.
Dalam hal terdapat hubungan erat
atau koneksitas antara gugatan konvensi dengan rekonvensi, dan putusan
yang dijatuhkan atas gugatan konvensi bersifat negatif yaitu gugatan
tidak dapat diterima, dengan alasan gugatan mengandung cacat formil (eror in personal, obscuur libel, tidak berwenang mengadili, dan lain sebagainya), maka berakibat:
- putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi
- dengan demikian, oleh karena putusan konvensi menyatakan gugatan
tidak dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi
juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Namun, dalam hal lain, apabila
terdapat gugatan rekonvensi tidak mempunyai hubungan erat atau
koneksitas dengan gugatan konvensi, kemudian gugatan konvensi dinyatakan
tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, maka gugatan rekonvensi
tidak tunduk mengikuti putusan konvensi tersebut. Materi gugatan
rekonvensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan
konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, apabila secara objektif tidak
terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya.
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam
satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang
digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada
konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita
acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil
gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi
dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian,
sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu,
harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama
di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan
konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi
benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan
pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,
namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis
yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi,
terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan
rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan
pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak
dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian
pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional
secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan
(koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan
yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam
satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang
digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada
konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita
acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil
gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi
dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian,
sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu,
harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama
di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan
konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi
benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan
pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,
namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis
yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi,
terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan
rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan
pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak
dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian
pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional
secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan
(koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan
yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Eksepsi Kewenangan Mengadili
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan (
objection). Bisa juga berarti pembelaan (
plea)
yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun,
tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan
kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan
atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (
verweer ten principale).
Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah eksepsi mengenai
kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila
dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:
1. Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)
Kompetensi absolut berkaitan dengan
kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).
Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu. Yurisdiksi suatu
pengadilan tidak boleh dilanggar oleh yurisdiksi pengadilan lain.
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”).
Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat.
Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut
dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan
berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan
dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
2. Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan
wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang
sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR
mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus disampaikan
pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkara. Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat
diajukan bersama-sama dengan penyampaian jawaban pertama. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut, mengakibatkan hak tergugat untuk
mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Pengajuan eksepsi kewenangan relatif
dapat secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak
kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara
lisan. Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan,
dianggap melanggar tata tertib beracara dan tindakan tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain secara lisan,
eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk tertulis
sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi
absolut yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban setelah
pembacaan gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum
putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan
relatif, maka majelis hakim dapat memutus sebelum maupun bersamaan
dengan pokok perkara.
Perubahan Gugatan
Herzeine Inlandsch Reglement (“
HIR”) dan Reglement Buiten Govesten (“
RBg”)
tidak mengatur ketentuan mengenai perubahan gugatan. Landasan hukum
untuk perubahan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 127 Reglement op de
Rechsvordering (“
Rv”).
Terdapat beberapa pengaturan mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan, yaitu:
1. Sampai saat perkara diputus
Tenggang batas waktu ini ditegaskan
dalam rumusan Pasal 127 Rv. Pasal 127 Rv mengatur bahwa penggugat berhak
mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Jangka
waktu ini dianggap terlalu memberikan hak kepada penggugat untuk
melakukan perubahan gugatan dan dianggap sebagai kesewenang-wenangan
terhadap tergugat.
2. Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama
Buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”)
menegaskan bahwa batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan hanya
dapat dilakukan pada hari sidang pertama. Selain itu, para pihak juga
disyaratkan untuk hadir pada saat pengajuan perubahan gugatan. Jangka
waktu dalam buku pedoman MA ini dianggap terlalu resriktif karena hanya
memberikan waktu pada hari sidang pertama.
3. Sampai pada tahap replik-duplik
Batas jangka waktu pengajuan perubahan
gugatan yang dianggap layak dan memadai menegakkan keseimbangan
kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung.
Dalam praktiknya, peradilan cenderung menerapkan batasan jangka waktu
perubahan gugatan ini, contohnya dalam Putusan MA No.546 K/Sep/1970.
Pasal 127 Rv tidak mengatur mengenai
syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Tetapi persyaratan formil
perubahan gugatan dimuat di dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh MA.
Persyaratan formil perubahan gugatan adalah:
1. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Pengajuan perubahan gugatan diajukan
pada hari sidang pertama dan dihadiri oleh para pihak. Syarat ini demi
melindungi kepentingan tergugat untuk membela diri.
