Pembebasan Lahan dan Izin Lokasi
Bagaimanakah hukumnya bila dalam satu izin lokasi (misalnya izin lokasi
milik PT. A) ada dua pihak yang melakukan pembebasan lahan (PT. A dan
PT. B), di mana izin lokasinya tidak tumpang tindih dan masih aktif dan
PT. B (perusahaan kebun lain) mengetahui izin lokasi itu adalah atas
nama PT. A? Apakah PT. B dapat dipidana? Apakah PT. B dapat
dikategorikan sengaja melakukan perampasan lahan? Apa dasar hukumnya?
Terima kasih.
suhendro
Jawaban:
Berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1993 tentang
Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam
Rangka Penanaman Modal dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1999 tentang Pemberian Izin Lokasi PMA/PMDN,
Izin Lokasi diberikan kepada suatu perusahaan untuk memperoleh tanah
yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai
izin pemindahan hak (izin pembebasan), dan menggunakan tanah tersebut
guna keperluan usaha penanaman modalnya. Berdasarkan ketentuan tersebut
perusahaan yang memiliki Izin Lokasi dapat mulai melakukan pembebasan
tanah dengan luas dan wilayah tertentu sesuai dengan peruntukan
wilayahnya, berdasarkan tata ruang wilayah, yang selanjutnya dapat
dimintakan hak atas tanah.
Adapun jika
terdapat pihak lain yang melakukan pembebasan tanah di area yang sama
tanpa Izin Lokasi maka dapat dikategorikan tindakan melawan hukum
berdasarkan Pasal 385 KUHP
yang diancam dengan hukuman penjara paling lama empat tahun. Lebih
lanjut, ketentuan mengenai pemberian Izin Lokasi diatur lebih lanjut
oleh setiap Propinsi atau Kabupaten/Kota dalam suatu peraturan daerah
yang pada umumnya terdapat ketentuan pidana jika melakukan perolehan
tanah tanpa Izin Lokasi.
Catatan editor: Mengenai Pasal 185 KUHP, R. Soesilo dalam buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” menyatakan antara lain bahwa kejahatan-kejahatan yang tersebut di dalam pasal ini biasa disebut sebagai kejahatan “stellionaat” yang berarti “penggelapan hak atas barang-barang yang tidak bergerak (onroerende goederen). “Barang-barang yang tidak bergerak” misalnya tanah, sawah, gedung dan sebagainya.
Demikian pendapat kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
2. Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun
1993 tentang Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi
Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1999 tentang Pemberian Izin Lokasi PMA/PMDN
, atau f
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Girik bukan merupakan tanda bukti atas tanah, tetapi bukti bahwa pemilik girik menguasai tanah milik adat dan sebagai pembayar pajak
atas bidang tanah tersebut beserta dengan bangunan yang ada di atasnya
(apabila ada). Jadi, girik tidak dapat dipersamakan dengan sertifikat
hak atas tanah seperti ada yang ada sekarang.
Cara pengurusan pembelian tanah girik:
1. Pastikan dulu bahwa girik yang dipakai adalah girik asli;
2. Minta bukti pembayaran PBB dari si pemilik girik;
3. Surat keterangan bahwa tanah tersebut tidak berada di dalam sengketa dari Kelurahan/Kecamatan atau kepala desa;
4. Surat
keterangan riwayat tanah dari Kelurahan/Kecamatan atau kepala desa
(dari mana dan siapa saja pemilik tanah tersebut sebelumnya sampai saat
ini);
5. Surat keterangan dari Kelurahan/Kecamatan atau kepala desa bahwa tanah tersebut tidak diperjualbelikan kepada siapapun;
6. Tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain.
Cara mengajukan permohonan hak:
1. Minta
girik asli dari penjual dan pastikan nama penjual yang tercantum dalam
girik tersebut adalah nama yang akan tercantum dalam Akta Jual Beli
nantinya.
