HUKUM WARIS MENURUT BW
RESUME HUKUM WARIS MENURUT BW
I. PENGERTIAN HUKUM WARIS.
Hukum
waris adalah aturan hukum yang mengatur tentang perpindahan hak kepemilikan
harta kekayaan, yaitu merupakan keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang
yang mewariskan kepada ahli warisnya dan menentukan siapa-siapa yang berhak
menerimanya..
Pewaris
adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan.
Ahli
waris adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan dari si pewaris.
II. CARA
MENDAPATKAN WARISAN.
Menurut
undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
- Pewarisan menurut undang-undang atau disebut juga waris ab intestato adalah hukum yang mengatur pewarisan yang terjadi seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini apabila tidak ada surat wasiat.
- Pewarisan karena wasiat disebut juga waris terstamentair (abtesto) adalah hukum waris yang mengatur pewarisan karena adanya surat wasiat dari si pewaris.
III. ASAS HUKUM WARIS.
Dalam
hukum waris berlaku asas, bahwa hanya hak dan kewajiban dalam lapangan hukum
harta benda saja yang dapat diwariskan. Atau hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang. Jadi hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan
atau kepribadian, misalnya hak dan kewajiban sebagai suami atau ayah, tidak
dapat diwariskan.
Selain
itu berlaku juga asas, bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu
pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya. Asas ini dalam
bahasa Perancis disebut “ le mort saisit le vif “. Sedangkan pengoperan
segala hak dan kewajiban dari si pewaris oleh para ahli waris disebut “ saisine
“.
Ada juga asas yang
disebut dengan “ hereditatis petition “
yaitu hak dari ahli waris untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta
peninggalan dari si pewaris terhadap orang yang yang menguasai harta warisan
tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Asas
ini diatur dalam pasal 834 BW.
Selain
itu ada juga asas “ de naaste in het bloed, erft het goed “ yang artinya yang
berdarah dekat, warisan didapat. Dan untuk mengetahui kedekatan tersebut, harus
dilakukan perhitungan dan untuk ini dipakai ukuran perderajatan dengan rumus X-1. Semakin besar nilai derajat, maka
semakin jauh hubungan kekeluargaan dengan si pewaris. Begitu juga sebaliknya,
semakin kecil nilai derajat, maka semakin dekat hubungan darah dengan si
pewaris. Misal : ukuran derajat seorang anak kandung dengan si pewaris adalah
2-1=1 derajat.
IV. SYARAT MENDAPATKAN WARISAN.
Adapun
syarat-syarat untuk mendapatkan warisan adalah :
1.Harus ada orang yang meninggal.
2.Harus dilahirkan hidup atau dianggap sebagai subyek hukum pada hari
kematian pewaris.
3.Ahli waris itu patut / pantas menerima warisan.
Ketentuan mengenai ahli
waris yang tidak patut menerima warisan, sebagaimana diatur dalam pasal 838, 839 dan 840 BW. Yang intinya adalah sebagai berikut :
Pasal 838 BW mengatur tentang yang
dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanyapun dikesampingkan dari
pewarisan, yaitu :
1.Orang yang dihukum karena membunuh/mencoba membunuh si pewaris.
2.Orang yang dihukum karena memfitnah si pewaris pada waktu masih
hidup.
3.Orang yang dengan kekerasan atau secara paksa mencegah si pewaris
membuat wasiat atau memaksa untuk mencabut wasiatnya.
4.Orang yang telah menggelapkan dan merusak atau memalsukan surat wasiat.
Pasal 839 BW mengatur tentang
ketentuan bahwa orang yang tidak patut menerima warisan, harus mengembalikan
semua hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya semenjak warisan tersebut
terbuka.
Pasal 840 BW mengatur tentang
ketentuan bahwa anak-anak dari orang yang tidak patut menerima warisan tetap
berhak menerima warisan, tetapi orang tuanya ( yang tidak patut menerima
warisan tersebut ) tidak boleh menikmati hasil warisan tersebut.
Pertanyaannya kemudian
adalah bagaimana seandainya pewaris memberikan wasiat kepada seseorang yang
kemudian ternyata orang tersebut dinyatakan tidak patut menerima warisan ?
Bagaimana pula jika demikian halnya dengan suami/istri dan anak-anaknya ? Hal
ini diatur dalam pasal 912 BW, yang
intinya adalah istri/suami dan keturunan dari orang yang mendapat warisan
berdasarkan wasiat dan kemudian dinyatakan tidak patut menerima warisan, tidak
berhak mendapat warisan tersebut. Maka warisan ini jatuh pada saudara-saudara
pewaris yang dekat ( golongan II ).
V. AHLI WARIS YANG BERHAK MENERIMA WARISAN.
Dalam
ketentuan BW ditetapkan orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan atau
yang disebut sebagai hak mutlak ( legitieme
portie ) yaitu suatu bagian
tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang
meninggalkan harta warisan. Seseorang yang berhak atas suatu legitieme portie
dinamakan “ legitimaris “.
Adapun
golongan ahli waris yang berhak menerima warisan tersebut adalah :
1.
Suami / isteri pewaris yang hidup
lebih lama.
Anak dan keturunan anak terus ke bawah.
2.
Bapak / ibu.
Saudara dan keturunan saudara terus ke bawah.
3.
Nenek / kakek baik dari garis
bapak atau garis ibu.
Orang tua kakek / nenek seterusnya ke atas.
4.
Paman / bibi baik dari garis
bapak atau garis ibu.
Keturunan paman / bibi sampai dengan derajat ke-6.
Saudara kakek / nenek serta keturunannya sampai dengan derajat ke-6.
Seandainya saja
ke-4 golongan tersebut tidak ada ( jangka waktu untuk mengakui sebagai ahli
waris adalah 3 tahun ), maka harta warisan jatuh pada Negara, dan dalam hal ini
dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan.
Yang dimaksud
keturunannya disini adalah dapat merupakan anak-anak yang sah yang lahir dalam
perkawianan maupun anak-anak yang tidak sah tetapi diakui yaitu anak-anak yang
lahir diluar perkawinan tetapi diakui ( erkend natuurlijk).
Tentang bagian legitieme
portie bagi anak-anak yang sah ditetapkan dalam pasal 914 BW, sebagai berikut :
1.
Jika hanya ada 1 orang anak
yang sah, maka jumlah legitieme portie separuh dari bagian
yang sebenarnya, akan diperoleh sebagai ahli waris menurut undang-undang.
2.
Jika ada 2 orang anak yang sah,
maka jumlah legitieme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang
sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut undang-undang.
3.
Jika ada 3 orang anak atau
lebih, maka jumlah legitieme portie itu menjadi ¾ dari bagian yang sebenarnya akan
diperoleh masing-masing ahli waris menurut undang-undang.
Untuk bagian anak
yang tidak sah tetapi diakui yaitu sebesar 1/3 bagian dari haknya sebagai anak
yang sah. Sisa warisan dari anak tidak sah tetapi diakui tersebut dibagikan
rata kepada anak-anak yang sah.