2. Memberi hak kepada tergugat menanggapi
Buku pedoman MA ini mengatur bahwa
perihal perubahan gugatan diberitahukan kepada tergugat dan memberi hak
kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.
3. Tidak menghambat acara pemeriksaan
Perubahan gugatan boleh dilakukan oleh penggugat selama tidak menghambat acara pemeriksaan perkara.
Berdasarkan Pasal 127 Rv, batasan
yang dapat diterapkan kepada penggugat untuk merubah atau mengurangi
gugatan adalah tidak boleh mengubah atau menambah pokok gugatan.
Prof.Subekti mengemukakan pendapat bahwa yang dimaksud pokok gugatan
adalah kejadian materiil gugatan. Dengan demikian perubahan gugatan yang
dibenarkan hukum adalah perubahan yang “tidak mengubah dan menyimpang
dari kejadian materiil.” Pengertian pokok gugatan secara umum adalah
materi pokok gugatan atau kejadian materiil gugatan. Oleh karena itu,
batasan umum perubahan atau pengurangan gugatan adalah tidak boleh
mengakibatkan terjadinya perubahan materiil gugatan.
Putusan pengadilan memberikan
batasan mengenai perubahan gugatan. Batasan-batasan tersebut antara lain
perubahan gugatan tidak boleh mengubah materi pokok perkara, perubahan
gugatan tidak bersifat prinsipil, perubahan tanggal yang tidak dianggap
merugikan kepentingan tergugat, tidak merubah posita gugatan, dan
pengurangan gugatan tidak merugikan tergugat.
Perubahan Gugatan
Latar Belakang
Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2
(dua) pihak yang dikenal sebagai penggugat dan tergugat. Apabila pihak
penggugat merasa dirugikan haknya, maka ia akan membuat surat gugatan
yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat yang berwenang dan
kemudian oleh pengadilan negeri disampaikan kepada pihak tergugat. Dalam
hal surat gugatan yang telah didaftarkan oleh penggugat, maka penggugat
dapat melakukan perubahan gugatan. Perubahan gugatan adalah salah satu
hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal mengubah atau mengurangi
isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini, baik hakim
maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk
mengubah gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap
mengedepankan nilai-nilai hukum yang ada sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pengaturan mengenai perubahan gugatan tidak diatur dalam Herziene Indonesich Reglement (“HIR”) maupun Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”), namun diatur dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”), yang menyatakan bahwa:
“Penggugat berhak untuk mengubah
atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh
mengubah atau menambah pokok gugatannya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa penggugat memiliki hak untuk mengajukan
perubahan gugatan, namun hanya yang bersifat mengurangi atau tidak
menambah dasar daripada tuntutan dan peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan berupa penambahan dasar atau
peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal tersebut akan sangat
merugikan kepentingan tergugat. Dengan kata lain, perubahan gugatan
diperbolehkan selama tidak merubah materi gugatan, melainkan hanya segi
formal dari gugatan (misalnya: perubahan atau penambahan alamat
penggugat, nama atau alias dari penggugat atau tergugat)
Syarat Perubahan Gugatan
Peraturan mengenai syarat mengajukan
perubahan gugatan tidak terdapat dalam Pasal 127 Rv. Namun, dalam buku
pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“
MA”),
terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal
tersebut sangat penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku
pedoman MA, dijelaskan mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan
gugatan, yaitu
[1]:
a. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan:
- Diajukan pada hari sidang pertama, dan
- Dihadiri oleh para pihak
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:
- Di luar hari sidang, dan
- Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini
adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika
perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka
akan dianggap sangat merugikan kepentingan tergugat.
b. Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan:
- Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan gugatan yang bersangkutan,
- Memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.
c. Tidak menghambat acara pemeriksaan
Dalam hal ini, perubahan gugatan tidak
boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan. Apabila perubahan
gugatan tersebut menghambat jalannya pemeriksaan, maka akan menjadi
masalah baru lagi di antara kedua belah pihak yang berperkara, seperti
bertambahnya jangka waktu proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang
lama dalam proses penyelesaian perkaranya.