2. Pastikan bahwa objek yang termasuk di dalam tanah girik, kemudian dikuasai secara fisik
3. Melakukan permohonan hak dengan mengajukannya ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wilayah dengan tahapan secara umum;
a. Pengakuan fisik tanah dilanjutkan dengan pembuatan gambar situasi;
b. Penelitian dan pembahasan panitia Ajudikasi;
c. Pengumuman surat permohonan tersebut;
d. Penerbitan surat keputusan pemberian hak;
e. Pencetakan sertifikat tanah.
Dasar hukum:
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Ketentuan mengenai sewa rumah secara lebih spesifik dapat kita temui dalam PP No. 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik (“PP 44/1994”). Dalam Pasal 9 ayat (1) PP 44/1994 ditentukan bahwa penyewa dengan cara apapun dilarang menyewakan kembali dan atau memindahkan hak penghunian atas rumah yang disewanya kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari pemilik.
Dan apabila Anda menyewakan rumah tersebut tanpa persetujuan tertulis
dari pemilik rumah tersebut, maka hubungan sewa menyewa dapat diputuskan
sebelum berakhirnya jangka waktu sewa-menyewa dan penyewa
berkewajiban mengembalikan rumah dengan baik seperti keadaan semula,
dan tidak dapat meminta kembali uang sewa yang telah dibayarkan (lihat Pasal 11 ayat [1] huruf b PP 44/1994).
Ketentuan tersebut di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 1559 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyatakan bahwa penyewa, jika tidak diizinkan, tidak boleh menyalahgunakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya kepada orang lain,
atas ancaman pembatalan persetujuan sewa dan penggantian biaya,
kerugian dan bunga sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan
itu, tidak wajib menaati persetujuan ulang sewa itu. Jika yang disewa
itu berupa sebuah rumah yang didiami sendiri oleh penyewa, maka dapatlah
ia atas tanggung jawab sendiri menyewakan sebagian kepada orang lain
jika hak itu tidak dilarang dalam persetujuan.
Dengan
demikian, Anda dapat saja menyewakan kembali rumah sewaan tersebut
kepada pihak lain sepanjang telah mendapat persetujuan tertulis atau
tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa antara Anda dengan pemilik
rumah. Tetapi, jika hal tersebut secara tegas dilarang dalam perjanjian
dan/atau tidak mendapat persetujuan dari pemilik rumah, maka Anda tidak
boleh menyewakan kembali rumah sewaan tersebut. Apabila
Anda tetap menyewakan kembali rumah tersebut, perjanjian sewa menyewa
antara Anda dan pemilik rumah akan terancam dapat diputuskan sebelum
berakhirnya masa sewa.
Prinsip
umum yang menjadi dasar dari boleh atau tidaknya Anda menyewakan
kembali rumah sewaan tersebut sebenarnya kembali pada prinsip
konsensualitas (kesepakatan). Sepanjang disepakati bersama dan memenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian, tanpa adanya paksaan, penipuan maupun
kekhilafan, maka Anda dapat menyewakan kembali rumah tersebut (lihat Pasal 1321 KUHPerdata). Lebih jauh simak artikel Keberlakuan Perjanjian Kerja Sama. Sedangkan, terkait dengan rencana Anda untuk menyewakan kembali rumah sewaan, haruslah ada persetujuan tertulis dari pemilik rumah sebelum Anda dapat menyewakannya kembali.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
1. Sepengetahuan kami, tidak ada undang-undang khusus terkait perselisihan antar-rumah tangga.
2. Seperti
sudah diketahui secara umum bahwa untuk mendirikan bangunan (dalam hal
ini rumah tinggal), diperlukan adanya Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”).
IMB merupakan salah satu jenis retribusi perizinan tertentu yang harus
dibayarkan kepada Pemerintah Daerah (lihat Pasal 141 huruf a UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah).
Untuk wilayah DKI Jakarta, ketentuan mengenai kewajiban untuk memiliki
IMB sebelum membangun rumah ini juga dapat kita temui antara lain dalam Pasal 15 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta No. 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda 7/2010”). Lebih jauh simak IMB.
