Penipuan
Penipuan
Pemberangkatan Haji
Ketika musim
haji tiba di masyarakat sering bermunculan tindak pidana penipuan dan penggelepan yang
dilakukan terlapor dengan cara terlapor menjanjikan akan memberangkatkan haji
namun kenyataannya uang yang dibayarkan pelapor biasanya tidak digunakan
mengurus keberangkatan haji.
Terkait permasalahan tersebut payung hukumnya
telah ada yakni Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji
serta dijerat
pasal 372 KUHP tentang penipuan dan pasal 378 KUHP tentang penggelapan. Tidak hanya itu juga bila berhubungan dengan jabatan diancam pula
pidana Pasal 374 mengenai penyalahgunaan Jabatan. Namun kasus penipuan yang
memakan korban masyarakat selalu terjadi dan seolah-olah sulit diberantas
sehingga tiap tahun terus terjadi terutama di musim haji. Dilema di
masyarakat terjadi karena banyak jemaah
yang tidak sabar ingin cepat berangkat, sehingga termakan bujuk rayu travel
nakal. Modusnya dengan menawarkan visa non kuota yang pastinya jelas sangat
menggoda ditengah ekspektasi haji yang tinggi.
Seharusnya penyelenggara
haji mendapatkan ijin dari pemerintah dan selayaknya para calon haji (calhaj) memilih jasa yang sudah terpercaya.
Penipuan dan Penggelapan (Dari segi hukum)
Istilah penipuan dan penggelapan memiliki
pengertian yang beda-beda tipis. Motivasi kedua istilah itu sama-sama ingin
memiliki “benda” (barang)
milik orang lain baik sebagian maupun seluruhnya, namun secara melawan hukum.
Perbedaannya adalah pada masalah cara bagaimana barang tersebut dimiliki. Dalam penipuan, benda
itu dimiliki secara melawan hukum, sedangkan dalam penggelapan upaya memiliki itu dilakukan melalui
suatu dasar perbuatan yang sah. Sebelum lebih jauh memahami penipuan dan penggelapan, baiknya
simak dulu pasal-pasal KUHP(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) berikut:
Pasal 378 KUHP (penipuan)
“Barang siapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun
dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun” .
Pasal 372 KUHP
(penggelapan)
“Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda
paling banyak Rp.900,-“
Dalam penipuan,
dimilikinya suatu benda oleh seseorang dilakukan dengan cara melawan hukum,
yaitu dengan perbuatan yang tidak sah: memakai nama palsu, tipu muslihat, atau
rangkaian kebohongan. Seorang yang melakukan penipun, dengan kata-kata bohongnya itu, menyebabkan
orang lain menyerahkan suatu benda kepadanya. Tanpa adanya kebohongan tersebut,
belum tentu orang yang bersangkutan akan menyerahkan benda itu secara sukarela.
Misalnya, X menjanjikan
kepada Y bahwa ia akan menjual sepeda motornya dan menyerahkan sepeda motor itu
besok lusa jika hari ini Y menyerahkan uang pembeliannya. Setelah Y menyerahkan
uang, besok lusanya X tidak juga menyerahkan sepeda motornya. Y tentu saja
tidak akan menyerahkan uang pembeliannya jika X tidak menjanjikan menyerahkan
sepeda motor itu besok lusa. Dalam hal ini, X telah membohongi Y dan bisa
dibilang ia telah melakukan penipuan.
Dalam penggelapan,
dimilikinya suatu benda terjadi bukan karena perbuatan yang melawan hukum
(bukan karena perbuatan yang tidak sah), melainkan karena suatu perbuatan yang
sah (bukan karena kejahatan). Perbuatan dimilikinya barang itu dilakukan dengan
kesadaran bahwa si pemberi dan penerima barang sama-sama menyadari perbuatan
mereka, namun pada akhirnya dimilikinya benda tersebut oleh penerima barang dipandang
sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki (melawan hukum).
Penyerahan uang pembelian
dari Y kepada X dilakukan atas dasar hukum yang sah, yaitu perjanjian jual beli
motor diantara mereka. Dalam perjanjian itu, penyerahan uang pembelian adalah
perbuatan yang sah karena didasari oleh perjanjian yang sah. Kalau kemudian X
tidak menyerahkan sepeda motornya dan membawa kabur uang pembelian itu, maka
pada saat tidak diserahkannya sepeda motor itulah perbuatan penggelapan uang
pembelian itu telah dilakukan. Logika ini sama seperti misalnya seorang kurir
yang ditugaskan untuk mengantarkan uang ke suatu tempat, namun uang tersebut
tidak diserahkan ke tempat tujuannya melainkan digunakan sendiri oleh si kurir.
Penyerahan uang kepada kurir untuk diantarkan ke suatu tempat adalah perbuatan
yang sah berdasarkan tugas yang diberikan si pengirim uang, namun tugas itu
diselewengkannya secara melawan hukum, sehingga dapat dikatakan si kurir telah
melakukan penggelapan.
Dalam prakteknya, kedua
perbuatan itu, penipuan dan penggelapan,
sering kali dilakukan secara bersamaan. Dalam kasus X dan Y, misalnya, X telah
melakukan sekaligus penipuan dan penggelapan. X
telah berbohong bahwa ia akan menyerahkan sepda motornya, dan dengan perjanjian
yang telah mereka sepakati bersama itu X juga telah melakukan penggelapan dengan menggunakan perjanjian itu
sebagai alat untuk diserahkannya uang pembelian.