Perubahan gugatan tersebut diajukan
kepada majelis hakim yang memeriksa perkara. Apabila perubahan gugatan
sudah diterima oleh hakim, maka hakim wajib untuk memeriksa isi dari
perubahan gugatan tersebut. Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam
pemeriksaan tersebut terletak pada konten atau isi dari perubahan
gugatan yang diajukan, yakni apakah gugatan yang telah diubah itu
bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu,
peran hakim dalam masalah perubahan gugatan yang telah diajukan ini
sangat penting karena apabila isi dari perubahan gugatan tersebut
bertentangan dengan hukum, sedangkan hakim menyetujui perubahan gugatan
yang bertentangan dengan hukum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
hakim telah melanggar kewajibannya untuk menegakkan keadilan.
Pencabutan Gugatan
Salah
satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di
depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Alasan pencabutan gugatan
sangat bervariasi, alasan pencabutan gugatan disebabkan gugatan yang
diajukan tidak sempurna atau dalil gugatan tidak kuat atau dalil gugatan
bertentangan dengan hukum dan sebagainya.
Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Reglement Buiten Govesten (“RBg”)
tidak mengatur ketentuan mengenai pencabutan gugatan. Landasan hukum
untuk pencabutan gugatan diatur dalam ketentuan Pasal 271 dan Pasal 272 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”).
Pasal 271 Rv mengatur bahwa penggugat dapat mencabut perkaranya tanpa
persetujuan tergugat dengan syarat pencabutan tersebut dilakukan sebelum
tergugat menyampaikan jawabannya.
Tata cara pencabutan gugatan
berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv. Pasal 272 Rv mengatur beberapa
hal mengenai pencabutan gugatan, yaitu :
a. Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan
Pihak yang berhak melakukan pencabutan
gugatan adalah penggugat sendiri secara pribadi, hal ini dikarenakan
penggugat sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya dalam
kasus yang bersangkutan. Selain penggugat sendiri, pihak lain yang
berhak adalah kuasa yang ditunjuk oleh penggugat. Penggugat memberikan
kuasa kepada pihak lain dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 123 HIR
dan di dalam surat kuasa tersebut dengan tegas diberi penugasan untuk
mencabut gugatan.
b. Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa dilakukan dengan surat
Pencabutan gugatan atas perkara yang
belum diperiksa mutlak menjadi hak penggugat dan tidak memerlukan
persetujuan dari tergugat. Pencabutan gugatan dilakukan dengan surat
pencabutan gugatan yang ditujukan dan disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri (“PN”). Setelah menerima surat pencabutan gugatan, Ketua PN menyelesaikan administrasi yustisial atas pencabutan.
c. Pencabutan gugatan atas perkara yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang
Apabila pencabutan gugatan dilakukan
pada saat pemeriksaan perkara sudah berlangsung, maka pencabutan gugatan
harus mendapatkan persetujuan dari tergugat. Majelis Hakim akan
menanyakan pendapat tergugat mengenai pencabutan gugatan tersebut.
Apabila tergugat menolak pencabutan gugatan, maka Majelis Hakim akan
menyampaikan pernyataan dalam sidang untuk melanjutkan pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memerintahkan panitera untuk
mencatat penolakan dalam berita acara sidang, sebagai bukti otentik atas
penolakan tersebut. Apabila tergugat menyetujui pencabutan, maka
Majelis Hakim akan menerbitkan penetapan atas pencabutan tersebut.
Dengan demikian, sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai
dan Majelis Hakim memerintahkan pencoretan perkara dari register atas
alasan pencabutan.
Pasal 272 Rv juga mengatur mengenai akibat hukum pencabutan gugatan, antara lain:
a. Pencabutan mengakhiri perkara
Pencabutan gugatan bersifat final, artinya sengketa diantara penggugat dan tergugat telah selesai.
b. Para pihak kembali kepada keadaan semula
Pencabutan gugatan menimbulkan akibat
bagi para pihak yaitu demi hukum para pihak kembali pada keadaan semula
sebagaimana halnya sebelum gugatan diajukan, seolah-oleh diantara para
pihak tidak pernah terjadi sengketa. Pengembalian kepada keadaan semula
dituangkan dalam bentuk penetapan apabila pencabutan terjadi sebelum
perkara diperiksa. Selain itu pengembalian kepada keadaan semula
dituangkan dalam bentuk amar putusan apabila pencabutan terjadi atas
persetujuan tergugat di persidangan.
c. Biaya perkara dibebankan kepada penggugat
Pihak yang mencabut gugatan berkewajiban
membayar biaya perkara. Ketentuan ini dianggap wajar dan adil karena
penggugat yang mengajukan gugatan dan sebelum PN menjatuhkan putusan
tentang kebenaran dalil gugatan, penggugat sendiri mencabut gugatan yang
diajukannya.