Misalnya : Jika ada 2 orang anak
yang lahir diluar perkawinan dan ada 3 orang anak yang sah, maka pembagiannya adalah untuk 2
orang anak yang tidak sah tetapi diakui itu masing-masing akan menerima 1/3 x
1/5 = 1/15, atau secara bersama-sama mendapat 2/15. Bagian ini harus
dikeluarkan dulu, lalu sisanya sebanyak 13/15 dibagi rata untuk 3 orang anak
yang sah.
Hak
mewarisi oleh suami / isteri dari si pewaris, baru sejak tahun 1935 dimasukkan
dalam undang-undang, yaitu mereka dipersamakn dengan seorang anak yang sah.
Dalam hal si pewaris mempunyai anak dari perkawinan yang pertama dan seorang
isteri yang kedua, maka bagian isteri kedua dengan cara apapun tidak boleh
melebihi bagian seorang anak dan paling banyak hanya ¼ dari seluruh harta
warisan.
Bagi
ahli waris dalam garis lurus ke atas, misalnya orang tua atau nenek / kakek,
maka menurut pasal 915 BW, jumlah legitieme
portie selalu separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut
undang-undang.
Dalam
pembagian warisan untuk golongan 1 dan golongan 2 dimungkinkan adanya ahli
waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan tempat ahli waris yang
sebenarnya karena telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris.
Menurut
undang-undang ada tiga macam penggantian
(representatie) yaitu :
1.
Penggantian dalam garis lurus ke bawah.
Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu
digantikan oleh semua anak-anaknya.
2.
Penggantian dalam garis samping ( zijlinie ). Bahwa tiap saudara yang
meninggal lebih dahulu maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Ini juga
dapat terjadi tiada batas.
3.
Penggatian dalam garis samping, dalam hal yang tampil ke muka
sebagai ahli waris anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya
daripada seorang saudara, misalnya seorang paman
atau keponakan. Disini ditetapkan bahwa saudara dari seorang yang tampil ke
muka sebagai ahli waris itu meninggal lebih dahulu, dapat digantikan
anak-anaknya.
Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari
golongan 1 dan golongan 2, maka harta warisan dibagi menjadi 2 bagian yang
sama. Satu bagian untuk anggota keluarga dari pihak ayah dan satu bagian lagi
untuk anggota keluarga dari pihak ibu si pewaris. Pembagian seperti ini dikenal dengan sebutan
“ kloving
“. Jika dari salah satu pihak orang tua tidak ada ahli waris lagi, maka seluruh
harta warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang masih ada. Dalam
pembagian warisan golongan 3 ini tidak
penggantian tempat.
Prinsip dari ke-4 golongan ahli waris ini adalah jika
masih ada golongan 1 maka golongan 2, golongan 3 dan golongan 4 tidak berhak.
Begitu juga bila golongan 1 tidak ada, maka golongan 2 yang berhak, sedang
golongan 3 dan golongan 4 tidak berhak. Begitu seterusnya. Dan bila semua
golongan tersebut memang benar-benar tidak ada maka harta warisan jatuh pada
Negara, dalam hal ini Balai Harta Peninggalan.
Selain itu, oleh undang-undang telah ditetapkan bahwa
ada orang-orang yang berhubung dengan jabatan atau pekerjaannya maupun
hubungannya dengan si pewaris, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari
suatu surat
wasiat. Mereka adalah :
1.
Dokter yang merawat selama
pewaris sakit.
2.
Notaris yang membuat akta
wasiat.
3.
Saksi-saksi pada waktu
pembuatan surat
wasiat.
4.
Pendeta yang memberikan
sakramen terakhir.
VI. SIKAP DALAM MENGHADAPI TERBUKANYA WARISAN.
Ada 3 ( tiga ) sikap yang
dapat diambil oleh ahli waris sejak terbukanya warisan, yaitu :
- Menerima tanpa syarat ( zuivere aanvaarding ) yaitu menerima secara penuh baik hak maupun kewajiban dari si pewaris. Dapat dilakukan secara tegas, yaitu jika seorang dengan suatu akta menerima kedudukannya sebagai ahli waris, atau secara diam-diam yaitu jika ia dengan melakukan suatu perbuatan, misalnya mengambil atau menjual barang-barang warisan atau melunasi hutang si pewaris dapat dianggap telah menerima warisan secara penuh.
- Menerima dengan syarat ( beneficiaire aanvaarding ) yaitu menerima dengan catatan. Artinya ahli waris bersedia menerima warisan dengan syarat ia hanya membayar hutang si pewaris terbatas atau sebanyak harta warisan yang diterimanya. Sehingga ahli waris tidak menanggung pembayaran hutang si pewaris dengan kekayaan pribadinya.
- Menolak warisan, yaitu menolak menerima warisan baik berupa harta maupun kewajiban dari si pewaris. Penolakan ini harus dilakukan dengan suatu akta pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat dimana warisan itu terbuka.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penentuan
sikap ahli waris sejak terbukanya warisan dapat diringkaskan sebagai berikut :
- Pewaris tidak boleh membatasi hak ahli waris untuk memilih sikap tersebut.
- Pemilihan sikap tersebut tidak dapat dilakukan selama warisan belum terbuka.
- Pemilihan sikap tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat. Kepentingan umum, terutama kepentingan orang-orang yang menghutangkan menghendaki dengan pemilihan itu sudah tercapai suatu keadaan yang pasti dan tidak berubah lagi.
- Pemilihan sikap tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang jatuh kepada seseorang ahli waris, artinya jika ahli waris menerima atau menolak, perbuatan itu selalu mengenai seluruh bagian dalam warisan.
- Menyatakan menerima atau menolak suatu warisan adalah suatu perbuatan hukum yang terletak dalam lapangan hukum kekayaan. Oleh karena itu seorang yang oleh undang-undang dianggap sebagai tidak cakap untuk bertindak sendiri, harus diwakili atau dibantu oleh orang yang berkuasa untuk itu.
- Jika ahli waris sebelum menentukan sikapnya meninggal lebih dahulu, maka haknya untuk memilih beralih kepada ahli warisnya.
VII. PERIHAL WASIAT.
Surat wasiat atau testament adalah suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal
dunia. Pada dasarnya suatu wasiat adalah keluar dari satu pihak saja ( eenzijdig
) dan setiap saat dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Pasal 874 BW telah menerangkan tentang
arti wasiat bahwa isi wasiat itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Pembatasan penting disini adalah terletak dalam pasal legitieme portie yaitu
bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dalam garis lencang
dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Suatu wasiat dapat juga
berisikan suatu “ legaat “ yaitu suatu pemberian kepada seseorang. Adapun yang
dapat diberikan dalam suatu legaat berupa :
- Satu atau beberapa benda tertentu.
- Seluruh benda dari satu macam, misalnya seluruh benda bergerak.
- Hak “ vruchtgebruik “ atas sebagian atau seluruh warisan.
- Suatu hak lain boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.
Yang berhak mendapatkan wasiat, yaitu :
- Orang yang patut menerima warisan.
- Ahli waris.
Yang berhak membuat surat
wasiat, yaitu :
- Mereka yang sudah berumur 18 tahun ( dewasa ).
- Mereka yang sudah menikah walaupun belum berumur 18 tahun.
- Harus mempunyai pikiran yang sehat.
Orang yang belum dewasa atau belum dianggap dewasa,
jika melakukan tindakan hukum maka akibat hukumnya adalah batal atau dapat dibatalkan.