Pada
dasarnya, tidak ada kewajiban bagi orang yang ingin membangun rumah
untuk meminta izin kepada tetangganya. Namun, dalam praktiknya di
sebagian daerah seseorang yang hendak membangun rumahnya merasa perlu
memberitahu tetangga-tetangga yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya.
Hal ini boleh jadi telah merupakan kebiasaan atau tata krama yang
berlaku di sebagian masyarakat Indonesia. Hal demikian dapat dipahami
karena pembangunan rumah akan menimbulkan bunyi-bunyi gaduh, kotornya
area sekitar (karena bahan-bahan bangunan) atau hal-hal lainnya serta
tidak menutup kemungkinan dapat merusak tembok pembatas rumah milik
tetangga.
Saat
pelaksanaan pembangunan, tentu tidak dapat dihindarkan adanya
suara-suara gaduh dan kotornya area sekitar. Untuk itulah, sangat
penting adanya sikap saling toleransi dan pengertian di masyarakat.
Karena setiap orang bisa saja suatu saat akan membangun rumah (termasuk
Anda). Sepanjang orang yang membangun rumah tersebut telah memiliki IMB
dan melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan persyaratan yang
tercantum dalam IMB, maka secara hukum pembangunan tersebut tidaklah
melanggar hukum (untuk wilayah Jakarta, lihat Pasal 231 Perda 7/2010).
Memang pada prinsipnya setiap pelaksanaan kegiatan membangun harus memperhatikan:
a. kesesuaian antara pelaksanaan pembangunan bangunan gedung dengan dokumen rencana teknis yang disetujui dalam IMB;
b. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
c. kebersihan dan ketertiban lingkungan; dan
d. dampak pelaksanaan pembangunan terhadap lingkungan.
(lihat Pasal 145 Perda 7/2010).
Namun,
jika pembangunan rumah tersebut ternyata mengganggu tetangga (dalam hal
ini Anda), sehingga Anda mengalami kerugian secara moril,
idiil maupun materiil, ada upaya hukum yang dapat Anda lakukan yaitu
dengan menggugat tetangga Anda ke pengadilan dengan alasan melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Akan tetapi, kami lebih menyarankan
agar Anda lebih mengedepankan asas kekeluargaan dan melakukan pendekatan
dengan cara musyawarah terlebih dahulu.
Apabila upaya musyawarah tidak mencapai kata mufakat dan Anda semakin dirugikan (baik secara moril,
idiil maupun materiil), Anda dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri setempat dengan dasar gugatan PMH. Pada akhirnya, pengadilanlah
yang akan memutuskan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur PMH
atau tidak. Lebih jauh, simak artikel jawaban Bermasalah Dengan Tetangga karena Tembok Batas Pekarangan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 1991 Tentang Bangunan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
S
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Sebelumnya,
saya akan menjelaskan sedikit mengenai kepemilikan atas satuan rumah
susun terlebih dahulu. Sertifikat Hak Milik atas Rumah Susun (“SHMRS)
adalah bentuk kepemilikan yang diberikan terhadap pemegang hak atas
Rumah Susun. Bentuk Hak milik atas rumah susun ini harus dibedakan
dengan jenis hak milik terhadap rumah dan tanah pada umumnya. SHMRS
dalam dunia properti sering juga disebut strata title. Strata title sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Strata title
berasal dari negara Barat dan dikenal dalam konsep hunian vertikal
maupun horisontal di mana hak kepemilikan atas suatu ruang dalam gedung
bertingkat dibagi-bagi untuk beberapa pihak. Lebih jauh, simak jawaban Klinik Hukum sebelumnya: Strata Title. Dalam uraian selanjutnya saya akan jelaskan cara dan syarat penerbitan SHMRS.
Pihak developer/pengembang
rumah susun wajib untuk menyelesaikan pemisahan terlebih dahulu atas
satuan-satuan rumah susun yang meliputi bagian bersama, benda bersama
dan tanah bersama (lihat Pasal 7 ayat [3] UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun/UURS jo Pasal 39 PP No. 4 Tahun 1988 tetang Rumah Susun/PP No. 4 Tahun 1988).
