PENYITAAN PERDATA

Penyitaan Dalam Sidang Pengadilan Perdata (Beslag)

Sita Jaminan: Sita Conservatoir dan Sita Revindicatoir
Penyitaan atau beslag merupakan tindakan persiapan, berupa pembekuan barang-barang yang berada dalam kekuasaan tergugat sementara waktu untuk menjamin agar putusan sidang pengadilan perdata dapat dilaksanakan. Penyitaan bertujuan untuk menjamin kepentingan penggugat, yaitu agar haknya yang dikabulkan dalam putusan hakim dapat dilaksanakan setidaknya melalui barang sitaan. Dengan demikian, penyitaan disebut juga sita jaminan. Hukum acara perdata kita mengenal sita jaminan sebagai sita conservatoir dan sita revindicatoir.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan. Panitera wajib membuat berita acara tentang penyitaan tersebut serta memberitahukannya kepada tersita. Dalam melakukan pekerjaannya, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut menandatangani berita acara. Jika permohonan sita dikabulkan, pengabulan itu dilakukan dalam suatu penetapan yang menyatakan sah dan berharga (van waarde verklaard). Dalam hukum acara perdata, ada dua macam sita jaminan yang umumnya diajukan, yaitu sita jaminan terhadap barang milik penggugat sendiri (sita revindicatoir) dan sita jaminan terhadap barang milik debitur atau tergugat (sita conservatoir).
Sita Revindicatoir
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain. Tujuan penyitaan ini agar setiap pemilik barang yang barangnya berada di tangan orang lain dapat mencegah barang miliknya tersebut dialihkan atau diasingkan oleh pihak yang menguasainya. Jika mobil milik A dikuasai oleh B, maka dalam persidangan gugatan perdata, A dapat mengajukan sita revindicatoir atas mobil miliknya tersebut dengan tujuan agar B tidak mengalihkannya. Barang yang dapat disita secara revindicatoir hanyalah berang bergerak, karena barang tidak bergerak seperti misalnya tanah sulit atau jarang sekali untuk dialihkan atau diasingkan.
Selain pemilik barang, orang yang mempunyai hak reklame juga dapat mengajukan sita revindicatoir. Hak reklame merupakan hak tagih yang dimiliki oleh penjual barang bergerak. Sita revindicatoir pemilik hak reklame bertujuan agar barangnya yang telah diserahkan tapi belum dibayar dalam suatu transaksi jual-beli dapat diamankan terlebih dahulu – agar tidak dialihkan atau diasingkan oleh pembeli. Selain pemilik hak reklame, dalam sengketa perceraian dikenal pula sita marital. Sita Marital bertujuan bukan untuk menjamin dilaksanakannya penyerahan barang, melainkan agar barang yang disita tidak dialihkan. Fungsinya untuk melindungi hak pemohon atau penggugat selama pemeriksaan sengketa perceraian berlangsung, yaitu agar harta perkawinan dibekukan terlebih dahulu sampai sengketa percerainnya diputuskan, agar jangan sampai harta perkawian tersebut dialihkan oleh pihak (suami atau istri) yang menguasainya.
Sita Conservatoir
Sita conservatoir merupakan sita jaminan tehadap barang milik debitur atau tergugat. Sita conservatoir merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada pengadilan, yaitu berupa penjaminan agar dilaksanakannya putusan perdata dengan cara membekukan barang milik tergugat. Barang yang dibekukan tersebut nantinya dapat digunakan untuk melaksanakan putusan pengadilan – misalnya dengan menjual barang yang disita dan uangnya digunakan untuk membayar kewajiban tergugat kepada penggugat sesuai putusan hakim. Terhadap sita conservatoir, tergugat juga dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar sita atas barangnya tersebut dicabut. Permohonan pencabutan itu dapat dikabulkan oleh hakim asalkan tergugat dapat menyediakan tanggungan yang mencukupi.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap berada di tangan tergugat untuk disimpannya dan dijaganya, atau dapat juga disimpan di tempat lain, dan tergugat dilarang mengalihkan barang tersebut. Dengan adanya sita conservatoir, tergugat sebagai “pemilik barang” kehilangan kewenangannya atas barang miliknya itu. Selain terhadap barang bergerak, sita conservatoir juga dapat diajukan atas barang tidak bergerak milik tergugat. Penyitaan atas barang tidak bergerak milik tergugat dilakukan dengan mengumumkan penyitaan barang tidak bergerak tersebut oleh kepala desa setempat di tempat barang itu disita.
Sita conservatoir, juga dapat dilakukan terhadap barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga. Hal ini misalnya terjadi karena tergugat memiliki piutang terhadap seorang pihak ketiga. Untuk menjamin haknya atas pelaksanaan putusan, penggugat dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang di tangan pihak ketiga itu. Sita conservatoir atas barang bergerak milik tergugat yang berada di tangan pihak ketiga disebut juga derdenbeslag.

Akta Perdamaian Dalam Gugatan Perdata

Dalam sidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa.
Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan 131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasal-pasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.
Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti.
Kekuatan Hukum Akta Perdamaian
Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap
Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan.
Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.