Gugatan Asesor dalam Suatu Gugatan Pokok
Gugatan asesor adalah gugatan tambahan (
additional claim)
terhadap gugatan pokok. Tujuan adanya gugatan asesor adalah untuk
melengkapi gugatan pokok agar kepentingan penggugat lebih terjamin
meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan.
Secara teori dan praktik, gugatan asesor tidak dapat berdiri sendiri
dan oleh karena itu gugatan asesor hanya dapat ditempatkan dan
ditambahkan dalam gugatan pokok. Sehingga landasan untuk mengajukan
gugatan asesor adalah adanya gugatan pokok, dan gugatan asesor
dicantumkan pada akhir uraian gugatan pokok.
Penggugat dapat mengajukan rumusan tambahan, berupa gugatan tambahan atau gugatan asesor dengan syarat:
- gugatan tambahan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan pokok, dan sifat gugatan tambahan, tidak dapat berdiri sendiri
diluar gugatan pokok.
- antara gugatan pokok dengan gugatan tambahan harus saling mendukung, tidak boleh saling bertentangan.
- gugatan tambahan sangat erat kaitannya dengan gugatan pokok maupun dengan kepentingan penggugat.
Terdapat 2 (dua) jenis gugatan asesor yang dianggap paling melindungi kepentingan penggugat yaitu:
1. gugatan provisi, berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (“HIR”)
Pasal ini memberi hak kepada penggugat
mengajukan gugatan asesor dalam gugatan pokok, berupa permintaan agar
Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan provisi yang diambil sebelum
perkara pokok diperiksa. Putusan tersebut mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan tindakan sementara untuk ditaati tergugat sebelum
perkara pokok memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya menghentikan
tergugat meneruskan pembangunan, menjual barang objek perkara,
mencairkan rekening bank, dan sebagainya.
2. gugatan tambahan penyitaan, berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR
Penyitaan atau beslag (seizure)
merupakan tindakan yang dilakukan Pengadilan berupa penempatkan harta
kekayaan tergugat atau barang objek sengketa berada dalam keadaan
penyitaan untuk menjaga kemungkinan barang-barang itu dihilangkan atau
diasingkan tergugat selama proses perkara berlangsung. Tujuan dari
penyitaan tersebut adalah supaya gugatan penggugat tidak illusoir (tidak hampa), apabila penggugat berada dipihak yang menang.
Ada beberapa macam sita yang dapat diajukan sebagai gugatan asesor:
1. conservatoir beslag (CB) atau sita jaminan berdasarkan Pasal 227 ayat (1) HIR.
Jika ada persangkaan yang beralasan,
bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya
atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari
akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap
maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih
hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua
pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk
menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta
harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang
pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
2. revindicatoir beslag (RB) atau sita pemilik berdasarkan Pasal 226 ayat (1) HIR.
Orang yang empunya barang yang tidak
tetap, dapat meminta dengan surat atau dengan lisan kepada ketua
pengadilan negeri, yang di dalam daerah hukumnya tempat tinggal orang
yang memegang barang itu, supaya barang itu disita.
3. marital beslag (MB) atau
sita harta bersama berdasar Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Pasal 24 ayat 2 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Perkawinan.
Istri dapat meminta pemisahan harta perkawinan dengan alasan sebagai berikut:
- Suami karena kelakuan yang nyata tidak baik memboroskan harta kekayaan persatuan.
- Karena tidak ada ketertiban dari suami mengurus hartanya sendiri sedangkan yang menjadi hak istri akan kabur atau lenyap.
- Karena kelalaian yang sangat besar dalam mengurus harta kawin istri sehingga khawatir harta ini akan menjadi lenyap.
3. Permintaan Nafkah berdasarkan Pasal 24 ayat 2 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan.
Jenis-Jenis Eksepsi
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (objection).
Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap
materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan
dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat
formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat
atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah.