Orang yang pikirannya tidak sehat, jika membuat surat wasiat maka hukumnya tidak sah, dan
tidak sahnya itu harus dibuktikan oleh hakim. Orang asing hanya diperkenankan
membuat surat
wasiat terbuka, dengan dasar hukumnya Stb.
1924 ; 556 ( Timur Asing bukan Tionghoa ).
Macam surat
wasiat dibedakan menjadi 2, yaitu :
- Surat wasiat menurut bentuknya ( sesuai pasal 931 BW ). Dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
- Surat wasiat olografis ( olographis testament ).
Adalah surat
wasiat yang seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani sendiri oleh si
pewaris.
2. Surat wasiat umum ( openbaar
testament ).
Adalah surat wasiat dengan akta
umum yang harus dibuat di hadapan notaries dengan dihadiri oleh 2 orang saksi.
Pewaris menerangkan kepada notaries apa yang dikehendakinya dan notaries dengan
kata-kata yang jelas harus menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris.
3. Surat wasiat rahasia /
tertutup.
Adalah surat wasiat yang dibuat
pewaris dengan tulisan sendiri atau ditulis orang lain, yang ditandatangani
oleh si pewaris. Kemudian surat
wasiat / sampul yang berisi surat
wasiat ini harus ditutup dan disegel dan diserahkan kepada notaries dengan
dihadiri oleh 4 orang saksi.
- Surat wasiat menurut isinya. Dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
- Surat wasiat pengangkatan waris ( pasal 954 BW ).
Adalah surat
wasiat yang berisi bahwa si pewaris memberikan kepada seseorang atau lebih
seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya jika ia meninggal dunia.
2. Surat wasiat hibah ( pasal 957 BW ).
Adalah surat wasiat yang memuat
ketetapan-ketetapan khusus, dengan mana si pewaris memberikan kepada seseorang
atau lebih, yaitu :
1. Satu atau beberapa benda tertentu, atau ;
2. Seluruh
benda dari satu jenis tertentu, atau ;
3. Hak memungut hasil dari seluruh atau sebagain
harta peninggalan.
Ada juga wasiat yang dibuat dengan akta di bawah tangan yang disebut
dengan nama “ codicil “ yaitu akta di bawah tangan yang dibuat si pewaris
tentang hal-hal yang termasuk dalam pembagian warisan. Jadi bukan mengenai
harta kekayaan, tetapi berisi antara lain :
- Pengangkatan pelaksana waris ( executeur testamentair ).
- Penyelenggaraan penguburan.
- Penghibahan pakaian, meubel tertentu, perhiasan tertentu.
- Penunjukan wali untuk anaknya.
- Pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan.
EXECUTEUR TESTAMENTAIR
Adalah pelaksana wasiat yang mengawasi pelaksanaan wasiat, agar
supaya pembagian itu adil sehingga tidak ada perselisihan antar ahli waris.
Ketentuan-ketentuan mengenai executeur testamentair, antara lain
:
- Tidak boleh memegang/menyimpan harta warisan lebih dari 1 tahun. Setelah 1 tahun maka harta warisan tersebut harus dibagikan.
- Berhak untuk menarik semua atau sebagian dari benda yang termasuk kedalam kekuasaannya. Hal ini untuk menghindari ketidakadilan antara bagian ahli waris dengan bagian orang yang menerima hibah wasiat.
- Jika ada anak di bawah umum yang tidak mempunyai wali atau jika ada ahli waris yang masih berada di luar negeri, wajib untuk menyegel harta tersebut sampai ahli waris tersebut siap / dapat menerima warisan.
- Wajib membuat catatan-catatan mengenai benda-benda warisan dengan dihadiri oleh ahli waris.
- Tidak boleh menjual barang warisan dengan maksud untuk memudahkan pembagian warisan. Kecuali isi wasiat itu berupa wasiat benda dan wasiat benda tersebut berupa uang, sedang uang yang ada ( in cash ) tidak mencukupi jumlah dalam wasiat benda tersebut, maka boleh menjual barang bergerak yang ada dengan ijin dari ahli waris. Untuk penjualan barang yang tidak bergerak harus ada ijin dari ahli waris dan hakim, atau dengan kata lain harus dengan penjualan dimuka umum ( lelang ).
Pencabutan wasiat, dapat dilakukan dengan 2 jalan, yaitu :
- Secara tegas.
Yaitu dengan cara dalam wasiat yang baru ditegaskan bahwa surat wasiat yang telah
dibuat terlebih dahulu ditarik kembali dan diganti dengan yang baru.
- Secara diam-diam.
Yaitu dengan cara dibuat kembali surat wasiat yang isinya berlainan dengan surat wasiat yang lama.
Surat wasiat yang tidak dapat dicabut kembali, yaitu surat wasiat yang berisi :
- Pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan.
- Pemberian warisan yang telah dilekatkan dalam suatu perjanjian perkawinan.
VIII. PENGURUS WARIS.
Pengurus waris adalah orang yang ditunjuk oleh si
pewaris dalam surat
wasiat atau akta notaries yang khusus untuk mengurus harta kekayaan yang berupa
warisan yang didapat oleh ahli waris atau legaataris untuk selama waktu
tertentu atau selama hidupnya ahli waris atau legitimaris tersebut.
Maksud dari penunjukan ini adalah mencegah supaya
harta warisan yang diterima ahli waris tidak dihabiskan secara sewenang-wenang
oleh ahli waris tersebut. Pengurus waris ini walaupun selamanya mengurus harta
ini tetapi selamanya tidak akan memiliki harta kekayaan ini.
IX. PEMISAHAN
HARTA WARISAN.
Pemisahan harta warisan diatur dalam pasal 1066 BW, adalah perbuatan hukum
yang dimaksudkan untuk mengakhiri suatu keadaan dimana terdapat suatu kekayaan
bersama yang belum terbagi. Maksudnya adalah jika pewaris meninggal dunia, maka
harta warisannya harus segera dibagi pada yang berhak, kecuali masih ada salah
satu orang tuanya.
Jika harta warisan tersebut dibagi, maka untuk seorang
kreditur
( orang yang memberi hutang/pinjaman kepada pewaris ) dalam hal ini dapat
mengadakan perlawanan yaitu supaya hutang-hutang pewaris dibayar dulu.
Cara mengadakan pemisahan harta warisan, ada 2 yaitu :
- Jika semua ahli waris cakap dan hadir, maka boleh diadakan pembagian berdasarkan perundingan diantara mereka.
- Jika ada anak yang di bawah umur atau di bawah kuratil, maka harus dilakukan dengan akta notaries dan di hadapan Balai Harta Peninggalan.
X. FIDEI COMMIS.
Fidei commis adalah
pemberian warisan kepada seorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia
diwajibkan menyimpan warisan itu, dan setelah lewat suatu waktu tertentu atau
kalau si ahli waris tersebut meninggal dunia, maka warisan itu harus
diterimakan kepada orang lain yang sudah ditetapkan dalam surat wasiat. Hal ini bisa juga disebut
pewarisan dengan cara lompat tangan atau pewarisan secara melangkah (erfstelling
over de hand). Orangnya yang dibebani disebut fideicommisarius. Sedangkan
orang yang ditunjuk untuk menerima warisan terkemudian ini disebut verwachter.