Pemisahan tersebut dilakukan dengan Akta Pemisahan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan
Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1989
tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan
Rumah Susun (“PKBPN No. 2 Tahun 1989”):
“Pasal 2
(1) Akta
pemisahan dilengkapi dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar,
uraian dan batas-batas pemilikan satuan rumah susun yang mengandung
nilai perbandingan proporsional.
(2) Pertelaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh penyelenggara pembangunan rumah susun.
Pasal 3
(1) Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun.
(2) Tata cara pengisian akta pemisahan sesuai dengan pedoman terlampir.
Pasal 4
(1) Penyelenggara
pembangunan wajib meminta pengesahan isi akta pemisahan yang
bersangkutan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
setempat atau kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, apabila
pembangunan rumah susun terletak di wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
(2) Akta pemisahan setelah disahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan:
a. Sertipikat hak atas tanah;
b. Izin Layak Huni;
c. Warkah-warkah lainnya yang diperlukan”
Hak
milik atas satuan rumah susun terjadi sejak didaftarkannya akta
pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun
yang bersangkutan (Pasal 39 ayat [5] PP No. 4 Tahun 1988).
Terhadap buku tanah tersebut kemudian dapat diterbitkan Sertifikat Hak Milik Atas Rumah Susun(Pasal
7 ayat [1] Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989
tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun/PKBPN No. 4 Tahun 1989).
SHMRS dibuat dengan cara:
a. membuat salinan dari buku tanah yang bersangkutan.
b. membuat salinan surat ukur atas tanah bersama.
c. membuat gambar daerah satuan rumah susun yang bersangkutan
Salinan-salinan tersebut kemudian dijilid menjadi sebuah dokumen yang disebut dengan Sertifikat (lihat Pasal 7 ayat [2] dan ayat [3] PKBN No. 4 Tahun 1989).
Jadi,
secara singkat dapat dilihat bahwa dasar dari diterbitkannya SHMRS ini
didapat dari akta pemisahan yang telah disahkan dan didaftar, kemudian
dari akta pemisahan tersebut dibuatlah buku tanah sebagai dasar
penerbitan SHMRS.
SHMRS yang diterbitkan tersebut merupakan tanda bukti hak milik terhadap satuan rumah susun yang dimiliki(Pasal 9 ayat (1) UURS jo. Pasal 7 ayat (4) PKBN No. 4 Tahun 1989).
Demikian yang bisa saya jelaskan, semoga dapat memberi pencerahan. Terima kasih.
Dasar hukum:
4. Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan
Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun
5. Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan
Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Kami asumsikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Menurut Arie S. Hutagalung, pelepasan
hak atas tanah dilaksanakan apabila subyek yang memerlukan tanah tidak
memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan
sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas
tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya. Acara pelepasan hak
wajib dilakukan dengan surat pernyataan pelepasan hak tersebut dilakukan
oleh pemegang hak atas tanah dengan sukarela. Oleh karena itu, menurut Arie, dasar hukum pelepasan hak atas tanah diatur dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Perpres 36/2005”).
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, menurut Pasal 1 angka 6 Perpres 36/2005,
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas
tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas
dasar musyawarah.
Menurut notaris Irma Devita Purnamasari,
pelepasan hak atas tanah dilakukan di atas surat atau akta yang dibuat
di hadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang hak yang bersangkutan
telah melepaskan hak atas tanahnya. Akta atau surat dimaksud umumnya
berjudul Akta Pelepasan Hak atau APH.
APH kadang dikenal juga dengan nama Surat Pelepasan Hak atau SPH.
Menurut Irma, APH harus dibuat di hadapan notaris agar kekuatan
pembuktiannya sempurna dibandingkan jika dibuat secara bawah tangan.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, APH
tidak dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seperti halnya Akta
Jual beli (AJB), melainkan di hadapan notaris.
Dengan adanya pelepasan hak, maka tanah
yang bersangkutan menjadi tanah negara. Pihak yang memerlukan tanah
tersebut dapat mengajukan permohonan hak atas tanah yang baru ke Kantor
Pertanahan setempat sesuai ketentuan undang-undang dan sesuai
keperluannya. Sehingga pihak yang bersangkutan mendapatkan hak atas
tanah sesuai ketentuan undang-undang dan sesuai keperluannya.