Konsekuensi jika gugatan tersebut tidak sah adalah gugatan tidak dapat
diterima (inadmissible).Dengan demikian keberatan yang diajukan
dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan
terhadap pokok perkara (verweer ten principale).
Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:
1. Eksepsi kompetensi
a. Tidak berwenang mengadili secara absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan
kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan (Peradilan Umum,
Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer),
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).
b. Tidak berwenang mengadili secara relatif
Kompetensi relatif berkaitan dengan
wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang
sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”)
Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”),
eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat
selama proses pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama
sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat (2)
dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan bersamaan
dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan
eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk
memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi
tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi
kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).
2. Eksepsi syarat formil
a. Surat kuasa khusus tidak sah
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan
tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat
umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak
mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat
kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no.
10.K/N/1999).
b. Error in Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)),
mereka yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452
KUH Perdata), seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
c
. Nebis in Idem
Nebis in Idem adalah sebuah
perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi
pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.
d. Gugatan Prematur
Suatu gugatan/permohonan disebut
prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya
gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur
jika pewaris belum meninggal dunia.
e. Obscuur Libel
Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya terletak pada:
- hukum yang menjadi dasar gugatan,
- ketidakjelasan mengenai objek gugatan, misalnya dalam hal tanah
tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.
- petitum yang tidak jelas, atau
- terdapat kontradiksi antara posita dan petitum
Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133
dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya
dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama
dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut
mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi
kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara.
Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok
perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir.
Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan
apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan pokok
perkara.
Penggabungan Gugatan
Dalam
hukum acara perdata dapat saja terjadi penggabungan beberapa gugatan.
Penggabungan gugatan disebut juga kumulasi gugatan atau
samenvoeging van vordering, yaitu
penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan.
Hukum positif tidak mengatur penggabungan gugatan, juga tidak diatur
dalam Herzeine Inlandsch Reglement (“
HIR”), Reglement Buiten Govesten (“
RBg”), dan Reglement op de Rechsvordering(“
Rv”).
Terjadinya penggabungan itu karena adanya koneksitas antara satu sama
lain. Penggabungan dua, tiga, atau beberapa perkara dapat dibenarkan
kalau antara masing-masing gugatan tersebut terdapat hubungan erat dan
untuk memudahkan proses. Penggabungan gugatan juga dapat menghindari
terjadinya kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan.
Penggabungan yang seperti itu, dianggap bermanfaat ditinjau dari segi
acara (
procesuel doelmatig).
Berikut beberapa yurisprudensi mengenai Penggabungan Gugatan:
1. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1971, tanggal 3 Desember 1974:
HIR tidak mengatur hal penggabungan
gugatan, maka terserah Hakim dalam hal mana diizinkan asal tidak
bertentangan dengan prinsip cepat dan murah;
2. Putusan MA-RI No.677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972:
Menurut Jurisprudensi, dimungkinkan
“penggabungan” gugatan-gugatan jika antara gugatan-gugatan itu terdapat
hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak dalam bentuk perkara yang
satu (No. 53/1972.G) dijadikan gugatan rekonpensi terhadap perkara yang
lainnya (No. 521/1971.G);
Suatu perkara yang tunduk pada suatu
Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara
lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat umum, sekalipun kedua
perkara itu erat hubungannya satu sama lain;
Misalnya: Gugatan perdata umum
digabungkan dengan gugatan perdata khusus, seperti gugatan tentang PMH
dan tuntutan ganti rugi digabungkan dengan perkara mengenai hak atas
Merek (Merkenrecht); vide ketentuan-ketentuan tentang HAKI.
Ada 2 (dua) manfaat dan tujuan penggabungan gugatan, yaitu:
1. Mewujudkan Peradilan Sederhana
Melalui sistem penggabungan beberapa
gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa
perkara melalui proses tunggal, dipertimbangkan serta diputuskan dalam
satu putusan. Sebaliknya, jika masing-masing digugat secara terpisah dan
berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses penyelesaian terhadap
masing-masing perkara sehingga azas peradilan: “sederhana, cepat dan
biaya ringan” tidak ditegakkan.
2. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan
Manfaat yang lain, melalui sistem
penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan
dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat koneksitas
antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk menghindari terjadinya
putusan yang saling bertentangan, dengan jalan menempuh sistem kumulasi
atau penggabungan gugatan. Subekti berpendapat, untuk menghindari
terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai kasus yang memiliki
koneksitas, misalnya apabila pada pengadilan negeri tertentu terdapat
dua atau beberapa perkara yang saling berhubungan, serta para pihak yang
terlibat sama, lebih tepat perkara itu digabung menjadi satu, sehingga
diperiksa oleh satu majelis saja.
Ada 2 (syarat) pokok penggabungan gugatan, yaitu:
1. Terdapat hubungan erat
Menurut Soepomo “antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin” (innerlijke samenhang). Dalam praktek, tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lain;
2. Terdapat hubungan hukum
Terdapat hubungan hukum antara para
penggugat atau antara para tergugat. Jika dalam komunikasi subyektif
yang diajukan beberapa orang sedangkan diantara mereka maupun terhadap
obyek perkara sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib
diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak
mudah menentukan apakah di antara para penggugat atau tergugat terdapat
hubungan hukum atau tidak.
Dalam teori dan praktek, dikenal 2 (dua) bentuk penggabungan, yaitu:
1. Kumulasi Subjektif
Dalam bentuk ini yang digabung adalah
pihak dalam gugatan, misalnya dalam surat gugatan terdapat penggugat
atau beberapa penggugat melawan seorang atau beberapa orang tergugat,
sehingga dapat terjadi variable sebagai berikut:
a. penggugat terdiri dari
beberapa orang berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal ini,
kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak penggugat;
b. sebaliknya, pengugat satu
orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi
subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak tergugat;
c. dapat juga terjadi kumulasi
subjektif yang meliputi pihak penggugat dan tergugat .Pada kumulasi yang
seperti itu, penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan
beberapa orang tergugat. Sebagai syarat kumulasi gugatan ini harus
terdapat adanya hubungan hukum di antara para pihak;
2. Kumulasi Objektif
Dalam bentuk ini, yang digabung adalah
materi gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu
surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatan, yaitu
beberapa gugatan digabung dalam satu gugatan. Namun agar penggabungan
gugatan tersebut sah dan memenuhi syarat , maka di antara gugatan itu
harus terdapat hubungan erat (Innerlijke samenhangen).
Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
- Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
- Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
- Tuntutan tentang penguasaan suatu benda (bezit) tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang hak atas suatu benda (eigendom) dalam satu gugatan
Verstek dan Hak Tergugat bila di-Verstek
Berdasarkan Kamus Hukum, istilah
verstek diambil dari kata
verstek procedure yang berarti “acara luar hadir”, dan
verstekvonnis
yang berarti “putusan tanpa hadir atau putusan di luar hadir tergugat”.
Istilah bagi suatu putusan yang dikeluarkan oleh hakim tanpa hadirnya
tergugat yang digunakan dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia adalah
verstek. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
verstek adalah
suatu kewenangan hakim untuk memeriksa dan memutus perkara tanpa
kehadiran tergugat di persidangan pada tanggal yang telah ditentukan,
atau tidak pula menyuruh orang lain untuk mewakilinya, meskipun ia sudah
dipanggil secara patut.
Ketentuan mengenai verstek diatur dalam Pasal 125 Herziene Indonesich Reglement (“HIR”)/ Pasal 78 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”). Dalam hal ini, hakim diberi wewenang untuk menjatuhkan putusan diluar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat:
- Tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah; atau
- Tergugat tidak pula menyuruh orang lain untuk mewakilinya di persidangan;
- Tergugat telah dipanggil di persidangan secara sah dan patut, tetapi tidak datang ke persidangan;
- Tergugat tidak mengajukan eksepsi/ tangkisan mengenai kewenangan;
- Penggugat hadir di persidangan dan mohon suatu putusan.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan verstek yang berisi dictum:
- Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya atau sebagian, atau
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, atau
- Menolak gugatan Penggugat
Upaya Hukum Verstek
Berdasarkan Pasal 129 ayat (1) HIR atau Pasal 83 Rv, menegaskan bahwa:
“Tergugat, yang dihukum sedang ia
tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan
perlawanan atas putusan itu.”
Berdasarkan Pasal 125 ayat (3) HIR atau Pasal 78 Rv menyatakan bahwa:
“Jika surat gugatan diterima, maka
atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan negeri kepada
orang yang dikalahkan itu serta menerangkan pula kepadanya, bahwa ia
berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang
ditentukan pada pasal 129 tentang keputusan verstek di muka
pengadilan.”