Misalnya : A adalah pewaris, mempunyai anak B, dan B
mempunyai 2 anak yaitu C dan D. A membuat wasiat bahwa yang berhak atas warisan
A adalah C dan D, bukan B sebagai ahli waris yang sah. Disini B dibebani tugas
supaya menyerahkan warisan tersebut kepada C dan D. B hanya boleh menikmati
hasil dari warisan tersebut. Penyerahan warisan dari B kepada C dan D harus
dalam waktu tertentu. Jadi secara hukum B memang ahli waris, tapi sebenarnya B
hanya menyimpan warisan tersebut dan ia tidak dapat memakai atau menggunakan
harta warisan tersebut.
Bahaya fidei commis menurut undang-undang :
- Adanya penyalahgunaan harta untuk waktu yang lama oleh ahli waris, dimana ia memperoleh keuntungan dari harta tersebut setinggi mungkin. Misalnya uang tersebut dibungakan, bukannya di depositokan.
- Si ahli waris mula-mula tersebut akan menyia-nyiakan pemeliharaan harta warisan.
- Kreditur dari ahli waris yang mula-mula, tidak dapat menuntut pengeksekusian dari harta warisan tersebut. Karena ternyata harta tersebut bukan haknya.
Meskipun ahli waris tersebut hanya sebagai pemakai
hasil tetapi ia juga seorang penguasa dari harta warisan yang diikat secara fidei
commissioner. Jadi apabila ia tidakmempunyai keturunan, maka ia dapat
membuat wasiat atas harta tersebut.
Jika pada waktu ahli waris yang dibebani meninggal
dunia, maka seorang verwachter langsung memperoleh warisan menurut hukum. Jadi
dalam hal ini tanpa adanya penyerahan eigendom. Bahkan ia bertindak
sebagai ahli waris dari orang yang dibebani harta tersebut. Kalau si verwachter
ini meninggal terlebih dahulu sebelum warisan jatuh kepadanya, maka
kedudukannya hapus, kecuali jika ia mempunyai anak maka anaknyalah yang
mengganti kedudukannya.
Ada 2 macam fidei commis yang diperbolehkan undang-undang, yaitu :
- Untuk memenuhi keinginan seseorang yang hendak mencegah kekayaannya dihabiskan oleh anak-anaknya. Dalam wasiat, orang boleh membuat penetapan agar anaknya tidak boleh menjual harta warisan dan agar harta tersebut diwariskan lagi kepada anak-anak si ahli waris sendiri.
- Ketetapan yang berisi seorang waris harus mewariskan lagi dikemudian hari apa yang masih ketinggalan dari warisan yang diperolehnya itu. Jadi hanya sisanya saja kepada seorang lain sudah ditetapkan. Lazim disebut dengan fidei commis de residuo.
X. HARTA WARISAN YANG TIDAK TERURUS.
Jika ada suatu warisan
terbuka dan tidak seorangpun yang tampil ke muka sebagai ahli waris atau semua
ahli waris menolak warisan tersebut, maka harta warisan dianggap tidak terusus.
Maka Negara, dalam hal ini Balai Harta Peninggalan atau disebut “ weeskamer
“ dengan tidak usah menunggu perintah dari hakim wajib mengurus harta tersebut.
Pada waktu mengambil pengurusan harta tersebut wajib memberitahukan kepada
Kejaksaan Negeri setempat. Dan diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta
tersebut. Wajib pula memanggil para ahli waris yang mungkin ada melalui
pemanggilan umum di surat
kabar dan lain-lain yang dianggap layak.
Jika setelah lewat 3 tahun
terhitung sejak mulai terbukanya warisan belum juga ada ahli waris yang tampil
ke muka atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan
pertanggungan-jawab tentang pengurusan harta itu kepada Negara, yang akan
berhak untuk mengambil penguasaan atas segala harta warisan dan kemudian harta
warisan tersebut akan menjadi milik Negara.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam system yang berlaku di Indonesia terdapat dua badan peradilan yang mengatur masalah hukum kewarisan ini. Pertama Pengadilan Negeri yang mempergunakan atau berdasarkan pada prinsip KUH Perdata atau hukum BW yang di Indonesiakan, kemudian Pengadilan Agama yang mempergunakan prinsip Hukum Kewarisan Islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada Pengadilan Agama yang berlaku khusus bagi umat Islam yang merupakan masyarakat mayoritas di Indonesia. Hukum memberikan hak opsi kepada mereka untuk bebas memilih pengadilan mana suatu masalah kewarisan miliknya akan diselesaikan.
Terdapat perbedaan mendasar antara keduanya, namun tidak menjadikan keduanya saling berbenturan. Hal ini tersebut dikarenakan masih berada dalam lingkup keperdataan yang mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan yang damai.
Hukum kewarisan BW sebagaimana yang diterapkan di Pengadilan Negeri memiliki asas umum sama rata dengan memperhatikan prinsip keadilan. Di Indonesia selain memberlakukan hukum kewarisan BW juga terdapat tambahan pada Inpres No. I tahun 1991.
.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dasar hukum kewarisan dalam BW
2. Mengetahui para pewaris dan ahli waris dalam BW
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan tujuan pembahasan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Ahli waris yang menarik kembali harta warisan yang menjadi hak mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
HARTA WARISAN YANG TIDAK DIBAGI
A. Kronologi Kasus
Cipto Darsono seorang bapak yang mempunyai dua istri, istri pertama sudah meninggal dunia, sedangkan istri kedua masih hidup dan biasa dipanggil Mbok Jembleh. Dari istri pertama Cipto Darsono memiliki seorang anak perempuan bernama Sainem. Karena dari istri kedua Cipto tidak mempunyai anak, maka Cipto mengadopsi seorang anak laki-laki bernama Sukirman. Jadi keluarga yang hidup serumah dengan Cipto ada tiga orang, yaitu Mbok Jembleh, Sainem dan Sukirman.
Semasa hidup Cipto mempunyai tanah yang banyak, diantaranya:
1. Sawah seluas 0,185 Da persil No. 80 a S IV
2. Sawah seluas 0,177 Da dan
3. Tanah pekarangan seluas 39 ubin persil No. 81, di Komplek GOR Kel. Sidanegara, Kab. Cilacap
Kemudian oleh Cipto tanah pekarangan seluas 39 ubin itu dihibahkan kepada Sainem seluas 20 ubin, sedang 19 ubin sisanya diberikan kepada Sukirman anak angkat Cipto yang dirawatnya sejak masih bayi. Penghibahan tanah pekarangan tersebut dicatatkan pada Kantor Kelurahan setempat.
Pada tahun 1985, Cipto meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang seperti yang telah disebutkan di atas. Dan juga meninggalkan sejumlah harta warisan berupa sejumlah tanah sawah yang belum dibagi.
Tanah warisan berupa sejumlah tanah sawah tersebut seharusnya dibagi untuk semua ahli waris. Namun ternyata tanah sawah tersebut dijual oleh Sainem dan Sadirman (keponakan Cipto Darsono) kepada Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Padahal sawah yang dijual tersebut menghasilkan gabah 4 ton/tahun yang selama ini menghidupi Cipto dan keluarganya.