Menurut Irma, dalam praktiknya pihak
yang memerlukan tanah kadang menguasakan kepada notaris untuk mengajukan
permohonan hak atas tanah yang baru ke Kantor Pertanahan setempat.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Irma Devita Purnamasari melalui telepon pada 26 Agustus 2011.
Dasar hukum:
3. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
4. Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan hak-hak atas tanah seperti Hak Milik dan Hak Guna Bangunan diatur dalam Bagian III dan Bagian V UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Dalam
kaitan ini, Sertifikat Hak Guna Bangunan (“SHGB”) hanya memberikan hak
kepada pemegangnya memanfaatkan tanah untuk mendirikan bangunan di atas
tanah yang bukan miliknya, karena kepemilikan tanah tersebut dipegang
oleh Negara, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah jangka
waktu tersebut berakhir, SHGB dapat diperpanjang paling lama 20 tahun.
Dan bila lewat dari waktu yang ditentukan maka hak atas tanah tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya sepenuhnya dikuasai langsung oleh
Negara.
Berbeda dengan
Sertifikat Hak Milik (“SHM”), pemegang haknya mempunyai kepemilikan yang
penuh atas tanah dan merupakan hak turun temurun yang terkuat dari
hak-hak atas tanah lainnya yang dikenal dalam UUPA. Hanya warga Negara
Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Sedangkan,
perusahaan-perusahaan swasta, seperti misalnya developer atau
perusahaan pengembang perumahan tidak dapat mempunyai tanah dengan
status Hak Milik. Mereka hanya diperbolehkan sebagai pemegang SHGB.
Dalam hal developer membeli tanah penduduk yang semula berstatus
tanah-tanah Hak Milik, maka dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah,
Badan Pertanahan Nasional (“BPN”) akan menurunkan status tanah-tanah
yang dimiliki developer tersebut dari penduduk, menjadi berstatus Hak Guna Bangunan, yaitu hanya bangunan–bangunan yang dapat dimiliki oleh developer.
Sedangkan, tanahnya menjadi milik Negara, sehingga sertifikat yang
dikeluarkan adalah dalam bentuk SHGB. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 36 UUPA.
Namun, pemegang SHGB tidak perlu khawatir karena berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun
1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal,
tanah dengan status SHGB dapat diubah menjadi tanah bersertifikat Hak
Milik, dengan cara melakukan pengurusan pada kantor BPN setempat di
wilayah tanah tersebut berada. Pengurusan dapat dilakukan oleh si
pemegang SHGB yang berkewarganegaraan Indonesia ataupun menggunakan jasa
Notaris/PPAT. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. SHGB asli
2. copy IMB
3. copy SPPT PBB tahun terakhir
4. identitas diri
5. Surat Pernyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 (lima) bidang yang luasnya kurang dari 5000 (lima ribu) meter persegi, dan
6. membayar uang pemasukan kepada Negara.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Terkait
dengan hak atas tanah yang dapat diperoleh pihak asing, yang dalam hal
ini adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (“PMA”) dapat kita lihat
pengaturannya dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”).
Pada prinsipnya, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA.
Untuk PMA yang hendak menggunakan nama perorangan berkewarganegaraan
asing juga tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah. Orang asing
(yang berkedudukan di Indonesia) hanya dapat mempunyai hak pakai, hak
sewa dan hak sewa, hak guna bangunan, dan hak guna usaha menurut UUPA. Dalam bagian Penjelasan Umum UUPA, disebutkan Dasar-Dasar Dari Hukum Agraria Nasional (poin 5) yaitu:
“Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya
warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah,
Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik
kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik
(pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang
badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena
badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak
lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi
keperluan-keperluannya yang khusus(hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
Namun,
kemudian pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan
bagi PMA sebagai badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia untuk dapat memperoleh hak atas tanah
(lihat Pasal 21 UUPM).