Melihat kepada kedua ketentuan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa apabila tergugat menerima putusan verstek, maka tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek tersebut.
Upaya perlawanan/verzet dapat diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan mengenai adanya putusan verstek kepada
Tergugat apabila pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri
kepada yang bersangkutan. Jika pemberitahuan putusan itu tidak langsung
diberitahukan kepada tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning (peringatan) tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning. Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning,
maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi
dilaksanakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 129 ayat (2) HIR jo. Pasal
207 RBg. Perkara mengenai verzet terhadap verstek didaftar dalam satu nomor perkara dengan perkara mengenai verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa. Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek
yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan,
tetapi bisa diajukan upaya hukum banding berdasarkan Pasal 129 ayat (5)
HIR dan Pasal 153 ayat(5) RBg.
Gugurnya Suatu Gugatan
Terkadang
di situasi tertentu, terdapat putusan tentang gugurnya suatu gugatan.
Hal ini terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah
ditentukan harinya dan telah dipanggil secara sah dan patut, dirinya
tidak hadir atau tidak pula menyuruh kuasanya untuk datang menghadiri
persidangan tersebut. Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het
Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) yang berbunyi:
“Jika
penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu,
meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain
menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan
penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan
gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara
yang tersebut tadi.”
Berdasarkan Pasal 124 HIR sebagaimana tersebut di atas, maka alasan digugurkannya gugatan penggugat oleh pengadilan karena:
- penggugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah;
- penggugat telah dipanggil secara patut dan sah;
Pengguguran gugatan dilakukan oleh Majelis Hakim yang berwenang secara ex-officio
apabila alasan yang tersebut dalam Pasal 124 HIR telah terpenuhi.
Dengan kata lain, bahwa kewenangan pengguguran gugatan itu dapat
dilakukan oleh hakim meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat.
Akan tetapi, kewenangan pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif,
karena berdasarkan Pasal 126 HIR menegaskan bahwa sebelum menjatuhkan
putusan pengguguran gugatan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan
supaya pihak yang tidka hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya
datang menghadap pada hari sidang yang lain.
Disamping itu, apabila penggugat
pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi, maka penggugat dipanggil
sekali lagi dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap
tidak hadir sedangkan tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan
dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir. Gugatan yang digugurkan
oleh pengadilan, maka akan dituangkan dalam putusan, dan penggugat
berhak mengajukan kembali atas gugatannya tersebut.
Sistem
Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan
mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur
dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat
2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem
ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses
pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses
pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan
undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi,
jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan
rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang
sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara
bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan
konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum
gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum
gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan
rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan
konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian
terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan
sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh
karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di
bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan
hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses
pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian
tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak,
juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan
dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila
antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga
dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan
rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang
berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan
konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai
pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan
gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor
perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b.
Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada
sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode
konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan
konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing
penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan
yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada
ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat
belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari
tanggal putusan diberitahukan.
Adapun
dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi
dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan
pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun,
alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak
terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian
dan penanganan yang terpisah.
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam
satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang
digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada
konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita
acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil
gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi
dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian,
sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu,
harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama
di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan
konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi
benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan
pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,
namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis
yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi,
terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan
rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan
pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak
dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian
pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional
secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan
(koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan
yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam
satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang
digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada
konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita
acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil
gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi
dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian,
sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu,
harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama
di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan
konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi
benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan
pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,
namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis
yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi,
terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan
rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan
pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak
dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian
pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional
secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan
(koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan
yang terpisah.
Ivan Ari
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi
Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
- Dilakukan secara bersamaan dalam
satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang
digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada
konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita
acara yang sama.
- Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
- Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil
gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi
dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
- Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
- Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian,
sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu,
harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama
di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan
konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi
benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan
pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,
namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.
b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis
yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi,
terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan
rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan.
Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan
pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak
dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian
pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional
secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan
(koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan
yang terpisah.
- See more at:
http://www.hukumacaraperdata.com/2013/07/26/sistem-pemeriksaan-gugatan-konvensi-dan-rekonvensi/#sthash.Zm7IkWxG.dpuf