Karena musyawarah tidak berhasil menyelesaikan masalah tanah warisan Cipto almarhum, akhirnya Sukirman untuk dirinya sendiri dan mewakili janda Mbok Jembleh, mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai Penggugat melawan para Tergugat yaitu Sainem, Sardiman, Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Kemudian dengan pertimbangan yang intinya bahwa memang harta warisan berupa tanah yang ditinggalkan oleh Cipto belum dibagi, sehingga Pengadilan Negeri mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keputusan Pengadilan membenarkan gugatan yang diajukan oleh Sukirman dan Mbok jembleh bahwa tanah yang dijual harus dikembalikan kepada orang yang berhak yaitu Mbok Jembleh.
Namun dalam hal ini pihak para Tergugat tidak mau mengalah begitu saja, mereka kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Dan hasil dari Pengadilan Tinggi nampaknya tidak dapat membuat mereka lega, karena Pengadilan Negeri menganggap bahwa alasan dan pertimbangan Hakim Pertama yang menjadi dasar putusannya telah tepat dan benar. Tidak berhenti sampai di situ, akhirnya mereka para tergugat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sainem pribadi merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, karena posisi Sainem sendiri terhadap harta warisan tersebut merupakan salah satu ahli waris yang sah, karena Sainem merupakan anak kandung satu-satunya. Atas pertimbangan ini Sainem merasa bahwa tindakannya menjual sebagian tanah waris yang belum dibagi tersebut adalah sah. Berbeda dengan Sardiman yang juga menjual sebagian tanah waris tersebut, tindakan yang dia lakukan tersebut tidak mempunyai dasar hukum, karena dia bukan merupakan ahli waris dari Cipto Darsono.
Dengan berbagai pertimbangan ulang, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh para penggugat. Dan Mahkamah Agung memutuskan bahwa Wardi, Sri Mulyani dan Suroso (pihak yang membeli tanah dari Sainem dan Sadirman) dinyatakan dihukum dengan mengosongkan tanah yang sudah dibeli, dan Mbok Jembleh masih berhak menikmati seluruh peninggalan harta peninggalan Cipto Darsono.
B. Waris dalam Konsep Hukum Perdata
Konsep waris berikut ini merupakan konsep yang diambil dari pasal-pasal KUH Perdata yang menjadi dasar analisis kasus yang penulis angkat
Menurut K.U.H Perdata bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.[2] Subekti mengatakan bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dalam hukum waris juga berlaku suatu asas, bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Dalam pasal 830 disebutkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian.[4] Jadi kematian orang yang meninggalkan harta merupakan syarat dari terjadinya pewarisan. Dengan meninggalnya orang yang memiliki harta warisan, maka beralihlah harta warisan itu kepada ahli waris
Adapun dalam kaitannya siapa yang berhak menjadi ahli waris adalah sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 832 KUH Perdata, yaitu:
1. Para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin
2. Suami istri yang hidup terlama
Ahli waris karena hubungan darah telah ditegaskan dalam pasal 852 KUH Perdata. Ahli waris karena karena hubungan darah ini yaitu anak atau sekalian keturunan mereka, baik anak sah maupun luar kawin.
Menurut pasal 833 ayat I KUH Perdata bahwa yang dapat diwariskan atau obyek kewarisan adalah segala barang yang dimiliki si pewaris, segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris. Adapun unsur-unsur waris sebagai berikut:
a. Kaidah hukum
b. Pemindahan harta kekayaan pewaris
c. Ahli waris
d. Bagian yang diterima
e. Hubungan ahli waris dengan pihak keluarga
Menurut pasal 834 BW menyebutkan bahwa seorang ahli waris dapat menuntut apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris, si ahli waris boleh mengajukan gugatan baik untuk seluruhnya apabila ia adalah ahli waris satu-satunya atau hanya sebagian apabila ada beberapa ahli waris yang lain.[6]
Dalam pasal 839 disebutkan bahwa orang yang dikecualikan dari pewarisan, wajib mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmati sejak warisan itu jatuh.
Pasal 852 BW menyatakan tentang warisan suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si suami atau istri yang hidup terlama, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal, maksudnya apabila perkawinan suami istri itu adalah untuk kedua kali atau lebih, dan dari perkawinan yang dahulu ada anak-anak atau keturunannya, maka si istri atau suami yang baru tidak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar dari pada bagian warisan yang akan diterima oleh anak dari hasil perkawinan yang terdahulu. Dalam pasal ini juga disebutkan bahwa apabila sejumlah harta warisan telah dihibahkan, maka bagian warisan ahli waris yang ada harus dikurangi sejumlah harta yang dihibahkan.
C. Analisis Kasus
Kasus waris merupakan kasus yang seringkali muncul setelah pewaris meninggal. Kasus-kasus yang santer adalah tentang perebutan harta waris antara ahli waris, sifat keserakahan mereka muncul dengan keinginan untuk memiliki sebagian besar atau seluruh harta warisan yang ditinggalkan.
Namun dalam kejadian ini, kasus waris yang diangkat tidak sampai pada perebutan harta warisan, melainkan penyalahgunaan harta warisan sebelum terlebih dahulu harta waris itu dibagi.
Kasus ini dapat memperoleh kepastian hukum, karena dari kepastian hukum itu yang menentukan apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban khususnya yang terkait dengan kasus waris ini.
Kematian orang yang mempunyai harta merupakan syarat terjadinya pewarisan, hal ini sesuai dengan pasal 830. Sehingga Sejak Cipto Darsono meninggal dunia, maka terjadilah pewarisan yang dalam hal ini orang yang berhak adalah Mbok Jembleh dan Sainem. Adapun Sukirman tidak termasuk kedalam orang yang berhak menerima warisan yang ditinggalkan Cipto Darsono, karena Sukirman merupakan anak adopsi atau anak angkat. Akan tetap Cipto Darsono telah menunjukkan keadilannya sebagai seorang Ayah dengan menghibahkan sejumlah bagian tanah pekarangan. Dan menurut pasal 832 BW telah diatur tentang siapa saja yang berhak menerima harta warisan, dan anak adopsi tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan Mbok Jembleh merupakan orang dalam kategori suami istri yang hidup terlama, dan Sainem merupakan orang dalam kategori keluarga sedarah, jadi keduanya dianggap berhak menerima harta warisan dari Cipto Darsono.
Harta yang ditinggalkan Cipto Darsono berupa tanah sawah merupakan obyek waris, hal ini sesuai dengan pasal 833 ayat I KUH Perdata. Dalam kenyatannya, harta warisan yang ditinggalkan oleh Cipto Darsono tidak terbagi dan tidak dilakukan pembagian setelah Cipto Darsono meninggal. Sainem yang merasa dirinya berhak atas seluruh harta peninggalan Ayahnya, kemudian dia bersama Sardiman (keponakan Cipto Darsono) menjual tanah warisan tersebut tanpa sepengetahuan Mbok Jembleh kepada Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Sainem menjual tanah tanpa seizin Mbok Jembleh kemungkinan karena Sainem berfikir bahwa Mbok Jembleh bukanlah Ibu kandungnya. Namun menurut pasal 832 Mbok Jembleh termasuk sebagai orang yang berhak mendapat warisan tersebut, jadi meski Sainem juga berhak dan ingin menjual tanah tersebut, seharusnya dia meminta izin atau seharusnya dimusyawarahkan dengan Mbok Jembleh.