Lebih jauh, disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUPM bahwa kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah tersebut dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha
dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan
dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat
diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh
lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Simak juga artikel Klinik Hukum sebelumnya mengenai Hak Pakai.
Hak atas tanah sebagaimana disebutkan di atas dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan
persyaratan antara lain (Pasal 22 ayat [2] UUPM):
1. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang
dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih
berdaya saing;
2. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal
yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan
jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
3. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
4. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
5. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
Jadi, apabila pemegang saham dari PMA tersebut menginginkan untuk
memperoleh tanah dengan status hak milik atas nama orang asing, hal itu
tidak dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Penolakan
pihak kelurahan untuk mengeluarkan Surat Keterangan Domisili Perusahaan
("SKDP") untuk perusahaan Anda boleh jadi karena terdapat larangan
penggunaan tempat atau rumah tinggal sebagai tempat usaha oleh
pemerintah daerah setempat. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya larangan
tersebut tercantum dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta No. 203 Tahun 1977 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Larangan Penggunaan Rumah Tempat Tinggal untuk Kantor atau Tempat Usaha (“SK Gub. DKI 203/1977”).
Di dalam SK Gub. DKI 203/1977 antara
lain disebutkan bahwa penggunaan utama yang ditetapkan dalam
perpetakan/penggunaan perumahan adalah tempat tinggal/hunian.
Selanjutnya di dalam peraturan tersebut juga diatur bahwa penggunaan lain yang diperkenankan dalam perumahan adalah:
a. Praktek keahlian perorangan yang tidak merupakan badan usaha/usaha gabungan beberapa orang ahli;
b. Usaha
pelayanan lingkungan yang kegiatannya langsung melayani kebutuhan
lingkungan yang bersangkutan dan tidak mengganggu/merusak keserasian
lingkungan;
c. Kegiatan sosial yang tidak mengganggu/merusak keserasian lingkungan.
Dalam Lampiran SK Gub. DKI 203/1977
dijelaskan jenis-jenis praktik keahlian perorangan yang diperkenankan
menggunakan perumahan di antaranya dokter, bidan,
pengacara/notaris/akuntan, salon kecantikan, boutique, binatu, apotik,
kursus-kursus, dan lain-lain.
Sekian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 203 Tahun 1977
tentang Ketentuan Pelaksanaan Larangan Penggunaan Rumah Tempat Tinggal
untuk Kantor atau Tempat Usaha
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD”) bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lalu, Pasal 2 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”)
mengatur bahwa hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah. Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi
pengaturan tanah ulayat.
UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Definisi tanah ulayat baru dapat kita temui dalam Pasal
1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat (“Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999”), yang menyebutkan
bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan
tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Sementara itu, Putu Oka Ngakan et.al dalam buku Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan (hlm. 13) mendefinisikan tanah ulayat (hak kolektif/beschikkingsrecht) sebagai “tanah
yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat hukum adat, di mana
pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan
pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan maupun orang luar.”
Jadi, hak
penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat.
Sedangkan Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya. Hal ini juga dijelaskan artikel Tanah Ulayat.
Menjawab
pertanyaan Anda, untuk menentukan apakah lereng gunung yang dikelola
oleh warga masyarakat secara turun-temurun dapat dikatakan sebagai tanah
ulayat atau tidak, kita harus memastikan apakah syarat-syarat hak
ulayat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUP terpenuhi. Kurnia Warman dalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk (hlm. 40) mengatakan, persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUP adalah:
1. Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;
Mengenai hal ini, sesuai dengan penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Negara dan Sesuai dengan kepentingan nasional dan;
Dari segi politik, menurut Kurnia Warman, pernyataan “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu a priori yang mengandung kecurigaan dari pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini menunjukan seolah-olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan, kenegaraan dan kebangsaan.
Maka karena pernyataan “sesuai dengan kepentingan negara”
ini dapat menimbulkan multi tafsir dan sarat kepentingan politik, akan
sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah keberadaan suatu
masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau tidak,
tanpa mengetahui masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.
3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.
Persyaratan yang
terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi ganjalan
yang merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD telah tegas mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas di Indonesia. Pasal 18B ayat (1) UUD
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat besarta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui
keberadaan hak-hak tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas
bertentangan dengan UUD.
Walaupun seluruh persyaratan tersebut terpenuhi, berdasarkan Pasal 5 Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999,
pada akhirnya Pemerintah Daerah (“Pemda”) adalah pihak yang berwenang
untuk menentukan dan memberikan pengakuan terhadap hak ulayat di
daerahnya masing-masing melalui peraturan daerah (“Perda”). Hal ini juga
dijelaskan Kurnia Warman (hlm. 43).
Pada
praktiknya, menurut Kurnia Warman (hlm. 43), dalam rangka pembuatan
Perda ini, Pemda akan membentuk sebuah tim khusus untuk melakukan
penelitian yang mendalam tentang keberadaan hak ulayat di daerahnya. Tim
penelitian ini terdiri atas Pemda itu sendiri, para pakar hukum adat,
masyarakat hukum adat yang berada di daerah yang bersangkutan, LSM dan
instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Jika hasil penelitian
menunjukan bahwa hak ulayat di daerah yang bersangkutan betul-betul
eksis berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh UUPA, dan merasa perlu
diatur, maka Pemda bersama DPRD mengupayakan lahirnya Perda yang
mengatur tentang Hak Ulayat.
Berdasarkan
penjelasan tersebut maka kami tidak dapat menentukan apakah lereng
gunung yang dikelola oleh warga masyarakat secara turun temurun tersebut
dapat dikatakan sebagai tanah ulayat atau tidak. Perlu dilakukan
pembahasan dan penelitian yang saksama yang melibatkan Pemda, DPRD, dan
kantor BPN setempat, pakar hukum adat, serta pihak-pihak terkait lainnya
untuk menentukan apakah daerah tertentu merupakan tanah ulayat.
Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga membantu.
Dasar hukum:
4. Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun
1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat
Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan Anda, ada beberapa komponen
penting yang harus diperhatikan. Dalam setiap transaksi jual beli
tanah, sebelum memutuskan untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan infrastruktur, yang paling penting diketahui
adalah:
1. Tujuan penggunaan tanah tersebut, termasuk seberapa luas nantinya tanah yang akan dibeli.
Sebab hal ini akan berakibat kepada permohonan perizinan untuk penggunaan tanah dimaksud.
Jika
memang peruntukannya untuk pabrik misalnya, dengan luas tanah lebih
dari 5.000-m2 sebaiknya memang atas nama perusahaan. Karena nantinya
akan diwajibkan untuk mengurus berbagai perizinan yang terkait dengan
usaha perusahaan tersebut, seperti: Izin lokasi yang harus dilengkapi
pula dengan UKL, UPL, Amdal, dan lain sebagainya, dan juga harus
mengajukan permohonan rekomendasi dari pemerintah yang terkait (bupati
atau gubernur bergantung dari luas tanah yang diajukan).
Namun,
dalam praktik memang terkadang pengadaan tanah yang tidak terlalu luas
menggunakan nama-nama perorangan dari pemegang saham atau nama direksi
perseroan, dengan alasan: “Sayang apabila tanah yang sudah berstatus Hak
Milik harus terpaksa diturunkan haknya atau dilepas ke Negara kemudian
diajukan menjadi Hak Guna Bangunan/Hak Guna Usaha.”
Untuk keadaan demikian, yang harus dicermati dan dipertimbangkan oleh perusahaan adalah:
a. Risiko pembukuan dan perpajakan.