Dari kronologi kasus di atas tidak bisa diketahui dengan jelas bahwa, apa sebenarnya motif Sainem menjual tanah tersebut?. Kalau memang Sainem menjual tanah tersebut untuk kepentingan pribadi, maka jelas tindakan Sainem ini akan sangat merugikan Mbok Jembleh, karena sejak Cipto Darsono masih hidup, tanah sawah itulah yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Namun dalam kronologis juga dituliskan bahwa setelah Sainem menjual tanah warisan tersebut, di sana sempat terjadi musyawarah namun tetap tidak mampu menyelesaikan masalah. Maka dapat disimpulkan bahwa Sainem menjual tanah itu untuk keperluan pribadi, padahal dia sudah mendapatkan hibah tanah pekarangan sewaktu Ayahnya masih hidup.
Sukirman dalam hal ini meski bukan termasuk sebagai orang yang berhak mendapatkan warisan, dia mewakili Mbok Jembleh untuk menuntut hak yang seharusnya didapatkan oleh Mbok Jembleh kepada Pengadilan Negeri. Yang dilakukan Sukirman ini dibenarkan dalam BW pasal 834 mengenai kebolehan ahli waris menuntut hak waris penuh apabila dia satu-satunya ahli waris, dan menuntut sebagian apabila ada ahli waris lain. Ternyata putusan sidang Pengadilan Negeri pun memihak kepada Mbok Jembleh, karena memang dapat dipastikan bahwa Mbok Jembleh berhak menikmati harta warisan tersebut selama Mbok Jembleh belum menikah lagi atau meninggal dunia. Ketika Sainem mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi pun hasilnya tetap sama seperti putusan pada Pengadilan Negeri. Hal-hal yang perlu dijadikan pertimbangan adalah, apakah tanah tersebut setelah ditinggal mati oleh Cipto Darsono masih dinikmati oleh Mbok Jembleh? Dan apakah tanah tersebut masih atas nama Cipto Darsono?. Apabila bisa dibuktikan bahwa sebelum dijual tanah tersebut masih atas nama Cipto Darsono, maka tiga orang tergugat (yang membeli tanah dari Sainem dan Sardiman) tidak dapat mempertahankan tanah yang dibeli dari Sainem dan Sardiman, walaupun mereka dapat menunjukkan bukti pembelian tanah. Akan tetapi apabila diteliti lebih lanjut, maka tergugat yang membeli tanah tersebut berhak mendapat perlindungan hukum, karena ketika membeli tanah tersebut mereka terlepas dari latar belakang tanah tersebut apakah mereka membeli dari pemilik tanah yang sah atau tidak, apabila telah terjadi transaksi maka tanah itu adalah milik mereka.
Disamping itu tentang apa yang dilakukan Sainem menjual tanah tersebut bisa dikatakan sah, karena Sainem merupakan anak kandung satu-satunya Cipto Darsono. Dan juga berdasarkan pasal 852 BW, bahwa bagian istri yang hidup terlama tidak akan mendapatkan bagian lebih besar dari pada anak kandung dari istri terdahulu. Di sini yang perlu digaris bawahi adalah tanah yang dijual oleh Sainem bukan seluruh tanah, akan tetapi hanya sebagian saja, dan sebagian yang lain dijual oleh Sardiman (keponakan Cipto Darsono). Hanya saja kurang jelas bahwa apakah yang dijual oleh Sainem adalah bagian yang lebih besar dari pada yang dijual oleh Sardiman? Ataukah sama besarnya?.
Apabila dilihat dari pihak Sardiman, posisi Sardiman sendiri adalah lemah. Dia tidak mempunyai dasar hukum untuk menjual tanah warisan tersebut, karena Sardiman bukanlah ahli waris dari harta peninggalan pamannya, sehingga ia tidak berhak menjual dan menguasai tanah tersebut. Maka putusan yang paling tepat adalah seperti apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung, juga sesuai dengan yang telah diatur dalam pasal 839 BW. Sehingga dari keputusan ini memunculkan putusan bahwa, orang yang telah membeli tanah dari Sardiman inilah yang harus dikembalikan, dan kemudian dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Mbok Jembleh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penyelesaian masalah terkait dengan waris di Indonesia mempunyai dua alternatif pilihan. Yang pertama Pengadilan Negeri yang mempergunakan prinsip KUH Perdata atau hukum BW, dan yang kedua adalah Pengadilan Agama yang menggunakan prinsip Hukum Waris Islam yang dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam.
Hukum di Indonesia memberikan kebebasan memilih Pengadilan mana diantara kedua badan Peradilan tersebut yang akan dijadikan sebagai badan penyelesaian masalah kewarisan.
Sesuai dengan kronologi kasus di atas, apabila ada ahli waris yang ingin memanfaatkan harta warisan sesuai dengan kehendaknya, maka seharusnya para ahli waris segera mengurus pembagian harta waris segera setelah si pemilik harta meninggal. Jika mereka ingin diselesaikan secara agama maka pergi ke Pengadilan Agama, dan apabila ingin dilaksanakan dengan KUH Perdata maka pergi ke Pengadilan Negeri.
Dan kasus di atas menunjukkan bahwa para ahli waris memilih Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara waris. Hanya saja yang disayangkan, kenapa sebelumnya tidak dilakukan pembagian warisan agar bagian-bagian tersebut jelas, dan masing-masing ahli waris mengetahui haknya masing-masing, agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari. Kalaupun ada sengketa, maka akan dapat cepat diselesaikan karena pembagian warisan telah dilaksanakan.
Harta waris yang tidak dibagi
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam system yang berlaku di Indonesia terdapat dua badan peradilan yang mengatur masalah hukum kewarisan ini. Pertama Pengadilan Negeri yang mempergunakan atau berdasarkan pada prinsip KUH Perdata atau hukum BW yang di Indonesiakan, kemudian Pengadilan Agama yang mempergunakan prinsip Hukum Kewarisan Islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada Pengadilan Agama yang berlaku khusus bagi umat Islam yang merupakan masyarakat mayoritas di Indonesia. Hukum memberikan hak opsi kepada mereka untuk bebas memilih pengadilan mana suatu masalah kewarisan miliknya akan diselesaikan.
Terdapat perbedaan mendasar antara keduanya, namun tidak menjadikan keduanya saling berbenturan. Hal ini tersebut dikarenakan masih berada dalam lingkup keperdataan yang mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan yang damai.
Hukum kewarisan BW sebagaimana yang diterapkan di Pengadilan Negeri memiliki asas umum sama rata dengan memperhatikan prinsip keadilan. Di Indonesia selain memberlakukan hukum kewarisan BW juga terdapat tambahan pada Inpres No. I tahun 1991.
.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dasar hukum kewarisan dalam BW
2. Mengetahui para pewaris dan ahli waris dalam BW
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan tujuan pembahasan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Ahli waris yang menarik kembali harta warisan yang menjadi hak mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
HARTA WARISAN YANG TIDAK DIBAGI
A. Kronologi Kasus
Cipto Darsono seorang bapak yang mempunyai dua istri, istri pertama sudah meninggal dunia, sedangkan istri kedua masih hidup dan biasa dipanggil Mbok Jembleh. Dari istri pertama Cipto Darsono memiliki seorang anak perempuan bernama Sainem. Karena dari istri kedua Cipto tidak mempunyai anak, maka Cipto mengadopsi seorang anak laki-laki bernama Sukirman. Jadi keluarga yang hidup serumah dengan Cipto ada tiga orang, yaitu Mbok Jembleh, Sainem dan Sukirman.