Dalam
pembukuan, tanah tersebut tidak dapat dicatatkan sebagai asset
Perseroan, melainkan asset perorangan; dan hal tersebut juga akan
membebani pajak dari pemegang saham atau Direksi yang namanya digunakan
(“dipinjam”) sebagai pemilik tanah tersebut.
b. Risiko pemegang saham yang namanya dipakai oleh Perseroan
meninggal
dunia. Apabila hal tersebut terjadi, dalam hal ini adanya kemungkinan
apabila pemegang saham tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut
masuk dalam boedel waris dari pemegang saham yang bersangkutan. Dalam
praktik, memang akan di-back up dengan berbagai surat, tapi biasanya tetap akan merepotkan bagi perusahaan di kemudian hari.
c. Risiko
perselisihan di antara para pemegang saham, yang mengakibatkan
keluarnya pemegang saham yang namanya dipinjam (dalam bahasa awamnya
“pecah kongsi”). Hal ini akan berisiko jika yang bersangkutan tidak
memiliki iktikad baik terhadap penguasaan tanah tersebut.
Serta
berbagai risiko lain yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu,
berbagai risiko tersebut juga harus dipertimbangkan masak-masak oleh
Perseroan yang akan melakukan pengadaan tanah sebelum memutuskan untuk
“meminjam” nama.
2. Status tanah hak yang akan dibeli.
Dari pertanyaan Anda, peralihan haknya apakah perlu dengan jual beli atau tidak, jawabannya jelas: PERLU.
Karena peralihan hak atas tanah secara teori hanya dapat dilakukan dengan akta van transport (akta peralihan: jual beli, hibah, dll) yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Namun, untuk pertanyaan Anda: “Apakah harus ditingkatkan atau tidak?” Ini kembali lagi bergantung pada keperluan perusahaan.
Dalam hal ini, bentuk akta apa yang digunakan untuk melakukan peralihan haknya, bergantung pada:
1. Status tanah dimaksud dikaitkan dengan status pembeli (apakah nama perorangan ataukah nama PT).
2. Dalam
hal status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan(HGB) atau Hak Guna Usaha
(HGU) atau Hak Pakai (HP), maka harus diketahui apakah jangka waktu
haknya masih ada ataukah sudah berakhir
Dari pertanyaan tersebut, timbul berbagai variasi kemungkinan:
a. Jika status tanahnya adalah Hak Milik,
sedangkan pembelinya:
a.1. Peorangan
(dalam
hal ini salah satu pemegang saham sebagaimana diuraikan di atas), maka
peralihannya cukup dilakukan dengan cara jual beli biasa di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang.
a.2. Perseroan, maka pembeliannya dapat dilakukan dengan cara:
a.2.1. penurunan hak menjadi HGB/HGU/HP, yang dilanjutkan dengan jual beli (setelah menjadi HGB/HGU/HP)
a.2.2.
pelepasan hak ke Negara dengan menggunakan akta pelepasan hak secara
notariil, yang dilanjutkan dengan permohonan hak oleh badan hukum yang
bersangkutan. Pelepasan ke Negara tersebut juga dapat dilakukan jika
tanah tersebut belum bersertifikat.
b. jika status tanahnya adalah HGB/HGU/HP
b.1. jangka waktunya masih berlaku: pembelinya baik perorangan
maupun badan hukum bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.
maupun badan hukum bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.
b.2. jangka waktunya sudah berakhir:
b.2.1. mengajukan permohonan hak kembali atas nama pembeli, setelah haknya timbul, baru dilakukan jual beli biasa.
b.2.2. dibuatkan akta jual beli bangunan dan pengoperan hak secara
notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli.
notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli.
Alternatif lain:
Jika
status tanah adalah HGB, jangka waktunya masih berlaku dan pembelinya
adalah perorangan, maka anda dapat memilih untuk tetap pada status tanah
HGB tersebut (untuk itu cukup dilakukan jual beli dan balik nama),
ataukah Anda ingin berstatus Hak Milik (yang dapat dilanjutkan dengan
proses peningkatan status tanah tersebut).
Mengenai uraian lengkapnya tentang prosedur dan tata caranya bisa dibaca di buku saya berjudul “Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Masalah Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).”
Atau Anda bisa menghubungi notaris terdekat sekitar Anda untuk
mengetahui lebih jelasnya. Karena tanpa membaca dokumen, tentunya tidak
mudah untuk memberikan arahan yang tepat sesuai kebutuhan Anda.
Semoga uraian saya cukup jelas dan bermanfaat.
Salam hangat dan persahabatan.