Semasa hidup Cipto mempunyai tanah yang banyak, diantaranya:
1. Sawah seluas 0,185 Da persil No. 80 a S IV
2. Sawah seluas 0,177 Da dan
3. Tanah pekarangan seluas 39 ubin persil No. 81, di Komplek GOR Kel. Sidanegara, Kab. Cilacap
Kemudian oleh Cipto tanah pekarangan seluas 39 ubin itu dihibahkan kepada Sainem seluas 20 ubin, sedang 19 ubin sisanya diberikan kepada Sukirman anak angkat Cipto yang dirawatnya sejak masih bayi. Penghibahan tanah pekarangan tersebut dicatatkan pada Kantor Kelurahan setempat.
Pada tahun 1985, Cipto meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang seperti yang telah disebutkan di atas. Dan juga meninggalkan sejumlah harta warisan berupa sejumlah tanah sawah yang belum dibagi.
Tanah warisan berupa sejumlah tanah sawah tersebut seharusnya dibagi untuk semua ahli waris. Namun ternyata tanah sawah tersebut dijual oleh Sainem dan Sadirman (keponakan Cipto Darsono) kepada Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Padahal sawah yang dijual tersebut menghasilkan gabah 4 ton/tahun yang selama ini menghidupi Cipto dan keluarganya.
Karena musyawarah tidak berhasil menyelesaikan masalah tanah warisan Cipto almarhum, akhirnya Sukirman untuk dirinya sendiri dan mewakili janda Mbok Jembleh, mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri sebagai Penggugat melawan para Tergugat yaitu Sainem, Sardiman, Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Kemudian dengan pertimbangan yang intinya bahwa memang harta warisan berupa tanah yang ditinggalkan oleh Cipto belum dibagi, sehingga Pengadilan Negeri mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keputusan Pengadilan membenarkan gugatan yang diajukan oleh Sukirman dan Mbok jembleh bahwa tanah yang dijual harus dikembalikan kepada orang yang berhak yaitu Mbok Jembleh.
Namun dalam hal ini pihak para Tergugat tidak mau mengalah begitu saja, mereka kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Dan hasil dari Pengadilan Tinggi nampaknya tidak dapat membuat mereka lega, karena Pengadilan Negeri menganggap bahwa alasan dan pertimbangan Hakim Pertama yang menjadi dasar putusannya telah tepat dan benar. Tidak berhenti sampai di situ, akhirnya mereka para tergugat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sainem pribadi merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, karena posisi Sainem sendiri terhadap harta warisan tersebut merupakan salah satu ahli waris yang sah, karena Sainem merupakan anak kandung satu-satunya. Atas pertimbangan ini Sainem merasa bahwa tindakannya menjual sebagian tanah waris yang belum dibagi tersebut adalah sah. Berbeda dengan Sardiman yang juga menjual sebagian tanah waris tersebut, tindakan yang dia lakukan tersebut tidak mempunyai dasar hukum, karena dia bukan merupakan ahli waris dari Cipto Darsono.
Dengan berbagai pertimbangan ulang, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh para penggugat. Dan Mahkamah Agung memutuskan bahwa Wardi, Sri Mulyani dan Suroso (pihak yang membeli tanah dari Sainem dan Sadirman) dinyatakan dihukum dengan mengosongkan tanah yang sudah dibeli, dan Mbok Jembleh masih berhak menikmati seluruh peninggalan harta peninggalan Cipto Darsono.
B. Waris dalam Konsep Hukum Perdata
Konsep waris berikut ini merupakan konsep yang diambil dari pasal-pasal KUH Perdata yang menjadi dasar analisis kasus yang penulis angkat
Menurut K.U.H Perdata bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.[2] Subekti mengatakan bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dalam hukum waris juga berlaku suatu asas, bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Dalam pasal 830 disebutkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian.[4] Jadi kematian orang yang meninggalkan harta merupakan syarat dari terjadinya pewarisan. Dengan meninggalnya orang yang memiliki harta warisan, maka beralihlah harta warisan itu kepada ahli waris
Adapun dalam kaitannya siapa yang berhak menjadi ahli waris adalah sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 832 KUH Perdata, yaitu:
1. Para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin
2. Suami istri yang hidup terlama
Ahli waris karena hubungan darah telah ditegaskan dalam pasal 852 KUH Perdata. Ahli waris karena karena hubungan darah ini yaitu anak atau sekalian keturunan mereka, baik anak sah maupun luar kawin.
Menurut pasal 833 ayat I KUH Perdata bahwa yang dapat diwariskan atau obyek kewarisan adalah segala barang yang dimiliki si pewaris, segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris. Adapun unsur-unsur waris sebagai berikut:
a. Kaidah hukum
b. Pemindahan harta kekayaan pewaris
c. Ahli waris
d. Bagian yang diterima
e. Hubungan ahli waris dengan pihak keluarga
Menurut pasal 834 BW menyebutkan bahwa seorang ahli waris dapat menuntut apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris, si ahli waris boleh mengajukan gugatan baik untuk seluruhnya apabila ia adalah ahli waris satu-satunya atau hanya sebagian apabila ada beberapa ahli waris yang lain.[6]
Dalam pasal 839 disebutkan bahwa orang yang dikecualikan dari pewarisan, wajib mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmati sejak warisan itu jatuh.
Pasal 852 BW menyatakan tentang warisan suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si suami atau istri yang hidup terlama, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal, maksudnya apabila perkawinan suami istri itu adalah untuk kedua kali atau lebih, dan dari perkawinan yang dahulu ada anak-anak atau keturunannya, maka si istri atau suami yang baru tidak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar dari pada bagian warisan yang akan diterima oleh anak dari hasil perkawinan yang terdahulu. Dalam pasal ini juga disebutkan bahwa apabila sejumlah harta warisan telah dihibahkan, maka bagian warisan ahli waris yang ada harus dikurangi sejumlah harta yang dihibahkan.
C. Analisis Kasus
Kasus waris merupakan kasus yang seringkali muncul setelah pewaris meninggal. Kasus-kasus yang santer adalah tentang perebutan harta waris antara ahli waris, sifat keserakahan mereka muncul dengan keinginan untuk memiliki sebagian besar atau seluruh harta warisan yang ditinggalkan.
Namun dalam kejadian ini, kasus waris yang diangkat tidak sampai pada perebutan harta warisan, melainkan penyalahgunaan harta warisan sebelum terlebih dahulu harta waris itu dibagi.
Kasus ini dapat memperoleh kepastian hukum, karena dari kepastian hukum itu yang menentukan apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban khususnya yang terkait dengan kasus waris ini.
Kematian orang yang mempunyai harta merupakan syarat terjadinya pewarisan, hal ini sesuai dengan pasal 830. Sehingga Sejak Cipto Darsono meninggal dunia, maka terjadilah pewarisan yang dalam hal ini orang yang berhak adalah Mbok Jembleh dan Sainem. Adapun Sukirman tidak termasuk kedalam orang yang berhak menerima warisan yang ditinggalkan Cipto Darsono, karena Sukirman merupakan anak adopsi atau anak angkat. Akan tetap Cipto Darsono telah menunjukkan keadilannya sebagai seorang Ayah dengan menghibahkan sejumlah bagian tanah pekarangan. Dan menurut pasal 832 BW telah diatur tentang siapa saja yang berhak menerima harta warisan, dan anak adopsi tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan Mbok Jembleh merupakan orang dalam kategori suami istri yang hidup terlama, dan Sainem merupakan orang dalam kategori keluarga sedarah, jadi keduanya dianggap berhak menerima harta warisan dari Cipto Darsono.
Harta yang ditinggalkan Cipto Darsono berupa tanah sawah merupakan obyek waris, hal ini sesuai dengan pasal 833 ayat I KUH Perdata. Dalam kenyatannya, harta warisan yang ditinggalkan oleh Cipto Darsono tidak terbagi dan tidak dilakukan pembagian setelah Cipto Darsono meninggal. Sainem yang merasa dirinya berhak atas seluruh harta peninggalan Ayahnya, kemudian dia bersama Sardiman (keponakan Cipto Darsono) menjual tanah warisan tersebut tanpa sepengetahuan Mbok Jembleh kepada Wardi, Sri Mulyani dan Suroso. Sainem menjual tanah tanpa seizin Mbok Jembleh kemungkinan karena Sainem berfikir bahwa Mbok Jembleh bukanlah Ibu kandungnya. Namun menurut pasal 832 Mbok Jembleh termasuk sebagai orang yang berhak mendapat warisan tersebut, jadi meski Sainem juga berhak dan ingin menjual tanah tersebut, seharusnya dia meminta izin atau seharusnya dimusyawarahkan dengan Mbok Jembleh.
Dari kronologi kasus di atas tidak bisa diketahui dengan jelas bahwa, apa sebenarnya motif Sainem menjual tanah tersebut?. Kalau memang Sainem menjual tanah tersebut untuk kepentingan pribadi, maka jelas tindakan Sainem ini akan sangat merugikan Mbok Jembleh, karena sejak Cipto Darsono masih hidup, tanah sawah itulah yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Namun dalam kronologis juga dituliskan bahwa setelah Sainem menjual tanah warisan tersebut, di sana sempat terjadi musyawarah namun tetap tidak mampu menyelesaikan masalah. Maka dapat disimpulkan bahwa Sainem menjual tanah itu untuk keperluan pribadi, padahal dia sudah mendapatkan hibah tanah pekarangan sewaktu Ayahnya masih hidup.
Sukirman dalam hal ini meski bukan termasuk sebagai orang yang berhak mendapatkan warisan, dia mewakili Mbok Jembleh untuk menuntut hak yang seharusnya didapatkan oleh Mbok Jembleh kepada Pengadilan Negeri. Yang dilakukan Sukirman ini dibenarkan dalam BW pasal 834 mengenai kebolehan ahli waris menuntut hak waris penuh apabila dia satu-satunya ahli waris, dan menuntut sebagian apabila ada ahli waris lain. Ternyata putusan sidang Pengadilan Negeri pun memihak kepada Mbok Jembleh, karena memang dapat dipastikan bahwa Mbok Jembleh berhak menikmati harta warisan tersebut selama Mbok Jembleh belum menikah lagi atau meninggal dunia. Ketika Sainem mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi pun hasilnya tetap sama seperti putusan pada Pengadilan Negeri. Hal-hal yang perlu dijadikan pertimbangan adalah, apakah tanah tersebut setelah ditinggal mati oleh Cipto Darsono masih dinikmati oleh Mbok Jembleh? Dan apakah tanah tersebut masih atas nama Cipto Darsono?. Apabila bisa dibuktikan bahwa sebelum dijual tanah tersebut masih atas nama Cipto Darsono, maka tiga orang tergugat (yang membeli tanah dari Sainem dan Sardiman) tidak dapat mempertahankan tanah yang dibeli dari Sainem dan Sardiman, walaupun mereka dapat menunjukkan bukti pembelian tanah. Akan tetapi apabila diteliti lebih lanjut, maka tergugat yang membeli tanah tersebut berhak mendapat perlindungan hukum, karena ketika membeli tanah tersebut mereka terlepas dari latar belakang tanah tersebut apakah mereka membeli dari pemilik tanah yang sah atau tidak, apabila telah terjadi transaksi maka tanah itu adalah milik mereka.
Disamping itu tentang apa yang dilakukan Sainem menjual tanah tersebut bisa dikatakan sah, karena Sainem merupakan anak kandung satu-satunya Cipto Darsono. Dan juga berdasarkan pasal 852 BW, bahwa bagian istri yang hidup terlama tidak akan mendapatkan bagian lebih besar dari pada anak kandung dari istri terdahulu. Di sini yang perlu digaris bawahi adalah tanah yang dijual oleh Sainem bukan seluruh tanah, akan tetapi hanya sebagian saja, dan sebagian yang lain dijual oleh Sardiman (keponakan Cipto Darsono). Hanya saja kurang jelas bahwa apakah yang dijual oleh Sainem adalah bagian yang lebih besar dari pada yang dijual oleh Sardiman? Ataukah sama besarnya?.
Apabila dilihat dari pihak Sardiman, posisi Sardiman sendiri adalah lemah. Dia tidak mempunyai dasar hukum untuk menjual tanah warisan tersebut, karena Sardiman bukanlah ahli waris dari harta peninggalan pamannya, sehingga ia tidak berhak menjual dan menguasai tanah tersebut. Maka putusan yang paling tepat adalah seperti apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung, juga sesuai dengan yang telah diatur dalam pasal 839 BW. Sehingga dari keputusan ini memunculkan putusan bahwa, orang yang telah membeli tanah dari Sardiman inilah yang harus dikembalikan, dan kemudian dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Mbok Jembleh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penyelesaian masalah terkait dengan waris di Indonesia mempunyai dua alternatif pilihan. Yang pertama Pengadilan Negeri yang mempergunakan prinsip KUH Perdata atau hukum BW, dan yang kedua adalah Pengadilan Agama yang menggunakan prinsip Hukum Waris Islam yang dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam.
Hukum di Indonesia memberikan kebebasan memilih Pengadilan mana diantara kedua badan Peradilan tersebut yang akan dijadikan sebagai badan penyelesaian masalah kewarisan.
Sesuai dengan kronologi kasus di atas, apabila ada ahli waris yang ingin memanfaatkan harta warisan sesuai dengan kehendaknya, maka seharusnya para ahli waris segera mengurus pembagian harta waris segera setelah si pemilik harta meninggal. Jika mereka ingin diselesaikan secara agama maka pergi ke Pengadilan Agama, dan apabila ingin dilaksanakan dengan KUH Perdata maka pergi ke Pengadilan Negeri.
Dan kasus di atas menunjukkan bahwa para ahli waris memilih Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara waris. Hanya saja yang disayangkan, kenapa sebelumnya tidak dilakukan pembagian warisan agar bagian-bagian tersebut jelas, dan masing-masing ahli waris mengetahui haknya masing-masing, agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari. Kalaupun ada sengketa, maka akan dapat cepat diselesaikan karena pembagian warisan telah dilaksanakan.